App herunterladen
51.85% URAKAN / Chapter 14: 11: Sean Mencari Cinta (b) [semi R-18]

Kapitel 14: 11: Sean Mencari Cinta (b) [semi R-18]

Sean Dwiki Ardanta saat ini mengerjapkan matanya cepat melihat apa yang tersaji di hadapannya. Dia menegang. Selangkangannya berkedut. Anjing. Apa-apaan yang dia lihat ini?!

Beberapa waktu yang lalu, Sean dan Herma sampai di parkiran motor apartemen KK, apartemen tempat Herma bernaung. Rumah Herma ada di lantai 55, sebuah penthouse yang memiliki dua lantai dengan balkon super besar berkolam renang. Rumah Herma awalnya tak di sini, sejak setahun yang lalu pindah karena pacar bokap Herma bingung bakar uang untuk siapa.

Mulanya dua sahabat ini jalan bersama, beriringan. Hanya saja, ketika di dalam lift, Herma bertemu tetangga lantai bawah dan harus beramah-tamah sejenak. Apa yang mereka obrolkan Sean tidak tahu, yang jelas om om itu mengajak Herma ke kamarnya sejenak. Kata pria yang usianya Sean taksir sekitar 25 tahun plus, begini, "ke kamar gua bentar Her. Gua tadi masak sup kabanyakan. Buat lu sama bokap lu kalau lu mau." Jadi Herma turun di lantai yang tak semestinya.

Sean menjadi Sean sih, dia memilih untuk langsung capcipcus ke rumah Herma. Toh, karena seringnya dia bertandang ke sana, identifikasi sidik jarinya terecord di pintu depan apartemen tipe termewah itu. Ayah kawannya juga sangat menerima keberadaan Sean, sampai-sampai beliau mengizinkan Sean untuk menganggap apartemen itu rumah keduanya.

Sialnya, karena keputusannya untuk tidak menunggu Herma, Sean menjadi melihat sesuatu.

Dia langsung nyelonong masuk karena merasa di rumah sendiri nih. Dia buka pintu dan ucapkan salam, "om Sudir, Sean pul—" tapi dia membeku seketika.

Matanya bahkan membelalak, mulut menganga.

"Aaaah~ Diiiirrrhh~ ada yang lihaaaat~"

Okay. Ada seseorang sedang ninunana begitu Sean membuka pintu. Sumpah. Dia langsung mendapati sang pemilik rumah dengan teman kencannya sedang kentwo. Satu kaki pria berema hitam gelombang sedang bertengger di atas lemari sepatu yang terletak 3 meter di depan pintu apartemen, yang satunya masih menjejak bumi dan di sana terdapat tumpukan celana beserta dalaman. Dia telanjang, pakaiannya berceceran di lantai, dari pintu hingga tempatnya berdiri.

Sean bisa melihat dengan jelas ada tangan di dada pria itu, tengah memilin pentil dengan sensual. Jemari lainnya ada di paha, membawa pinggang yang bersangkutan bergerak maju mundur dengan cepat. Alunan nada slap slap slap terdengar memenuhi ruangan. Kulit bertemu kulit dan desah lenguhan bersatu padu menjadi musik.

Lalu sosis om entah siapa yang sedang dianu, gondal-gandul bak pendulum.

Kagok nggak lu? Kagok dong. Ya masa enggak kagok kalau lu masuk ketika Tuan Rumah lagi ngegei di depan pintu?

Namun Sean menjadi anak yang tak pernah ewo, jadi ingin tahu. Dia buru-buru menutup pintu dan berdiri di pojokan. Tangannya tertangkup rapat di depan batangnya yang tegang sendiri bikin sesak celana. Bibirnya mengatup, gigi tampak menggigit daging gempal di sana. Sepertinya Sean berjuang keras untuk tetap menjunjung tata krama—mengganggu persenggamaan manusia dosa namanya—tapi juga ingin tahu pria dan pria bermain pedang itu sebenarnya bagaimana.

"Hahaha. Sen. Kenapa kamu malah berdiri di sana?" sambil terus memasukkan kejantanan di lubang yang tak bisa Sean lihat, ayah Herma bertanya. Keringat tampak jelas mengaliri tubuh pria itu, baju putih yang ia kenakan sekarang lengket dan menunjukkan lekuk tubuh sempurnanya. "Masuklah, tunggu Herma di kamar seperti biasanya, om lagi sibuk sekarang."

Sean tertawa kecil mendengar penuturan ini. Dia bisa melihat pria yang tengah disetubuhi ayah kawannya memandang lurus ke arah Om Sudiro, nama ayah Herma, dan matanya seolah berkata 'lu nyuruh dia masuk?! Melewati kita yang lagi … ASDFGHJKL?! Seriusan lu?!'

"Dir, lu gil—"

"Papa aku pul—ANJING! MONYET! BABIIIII!"

Semua terdiam. Herma yang tiba-tiba masuk dengan tangan menenteng tas kresek menyerukan nama-nama hewan. Dan seruannya itu begitu melengking sampai membuat gerakan sang Ayah tersendat sesaat.

"Oh, Herma," kata pria berahang kokoh dengan pakaian masih komplit di sana.

"OH HERMA OH HERMA! GILA! MASUK KAMAR SANA! SYUUUUUH!" Herma berseru sambil membanting pintu depannya. Dia berikan gestur mengusir ayam kemudian. "Kok diam pa? Jangan nambah-nambahin kebejadan di dunia yang penuh manusia laknat plis. Tahu diri untuk nggak ewe di tempat umum!" katanya sambil bersedekap.

Awalnya, Sean bisa melihat jika Om Sudiro sudah mau melayani ucapan Herma. Namun rupanya, lelaki itu menyadari bila pria di depannya merona. Tidak, pipi sampai tengkuknya berubah menjadi merah seperti kepiting rebus. Melihat bapak itu begitu, Sean jadi malu sendiri. Entah mengapa dia ikut menunduk dan memerah.

"Dasar anak ya, nggak tahu papanya lagi mantapmantap seksi gini, main selonong aja," komentar pemilik dada bidang dan perut six pack di sana. Detik berikutnya, dengan sekali hentak, om entah siapa itu tiba-tiba berubah posisi. Seperti seorang ayah menggendong anak di depan dada, lelaki itu kini digendong dengan dua kaki menekuk di atas dua tangan kokoh Sudiro. Sean berani bersumpah ia mendengar suara terengah tertahan lelaki itu. Lalu dengan tytyd masih menancap di anus yang berkedut, mereka mulai berpindah tem—

"Oh kalau lakik sama lakik anuan itu masuknya di anus ya Her? Apa nggak bau pup batang yang masuk dubur begitu?"

Bagaikan menjatuhkan bom, pertanyaan Sean membuat seluruh makhluk di bumi berhenti bergerak, termasuk Sudiro dan pasangannya.

"Eh? Kenapa?"

Dan tentu saja, yang bertanya tak paham salahnya dimana.

***

"Sen, lu gila? Lu pasti gila? Lu nggak tahu cara gay bersetubuh? IPA lu dulu pasti minus pas SD."

Sean menghela napas panjang sambil melepas bajunya. Dia ada di kamar Herma yang terletak di lantai dua kini, tepatnya di area private pool. Kejadian tadi membuatnya malu semalu-malunya. Untung Om Sudiro cuma tersenyum manis dan meminta Herma memberikan ilmu yang ia miliki pada Sean sampai seakar-akarnya sebelum melenggang pergi. Namun sekarang, kalau dipikir-pikir … ANJING! MALU NJIR! KENAPA DIA BISA BEGO BEGITUUUUU?!

"Ih ya maaf. IPA gua pas SD kagak ada persetubuhan gay," Sean membalas sambil membuang bajunya ke segala arah. Private pool di lantai 2 apartemen milik Herma ini dipenuhi air dengan suhu 39 derajat. Biasanya, Sean kalau bertandang kemari langsung melipir ke area ini. Satu, karena dia bisa berenang gratis. Dua, berasa di pemandian air hangat. Tiga, di sini nggak sepi, jadi asik, kalau tenggelam nggak mati.

Herma yang sedang leyeh-leyeh di sofa kecil dekat kolam renang sambil minum kotakan jus jambu biji, auto nyembur. Ia bahkan bangkit dari posisinya dan memandang Sean penuh makna. Wajahnya sudah menyuratkan isi hatinya 'Heh! Ya iyalah SD nggak ada persetubuhan gay! Lu tahu gua sarkas nggak sih tadi? Halo, Sean? Sen? Otak lu pentium berapa, anjiiiing?!'

Namun yang diberi tatapan hanya menaikkan kedua alisnya dan melenggang masuk ke dalam kolam seperti tak mengetahui maksud kawannya. Dugaan Herma sih dia emang murni tak paham. Tuhan, Herma kadang heran kenapa punya teman onengnya kebangetan.

Hanya saja, karena tak mau terbelenggu soal persetubuhan ini, Herma mengambil ponselnya. Membiarkan Sean berendam, renang kecipak-kecipuk ke sana-ke mari dengan pelampung, dia memasuki dunia video. Cepat Herma memilih adegan-adegan panas terkenal, copas link dan paste di chat mereka berdua.

Agaknya ada 15 menit dua insan ini mengerjakan hal yang sangat berseberangan. Sama-sama berenang sih, tapi di tempat yang berbeda. Herma bahkan terlalu fokus dengan apa yang dia kerjakan. Ia baru berhenti melakukan apa yang tengah ia lakukan ketika bayangan menutupi dirinya.

Helaan napas dia buang dan dia mendongak.

Tepat di saat itulah dia terhenyak.

Sean, dengan handuk putih melingkar di bahu tengah berdiri di atasnya. Jarak mereka tak jauh. Dari posisi Herma, dia bisa melihat dengan jelas tubuh kawannya ini masih basah. Bulir air menetes. Dari kepala, ke dagu dan mendarat di dada. Pelan, dengan tempo yang sangat lambat, ia kemudian menggores tonjolan coklat cerah di dada Sean sebelum tes! turun lagi, mengurva di perut dan menelusup ke dalam celana.

Celana … di dalam sana ada …

"Sean lu bajingan!"

Sean tersentak. Dia membeku di tempat, mukanya auto mengkerut. "Hah?" dia bertanya, tak paham apa maksud Herma sambil terus mengeringkan rambut dengan ujung handuk.

"Kenapa lu bisa jatuh cinta ke orang yang lu bahkan nggak kenal sih?" Herma berdecak, ekspresinya dipenuhi kekesalan.

Sean tertawa melihat hal ini. Dia menyambar jus yang tadi diminum Herma, menggelonggong isinya setelah duduk di tempat lengang antara kaki si tan dengan ujung sofa. Dan lokasi dimana bibirnya menempel adalah tempat yang sama persis dengan tempat Herma meminum jus tersebut.

Herma mengepalkan tangannya kuat.

Bagi temannya … itu pasti bukan masalah besar. Dia tahu hal ini. Sangat tahu.

Namun entah kenapa, hatinya sakit.

"Lu tahu Her …," Sean bergumam. Herma menatap muka kecil sahabatnya tajam. Remaja di depan Herma ini tak menoleh, dia sedang menatap langit hitam dan bintang-bintang yang menggantung di atas sana. Namun wajahnya tampak memikirkan seseorang—

"Cinta itu … tak perlu alasan," Sean tertawa kemudian. Dia memandang ke arah Herma, mukanya berseri. "Gua tiba-tiba deg degan aja gitu. Dan gua tahu, gua jatuh cinta pada pandangan pertama."

—seseorang yang jelas bukan Herma.

Goddammit, it's so fucking hurt!

[]


Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Rank -- Power- Rangliste
    Stone -- Power- Stein

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C14
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank NR.-- Macht-Rangliste
    Stone -- Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen