Sejak insiden beberapa hari yang lalu, perasaan benciku kepada Tante Lintang semakin lama semakin besar. Raut wajah Pak Said yang kemarin begitu memelas masih terbayang-bayang di depan mataku. Tubuh ringkihnya yang memohon belas kasihan tapi sama sekali tak dihiraukan oleh Tante Lintang. Aku sampai berpikir kalau Tante Lintang mungkin bukan manusia. Entah dia itu alien atau apa.
Koq tega-teganya berbuat sekeji itu pada orangtua? Dengan usianya, dimana lagi Pak Said bisa mencari nafkah? Sementara lebih dari seperempat abad hidupnya sudah dihabiskan untuk berdagang di Pasar Dukuh.
Rasa hormatku pada Tante Lintang langsung berubah: 0%... eh, minus malah.
Dan, entah ibuku kemasukan setan apa hari ini atau beliau pura-pura lupa kalau aku benciii banget sama Tante Lintang, ibu menyuruhku mengantarkan makanan kesukaan beliau. Bacang beras berisi daging ayam buatan ibuku. Ughhhhh….
"Bu, ibu sajalah yang ke tempat Tante Lintang. Aku malas sekali ke sana…" keluhku sebal. Aku sudah melakukan berbagai macam trik supaya aku bisa batal pergi ke rumah Tante Lintang. Mulai dari pura-pura sakit perut sampai tiba-tiba ingat kalau ada tugas kelompok dadakan dari sekolah. Tapi sayangnya, rupanya ibu sudah tahu semua akal bulusku. Dan ujung-ujungnya, tanpa daya, aku dengan sangat sangat terpaksa harus mengayuh sepedaku menuju ke arah rumah Tante Lintang di ujung jalan dan letaknya tidak terlalu jauh dari Pasar Dukuh.
Saat itu, aku juga sempat kepikiran untuk memasukkan obat pencuci mulut ke dalam makanan titipan ibuku kepadanya tapi pikiran konyol itu cepat-cepat aku buang jauh-jauh. Biar begini, aku masih takut dengan karma.
Setelah beberapa lama, akhirnya aku sampai juga di rumah Tante Lintang. Rumahnya besar dengan halaman depan yang cukup luas serta ada beberapa pohon angsana di sana. Suasananya teduh dan adem sehingga mampu menghapus rasa lelahku seketika itu juga. Setelah aku memberikan makanan titipan ibuku kepada Bi Ningsih, pengurus rumah tangga yang sudah lama bekerja untuk Tante Lintang, aku lalu duduk sebentar di salah satu bangku rotan yang memang tersedia untuk tamu.
Suasana yang tenang dengan angina yang sepoi-sepoi membuatku terlena dan bahkan mengantuk. Sampai kemudian, tiba-tiba Bi Ningsih datang dan memberikan sebuah bungkusan dari Tante Lintang untuk ibuku!
Aku kaget!
Tak kusangka kalau Tante Lintang yang judes dan kejam itu ternyata masih punya hati untuk membalas kiriman makanan dari ibuku. Dengan sungkan, aku mengucap terima kasih dan menerima bungkusan tersebut serta secangkir teh manis yang memang sudah disiapkan untukku.
"Ibu lagi ga enak badan," kata Bi Ningsih lagi.
Aku mengangkat alisku. Jadi begitu rupanya, aku memang beberapa hari ini tidak melihat batang hidung Tante Lintang di Pasar Dukuh. Hanya 2 dari 3 ajudannya saja yang sibuk berkeliaran serta sibuk menagih setoran dari para pedagang seperti biasa. Mungkin itu sebabnya ibu bersikeras untuk mengirim makanan untuk beliau juga.
Dalam hati, aku merasa sedikit puas atas keadaan beliau. Hmmm…mungkin ini adalah karma atas apa yang dilakukan oleh Tante Lintang kepada Pak Said sebelumnya dan kudengar juga tidak hanya Pak Said yang bernasib malang seperti itu. Ada beberapa pedagang lagi yang bernasib sama sebelumnya tapi aku tidak terlalu mengenal siapa saja mereka.
Aku tidak mengatakan apa-apa lagi kepada Bu Ningsih dan hanya menyampaikan salam semoga cepat sembuh untuk Tante Lintang. Walaupun masih ada perasaan benci di hatiku, untungnya aku berhasil mempertahankan wajah datarku di depan Bi Ningsih.
Cepat-cepat aku mengayuh sepedaku untuk kembali pulang ke rumah dan segera menuju pasar untuk membantu ibuku.
Tidak lama kemudian, aku sampai di los kami dan tanpa menunda lagi aku langsung memberikan bungkusan yang diberikan oleh Bi Ningsih kepada ibu.
"Wah, ini rujak banci yang ada di Taman Rahayu itu loh…" kata ibu girang sambil melihat ke dalam isi keresek. Ibu memang salah satu penggemar rujak fanatic dan beruntungnya, rujak ini merupakan salah satu favorit ibuku.
"Jadi, bagaimana keadaan Tante Lintang, Ka?" tanya ibuku cemas mengenai keadaan beliau.
"Errrrrr...."
Aku tiba-tiba merasa kesulitan menjawab. "Kata Bi Ningsih, Tante Lintang memang sudah beberapa hari ini merasa tidak enak badan. Mungkin hanya masuk angin atau apa gitu…"
Ibuku hanya mengangguk-angguk ringan setelah mendengar jawabanku.
"Syukurlah, semoga beliau cepat sembuh…" katanya sambil melayani beberapa pelanggan yang datang untuk membeli barang dagangan kami.
Aku lalu mengamati raut wajah ibu. Ada jejak kekhawatiran yang nyata di sana.
Ada apa? Kenapa? Aku tidak pernah bisa berpikir karena ibu sama sekali tidak pernah mengatakan apapun pada kami tentang hubungan beliau dengan Tante Lintang. Aku hanya bisa menyimpulkan sendiri kalau ibuku menaruh rasa hormat yang sangat dalam pada beliau. Walaupun aku sendiri tak pernah mengerti apa alasannya. Sementara aku memiliki perasaan sebaliknya. Benci luar biasa! Sampai aku muak melihat wajahnya!
"Perasaan ibu ga enak, Ka. Ibu hanya berharap kalau Tante Lintang cepat datang ke pasar seperti biasa…" kata ibuku pelan.
Aku sebenarnya sangat gatal ingin bertanya kepada ibuku kenapa beliau sangat respect dan hormat pada Tante Lintang yang terkenal sangat diktator, judes, dan galak tersebut. Tapi, entah kenapa, pertanyaan tersebut aku pendam sendiri. Mungkin karena aku sendiri berpikir kalau saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk menanyakan hal tersebut.
Aku tak tahu betapa tepatnya insting ibuku itu.
Maaf kalau alurnya agak lambat ya?
Ini salah satu cerita pertama yang saya buat di Webnovel. Jadi kalau dari teman-teman pembaca ada yang bisa menyempatkan diri untuk membaca dan menulis komentar tentang cerita ini, saya happy banget!!
Thx yaa....