App herunterladen
50% DIFFERENCE / Chapter 19: Bab 19

Kapitel 19: Bab 19

Hari ini adalah kepulangan Rindi dari rumah sakit. Seno, Irene, Randa dan juga Samuel sudah siap menjemputnya. Mereka tengah membereskan pakaian Rindi ke dalam tasnya.

Rindi hanya diam membisu di atas brangkarnya menatap nanar ke arah pintu.

Tak lama Dhika datang bersama Thalita, "Bagaimana keadaanmu, Sayang?" Tanya Thalita membelai kepala Rindi.

Rindi hanya menampilkan senyumannya. "Kamu harus melakukan terapi setiap hari Rabu dan Jumat yah." Ucap Dhika.

"Iya Om,"

"Dhika, thanks banget buat semuanya." Ucap Seno.

"Santai saja, jangan lupa untuk terapinya yah." Dhika menepuk pundak Seno pelan.

Seno beranjak membopong tubuh Rindi dan mendudukannya ke atas kursi roda.

"Selamat siang,"

Sapaan itu membuat semuanya menengok ke ambang pintu, disana Dafa berdiri dengan senyuman lebarnya dan begitu menawan.

"Masuklah Daf," ucap Randa.

Irene dan Seno hanya saling beradu pandang dan memilih diam. Dafa menyalami Dhika, Thalita, Seno dan juga Irene. Lalu ia duduk rengkuh di hadapan Rindi.

"Hai Nona jutek," Rindi tersenyum kecil padanya. "Siap untuk pulang?" Rindi hanya mengangguk kecil.

"Oke, Let's go!" Dafa berdiri dan mendorong kursi roda Rindi meninggalkan ruangan itu bersama yang lainnya.

Dhika dan Thalita kembali bekerja meninggalkan keluarga Arseno yang beranjak pulang.

Saat sampai di lobby rumah sakit, langkah mereka semua terhenti saat berhadapan dengan Percy yang terlihat membawa sebucket bunga kesukaan Rindi.

Suasana mendadak menjadi tegang dan canggung. Seno sebenarnya masih kesal, tetapi ia tidak ingin kembali membuat keributan di rumah sakit Dhika. Seno melirik ke arah Irene yang juga terlihat melirik ke arahnya.

Seno beranjak pergi bersama Irene meninggalkan mereka semua tanpa berbicara apapun. Rindi dan Percy masih bertatapan dengan tatapan yang tidak terbaca.

"Emm, kami tunggu di depan." Randa segera menarik lengan Samuel meninggalkan mereka bertiga yang masih terlihat canggung.

"Aku akan tunggu di depan bersama Randa." Ucap Dafa hendak beranjak tetapi langkahnya terhenti saat Rindi mencekal pergelangan tangannya.

Tatapan Percy beralih ke arah pegangan tangan Rindi di tangan Dafa, hatinya terasa berdenyut nyeri melihat pemandangan itu.

"Stay Here,"

Daffa menunduk melihat ke arah tangan Rindi yang menggenggam tangannya. Rindi menatap ke arah Percy yang masih menatap ke tangannya yang menggenggam tangan Daffa dengan sangat erat.

Percy tersenyum kecil dengan memalingkan wajahnya, ia menatap mata Rindi yang berkaca-kaca. Terlihat jelas luka yang sangat dalam di sana.

"Aku tidak tau kalau kamu pulang hari ini," ucap Percy berusaha setenang mungkin.

Ia melangkah mendekati Rindi dan menyimpan bunga itu di pangkuannya. "Aku hanya ingin memberikanmu itu," ucapnya masih menampilkan senyumannya walau matanya terlihat memerah.

Rindi menundukkan kepalanya menahan air mata yang siap luruh dari pelupuk matanya. Percy kembali melirik ke arah tangan Rindi yang begitu erat menggenggam tangan Daffa. "Baiklah, aku pergi. Berhati-hatilah di jalan."

Tangan Percy terangkat hendak menyentuh kepala Rindi tetapi tertahan, ia mengurungkan niatnya untuk menyentuh kepala Rindi dan memilih melangkah pergi meninggalkan mereka berdua dengan perasaan terlukanya.

"Hikz....hikzz...." Rindi menundukkan kepalanya dan terisak pelan. Genggamannya pada Daffa semakin menguat.

Daffa hanya menatap sendu ke arah Rindi. "Hikz...hikzz....." tubuhnya bergetar hebat, isakannya tidak bisa di hentikan.

Tangan Daffa yang lainnya terulur untuk menyentuh kepala Rindi, ia mengusapnya perlahan. Ia tidak tau harus bagaimana, keadaan ini sungguh rumit sekali.

"Kalau kamu mencintainya, kenapa melakukan ini?" Daffa duduk di hadapan Rindi saat Rindi sudah melonggarkan pegangannya.

Ia menangkup kedua pipi Rindi dan mengusap air matanya. "Kenapa Rindi?"

"Aku bukan untuknya, bukan hanya keadaanku yang cacat saja tetapi keadaan tidak pernah berpihak pada kami berdua. Hubungan ini tidak bisa di pertahankan lagi, hikzzz...."

"A-aku sedang berusaha, Daffa. Tetapi kenapa begitu menyakitkan, hikzzz...." tubuhnya bergetar hebat membuat Daffa menarik tubuh Rindi ke dalam pelukannya dan mengusap punggung Rindi dengan lembut.

Daffa bahkan tidak memperdulikan tatapan dari orang-orang dan bahkan ada yang sengaja memotretnya. Daffa sungguh tidak perduli lagi, yang sekarang dia perdulikan hanya gadis di dalam dekapannya ini.

"Aku akan selalu ada untukmu," bisik Daffa membiarkan Rindi menangis sejadi-jadinya di dalam pelukannya.

***

Percy mengusap matanya yang basah sambil menyetir mobil, hatinya begitu sangat terluka. Apa maksud Rindi dengan semua ini, kenapa dia mempermainkan dirinya.

Saat itu Rindi memintanya kembali dan menceraikan Rasya, tetapi sekarang dia yang menjauhi Percy dan memilih bersama pria lain. Apa maksudnya ini? Kenapa dia mempermainkan perasaannya.

"Arrghhh!!!" Percy memukul setir mobil dengan helaan nafasnya.

Ia menghentikan mobilnya di pinggir jalan dan menjambak rambutnya ke belakang sambil bersandar ke jok mobil.

"Apa yang kamu inginkan sebenarnya, Rindi? Kenapa melakukan ini padaku?"

Helaan nafas berat keluar dari mulut Percy. Ia merasa di permainkan oleh Rindi,

***

Percy sampai di apartementnya, terlihat Rasya tengah menonton tv. "Kamu sudah pulang?"

"Iya," Percy beranjak memasuki kamarnya membuat Rasya mengernyitkan dahinya bingung.

'Apa ini ada hubungannya dengan Rindi? Kenapa dia terlihat murung sekali?'

Rasya berusaha mengenyahkan pikirannya itu, ia sudah lelah menerka-nerka yang hanya menyesakkan dadanya.

Ia memilih menonton televisi walau tak ada acara yang menarik.

Tak lama Percy keluar dengan sudah segar, ia berjalan menuju dapur dan mengambil minuman kaleng dari dalam kulkas dan meneguknya.

"Undangan apa ini?" pertanyaan Percy membuat Rasya menengok.

Percy terlihat mengangkat undangan itu ke udara. " itu undangan reuni SMA, besok malam,"

"Oh begitu, kamu akan datang?"

"Emm, tidak tau sih." Rasya hanya mengedikkan bahunya,

"Kita pergi bersama," mendengar ucapan Percy, Rasyapun mengangguk setuju.

***

Dan disinilah sekarang, di acara reunian SMA mereka, Percy dan Rasya menyapa beberapa orang yang ada di sana. Banyak yang kagum melihat Percy dan Rasya masih sekompak itu.

Ucapan demi ucapan itu membuat Rasya meringis mengingat hubungannya saat ini dengan Percy. Entah istri, entah simpanan, entah sahabat. Yang jelas ini membuat Rasya bingung sendiri.

Verrel belum terlihat batang hidungnya, membuat Percy dan Rasya lebih dulu menyapa teman-teman mereka.

"Wah dua sejoli masih saja lengket seperti dulu," ucap salah satu teman mereka membuat Rasya dan Percy terkekeh.

"Kalian sudah menikah? Eh Per, mana istri loe? Bukannya loe udah nikah? Sama si Rindi kan?"

Ucapan salah satu teman pria Percy membuat Percy dan Rasya membeku di tempatnya.

"Eh iya, si kembar cantik itu mana kagak nampak." Sahut yang lain.

"Dia kan dah jadi artis, mana mau datang." Sahut gadis yang berada di samping pria berjas abu itu.

"Tapi bukannya Rindi itu istri loe, kenapa gak loe bawa, Per?" tanya Pria yang tengah meneguk minumannya. Dia baru saja bergabung.

"Gue tidak menikah dengannya." Ucap Percy membuat mereka melongo.

"Bukannya loe saat kuliah pacaran sama dia." Sahut wanita lain yang juga satu kampus dengan mereka.

Percy dan Rasya semakin membeku, Rasya melirik ke arah Percy. Sejujurnya ia merasa tidak nyaman karena sejak tadi hanya Rindi yang di bahas dan di tanyakan. Apa begitu tidak pantasnya dirinya bersanding dengan seorang Percy?

Rasya tersentak saat Percy menggenggam tangannya. "Gue menikahi Rasya."

Seketika semua teman-temannya membelalak lebar tak percaya, dan tatapan mereka mengarah ke genggaman tangan Percy pada Rasya.

Rasyapun di buat tak percaya, ia menatap Percy dengan tatapan kagetnya. Percy mengakui dirinya sebagai istri di depan mereka semua.

"Loe gak salah?" Pertanyaan itu hanya di jawab gelengan kepala oleh Percy.

"Astaga gue gak nyangka. Sya, loe tega nusuk sahabat loe sendiri." Ucap wanita yang satu kampus dengan mereka.

"Gue-,"

"Loe mirip pelakor," celetuk wanita lainnya membuat Rasya merasa tercubit ulu hatinya.

"Per, loe gila yah. Loe ngelepasin yang cantik dan malah dapetin dia yang begitu standar. Loe buta,," bisik teman pria yang berdiri di samping Percy.

"Kasian si Rindi punya sahabat seperti ini." Bisik mereka.

Rasya merasa semakin sakit, dadanya terasa terhimpit beban yang sangat berat. Ia ingin berlari menjauh, menjauh dari mereka semua yang terang-terangan mencaci dirinya. Walau berbisik-bisik tetapi semuanya terdengar jelas.

"Apa yang di lihat Percy dari wanita ini sih, lebih cantik Rindi kemana-mana." Bisik mereka.

"Si Percy habis di guna-gunain kali yah."

"Kalian bebas berbicara apapun sesuka kalian!" ucap Percy penuh penekanan membuat mereka semua diam membisu.

"Kalian tidak tau apa yang sebenarnya terjadi! So, berprilakulah layaknya orang-orang berpendidikan." Tambahnya terlihat geram.

"Tidak ada yang merebut siapa dari siapa." Ucapnya lalu menarik Rasya meninggalkan mereka.

"Kalau begitu Percy nya yang brengsek." Gerutuan seorang wanita.

"Yah, loe benar Ana. Gue memang brengsek." Gadis bernama Ana itu membeku karena tak sadar Percy mendengarnya.

"Ayo pergi," Rasya menarik lengan Percy yang terlihat emosi.

Tak ada yang berbicara, mereka keluar dari gedung dan menaiki mobilnya.

Percy terlihat menghela nafasnya dengan mencengkram setir mobilnya. Rasya sesekali melirik ke arahnya. Ada percikan kebahagiaan melihat Percy yang membelanya.

Tak lama terlihat mobil Verrel datang, Rasya dan Percy hanya melihatnya saja. Leonna dan Verrel terlihat menuruni mobil dan masuk ke dalam sana.

"Sebaiknya kita pulang saja." Rasya menganggukan kepalanya menyetujui usul Percy.

Mereka tak langsung pulang, melainkan pergi ke pantai.

Sesampainya disana, Percy melepas jas yang ia kenakan dan berjalan menyusuri pantai dengan melepas dasi kupu-kupunya dan melipat kemeja biru muda bagian lengannya. Rasya berjalan di sampingnya. Tak ada yang bersuara, hanya deburan ombak dan angin malam yang menemani mereka.

Saat sampai di bibir pantai, Percy terlihat merebahkan dirinya di atas pasir lembut itu, Rasya masih berdiri di dekatnya. "Bergabunglah Sya,"

Rasyapun merapihkan dres seatas lututnya dan ikut merebahkan diri di samping Percy. Keduanya menatap nanar langit gelap yang di penuhi bintang itu.

"Indah sekali," Percy mengangguk setuju.

Rasya mengangkat tangannya ke udara seakan ingin menggapai bintang-bintang itu. 'Ini seperti kamu, Per. Seakan dekat di depan mata, tetapi sulit dan tak mungkin bisa aku gapai sampai kapanpun juga.' Batinnya menatap bintang itu.

"Kamu menyukainya?"

Pertanyaan itu membuat Rasya menengok ke arah Percy di sampingnya, iapun menurunkan tangannya kembali. "Sangat, bintang-bintang itu indah dan selalu menghiasi kegelapan dengan sinarnya."

Percy tak menjawab hanya menatap langit itu dengan pandangan tak terbaca. Rasya terus menatap ke arahnya dengan senyumannya.

"Terima kasih,"

Mendengar penuturan Rasya, Percypun menoleh ke arahnya. "Untuk?"

"Sudah membelaku dan melindungiku di depan yang lain."

"Tidak perlu berterima kasih, itu sudah kewajibanku." Ucapnya tersenyum manis yang di balas senyuman oleh Rasya.

Keduanya saling bertatapan cukup lama, dengan senyuman yang menghiasi bibir mereka berdua. Entah dorongan dari mana, Percy beranjak dan mencium bibir Rasya.

Awalnya Rasya tersentak kaget, tetapi dia membiarkannya dan hanya menutup matanya. Percy menciumnya dengan begitu lembut hingga mampu membuat tubuhnya meremang.

Rasya akhirnya membalas ciuman Percy dengan menyentuh tengkuk Percy. Posisi mereka begitu intim sekali.

Tetapi seketika Percy melepaskan ciumannya dengan nafas yang terengah begitu juga Rasya. Keduanya bertatapan dengan pandangan berkabut dan bibir yang merah.

"Khem," Percy berdehem dan menjauhi tubuh Rasya. Ia langsung duduk di atas pasir membuat Rasya mengikutinya dengan sedikit merapihkan dandannya.

"Anginnya sudah mulai tidak baik, sebaiknya kita pulang."

Tanpa menunggu respon Rasya, Percy pun beranjak pergi meninggalkan Rasya sendiri. Rasya masih terdiam membeku, bibirnya terangkat ke atas.

Ia menyentuh bibirnya sendiri dengan senyumannya yang tak mampu ia sembunyikan lagi. Perasaannya begitu berbunga-bunga. Seperti banyak sekali kembang api yang keluar dari perutnya.

***

Siang itu, Rasya dan Percy datang ke rumah Angga untuk berkunjung dan makan bersama. Rasya terlihat sibuk membantu Ratu memasak di dapur.

Percy memasuki kamar Rasya untuk meminjam power bank milik Rasya, dia bilang ada di laci lemarinya.

Percy mencari itu disana tetapi tak dia temukan, hingga dia melihat kotak cantik berukuran sedang bersimpan di bagian bawah lemari Rasya.

Karena penasaran iapun membuka kotak itu dan seketika matanya membelalak lebar.

Di dalamnya terdapat beberapa hiasan, surat, botol dan juga boneka kecil.

Percy mengeluarkan kotak itu dan melihat isinya dan membaca surat-suratnya.

"Percy sudah ketemu-" ucapan Rasya menggantung saat melihat apa yang sedang Percy pegang.

Percy menatap Rasya dengan tatapan tak percayanya, ia kembali menatap surat-surat itu dan boneka bebek kuning kecil.

"Faen?"


Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Rank -- Power- Rangliste
    Stone -- Power- Stein

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C19
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank NR.-- Macht-Rangliste
    Stone -- Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen