Naruto tidak sekamar dengan Hinata, tapi karena di bagian kamar tamu yang Hinata tempati memiliki dua ranjang, Naruto memutuskan untuk pergi tidur dengan gadis itu. Meski berbeda ranjang, keduanya merasa begitu amat salah tingkah sementara Naruto harus menguraikan kebohongan kalau dia akan tidur lebih dulu karena lelah, gadis itu boleh membangunkannya jika butuh sesuatu. Namun yang sebenarnya dilakukan oleh Naruto, sepanjang malam ia dapat mengawasi Hinata, selagi gadis itu terlelap, Naruto terjaga untuk memandangi secara puas gurat-gurat tidur gadis itu yang tenang.
Oh, demi Tuhan, gadis itu sangat polos, kulitnya yang putih dan bersih seperti bayi. Dalam tidurnya, Hinata kadang-kadang tidak sekali mengigau. Naruto turun dari ranjangnya, mengeratkan selimut gadis itu, takut bahwa gadis itu mungkin saja kedinginan dan menjadikannya flu nantinya.
Namun yang akhirnya dilakukan olehnya, ia masih mencermati wajah Hinata saksama setelah mengeratkan selimutnya, dalam ruang remang-remang yang membuat kacau segala pikirannya. Seharusnya, memang tidak boleh mencari kesempatan sekarang, tetapi tubuh Naruto begitu saja mencekung, sampai akhirnya dia mencuri ciuman pada bibir gadis itu.
Hinata terkesiap, membuka matanya. "Apa kau barusan menciumku?" Naruto tersipu malu, meski begitu dia tetap berada di pinggir ranjang Hinata. "Benar."
"Maaf, aku benar-benar minta maaf." Hinata menarik selimut secepat yang dia bisa, menutupi wajahnya yang mungkin memerah. "Kau marah?" Naruto menjumpai Hinata menggeleng di dalam selimut. Sampai akhirnya tahu kalau gadis itu sebenarnya malu. "Aku hanya ingin memberikan kecupan selamat tidur."
Perlahan, Hinata menurunkan selimutnya, ia berhenti untuk menyembunyikan wajahnya. "Apa kau bisa melakukannya lagi?" hening sejenak, sampai akhirnya kamar mereka dikuasai oleh gelak tawa Naruto yang nyaring. "Apakah permintaanku lucu?"
"Tidak," berhenti tertawa, Naruto membungkuk dengan masing-masing tangannya berada di setiap sisi tubuh Hinata. "Apa kau bisa menutup matamu?"
"Bukankah sama saja? Aku bahkan tidak bisa melihat apa-apa sekarang." Naruto mengamati wajah Hinata yang mengernyit, walaupun gadis itu memang tidak bisa melihat, tapi bola matanya yang kosong masih bergerak-gerak gelisah, sampai akhirnya jari-jari Naruto menyapu helaian rambut gadis itu yang bergerak-gerak di depan wajah. "Apakah kita sebelumnya pernah berciuman?" Naruto kembali tertawa. "Entah mengapa aku merasa ini ciuman pertama kita."
"Kau benar," Naruto menjawab setelah dia kembali meletakkan tangannya kembali ke sisi tubuh Hinata, dan mencengkeram pinggiran kasur gadis itu. "Aku tidak pernah memiliki keberanian untuk menciummu, bahkan aku juga tidak memiliki keberanian untuk menyatakan cinta padamu dulu."
"Kenapa? Apakah dulu aku tidak menyukaimu?"
"Kau pasti akan kena marah Mrs. Shiori kalau kedapatan kencan dengan seorang laki-laki di sekolah," Hinata mengangguk kecil, bibirnya lurus. "Karena kesalahpahaman kecil, hubungan kita sedikit merenggang, kau menjauhi aku bukan karena kau membenciku, hanya sebenarnya yang terjadi, karena kau merasa begitu bersalah padaku."
"Apakah Mrs. Shiori pernah melabrakmu?"
Naruto menggigit bibir bawahnya, sebelum akhirnya berkata penuh gelisah, "Apakah aku harus menceritakan bagian itu?" terdiam, Hinata kemudian menggerakkan tubuhnya ke bagian kiri kasurnya. "Kenapa?"
"Aku akan berbagi ranjang denganmu," wajah Naruto memanas. "Aku senang kalau kau menceritakan bagaimana aku dulu, dan hubungan kita, tentu saja kau bisa menceritakan teman-teman lainnya. Kurasa dengan begitu aku akan ingat masa-masa sebelum kecelakaan nahas itu terjadi."
Naruto bergegas masuk ke dalam selimut. Ia berbagi ranjang kecil dengan Hinata, juga berbagi bantal, dan dengan keberanian yang membuat Naruto terkejut, Hinata terlebih dahulu memeluk tubuhnya erat-erat. "Kalau begini mungkin aku akan nyaman." Naruto memiringkan tubuhnya, sampai akhirnya membalas pelukan Hinata. "Benar-benar nyaman." Kata gadis itu.
"Apakah aku bisa melanjutkan ceritanya?"
"Silakan."
Naruto mendesah terlebih dahulu, ia bingung bagian mana yang perlu diceritakannya lebih dulu. "Kau gadis pertama yang membuatku jatuh cinta," dan, ya, seharusnya dia mengungkapkan bagaimana awalnya, kini dia tidak perlu malu lagi pada gadis itu, bahkan tentu saja tidak lagi akan menutupi bagaimana perasaannya. Ia ingin menguraikan seluruh kekagumannya pada gadis yang ada di dalam pelukannya itu. "Tapi sayangnya aku tidak pernah punya keberanian untuk menyatakan cinta padamu. Saat itu aku masih jadi laki-laki yang ingin berteman denganmu saja daripada mendapati kalau kau menolakku mentah-mentah seperti laki-laki di sekolah kita, ugh, betapa itu sangat membuatku takut."
"Apakah aku cukup populer di sekolah?"
"Benar," Hinata membuang tawanya. "Kau satu-satunya gadis bangsawan yang ada di sekolah kita. Ketika anak perempuan di sekolah kita begitu modis bahkan terlihat modern untuk mengikuti zaman, kau tetap mengenakan kimono saat pesta yang diadakan sekolah kita. Kau bahkan mengikuti klub merangkai bunga, puisi, upacara minum teh, kau jauh lebih mahir dari gadis-gadis yang ada di sana, kau adalah gambaran sempurna gadis Jepang di masa lalu, banyak laki-laki menginginkanmu, tapi tidak ada satu pun dari mereka mendapatkan pengakuan darimu.
"Melihatmu menolak secara lembut, aku jadi berpikir untuk memendam perasaanku saja, aku takut jika kedekatan yang selama ini aku bangun denganmu akan menjadi sebuah senjata untuk merenggangkan hubungan kita. Meskipun yang aku ingat sebenarnya kita tidak benar-benar dekat. Kita hanya bertemu pada beberapa kali kesempatan. Kau tahu, itu sudah membuatku senang."
Dan begitu Naruto melirik Hinata di dalam pelukannya, gadis itu malah terlelap. "Apakah ceritaku membosankan?"
"Aku mendengarkan kok," Hinata membuka kelopak matanya perlahan. "Aku tidak sedang ketiduran, aku cuma meresapi cerita itu, ada sedikit bayangan kalau kita memang tidak terlalu dekat, tapi sesuatu menghubungkan kita berdua."
"Oh, mungkin karena klub kita bersebelahan, kita jadi sering bertemu dan menyapa, lalu Sakura adalah teman baikmu, dia juga teman baikku. Kita semua jadi dekat dan akhirnya sama-sama berteman baik."
Hinata tertawa. "Penjelasan itu seperti penjelasan anak kecil."
"Ayolah, memang kenyataannya seperti itu."
Di pelukan Naruto, Hinata mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Suatu malam, aku tidak sengaja bertemu denganmu, pada saat itu aku baru pulang dari kedai mi. Malam itu, aku sangat ingin makan mi. Dan saat aku baru keluar kedai, aku melihatmu melewatiku, aku nyaris tidak percaya kau keluar malam-malam tanpa seorang pendamping mengerikanmu itu. Tentu saja aku tidak akan menyia-menyiakan kesempatan itu, aku mendekatimu, mengajakmu ke banyak tempat, lalu apa yang aku pikirkan saat itu hampir tidak mengizinkanmu untuk pulang, tapi aku masih waras untuk mengantarmu kembali, aku berpikir mungkin saja keluargamu cemas.
"Karena yang kutahu, saat kulihat lebih teliti, kau sepertinya berniat kabur pada malam itu. Kau bahkan tidak membawa uang sepeser pun. Malam itu, aku menganggap kau beruntung bertemu denganku, ayolah, apakah kau percaya jika pada saat itu kau tidak tahu jalan menuju rumahmu sendiri?"
"Benarkah?"
"Iya, aku tidak bohong!" Hinata terdiam. "Keluargamu memang sangat menjagamu ketat, aku ataupun Sakura merasa kasihan padamu saat itu, dan ternyata sampai detik ini pun tidak ada yang berubah."
Benar, tidak ada yang berubah.
"Untuk kedua kalinya akhirnya kau menemukanku," sambil mengeratkan pelukan Hinata mengutarakan apa yang baru saja dipikirkan olehnya. "Saat aku tersesat dulu, dan saat sekarang di mana aku begitu merasa putus asa tinggal di rumah yang seharusnya membuatku nyaman, tapi rumah itu memenjarakan diriku, seolah-olah aku ini sesuatu yang perlu ditakuti bagi semua orang, terlihat bagaimana aku ini terlalu menjijikkan."
"Itu tidak akan lagi."
"Benar, itu tidak akan lagi. Aku akan hidup bersamamu."
"Iya, kita akan mulai kehidupan baru kita."
Malam itu, malam yang berbeda bagi mereka berdua, tentu saja menjadi awal mula di mana kehidupan baru mereka dimulai. Tidak ada yang boleh menghalangi kebersamaan dia dan Hinata.
Naruto telah berjanji pada Hinata, bahwa dia akan membuat gadis itu bisa melihat lagi. Mencari pendonor, dan menunggu kabar baik dari Bank Mata. Setidaknya, meski rehabilitasi tidak lagi mampu membuat gadis itu kembali berjalan, masih ada kedua mata untuk bisa melihat keindahan dunia.