App herunterladen
40% Me And Psikopat Boy [DEATH] / Chapter 2: BAB 1 (AWAL MULA)

Kapitel 2: BAB 1 (AWAL MULA)

Seorang pria berambut putih sedang berdiri sambil merapalkan doa. Sesekali matanya menatap pintu ruang operasi yang tertutup rapat. Pria itu sudah menunggu selama empat jam, tetapi tak ada perkembangan.

Di sekitarnya terlihat beberapa pria berpakaian hitam yang berdiri diam. Mereka mengawasi gerak-gerik di sekitar ruang operasi dengan waspada.

"Tuan, sebaiknya Anda duduk." 

Namun, percuma, pria itu hanya diam, tak mengindahkan ucapan bawahannya. 

Pintu ruang operasi terbuka, seorang dokter muda keluar dari sana dan mengembuskan napasnya pelan. Ia menatap pria berambut putih di depannya, lalu tersenyum.

"Bagaimana?" 

"Tuan Bill, anak Anda perempuan." 

Senyum pria itu seketika luntur. Pupus sudah harapannya untuk memiliki anak laki-laki. Namun, ia masih teringat janjinya kepada sang istri.

"Bagaimana keadaan istri saya?" 

Dokter itu kembali tersenyum. "Istri Anda baik-baik saja, Tuan." 

Selepas kepergian sang dokter, Tuan Bill bergegas masuk ke ruang operasi. Hanya satu yang ia pikirkan, istri yang ia cintai dan buah hati mereka yang baru lahir. Para bawahan Tuan Bill tersenyum, turut senang dengan kebahagiaan tuan mereka.

Di dalam ruang operasi, Tuan Bill terpaku menatap ranjang operasi yang kini kosong. Ia tak menemukan keberadaan istrinya, yang ada hanya bayi perempuan yang kini tertidur dengan lelap. Tuan Bill beralih menatap dinding yang berlubang di sebelah ranjang. Ia yakin istrinya melarikan diri. Sejenak ia terdiam dengan tubuh bergetar dan napas memburu. Ia marah dan hatinya terluka.

Suara tembakan yang terdengar dari luar ruangan, membuat Tuan Bill tersadar. Pria itu meraih tubuh bayinya dan keluar dari ruang operasi. Ia terkejut melihat bawahannya terkapar dengan kepala hancur dan darah berceceran.

"Tuan! Kita diserang!" Seorang pria bertopeng menghampiri Tuan Bill. Ia adalah salah satu orang yang lulus dari penyerangan di lantai bawah.

"Mereka mengajakku bermain!" Tuan Bill menyerahkannya bayi itu kepada sang bawahan, lalu mengeluarkan dua buah pistol dari balik jas hitamnya. "Bawa anakku pergi! Apa pun yang terjadi, dia harus selamat. Jika sehelai saja rambutnya hilang, aku akan menjadikanmu tumbal!"

"Saya mengerti, Tuan." 

♣♣♣

Suara tembakan masih terdengar. Para bawahannya dengan cepat berlari dan menyerang. Tuan Bill terus menembak bagai orang yang kerasukan tanpa memedulikan tangan kirinya yang sudah terkena lima tembakan. 

"Kalian, alihkan perhatian mereka!" Tuan Bill kembali memasukkan peluru ke pistolnya. Ia menatap musuh-musuhnya lalu mengacungkan senjatanya dan bergerak secepat mungkin.

Satu orang terkena tembakan di bagian dada. Tuan Bill menyeringai kejam lalu berguling di atas lantai guna menghindari tembakan lawan.

Satu tembakan kembali lulus mengenai bagian betis lawannya.

Kali ini suara tembakan bukan berasal dari Tuan Bill. Pria itu menggigit bibirnya sekuat mungkin karena kakinya terkena tembakan.

"Menyerahlah Bill." Seorang pria paruh baya sambil mengacungkan senjatanya ke arah Tuan Bill.

"Dalam mimpimu, Yama!" Secepat kilat Tuan Bill bergerak, berusaha menendang kaki pria bernama Yama itu.

Tuan Yama berhasil melompat menghindari tendangan Tuan Bill. Pria paruh baya itu terkekeh melihat Tuan Bill yang tidak segesit biasanya. Ia mengacungkan samurai andalannya, lalu mengayunkannya dengan cepat kepada Tuan Bill. Tuan Bill hanya diam, pasrah menunggu kematiannya. 

Ayunan samurai terhenti. Tuan Yama menyeringai dan menatap Tuan Bill. "Ada pesan terakhir?" 

Tuan Bill menutup mata. "Katakan kepadanya, aku akan bangkit dari kematian." Setidaknya ia berhasil menyelamatkan anak semata wayangnya. 

Tuan Yama mengayunkan samurainya dengan cepat. Tak ada rasa kasihan yang terlihat pada pancaran matanya. Di sisi lain, Tuan Bill hanya memikirkan anaknya. Sesaat sebelum samurai mengenai lehernya, Tuan Bill menangkis samurai itu dengan tangan kanannya yang meyebabkan lengannya terpotong. Seketika darah mengucur deras dan mengotori lantai rumah sakit. 

"Avellyn Deidenbell. Tolong katakan kepadanya."

Setelah mengatakan kalimat itu, tanpa ampun Tuan Yama mengayunkan samurainya. Kepala Tuan Bill terpotong. Darah kembali membanjiri lantai yang semula telah ternoda darah. Para bawahan Tuan Bill hanya bisa termenung. Pimpinan mereka mati terpenggal.

"Di mana bayiku?" Seorang wanita yang baru saja keluar dari persembunyiannya. Ia duduk di atas kursi roda dan menatap mayat Tuan Bill.

"Avellyn Deidenbell, aku yakin itu nama anakmu. Tapi, kami tak menemukannya. Aku yakin Bill sudah menyembunyikannya," jawab Tuan Yama. Pria itu melemparkan samurai di tangannya dan berlalu pergi.

Wanita itu terdiam lalu menatap dokter yang membantu persalinannya. "Karin, anakku, dia …"

"Kau gegabah. Anakmu akan menjadi masalah jika tak ditemukan." Karin mendorong kursi roda dan membawa wanita itu pergi. "Beruntung kau tidak dioperasi. Jika, iya, sudah pasti akan sangat merepotkan melakukan drama murahanmu ini."

♣♣♣

Empat tahun berlalu, bayi perempuan itu tak kunjung ditemukan. Banyak usaha yang dilakukan sang ibu untuk menemukan anaknya, tetapi tak ada satu pun yang membuahkan hasil. Kini yang bisa ia lakukan hanya tertunduk lemas di kursi roda.

"Kau melamun lagi? Itu tak baik, Margaret." 

"Aku hanya memikirkan anakku, Kakak."

Helaan napas terdengar dari wanita di samping Margaret. "Ini permainan yang kau ciptakan, kau yang menabur benih dan kau yang harus menuainya."

"Aku tahu. Tidak seharusnya aku bertindak bodoh. Tapi, aku melakukan ini demi dirimu." 

"Seharusnya kau tak melakukan semua ini." Wanita itu mengalihkan tatapan matanya pada bunga di taman samping rumah besarnya.

"Aku hanya ingin membantumu." 

"Kita akan kembali ke Rusia, itu keputusanku. Jangan mencari Avellyn lagi." 

"Kakak, jika aku mati, apakah kakak bisa berjanji kepadaku? Bisakah kakak melepaskan anakku? Bill sudah meninggal. Dendam orangtua kita sudah terbayarkan. Bisakah kakak berhenti menjadikan Heaven Warrior sebagai tameng menutupi keburukan kita?"

"Aku berjanji." 

Margaret menggenggam erat tangan kakaknya. Entah mengapa janji yang baru saja terucap membuatnya menjadi khawatir. Ayah dan ibu mereka terbunuh dengan sadis delapan tahun lalu. Awalnya mereka adalah anggota dari organisasi Sixcross. Mereka begitu taat pada aturan yang Tuan Bill berikan. Tak pernah sekalipun mereka melanggar, tetapi pria itu tiba-tiba menginginkan nyawa orangtua mereka.

Keluarga mereka ingin berhenti mengikuti persekutuan yang Tuan Bill bangun. Mereka ingin hidup dengan damai tanpa ikatan apa pun dengan organisasi itu. Namun, permintaan mereka ditolak. Mereka nekat pergi ke Inggris dan menjalani hidup di sana dengan damai.

Pada suatu malam, mansion diserang. Ratusan orang datang dan menyeret kedua orangtua mereka. Margaret dan kakaknya juga ditangkap. Ratusan pegawai di mansion mewah itu juga ikut terbunuh. Mansion dibakar dan dihancurkan dengan brutal.

Margaret memejamkan mata saat teringat Tuan Bill menyeret kakaknya dan menjadikan saudaranya sebagai budak. Margaret yang masih berumur tujuh belas tahun itu maju. Ia tak merasa takut dan mengatakan ia bisa menjadi budak yang baik bagi Tuan Bill. Margaret mengatakan kakaknya tak akan bisa memberikan Tuan Bill keturunan. Ia juga mengatakan rahim kakaknya diangkat saat kecelakaan beberapa bulan silam.

Berhasil, Tuan Bill melepaskan kakaknya dan melemparkan kakaknya ke jurang yang dalam. Rasa bersalah menghantuinya. Ia menikah dengan Tuan Bill pada usia tujuh belas tahun dan menjadi budak pria itu. 

Setahun setelah pernikahannya, Margaret terkejut dengan kedatangan kakaknya. Kedatangan sang kakak membuatnya bangkit. Ia bahkan hampir mencintai Tuan Bill dan menerima pernyataan cinta pria itu dengan tulus. Ia hampir saja memaafkan pria itu dan beruntung kakaknya kembali dan menyadarkan dirinya akan kenyataan.

"Berhenti mengingat hal itu, Margaret." 

"Aku berhutang kepada Tuan Yama, Kak." 

Tuan Yama adalah orang yang menyelamatkan hidup kakaknya dengan semua kemampuannya. Margaret tersenyum. Kata terima kasih tak akan cukup membalas kebaikan Tuan Yama kepada dirinya dan sang kakak.

"Kita akan kembali besok. Tuan Yama menyerahkan pemerintahan pusat Heaven Warrior kepadaku." 

Margaret mengangguk pasrah. Mungkin ia akan menebus kesalahannya kepada Avellyn di neraka. Rusia akan menjadi negara yang mereka kunjungi lagi dan kembali ke tempat asal mereka lalu kembali mengenang kenangan indah saat ia dan kakaknya masih memiliki keluarga lengkap.

"Kau harus beristirahat. Karin akan menjagamu." 

♣♣♣

"Nona Muda, Tuan Besar memanggil Anda." Seorang pelayan berlari menghampiri gadis kecil yang sedang bermain di taman belakang. Ia menghela napas saat gadis kecil itu hanya menatapnya sambil tersenyum.

"Ibu Merina, benarkah Ayah datang?" tanya gadis kecil itu. Rambutnya dikucir dua, matanya begitu indah dan berbinar cerah. Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang kelima. Ia begitu bahagia saat mengetahui ayahnya tidak mengingkari janji.

Merina mengangguk. "Mari, Tuan pasti sangat merindukan Anda, Nona," ujar Merina. 

Avellyn menghampiri Merina dan memegang tangannya. "Ayo! Ayah pasti sudah menunggu." =

Merina adalah ibu asuh Avellyn. Wanita berusia lima puluh tahun. Bertubuh agak gemuk, dan berambut pendek. Ia salah satu orang kepercayaan ayah Avellyn dan sangat menyayangi anak itu.

 "Ayah!!!" Suara teriakan Avellyn terdengar nyaring. 

"Avellyn," ujar pria itu. Dipeluknya tubuh Avellyn lalu menggendongnya. Senyum tulus terukir di bibir pria itu.

"Apa hadiah yang ayah bawa? Apa ayah membawa boneka besar dan lucu?" tanya Avellyn.

"Ayah membawa teman baru untukmu. Apa kau kesepian?" 

"Teman? Apa itu?" tanya Avellyn. Matanya menatap sang ayah, menunggu penjelasan lebih lanjut.

"Teman adalah orang yang akan menemanimu saat bermain dan orang yang mengerti dirimu."

"Lalu, bentuk teman itu seperti apa?"

"Bawa mereka berdua!" titah pria itu.

Beberapa saat kemudian, dua bocah laki-laki masuk. Mereka menunduk hormat dan berdiri tegak saat mendapat perintah. Avellyn menatap keduanya lalu meminta turun dari gendongan sang ayah.

"Shuxio dan Abram. Mereka anak-anak yang ayah temukan saat perjalanan pulang. Mereka akan menjagamu," 

Dengan senyum yang terukir, Avellyn menghampiri kedua anak dan mengulurkan tangannya. "Namaku, Avellyn Deidenbell dan ini ayahku, Bill Deidengress." Avellyn menggenggam tangan ayahnya, lalu tersenyum kembali.

"Nona Muda, saya Shuxio."

"Saya Abram."

Avellyn mengangguk senang dan langsung membawa dua teman barunya pergi. Ia mengajak mereka bermain dan tertawa bersama, kedekatan mereka begitu mudah terjalin.

♣♣♣

Terlihat seorang wanita tertunduk lemas. Air matanya terus mengalir. Isak tangis tak dapat ia bendung. Rasanya begitu sakit, tetapi ia harus bertahan dan membereskan semua masalah.

"Mereka telah sampai di sana," ujar seorang pria.

"Bagaimana orang itu bisa hidup kembali? Bukankah dia mati tepat di depan mata kita?"

"Orang genius tak akan bisa kau lawan dengan kepintaran apa pun. Ia begitu licik dan sangat susah ditaklukkan. Apalagi jika orang itu begitu teliti," jawab seorang pria paruh baya. Ia menatap wanita di depannya dan mengerti akan segala keresahan yang wanita itu rasakan.

"Nona, Tuan Renan menunggu Anda,"

Satu bulan yang lalu, ia harus menerima kenyataan berat. Orang terkasihnya meninggal dunia. Meninggalkan dirinya dengan perasaan bersalah yang terus menghantuinya.

"Margaret, pekerjaan kita bukan hanya menangis. Sebaiknya kita bergerak cepat!"

"Baiklah, Tuan Yama," jawab Margaret.

Orang-orang itu bergegas pergi. Mereka menuju sebuah mobil yang terparkir di seberang jalan. Area pemakaman terlihat sepi, tetapi begitu tenang dan terawat. Bunga-bunga tumbuh subur dengan pohon rindang yang luar biasa banyak. Dedaunannya pun berguguran.

"Tuan, bisakah Anda jelaskan tentang semua ini?" tanya Margaret.

"Bill menggunakan manusia kloning saat melawanku. Dia menyadari rencanamu dan membuat kita terkecoh. Dia terlalu teliti dan licik." Tuan Yama membuka pintu mobil.  "Aku bahkan tidak menyadari kepala yang terpenggal adalah kloningan Bill. Sebaiknya kita cepat pergi dan menunggu hasil dari keduanya."

Margaret terdiam. Ternyata rencana yang ia susun, telah lama diketahui. Orang yang ingin ia bunuh, mengalahkannya dengan sempurna.

"Berhenti melamun. Kita akan kembali ke Jepang!" titah Tuan Yama.

Mobil berjalan pelan, meninggalkan pemakaman yang sepi dan sunyi. Perlahan, gerimis turun membuat jalanan basah. Beberapa menit kemudian hujan turun deras disertai petir yang seakan-akan membelah langit.

"Nona Yi pasti senang bertemu denganmu. Ia bahkan akan datang langsung menjemputmu," kata Karin berusaha menghibur hati Margaret yang masih dirundung pilu. "Dia akan tinggal bersama kita di markas Heaven Warrior. Aku mendengar anak Menteri Keuangan Korea Selatan juga akan tinggal bersama kita." Karin memejamkan matanya, ia bersandar pada kursi dan memijat kepalanya pelan.

"Mereka akan menjadi murid-muridku. Kegeniusan mereka terlalu sayang untuk dilewatkan," sahut Tuan Yama.

♣♣♣

Derap langkah terdengar begitu teratur. Seorang pria paruh baya menggandeng tangan gadis berumur tujuh tahun. Di belakang mereka, terdapat tiga orang yang menggunakan jubah hitam bermotif bintang segi enam dengan gambar salib terbalik. Kepala mereka tertutup tudung dengan warna senada dengan wajah yang ditutupi topeng berwarna putih. 

"Ayah, apa kita akan bertemu dengan Tuan Besar malam ini?" Suara itu menggema, memecah keheningan yang sedari tadi telah terbentuk

"Ya, dan kau yang akan memimpin pemujaan untuk Tuan Besar. Apa kau siap, Sayang?"

"Aku siap ayah. Bukankah Tuan Besar akan mengabulkan keinginanku?"

"Ya, asal kau melakukan tugasmu dengan baik, Ave."

"Aku tak akan mengecewakan, Ayah." Jawaban itu terucap dengan mantap. Senyum di bibir gadis kecil terus terukir.

"Kau anak yang cerdas, Avellyn. Ayah bangga kepadamu."

Avellyn menghentikan langkahnya. Di depannya seorang wanita membungkuk, memberi hormat pada Avellyn dan ayahnya, Tuan Bill.

"Tuan, ini adalah jubah suci milik Nona Avellyn," ujar wanita tersebut sambil memberikan jubah milik Avellyn.

Tuan Bill meraih jubah yang dikhususkan untuk Avellyn dan memakaikan jubah tersebut dengan sayang. Namun, Avellyn tak menggunakan topeng seperti yang lain.

"Kau yang terbaik. Ayah serahkan penyembahan malam ini kepadamu." Tuan Bill kembali memegang tangan Avellyn. Mereka melangkah menuju pintu masuk.

Pintu besar dengan ukiran yang cukup rumit terbuka. Ruangan besar dengan aroma dupa tercium begitu menyengat. Avellyn memandang dengan binar kekaguman. Dia menatap orang-orang yang kini bersujud dan menyembah pada satu patung besar di depan sana.

Altar persembahan telah terisi seorang wanita telanjang. Bagian kepalanya tertutup dengan tubuh yang terlihat jelas karena terpapar cahaya bulan purnama. Lilin yang menerangi ruangan besar ini cukup membantu walau hanya cahaya remang. Avellyn menatap ke arah patung besar di depan sana. Ukurannya besar melebihi tubuh orang dewasa. Dia memandang kagum pada dua tanduk di kepalanya dan wajah tampan yang begitu sempurna. Avellyn berjanji dalam hati untuk terus setia pada sang tuan.

"Ave, kita akan memulai pemujaan. Buat Tuan Besar menyukaimu. Buktikan padanya jika kau pantas."

"Baik, Ayah. Aku akan membuat Tuan Besar senang. Bisakah aku meminta seorang pria seperti Tuan Besar di masa depan? Apa Tuan Besar akan mengabulkan permintaanku?"

"Tentu. Ini, belati suci. Setelah prosesi pembacaan ayat suci, gunakan belati ini untuk membunuh persembahan di depan sana. Kau mengerti, Ave?"

"Aku mengerti, Ayah." Avellyn meraih belati itu dan berjalan ke arah altar lalu menaiki anak tangga dengan perlahan.

Avellyn menatap mata patung yang disebut sebagai Tuan Besar oleh semua umat di organisasi ayahnya.

"Tuan Besar Lucifer, hamba datang dan menghadap Engkau. Hamba ingin memberikan persembahan suci. Terimalah persembahan hamba, Avellyn Deidenbell." Avellyn mengangkat belati tinggi dengan kedua tangannya.

"Persembahan suci bagi Raja Lucifer. Persembahan dari hamba-hamba yang hina. Wanita sesat yang tidak menyembah Tuan Raja Yang Agung." Suara jemaat terdengar riuh, membaca kalimat puja untuk sang raja.

Avellyn menutup matanya. Gadis berumur tujuh tahun itu tanpa ragu menusukkan belati di bagian perut persembahannya. Diangkatnya belati itu, lalu kembali ditusukkannya belati itu dengan kasar. Avellyn membuka matanya, melihat darah yang mengalir deras dari tubuh wanita persambahannya.

"Ave, belah dadanya. Patahkan tulang rusuknya. Ambil jantung hatinya lalu makanlah di hadapan Tuan Besar."

Tanpa ragu, Avellyn melaksanakan perintah ayahnya. Gadis kecil itu menggores kulit di depannya dengan belati di tangannya. Pada bagian dada tampak tulang putih berlendir berhiaskan darah. Avellyn mematahkan rongga dada korbannya. Tanpa rasa jijik, tangan mungil Avellyn meraih jantung dan hati persembahannya. Avellyn mengangkat tinggi organ-organ dalam di tangannya dan membacakan permohonannya pada Tuan Besar Lucifer.

"Tuan Besar, berikan ayah umur panjang. Dan berikan hamba seorang pria tampan seperti Tuan di masa depan."

Setelah mengatakan permohonannya, Avellyn memakan jantung dan hati di tangannya. Semua jemaat bersujud bangga kepada Avellyn yang telah berhasil memimpin pemujaan malam ini.

Avellyn dengan cepat menghabiskan makanan di tangannya. Bibir mungilnya ternoda darah. Tanpa rasa jijik sama sekali, Avellyn menelan jantung dan hati itu.

Riuh tepuk tangan terdengar. Tuan Bill tersenyum penuh kebanggaan kepada anak semata wayangnya. Dia melangkah  menghampiri Avellyn. "Ave, Ayah bangga sekali." Dipeluknya Avellyn sangat erat. Meskipun Avellyn bukanlah seorang bocah laki-laki, tetapi dia bersyukur Avellyn bisa meneruskan kewajibanya sebagai pemimpin organisasi Sixcross.

"Ave, buka penutup wajah persembahanmu. Lihatlah wajah bahagianya saat kau jadikan dia persembahan bagi Tuan Besar."

Dengan patuh, Avellyn menuruti kemauan ayahnya. Semua orang kembali berdiri dan menyimak dengan baik. Tangan Avellyn membuka penutup kepala.  Avellyn terbelalak, senyumnya perlahan pudar, tubuhnya bergetar, dan dia hanya bisa termagu. Orang yang menjadi persembahannya adalah orang yang begitu dia kenal.

'Ave, jaga dirimu. Sampai jumpa, Sayang.'

'Jangan pergi. Jangan!'

'Maaf, Ave. Tapi ini sudah seharusnya.'

"Ayah. Ini. Ini," ucapan Avellyn terhenti. Matanya menatap Tuan Bill dengan penuh duka. "Ayah. Ayah, kenapa? Tapi, kenapa ayah?" tanya Avellyn sedih.

"Dengan ini kau akan menjadi pemimpin yang kuat Ave," jawab Tuan Bill.


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C2
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen