App herunterladen
10.14% My Only Love: Aku Hanya Bisa Mencintaimu / Chapter 68: Perpisahan

Kapitel 68: Perpisahan

Hari Minggu jam tujuh pagi,

"Kenapa kalian tidak mau pergi ke Green Park?" Cathy bertanya dengan bingung karena ketiga adiknya dengan kompak menolak pergi ke taman wisata tersebut.

"Kami sudah bosan disana." jawab Anna dengan asal membuat Cathy semakin curiga dengan sikap adiknya.

"Baiklah kalau begitu, kalian mau pergi kemana?"

"Bagaimana kalau ke taman hiburan?" usul Lizzy dengan bersemangat.

"Benar, sudah lama kita tidak pergi kesana." Lina mengangguk menyetujuinya.

"Sepertinya sudah diputuskan, hari ini kita akan Dreamland." lanjut Anna sambil terkekeh.

"Baiklah. Kalau begitu kita berangkat sekarang. Berdoalah agar tiketnya belum habis." sahut Cathy bercanda membuat si kembar cemberut.

"Ish kakak, mana mungkin tiketnya habis? Yang ada malah kita akan mengantri untuk bermain wahananya."

"Maksudnya adalah tiket keretanya, Lina. Ini kan hari Minggu, ditambah kita memesan tiket mendadak. Aku tidak janji kalau kita tidak bisa kesana karena kehabisan tiket kereta."

"Kenapa harus naik kereta kalau ada Pak Louis, iya kan pak?"

Kebetulan supir pribadi Ben sedang berjalan melewati mereka dan mendengar pembicaraan empat gadis muda West.

"Itu benar sekali. Saya akan mengantar kemanapun nona-nona pergi. Apa anda ingin saya menyiapkan mobilnya sekarang?"

"Benar. Sekarang. Kita akan berangkat sebentar lagi." jawab Anna membuat si kembar berteriak kegirangan.

Selain Cathy, ketiga adiknya sudah terbiasa naik mobil dan menggunakan supir saat berangkat dan pulang sekolah. Tampaknya hanya Cathy saja yang masih suka berjalan kaki dan naik kendaraan umum.

Ketiga adiknya hanya naik kendaraan umum saat bersama Cathy saja. Kalau berangkat sekolah atau menemui temannya, mereka akan diantar Louis dengan mobil keluarga.

Saat keempat bersaudara keluar menuju ke mobil keluarga yang sudah terpakir di halaman depan, mata mereka melebar saat melihat dua mobil baru masuk melewati pintu gerbang dan menuju ke garasi.

Tidak lama kemudian mobil paman mereka muncul, dan Benjamin turun dengan senyuman lebarnya.

"Paman Ben!" seru si kembar dengan bersemangat. "Kenapa paman tidak pernah pulang lagi?"

"Apa paman sudah tidak mengingat kami lagi?" lanjut Lizzy dengan nada manja.

"Mana mungkin. Aku selalu memikirkan kalian setiap hari. Akhir-akhir ini aku sangat sibuk jadi tidak sempat pulang." jawabnya sambil mengusap lembut kepala si kembar. "Kalian mau pergi?"

"Kami akan ke Dreamland di kota sebelah. Paman mau ikut?"

Benjamin tertawa saat menjawab, "Kurasa tidak, paman sudah terlalu tua untuk kesana."

"Paman kan masih belum empat puluh tahun, masih muda.. sangat muda." lanjut Lina dengan nada sangat meyakinkan.

Tidak lama kemudian dua orang asing muncul dari arah garasi menghampiri mereka.

"Ada sesuatu yang ingin kusampaikan. Mulai sekarang kalian tidak boleh naik kendaraan umum lagi. Taxi juga tidak boleh. Kalau ada sesuatu, gunakan mobil kita dan mereka yang akan menjadi supir kalian. Aku sudah membelikan kalian dua mobil baru lagi untuk jaga-jaga kalau kalian membutuhkannya bersamaan."

"Wah, mobil tadi untuk kita? Terima kasih paman."

Setelah mengucapkan terima kasih, Cathy menyuruh ketiga adiknya masuk ke mobil lebih dulu.

"Paman, apa tidak terlalu berlebihan membeli mobil lagi? Satu sudah cukup, kami akan menggunakannya secara bergantian. Cathy tidak keberatan naik bis atau taxi.."

"Cathy, lakukan saja yang kuinginkan. Aku sudah tidak mengizinkanmu naik kendaraan umum lagi. Sebagai gantinya, aku akan mengizinkanmu bekerja kembali. Bagaimana?"

Mata Cathy berbinar-binar saat mendengar tawaran itu. "Jadi Cathy boleh bekerja lagi? Apakah Cathy akan menjadi asisten paman lagi atau di bidang lain?"

Benjamin tersenyum misterius ke arahnya dan mengusap kepalanya.

"Besok kau akan tahu. Sekarang pergilah dan bersenang-senanglah hari ini."

Cathy membalas senyumannya sebelum masuk ke mobil bergabung dengan adik-adiknya. Mereka berempat melambaikan tangan pada Benjamin bersamaan yang dibalas senyuman oleh paman mereka. Setelah mobil yang dinaiki keempat keponakannya tak terlihat, Benjamin masuk ke dalam rumah tanpa senyuman.

Didalam mobil, Cathy sempat merasa penasaran kenapa pamannya dan Vincent sama-sama menyuruhnya naik kendaraan pribadi daripada kendaraan umum. Seolah-olah kedua pria itu bersepakat untuk melarangnya keluar tanpa pengawasan. Karena dia menganggapnya tidak masuk akal jadi Cathy hanya menganggapnya suatu kebetulan belaka.

Selama perjalanan Cathy menatap ponselnya sesekali. Sudah dua hari sejak dia bertemu dengan Vincent. Seperti yang dikatakan pria itu, Vincent tidak menghubunginya atau membalas chatnya. Seandainya Vincent membalas chat walau hanya sekali saja, Cathy sudah merasa puas.

Cathy menggelengkan kepalanya menyimpan rasa kerinduannya dalam hati. Dia tidak tahu masalah apa yang dihadapi keluarga Regnz. Kekasihnya sedang berjuang untuk menyelamatkan bisnis keluarganya, karena itu Cathy tidak boleh egois dan mengganggu pria itu.

Dengan menggunakan jalan tol, mereka tiba di Dreamland hanya dalam waktu satu setengah jam. Mereka berempat sangat bersemangat dan langsung mengantri ke wahana yang paling ekstrim setelah membeli tiket masuk.

Hari itu mereka bersenang-senang dan memainkan tiap wahana yang ada sambil berfoto ria hingga tubuh mereka merasa lelah. Siangnya mereka masuk ke sebuah kafe kecil dan memesan kue serta minuman disana.

Mereka menikmati cemilan mereka sambil bercanda dengan riang. Setelah istirahat selama beberapa menit, mereka kembali melanjutkan antri di wahana yang belum mereka naiki. Di tengah-tengah mengantri, Cathy merasakan sesuatu bergetar di dalam tasnya. Rupanya ponselnya bergetar menandakan sebuah panggilan masuk.

Cathy membawa ponselnya ke telinga kanan sementara tangannya yang satu menutup telinga kirinya. Karena hari ini adalah hari Minggu, suasana di Dreamland sangat ramai sehingga dia harus berteriak untuk bicara.

"Halo?"

"..." jelas ada suara yang berbicara, tapi Cathy tidak bisa mendengarnya.

"Maaf, aku tidak bisa mendengarmu. Ini siapa?"

"..." Sekali lagi dia tidak bisa mendengarnya.

Cathy menjauhkan ponselnya dari telinganya untuk melihat nama penelponnya. Namun sinar matahari sangat terik membuatnya tidak bisa melihat layar hapenya dengan jelas. Dengan susah payah dia mencoba memperbesar level pencahayaan hapenya dan barulah dia bisa melihat nama penelponnya.

"Kak Steve? Ada apa?" sekali lagi Cathy mencoba mendengar apa yang dikatakan Steve, lagi-lagi dia tidak bisa mendengarnya.

"Ahhh, kak Steve. Kakak, lihat.. Itu kak Steve!" seru Lizzy yang melambaikan tangan ke suatu arah.

Otomatis, Cathy, Anna dan Lina menoleh ke arah yang dimaksudkan Lizzy dan mereka melihat Steve melambaikan tangannya dengan hape di genggamannya serta senyuman lebar menghiasi wajahnya. Steve tidak sendirian disana. Ada dua orang pria yang tidak dikenal mereka berdiri disebelah Steve.

Cathy memincingkan matanya menatap pria asing itu dengan curiga. Sepertinya dia mengenal salah satu pria itu. Bukankah orang itu yang mengaku sebagai kenalan Vincent dan kekasihnya dua hari yang lalu? Tidak hanya mengenal Vincent, tapi orang itu juga berteman dengan Steve Mango?

-

Benjamin Paxton berada di sebuah restoran mewah dan menunggu seseorang di sebuah ruangan vip. Dia sengaja membiarkan masakan disajikan terlebih dahulu, dengan begitu orang yang diundangnya bisa langsung segera makan saat tiba nanti.

Di atas meja terdapat beberapa macam masakan khas restoran. Semua masakan telah diatur dengan rapi. Tinggal menunggu seseorang datang.

Tidak lama kemudian, pintu ruangan terbuka dan muncul seorang wanita memakai terusan merah mencolok dengan panjang sedikit di atas lutut. Senyumannya melebar dan matanya berbinar-binar saat melihat semua jenis masakan di atas mejanya.

"Ada apa ini? Apakah kita merayakan sesuatu?" Felicia Bernz berjalan dengan anggun dan penuh semangat ke kursi yang sudah disediakan untuknya.

"Bagaimana kalau kita makan dulu?" ajak Benjamin yang segera menerima anggukan kepala dari Felis.

"Vincent tidak datang?" tanya Felis penasaran karena biasanya Benjamin juga mengundang Vincent.

"Kali ini tidak."

Senyuman cerah tampak menghiasi Felicia dan segera menyantap makanannya. Tidak biasanya Benjamin hanya mengundangnya makan berdua tanpa kehadiran Vincent. Hal ini membuat Felicia mengharapkan sesuatu.

Benjamin juga ikut menemaninya makan, hanya saja ekspresi keduanya sama sekali berbeda. Yang satu menikmati hidangan dengan ceria dan penuh harap sementara yang satu berwajah sedih dan menderita karena harus menyakiti perasaan orang yang dicintainya.

"Jadi, hari ini apa yang kita rayakan?" tanya Felicia tidak sabar begitu mereka menghabiskan makanan penutup mereka.

Benjamin mengambil napas panjang lalu menatap lurus ke arah mata wanita yang duduk di hadapannya.

"Fefe, kau ingat enam tahun yang lalu saat aku memintamu untuk menungguku?"

Senyuman Felis langung lenyap mendengarnya. Seharusnya dia senang akhirnya pria yang dicintainya menyinggung masalah ini setelah enam tahun menunggu. Tapi ekspresi pria itu sama sekali tidak menunjukkan pertanda baik saat kembali menyinggung janji mereka enam tahun yang lalu.

"Tentu saja masih ingat. Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya?" Felis tetap berusaha untuk tegar dan menunjukkan wajah datar.

"Hari ini aku ingin mengakhirinya. Kau tidak perlu menungguku lagi. Aku sudah yakin dengan perasaanku."

Cengkeraman Felicia pada gelas minumannya mengeras mendengarnya. Entah kenapa dia merasa dia tidak akan menyukai apa yang didengarnya.

"Dan bagaimana dengan perasaanmu?"

"Maaf aku rasa aku tidak akan bisa membahagiakanmu. Aku yakin di luar sana ada seseorang yang lebih baik dariku. Aku harap kau segera menemukannya."

Felicia menggertakkan gigi menahan amarahnya.

"Jadi... selama ini kau mempermainkanku?! Jika kau memang ingin menolakku, kenapa tidak melakukannya enam tahun lalu?! Kenapa memintaku menunggumu? Atau apakah mungkin papa menemuimu?"

"..."

"Jadi papa memang pernah menemuimu. Apa dia mengancammu? Bukankah kau bilang kau akan berusaha membujuk keluargaku? Bukankah kau bilang aku tidak perlu takut hubungan kita akan ditentang? Bukankah kau bilang kita akan berjuang bersama-sama? Bukankah kau memintaku untuk menunggu saat itu tiba?" mata Felis mulai berkaca-kaca dan penglihatannya menjadi kabur. Namun dia berusaha menahan agar air mata tidak lolos dari tempatnya.

Benjamin menggelengkan kepalanya. "Maaf. Hanya itu yang bisa kukatakan. Dulu aku pikir aku menyukaimu, karena itulah aku setuju menjadi kekasihmu. Beberapa hari kemudian ayahmu memang mencariku dan memintaku berpisah darimu yang aku setujui. Hanya saja waktu itu aku berpikir aku tidak ingin kehilanganmu karenanya aku memintamu menungguku. Kenyataannya adalah... sekarang aku sudah tidak memiliki perasaan itu lagi. Seharusnya aku mengatakannya dari dulu. Maaf."

Benjamin bisa melihat cengkeraman tangan wanita itu semakin mengeras. Dia sangat ingin menguraikan cengkeramannya sebelum tangan wanita dicintainya terluka. Tapi kalau dia melakukannya, akan lebih sulit baginya untuk melepaskan wanita itu.

Akhirnya Benjamin bangkit berdiri hendak meninggalkan Felicia seorang diri disana.

"Tunggu!" terdengar nada perintah pada suara Felicia.

Benjamin berhenti dan membalikkan badannya. Sedetik berikutnya Benjamin tidak tahu apa yang terjadi. Yang dia tahu dia merasakan tarikan yang sangat kuat pada kerah bajunya disusul dengan sesuatu yang lembut pada bibirnya. Butuh beberapa detik untuk membuatnya sadar, Felicia sedang menciumnya.

Kedua tangan Benjamin bergerak hendak melingkar tubuh Felicia, secara insting dia ingin memperdalam ciumannya tapi tangannya terhenti melayang di tengah udara. Tepat saat dia menjatuhkan kedua tangannya disisi tubuhnya, Felicia melepaskan ciumannya dan menatapnya dengan tatapan sakit hati.

"Aku tidak akan membiarkanmu menolakku lagi. Kali ini aku yang meninggalkanmu. Ingat itu!" kemudian Felicia pergi dan membanting pintu ruangan saat menutupnya.

Benjamin menatap ke arah piring kosong di meja makan. Setidaknya dia tidak perlu khawatir Felicia tidak akan makan. Dia tahu setelah perpisahan mereka, wanita itu pasti tidak mau makan entah berapa lama. Karena itulah dia mengajaknya makan terlebih dulu sebelum dia mengakhiri hubungan ambigu mereka.

Benjamin menyenderkan punggungnya ke pintu lalu menyentuh bibirnya.

"Aku mencintaimu Fefe, tapi aku tidak ingin kau menderita bersamaku. Aku tidak ingin kau mengalami nasib yang sama seperti ibuku. Maaf."


AUTORENGEDANKEN
VorstinStory VorstinStory

Rupanya Benjamin menyerah atas cintanya karena takut Felicia bernasib sama seperti ibunya.

Btw, bab berikutnya perkenalan resmi antara Kinsey dan Cathy. Kira-kira apakah Kinsey langsung bilang dia adalah kakaknya atau tidak ya?

Happy reading

Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Rank -- Power- Rangliste
    Stone -- Power- Stein

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C68
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank NR.-- Macht-Rangliste
    Stone -- Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen