App herunterladen
6.11% My Only Love: Aku Hanya Bisa Mencintaimu / Chapter 41: Kencan Untuk Kesekian Kalinya

Kapitel 41: Kencan Untuk Kesekian Kalinya

Catherine sedang berjalan menyusuri jalanan saat seseorang menabraknya dari belakang. Catherine tersentak terdorong ke depan tapi tidak sampai jatuh.

"Maaf, aku sedang terburu-buru." ucap orang itu sambil berlari menjauhinya.

Catherine hanya menghela napas sambil mengusap lengannya yang agak sakit akibat tabrakan tadi dan membiarkan orang itu pergi. Tidak lama kemudian seseorang memanggil namanya dari seberang jalan.

Catherine mengulas senyum saat melihat wajah yang memanggilnya. Orang itupun juga tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya. Setelah lampu tanda berjalan menyala, pria itu segera berlari menghampirinya.

Sudah hampir dua minggu mereka bertemu setiap hari sesuai yang diucapkan pria itu. Kini keduanya tidak merasa canggung ataupun segan antara satu sama lain. Dia merasa seperti saat bertemu dan menghabiskan waktu bersama Steve. Bukan. Lebih dari itu... Cathy merasa hubungannya dengan Vincent jauh lebih dekat daripada hubungannya dengan sang 'kakak'.

"Hari ini kita akan melakukan apapun yang kau inginkan."

"Lagi?" Cathy nyaris tertawa geli mendengarnya.

Sejak Cathy mengatakan tidak ada hal yang ingin dilakukannya untuk bersenang-senang Vincent membawanya ke berbagai tempat dan mencari apa yang akan menjadi kesukaannya. Tentu saja Cathy bergembira bersamanya tapi bukan berarti kegiatannya akan menjadi suatu kesukaannya. Mengetahui hal ini Vincent tidak mau berhenti untuk mencari sesuatu yang bisa dijadikan kesenangannya.

"Hari ini kita kemana?" tanya Catherine.

"Kau akan tahu nanti." jawab Vincent dengan jahil dan tibalah mereka di sebuah lapangan basket. Disana ada beberapa anak sekolahan bermain disana.

Setelah meminta diri untuk bergabung, Vincent bermain bersama mereka dan menunjukkan kebolehannya. Setelah bermain selama beberapa babak dan menang, Vincent berjalan menghampirinya dengan senyuman menggoda.

"Bagaimana?" tidak lupa dia menggerakkan alisnya naik dan turun dengan jahil.

"Kalau kau ingin mengesankanku dengan permainan basketmu, aku sama sekali tidak terkesan."

"O, ya? Bagaimana kalau kita bertanding?"

Vincent tertawa geli saat melihat mata gadis pujaannya berbinar-binar penuh semangat. Selama ini Cathy memang tidak pernah mengutarakan apa yang menjadi kesukaannya. Gadis itu tidak pernah meminta sesuatu jika ingin melakukan sesuatu atau menginginkan sesuatu. Vincent sendiri yang harus bertanya secara langsung.. itupun kalau gadis itu tidak menjawabnya dengan mengambang.

Karena itu dia hanya memberi pertanyaan sambil menyelidiki sinar matanya. Ekspresi gadis itu memang tidak berubah, tapi jelas sekali sinar matanya tidak bisa berbohong. Tiap kali dia mengajukan pertanyaan dia akan membandingkan sinar matanya saat menjawab pertanyaan yang berbeda.

Setidaknya sedikit demi sedikit dia mengetahui makanan kesukaan gadis itu, atau hal yang paling disukainya.

Misalnya saja, gadis itu sangat suka makan sushi dan gorengan. Dia tidak suka pedas sama seperti dirinya walau masih bisa makan masakan pedas yang berlevel rendah.

Hal yang disukainya adalah saat melakukan hal yang mengeluarkan tenaga. Semisal saat mereka mengunjungi arena permainan trampolin, Cathy tidak pernah berhenti tertawa dan melompat kesana kemari tanpa rasa lelah. Atau disaat mereka bermain di ice skating. Semula Cathy tidak ahli saat berselancar di atas es dan hanya memegang kedua tangan Vincent seperti anak bayi yang baru belajar berjalan dengan berpegangan orang dewasa.

Cathy mirip dengannya, tidak mudah menyerah dan terus berusaha untuk bisa berjalan di atas es dengan lancar yang akhirnya berhasil dilakukannya.

"Baiklah. Satu lawan satu antara aku dan kamu. Bagaimana?" kali ini Cathy yang menantang Vincent dengan nada penuh percaya diri.

"Baiklah. Siapa yang takut?"

Para pemain yang sudah bermain dari tadi beristirahat sambil menonton pertandingan antara Vincent dan Cathy.

Bola pertama jatuh pada Vincent dan dengan gesit dia melewati Cathy dengan mudah. Karena jarak tinggi mereka cukup jauh, Cathy gagal menghadang bola yang sudah ditembak oleh Vincent ke ring gawang.

Vincent melempar bolanya ke arah Cathy menandakan bahwa Cathy yang memegang bola terlebih dahulu.

"Kau yakin ingin aku duluan yang menyerang?" tanya Cathy.

"Hm.. coba saja lewati aku."

Cathy mengulas senyum miring yang tidak pernah dilihatnya. Saat Vincent menyadari sesuatu, dia terlambat.. bola telah ditembak dari jarak jauh dan masuk ke ring gawang dengan sempurna.

"Untuk apa aku melewatimu jika aku bisa menembaknya dari sini?"

"Wooo.. tembakan yang bagus kakak cantik." seru para anak muda yang menonton mereka di pinggir lapangan.

Rupanya apa yang dikatakan Lina saat itu tidak bohong. Cathy yang menjadi kapten tim basket bukan asal omong belaka.

Keunjukkan Cathy terbukti di babak berikutnya. Cathy mempelajari gerak-geriknya hingga akhirnya berhasil mencuri bola darinya. Vincent mengubah teknik permainannya dan berhasil memasukkan bola kembali ke gawang. Vincent dan Cathy tersenyum bersemangat karena keduanya mulai agak kesulitan mencuri bola. Sewaktu bola dipegang Cathy, Vincent berusaha merebutnya namun Cathy melakukan gerakan tipuan yang ahli membuatnya gagal merebutnya. Melihat tawa tiada habis dari wajah Cathy membuatnya puas.

Hingga akhirnya dia menyadari gadis itu mulai lelah dan dia menembakkan bola ke gawang... dengan sengaja melesetkan tembakannya sehingga bola memantul dari ring dan tidak masuk ke gawang. Dan diputuskan pertandingan dimenangkan oleh Cathy.

Mengetahui dirinya berhasil mengalahkan Vincent, tersenyum senang yang disambut sorakan para penonton membuat Vincent ikut tersenyum lebar.

"Darah?! Kakak cantik, tanganmu terluka!" sahut salah seorang penonton membuat Vincent berlari ke arah Cathy.

Cathy memakai kemeja berlengan panjang bewarna putih. Dia melihat kain putih yang melekat di lengan kanan Cathy terdapat bercak merah. Ternyata benar, setelah kain lengan dilipat keatas, ada sebuah goresan kecil pada lengan kanan Cathy mengeluarkan cairan darah.

"Kenapa kau bisa terluka?"

"Ini darah?" pertanyaan Cathy yang polos sempat membuat Vincent tertegun. "Pantas saja kenapa dari tadi rasanya agak sakit. Aku sama sekali tidak tahu."

Vincent mendecak dalam hati. Dia sempat melupakan kenyataan bahwa Cathy tidak bisa membedakan warna. Jadi dia tidak akan tahu kalau ada bercak darah di bajunya.

Vincent menggenggam tangan Cathy berjalan menuju ke sebuah apotik terdekat. Tindakannya yang menggandeng tangannya tanpa peringatan apapun membuat jantung Cathy berdebar-debar. Ini pertama kalinya dia berpegang tangan dengan seorang pria. Ternyata tangan pria itu jauh lebih besar dari tangannya.

Namun kemudian Cathy bertanya-tanya.. kenapa pria itu menggandeng tangannya? Kenapa ekspresi pemuda itu sulit dijelaskan dengan kata-kata? Apa pria itu sedang marah? Selama dua minggu kebersamaan mereka, Cathy menyadari perubahan suasana hati pria itu yang terkadang bisa berubah drastis. Dan Cathy sama sekali tidak tahu penyebabnya.

Setelah membeli beberapa hal di apotik, Vincent menyemprotkan cairan antibiotik untuk membersihkan lukanya. Kemudian mengelap bersih sisa darah yang sudah berhenti keluar dengan tisu. Dengan lembut dan berhati-hati Vincent menutup luka tersebut dengan hansaplas.

Pandangan Cathy tidak pernah lepas dari Vincent. Kenapa dia merasa seperti barang beharga yang mudah pecah saat Vincent membalut lukanya?

"Kau ini. Aku tidak pernah menyangka kalau kau bisa ceroboh juga." Vincent kembali ke nada jahilnya membuat Cathy merengut.

"Aku tidak ceroboh. Lagipula aku juga tidak tahu kalau tanganku tergores."

"Kau sama sekali tidak tahu tergores apa?"

"Tidak.. mungkin di rumah? Atau pintu kamar?" Cathy berusaha mengingat-ingat untuk mencari tahu penyebab luka di lengannya.

Selain dia ditabrak orang asing tadi, dia tidak ingat bertabrakan dengan benda tajam apapun.

"Aku sama sekali tidak ingat." jawab Cathy menunjukkan senyuman polosnya.

Tadinya Vincent ingin marah padanya karena telah ceroboh dan melukai dirinya sendiri. Tapi setelah melihat senyuman bak bidadari seperti itu, bagaimana mungkin dia bisa marah lagi?

"Baiklah. Ayo kita cari makan." Karena sebelumnya dia sudah menggandeng tangan Cathy tanpa minta izin, Vincent menggandengnya sekali lagi sambil berjalan menjauhi apotek.

"Kau ingin makan apa?"

"Eh? Itu.. apa ya?" Cathy menjawabnya dengan gugup karena sekali lagi tangannya digenggam erat oleh Vincent. "Kau saja yang pilih."

"Baiklah, kalau begitu kita makan cacing dan sejenisnya ya."

"Hei!" Cathy memukul lengan Vincent dengan tangannya yang bebas. "Teganya kau. Mana bisa kita makan cacing."

"Itu kan salahmu. Kau tidak mau bilang kau ingin makan apa."

"Aku.."

"Jadi.. kau ingin makan apa?"

Cathy tampak berpikir sejenak kemudian... "Aku ingin makan sup daging lemak."

Vincent tersenyum puas mendengar itu. Akhirnya.. dia berhasil membuat gadis disebelahnya mengutarakan keinginannya.

-

Setelah selesai makan, mereka berjalan bergandengan tangan melewati berbagai toko sambil berbincang-bincang. Sekali dilihat semua pasti akan mengira keduanya adalah sepasang kekasih yang sedang menikmati kencan mereka. Seorang pria tinggi berambut hitam pekat dengan wajah tampan disertai mata yang dipenuhi cinta saat memandang gadis disebelahnya; dan seorang wanita cantik berambut coklat kemerahan yang unik serta kulitnya putih bak salju dan senyuman cerah yang selalu menghiasi wajahnya... keduanya menarik perhatian orang-orang disekitar mereka.

Para wanita merasa iri dengan Cathy sementara para pria ingin memiliki pasangan seperti Cathy. Sementara itu pasangan yang sedang dipandang iri oleh sekitarnya, sama sekali tidak memperdulikan pandangan orang dan terhanyut dengan percakapan mereka sendiri.

Tidak lama kemudian, Cathy melihat sebuah stan permainan yang menarik perhatiannya. Mungkin karena sudah pernah mengutarakan keinginannya pada Vincent, dia jadi lebih mudah saat mengutarakan keinginannya yang lain.

"Vincent, ayo coba lihat kesana."

Tentu saja pemuda itu menurutinya dengan senang hati dan melihat ke stan yang berisi berbagai macam hadiah yang disusun rapi.

Untuk mendapatkan hadiah mereka harus membeli sebuah anak panah mainan. Mereka harus melempar anak panah tersebut mengenai target yang letaknya agak jauh dari tempat mereka berdiri.

Cathy mencoba satu kali dengan penuh konsentrasi. Sayangnya, panah yang ditembaknya melesat jauh dari target dan hanya mendapat permen sebagai hadiahnya. Setelah mencoba beberapa kali dan gagal, akhirnya dia menyerah dan menatap Vincent dengan tatapan memelas.

Vincent terkekeh melihatnya dan akhirnya mencoba satu kali dan... Jleb! panahnya tepat mengenai titik tengah pusaran target... yang berarti mereka mendapatkan hadiah utama.

Cathy bersorak kegirangan saat melihat Vincent berhasil dalam sekali percobaan membuat Vincent tertawa geli. Yah sebenarnya menembak anak panah ini di target yang diinginkan tidak terlalu sulit. Dia pernah dilatih oleh sang pakarnya.. dulu sekali.

"Kalian mau yang mana? Ada warna cokelat dan putih?"

Kening Cathy mengerut mendengar pilihan warna tersebut. Bagaimana bisa dia tahu yang mana yang warna cokelat dan yang mana yang warna putih?

"Yang putih." sahut Vincent dan sedetik kemudian sebuah boneka beruang terbesar yang pernah dilihatnya sudah diserahkan ke dalam pelukan Cathy.

"Ternyata.. warna putih memang yang paling cocok."

"Huh?" karena ukuran boneka yang besar itu nyaris menutupi sebagian tubuhnya hingga melebihi kepalanya, Cathy harus memiringkan tubuhnya agar dia bisa melihat Vincent tanpa tertutupi tubuh boneka besar itu.

"Kau ingat kau pernah bilang padaku warna abu cocok denganmu?"

"..." Cathy memang mengingatnya.. tapi dia merasa tidak nyaman jika topik pembicaraan mereka adalah warna.

"Menurutku warna putih yang paling cocok denganmu." lanjut Vincent yang entah kenapa sanggup menggetarkan hati Cathy.

Topik pembahasan warna cukup sensitif bagi Cathy yang tidak bisa membedakan warna. Tapi saat Vincent yang mengucapkannya, kenapa dia merasa tenang?

"Kenapa?"

"Karena hanya warna putih yang bisa mempengaruhi warna lain sementara tidak ada warna yang bisa mempengaruhi warna putih. Bagiku kau juga seperti itu."

"Aku?"

"Hm. Kau tidak pernah membiarkan orang lain mempengaruhimu sementara kau dengan mudahnya bisa mempengaruhi orang lain. Kau bisa membuat orang lain senang, sedih atau semangat bersamamu."

"Aku tidak seperti itu.

"Bagiku seperti itu. Lagipula..." Vincent membungkukkan tubuhnya agar matanya sejajar dengan Cathy dan leher Cathy tidak akan capek karena telah menengadah ke atas dengan miring dalam waktu yang lama. "Saat kau memakai pakaian putih, kau tampak terlihat sangat cantik seperti malaikat yang turun mendatangiku."

Mata yang sejajar, wajahnya yang sangat dekat sudah membuat jantung Cathy berdebar sekarang dia harus mendengar kalimat pujian untuk dirinya... Kedua pipi Cathy memanas dan menyembunyikan wajahnya dibalik boneka dan memosisikan tubuhnya kembali berhadapan dengan Vincent.

"Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan." sahut Cathy sebelum berbalik dan berjalan mendahului pemuda yang sedang tersenyum senang.

"Kenapa disaat seperti ini dia selalu melarikan diri?" ucapnya dengan geli dan segera menyusul Cathy.

-

Vincent mengantar Cathy pulang dan mereka berjalan santai dari halte bis menuju Red Rosemary. Begitu sampai di depan gerbang rumah Cathy, Cathy menghela napas dan mengeluh dalam hati. Kenapa jarak rumahnya dari halte bis sangat dekat?

"Cathy, ada yang ingin kukatakan padamu."

"Hm?" sekali lagi Cathy memiringkan tubuhnya. "Apa?"

Vincent berusaha menahan tawa gelinya saat melihat gadis itu berusaha melihatnya tanpa terganggu oleh bonekanya.

Karena sudah tidak tahan dengan penghalang besar itu, Vincent mengambil boneka dari Cathy dan kemudian menundukkan kepalanya untuk menyejajarkan pandangan mereka. Secara reflek kepala Cathy bergerak mundur karena kedekatan wajah mereka yang tiba-tiba. Wajahnya terasa panas dan jantungnya sekali lagi berdegup dengan kencang.

"Aa..apa?"

Cathy tidak sanggup dipandangi pria itu disaat bersamaan dia merasa dirinya terhipnotis oleh tatapan pria itu dan tidak bisa mengalihkan wajahnya.

"Dari tadi aku tidak bisa melihat wajahmu dengan jelas.. akhirnya aku bisa melihatnya."

"Aa..apa yang kau bicarakan? Kemarikan bonekaku." Cathy berharap dia bisa menyembunyikan wajahnya di punggung boneka besarnya, sayangnya Vincent tidak memberikannya malah memutar tubuhnya agar tangan Cathy tidak bisa meraih boneka beruangnya.

"Kau ini seperti anak kecil saja." keluh Cathy

"Bukankah kau sama? Kau suka sekali bersembunyi di belakang boneka."

"Kau.. kau sendiri yang memberikanku boneka."

"Kau yang duluan memintaku untuk memenangkan hadiah utama."

Wajah Cathy cemberut seperti anak yang sedang ngambek karena tidak dibelikan mainan kesukaannya. Vincent merasa gemas sekali.

"Terserah kau saja." akhirnya Cathy berbalik hendak memasuki rumahnya yang akhirnya dihadang Vincent sebelum mengembalikan bonekanya.

"Aku hanya bercanda." ucapnya sambil mengusap kepala Cathy dengan lembut. "Kau ini kenapa bisa begini menggemaskan sih?"

"Makanya.. dari tadi aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan.." Cathy bilang begini tapi sebenarnya wajahnya sudah merona tersembunyi dengan aman di punggung si beruang putih.

Ting! Ting! Tiba-tiba saja sebuah klakson mobil terdengar dan berjalan melewati mereka dengan sangat pelan. Vincent dan Cathy bertanya-tanya apakah mereka menghalangi jalan raya? Tidak. Mereka berada di trotoar khusus pejalan kaki dan dalam jarak aman dengan jalan raya. Lalu untuk apa mobil tersebut membunyikan klaksonnya?

Vincent menatap curiga mobil tersebut yang akhirnya menghilang.

"Ck.. kenapa pula mereka harus lewat sini?"

"Kau mengenal mereka?" tanya Cathy yang dijawab dengan senyum tipis oleh Vincent.

"Sampai ketemu Minggu." ucap Vincent sambil mendorong Cathy untuk segera masuk ke dalam rumah.

"Minggu?"

"Besok aku ada jadwal, jadi tidak bisa menemuimu."

"Ooo.."

"Apa kau akan merindukanku?"

"Selamat malam.." jawab Cathy sebelum berbalik dan masuk ke dalam rumah membuat Vincent terkekeh.

"Vincent!"

Vincent yang sudah berjalan ke arah Blue Rosemary membalikkan tubuhnya saat Cathy memanggilnya.

"Hari Minggu nanti aku akan ke Green Park bersama adik-adikku."

"Baiklah, aku akan menemui kalian disana."

"Hm.. hati-hati di jalan." ucap Cathy sambil melambaikan tangannya.


AUTORENGEDANKEN
VorstinStory VorstinStory

Ckckckck.. Vincent beneran ngajak ketemuan setiap hari sampai bisa membuat Cathy yang tidak pernah manja, akhirnya malah bersikap seperti anak kecil dihadapan Vincent.

Hihihi

Selamat membaca n semoga kalian suka

Jangan lupa kasih vote n review dong.

Thank you

Load failed, please RETRY

Geschenke

Geschenk -- Geschenk erhalten

    Wöchentlicher Energiestatus

    Rank -- Power- Rangliste
    Stone -- Power- Stein

    Stapelfreischaltung von Kapiteln

    Inhaltsverzeichnis

    Anzeigeoptionen

    Hintergrund

    Schriftart

    Größe

    Kapitel-Kommentare

    Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C41
    Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
    • Qualität des Schreibens
    • Veröffentlichungsstabilität
    • Geschichtenentwicklung
    • Charakter-Design
    • Welthintergrund

    Die Gesamtpunktzahl 0.0

    Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
    Stimmen Sie mit Powerstein ab
    Rank NR.-- Macht-Rangliste
    Stone -- Power-Stein
    Unangemessene Inhalte melden
    error Tipp

    Missbrauch melden

    Kommentare zu Absätzen

    Einloggen