Aryo melepaskan pelukannya dan menatap wajahku yang masih basah.
"Ayo, aku bantu mengeringkan tubuhmu."
Diangkatnya tubuhku kedalam pondok. Aku sudah tidak melihat pria muda tadi.
Kami bergerak bersama keheningan malam. Aku dapat merasakan perasaan bersalah masih meliputi diri Aryo. Aku pun tidak paham apa yang harus kulakukan untuk memperbaiki suasana ini.
Tiap kututup mataku, masih teringat situasi malam itu. Bagaimana kobaran api yang menyelimuti keheningan malam. Tubuh-tubuh yang berjatuhan. Walau aku tidak bisa melihat jelas kondisinya malam itu, aku tahu bahwa tubuh-tubuh itu tidak baik-baik saja. Ada rasa ngeri menyelimuti hatiku.
Bagiku yang hidup dimasa damai. Hal-hal semacam peperangan hanya ada di film. Tidak masuk pada realitas hidupku. Aku pun selalu berada di barisan yang menegakkan HAM dan anti segala bentuk kekerasan.
Bagaimana mungkin aku berpelukan dengan pria yang membunuh manusia lain dengan begitu mudah.
"Memang belum waktunya..." ujarku pelan suatu kali.
"Apa? Apanya?" tanyanya "Ada apa, Margaret?"
Aku menggeleng.
"Tidak... Aku tidak bermaksud.. Maksudku..." entah apa yang ingin kukatakan. Tiba-tiba hilang begitu saja.
Di tahun-tahun ini penyelesaian konflik adalah dengan saling serang fisik. Perundingan dan jalan damai belum banyak ditempuh.
Aryo mungkin memang tidak punya pilihan. Negerinya dijajah oleh bangsa asing. Negerinya sangat menderita. Aku masih ingat bagaimana melihat sisi kumuh dari Batavia. Batavia bukan hanya ada di bagian indah seperti kota air di Venesia, tapi juga memiliki sisi kumuh yang dihuni oleh para inlander.
Mereka menjadi orang-orang terbelakang di negeri mereka sendiri. Mereka menjadi budak bangsa asing.
Wanita-wanita dengan mudahnya dijadikan gundik atau Nyai tanpa ada bentuk ikatan resmi. Saat para pria asing itu sudah tidak menginginkan mereka, maka mereka akan dibuang begitu saja.
Walaupun para Nyai sementara bisa hidup nyaman, tapi tidak ada jaminan masa depan mereka. Hanya yang pintar memanfaatkan situasi yang mampu bertahan ketika sudah tidak diinginkan tuannya.
Orang-orang seperti Aryo adalah pejuang yang sangat dibutuhkan oleh negeri ini. Orang yang berani menggeliat saat diinjak. Banyak kulihat para Bangsawan Jawa yang pecundang, yang memilih aman daripada membela negerinya. Mereka dapat hidup nyaman dan memiliki kekuasaan dengan menindas rakyatnya sendiri demi bangsa asing.
Aryo-ku memang pria yang layak kubanggakan. Tapi yang diperangi Aryo adalah orang-orang asing sepertiku, kaumku. Hingga akhirnya Dhayu dan Papa menjadi korbannya.
"Margaret... Makanlah."
Ada apa denganku. Aku menjadi mual mengingat semuanya. Kepalaku tiba-tiba terasa sangat sakit. Aku merasa pusing dan limbung.
"Margaret!" itu suara terakhir Aryo, sebelum semuanya menjadi gelap.
Aku tidak tahu berapa lama aku pingsan. Tapi satu hal yang kuingat. Aku belum ingin kembali ketika aku membuka mataku. Aku masih ingin Aryo disampingku. Aku sangat khawatir ini adalah akhirku disini. Dan aku berpisah dengan Aryo. Aku masih ingat bagaimana kepalaku menjadi sangat sakit kemudian aku pingsan dan terbangun sebagai gadis van Jurrien disini. Tadi sakit kepala yang hampir sama kurasakan kembali. Aku takut. Bagaimana dengan Aryo? Bagaimana dengan bayiku?