App herunterladen
47.22% Tiba Saat Iblis Menggenggam Dunia / Chapter 17: Ch. 17 Bagi-Bagi Epic Weapon

Kapitel 17: Ch. 17 Bagi-Bagi Epic Weapon

Sebagai salah satu keluarga terpandang di Pulau Lama, khususnya di Kota Samareand, Keluarga Pipit Ungu memiliki sejumlah besar properti. Tidak kurang dari 35 persen kepemilikan property di Pulau Lama dikuasai keluarga ini. Hampir semua properti didapat dari cara-cara yang merugikan orang lain. Keluarga ini biasa melakukan kecurangan-kecurangan untuk mencapai tujuannya. Hal yang patut ditiru dari keluarga ini hanyalah keharmonisan dan kasih sayang sesama anggota keluarga. 

Di sebuah ruangan dengan luas 12x20 meter persegi, kepala keluarga Pipit Ungu duduk di salah satu kursi menghadap meja rapat. Di antaranya hadir pemimpin-pemimpin keluarga berjumlah enam orang.

Perawakan kepala  keluarga kurus pendek dengan kepala botak. Umurnya sudah lewat seratus tahun sehingga wajahnya terlihat keriput.

Kepala keluarga kala itu mengenakan kaca mata hitam kecil, menatap santai saudaranya sambil berkata, "Memang tidak dapat dipungkiri, di tanah leluhur kita sendiri, kita diperlakukan seperti burung dalam sangkar. Menunggu kematian yang dikirim orang-orang di luar sangkar. Aku, Scarlet Nata Prahara Pipit Ungu, akan selalu bangga kepada kalian yang masih tetap solid. Saling sayang dalam sangkar yang sama. Mati di tangan musuh lebih baik daripada mati di tangan saudara sendiri."

"Ada kalanya kita harus berkorban demi tujuan utama. Walaupun terlampau berat. Jelas, bagiku yang telah banyak melihat kematian para orang tua, saudara dan anak cucu kita itu masih terlalu berat. Kesulitan Federasi membuktikan kesalahan kita menjadi alasan mereka menggunakan cara-cara yang kotor. Siapapun yang mereka kirim akan kita layani. Mereka jual, kita beli!" tutup Nata Prahara.

....

*Boom!*

Satu kilo meter dari rumah Aswa, kawanan Manglong berhadapan dengan kurang dari empat ratus pendekar dari berbagai keluarga. Mereka berdiri di atas rumah-rumah warga sembari melancarkan serangan jarak jauh menggunakan panah dan sumpit. Biarpun ribuan Manglong berhasil dibunuh, namun jumlahnya seolah tiada habisnya. Sedangkan di pihak pendekar, sudah ada 300 orang tewas sejak serangan pertama. Banjir sudah bercampur dengan warna darah!

"Tembakkan mereka memiliki bermacam pola. Menyerang yang paling lemah lalu yang paling kuat. Sampai kapan kita bisa menahan?!" keluh seorang pendekar yang sudah sangat kelelahan.

Pendekar  lain yang memberikan pengobatan berkomentar, "Sampai kita habis terbunuh! Hahaha..."

Dari dalam banjir muncul seorang lelaki bertubuh kurus. Tingginya sekitar 160 senti meter.

"Para cecunguk berhasil membunuh peliharaanku. Hahaha... rasakan ini!" pria itu melompat ke atas rumah dan mulai bertarung dengan para pendekar. Melompat dari satu atap ke atap yang lain. Dengan mudah membunuh puluhan pendekar.

"Itu Sadi'a! Matilah kita!"

Panah dan jarum ditembakkan ke arah Sadi'a. Pembunuh bayaran yang sudah cukup terkenal di Pulau Lama.

*Sling**Sling**Sling**Sling**Sling*

Tidak ada satupun anak panah dan jarum yang mampu menembus tubuh kebalnya.

"Hahaha... Kalian ternyata mengenal aku! Siapa yang mau tanda tanganku?" kata Sadi'a dengan sombong.

Seorang pendekar menghunuskan tombak ke tubuh Sadi'a. Lagi-lagi tubuhnya tidak tertembus, seolah terbuat dari baja!

"Butuh senjata seberat sepuluh kilogram untuk melukai tubuhku!" ungkap Sadi'a. Jelas hanya pendekar tertentu yang memiliki senjata melebihi sepuluh kilogram.

Setelah menerima hunusan tombak, Sadi'a menebaskan parang ke arah para penyerang.

Seorang pendekar yang tengah kritis berteriak, "Sadi'a, mengapa Kau membunuh orang-orang sebangsamu? Betapa hinanya dirimu!"

*Blits*

Leher pendekar itu terpenggal!

"Jangan menceramahiku... mari bertarung! Ayo! Siapa yang bisa membunuhku?" teriak Sadi'a dengan nada marah.

*Wuuss..* *Wuuss..* *Wuuss..* *Wuuss..*

Empat sosok berjubah merah maroon menyerang ke arah Sadi'a. Tiap pukulan dan tendangan masih bisa diatasinya. Sebuah belati yang dilapisi elemen es mencoba menusuk jantung namun masih tidak dapat menembus. Sadi'a adalah seorang pendekar berusia 40 tahun yang tau asam garam pertarungan. Tentu saja kekebalan fisiknya sudah diolah sekian lama.

*Bam!*

Sebuah palu menghantam kepala Sadi'a. Ia terlempar sejauh lima meter. Itu Neo! Palu yang ia bawa setidaknya seberat 20 kilogram!

"Aarrgh..!" teriak Sadi'a yang merintih kesakitan. Kepalanya mengeluarkan banyak darah!

Dengan sekuat tenaga Neo mengayunkan palu kembali ke arah kepala Sadi'a.

*Wuuss..* *Boom!*

Dalam sekejap Sadi'a berhasil diselamatkan rekannya. Terjun kembali ke arah air. "Bocah mana yang sanggup mengayunkan senjata seberat itu?" pikir penyelamat Sadi'a.

Naas, pukulan Neo menghancurkan atap rumah. Membuat lubang menganga yang menyebabkannya terjatuh ke dalam rumah.

"Si Bodoh!" Godel mengutuk ke arah Neo.

Dengan susah payah Neo kembali ke atas atap. "Ke mana mereka? Sial, aku ditinggal!" Neo segera berlari di atas atap. Melompat dari satu atap ke atap yang lain mengejar kelompok Aswa.

"Ini jelas di luar rencana!" kata Godel sembari berlari.

Aswa memperlambat gerakannya lalu berkata, "Apa alasanmu tidak mau ke rumah utama keluarga Pipit Ungu? Harta di sana jelas-jelas pasti bagus!"

"Baiklah, kita ambil jalan memutar..." kata Godel tidak semangat. Mencuri di rumah keluarga Pipit Ungu tidak diinginkan Godel. Ia kalah suara saat berdebat dalam kelompok.

#Sejam sebelumnya di kediaman Aswa#

"Oke, sekarang sudah diputuskan. Kita berangkat ke kediaman keluarga Pipit Ungu sekarang!" Seru Neo.

*Buk!*Godel memukul kepala Neo.

"Siapa yang mau berangkat ke sana? Bego! Aswa, mari kita bicarakan lagi! Tidak masalah jika bukan di balai kota. Tapi jangan di rumah keluarga itu!" ujar Godel.

Aswa tersenyum dan berkata, "Aku tidak bisa membiarkan Jeon ke sana sendirian. Tidak terbayang saat mereka sibuk bertarung, kita masuk ke gudang penyimpanan rahasia mereka. Hehehe..."

"Ah, Ningtyas melakukan panggilan video!" seru Jeon. Semua perhatian sekarang tertuju pada gadget Jeon.

Setelah panggilan diterima, sosok Ningtyas sedang dalam keadaan terluka di kamarnya! 

Seketika itu seorang pria bertelanjang dada muncul di layar gadget lalu berkata, "Hai, manis... Kalau kau tertarik bergabung dengan temanmu, datanglah ke mari! Kita adakan pesta hardcore! Hahaha..."

Jeon mulai menangis. "Ku mohon lepaskan dia..." ujar Jeon.

Neo lalu merampas gadget milik Jeon dan berteriak, "Mesum bangsat! Tunggu kami datang! Jangan apa-apakan dia dulu." Setelah berbicara, Neo mematikan panggilan dan mengembalikan gadget kepada Jeon.

"Kakak siapa itu namanya? Pokoknya dia tidak akan dimacam-macamin. Pria itu bisa dipercaya. Ayo kita berangkat!" ujar Neo dengan polos.

Aswa meremas rambutnya sendiri bertanda kekesalannya kepada Neo. Kesabaran Aswa masih ada batasanya! "Kenapa kau masih bisa berperilaku seperti itu, Bosku?"

Godel mendengus dan berkata, "Sebaiknya kita bunuh bocah ini beramai-ramai!"

"Ya, kita multitaksi*!" ujar Yanda menambahkan.

*maksudnya mutilasi

"Kita memang harus segera ke sana!" Jeon sudah begitu gelisah.

Aswa berdiam diri sejenak. Memusatkan pikirannya. Ia lalu mengeluarkan parang pemberian ayahnya. Parang itu kemudian ia selimuti item Kain Keramat sebagai pengganti kumpang atau sarung. Dengan begitu sisi tajam parang tidak membahayakan untuk saat ini. Aswa kemudian menyalurkan pikiran [Domain 4] ke tangan kirinya. Mulai sekarang ia harus membiasakan tangan kirinya bekerja sebaik tangan kanan. Kemampuan berpedang Aswa saat bertarung lebih banyak menggunakan tangan kanan. Namun saat ini ia ingin bertarung dengan dua pedang!

"Del, pinjamkan aku sejenis pedang yang kau miliki!" ujar Aswa. Kemampuan Aswa membaca sedikit pikiran Godel membuatnya mengetahui barang yang akan diberikan Godel adalah sejenis pedang. Hanya saja Aswa tidak tau dengan pasti pedang yang dimaksud Godel.

Godel tersenyum sembari berkata, "Ku berikan kepadamu, tapi kita kembali ke rencana awal!"

"Kau pinjamkan saja dan kita tetap pergi ke rumah Ningtyas." Ujar Aswa dengan tegas. Aswa lalu mengulurkan tangan ke arah Godel dan berkata, "Setelah semua ini akan ku temani kau ke Balai Kota untuk mencuri. Kompensasinya, 90 persen hasil curian kau yang ambil. Deal?"

Godel menepuk telapak tangan Aswa tanda kecewa, lalu mengeluarkan senjata sejenis pedang di tangannya.

"Itu Mandau!" seru Yanda.

Aswa segera mengambilnya dan membuka Mandau dari sarungnya. "Tidak ku sangka kau punya karya sebagus ini," kata Aswa dengan mata berbinar.

Tidak seperti pedang pada umumnya, Mandau yang dipegang Aswa berbentuk setengah pedang ksatria di Eropa. Lurus dengan panjang 110 senti meter. Bagian pedang yang tajam hanya pada satu sisi. Uniknya, sisi tajam bukan pada lengkungan pedang, tapi terbalik. Mata pedang pada Mandau memang terkadang seperti itu. Pada sisi tumpul Mandau ada ukiran yang bermakna tertentu. Hal ini menambah misteri yang menarik perhatian Aswa. Dari mana Godel menemukan senjata sebagus ini?

Aswa memasukkan kembali Mandau ke dalam sarungnya. Lalu ia mengambil kain panjang bermotif khas Sarung Samarinda lalu melilitnya di pinggang. Sembari meletakkan Parang dan Mandau di pinggang kirinya, Aswa berkata, "Mari kita ke dapur, di sana ada beberapa senjata yang bisa kalian gunakan."

Yanda dan Jeon mengangguk lalu pergi bersama ke dapur.

"Ugh... Beratnyaaa...!" ungkap Yanda saat mengangkat sebuah palu besar di dapur.

Yanda sekarang sudah merasa tenang. Sebelumnya ia sempat shock melihat seorang wanita tewas di hadapannya. Bagi Yanda, menjadi seorang penganut paham iblis tidak semudah yang ia pikirkan. Ia sebenarnya ingin menemui ibunya, tapi takut pulang sendirian!

"Kamu yang ini saja. Palu itu biar buat aku... hehehe..." ujar Neo sembari memberikan sebuah sumpit kepada Yanda dan mengambil palu. Walaupun agak berat, Neo masih sanggup mengangkat palu itu dan menyandarkannya di bahu.

"Hah, sekuat itukah dirimu?" Yanda terkejut melihat kekuatan Neo.

Godel menghampiri Neo dan mencoba merebut Palu darinya. "Jangan membawa barang yang merepotkan! Kita bukan tukang bangunan!" teriak Godel. "Sebaiknya kau urus dirimu sendiri!" balas Neo.

Palu berhasil direbut Godel dan Neo pura-pura menangis...

Godel melirik ke arah Aswa yang sedang membiasakan tangan kirinya menggunakan parang. Parang pemberian Muhayman tidak lebih maksimal penggunaannya saat memakai tangan kidal. Pembuat parang ini memang mengkhususkan seperti itu. Hanya satu bidang yang diasah. Sehingga saat digunakan dengan tangan kiri, ketajaman parang menjadi tidak maksimal. Mengakali kelemahan ini, Aswa memegang hulu parang secara terbalik. Sehingga bilah parang menjadi sejajar dengan lengan kiri Aswa, lurus melewati siku.

Bagi Godel, cara Aswa menggunakan dua pedang cukup unik. Menarik perhatiannya untuk menunggu saat-saat Aswa harus bertarung nanti.

Jeon kebingungan mencari senjata untuk melindungi dirinya. Beberapa pisau di dapur Aswa sebenarnya dapat menjadi pilihan. Terlebih pisau-pisau itu adalah koleksi Muhayman sewaktu aktif berperang dulu. Total ada sebelas bilah pisau dengan bentuk yang berbeda. "Kalau kau ragu untuk membunuh, maka kau tidak perlu ikut. Tempat yang kita tuju sangat berbahaya," ujar Godel kepada Jeon. Jeon melirik sebentar lalu berjalan ke arah yang berlawanan.

Dari tadi Godel hanya berkeliling-keliling saja. Ia benar-benar belum bisa menerima tempat yang akan mereka tuju. Bagi Aswa, ada kemungkinan Godel memiliki hubungan dengan Keluarga Pipit Ungu.

Sekarang sudah pukul 18.00, mereka tidak boleh membuang banyak waktu untuk menyelamatkan Ningtyas. Aswa mencoba mengkonfirmasi, "Oke, semua sudah siap? Jeon?" Jeon menggeleng. Ia nampak ragu menggunakan senjata yang dapat membunuh orang. "Kau bisa menggunakan ini..." kata Aswa sambil memberikan spatula yang terbuat dari kayu ulin. Panjangnya 110 senti meter. Biasanya digunakan keluarga Aswa untuk memasak daging atau nasi dalam wajan besar. 

Melihat Jeon bingung Aswa berkata, "Jangan remehkan spatula itu. Umur kayu ulin itu sekarang tidak kurang seratus ribu tahun! Semakin tua semakin kuat! Jika kau memukul terlalu keras ke bagian vital, korbanmu bisa saja akan tewas!"

"Yang penting bukan senjata tajam. Baiklah aku ambil ini. Paling tidak bisa membantuku membela diri," ujar Jeon sembari mengambil spatula itu.

Godel mendekati Jeon dan memegang ujung spatula Jeon. "Usahakan pukul ke arah sini," ujar Godel sembari meletakkan ujung spatula ke leher kirinya sendiri. Jeon sempat kaget dengan aksi tiba-tiba Godel ini. Godel lalu melanjutkan, "Itu akan membuat mereka pingsan seketika!" Godel lalu meninggalkan Jeon. Tanpa sadar ia tersenyum licik.

Saat Jeon salah sasaran, pukulan spatula bisa mengenai kepala dan menyebabkan geger otak yang berujung kematian. Bahkan, dengan pukulan yang sangat keras ke arah leher, bisa mengakibatkan pecahnya pembuluh darah. Hal ini sebenarnya diketahui Jeon karena ia telah belajar seni bela diri sejak sekolah dasar. Ia menganggap saran Godel sebagai sebuah lelucon.

"Sekarang kita cek tingkat kekuatan senjata," kata Aswa sambil memperlihatkan benda seperti luv. Bedanya, pada bagian ganggang ada tombol power dan layar LED. Benda itu bernama Color Ranking Test Panel (CRTP). Tingkat kesalahan alat ini cukup besar, yaitu 10 persen. Sehingga tidak begitu efektif. Walau begitu, Godel buru-buru mengambil alat itu dari tangan Aswa.

Kelompok lalu berkumpul di ruang keluarga. Mereka membawa senjata yang mereka sukai. Kecuali Neo. Ia masih merajuk karena tidak mendapat senjata yang ia inginkan. Suasana menjadi gaduh saat itu.

Setelah Aswa memberikan Palu yang Neo inginkan, baru suasana kembali kondusif.

Dengan sombongnya Godel mencoba menjelaskan, "Bukan hanya makhluk hidup, benda juga memiliki peringkat dan bisa diupgrade."

"Tidak perlu dijelaskan! Kami sudah tau. Mari kita langsung uji!" desak Jeon yang lebih dan lebih khawatir dengan keselamatan Ningtyas. Sedangkan Godel melotot ke arah Jeon.

Jarum dan Sumpit yang Yanda pegang paling pertama diuji.

"Hah? Kuning, Wa?" Yanda merasa terkejut. Setelah dilihat melalui Panel CRTP, Jarum dan Sumpit berwarna kuning. Adapun pada layar LED muncul angka 59. Ini menandakan senjata itu dalam kategori langka dengan level 59. Lebih kuat dari senjata langka dengan level 58 dan senjata kategori di bawahnya.

"Ya jelas, itu salah satu senjata favorit ayahku! Jaga baik-baik!" kata Aswa.

Ada tujuh grade senjata yang sejauh ini ditemukan. Jika diuji menggunakan CRTP, maka melalui panel, senjata akan terlihat mengeluarkan warna aura khusus. Mulai dari senjata biasa berwana Putih, senjata bagus berwarna Biru, senjata luar biasa berwarna Hijau, senjata langka berwarna Kuning, senjata epic berwarna Oranye, dan senjata ultimate berwarna Merah.

Semua senjata itu adalah hasil olahan pembuat senjata atau Empu. Senjata dapat direkonstruksi melalui tahap fusi. Untuk mendapat senjata kategori bagus, seorang Empu membutuhkan dua bahan senjata kategori biasa dengan level maksimum, yaitu level 5. Agar dapat mencapai level tersebut, senjata harus melalui pertarungan. Atau minimal digunakan saat berlatih. Dalam pertarungan atau pelatihan senjata akan menyerap aura dari tekad dan kekuatan yang dimiliki orang-orang di sekelilingnya. Sehingga para pendekar dituntut memiliki kekuatan fisik melebihi level senjata jika tidak ingin dirinya layu diserap senjata. Oleh karena itu pula, para pendekar yang masih sayang dengan nyawa menghindari berada dekat dengan senjata yang melebihi kekuatan fisiknya.

"Barang ini mungkin rusak!" kutuk Godel sambil mengembalikan CRTP kepada Aswa. "Tingkat kesalahannya 10 persen. Jadi nilainya tidak begitu tepat memang," jawab Aswa.

Neo tertawa sambil memanggul palu dengan bangga. "Gakgakgak... Senjataku peringkat oranye! Gakgakgak..."

"Apakah tidak salah, Wa? Inikan cuma spatula! Kenapa bisa kategori oranye? Bahkan level 120 lagi... itu kan max level epic!" Jeon merasa ngeri mengetahui hal tersebut.

Aswa tersenyum lirih. Ia juga bingung karena tidak pernah tau senjata-senjata yang dirawat ayahnya di dapur memiliki kategori yang mencengangkan. Bahkan semua pisau dapur dalam kategori epic weapon! Tanpa berpikir panjang Godel mengambil semua pisau itu dan menyimpannya di ranah pikiran. Hitung-hitung tukar pinjam dengan Mandau yang ia berikan kepada Aswa.

"Sudahlah... mari kita berangkat dengan kecepatan tercepat!" seru Aswa.

"Tiiim... ayo berangkat!" teriak Neo yang berlari paling depan. Pada akhirnya ia menjadi paling belakang karena berat palu mengurangi kecepatannya, selain terkena senggolan Godel.

***


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C17
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen