App herunterladen
87.5% Eclipse - Special Operation in Another World / Chapter 6: REDCON 6 - Crossing the Red Zone

Kapitel 6: REDCON 6 - Crossing the Red Zone

"Kontak!"

"Wand! Jaga sisi kananku!"

"Copy that."

Aku berlari ke belakang pohon untuk bersembunyi dari sebuah primata raksasa. Aku merasa seperti bermain film Planet of Apes. Primata-primata besar itu tanpa rasa takut terus menerjang kami, tak peduli rasa takut akan siraman timah panas. Namun, melihat primata-primata itu tersungkur tak bernyawa setelah aku membenamkan peluru di tubuh mereka, aku juga teringat dengan sosok Harambe….

Kontak tembak berlangsung cukup lama di tengah hutan Tenebris, bau mesiu berterbangan di udara, menyengat hidung. Sudah berpuluh-puluh proyektil peluru ditembakan. Sisa-sisa selongsong berserakan di tanah. Sementara kami semua berlindung di balik pohon dan batu, mempertahankan formasi arrowhead, Jeanne menembak salah satu kera dengan musket-nya sebelum melompat keluar dari perlindungan dan menebas monster tersebut tanpa ampun.

Percikan darah keluar dari lukanya, sebelum monster tersebut tersungkur ke tanah. Gadis itu dengan cekatan menghindari hantaman kayu dari primata lain sebelum membalas menyerang.

Sementara itu, aku melihat Muse merobohkan satu kawanan kera yang menerjang kami dengan rentetan tembakan.

"Reloading!" Seru pemuda itu sembari mencabut magasin dan memasang kembali yang baru.

Namun, ia tidak menyadari sesuatu yang tepat berada di sisi kirinya.

"Muse! Arah pukul 9!" Pekikkanku membuat Muse menyadarinya. Makhluk misterius itu meluncurkan lengannya yang seperti batang pohon ke arah Muse. Beruntung letnan muda DEVGRU itu berhasil melompat menghindar.

"Whoa!" Teriak Muse sebelum mendarat di atas rumput, nyaris dijemput oleh kematian.

'Lengan' tersbut menembus pohon tempat tadi dia berlindung. 2 buah lubang sempurna terbentuk di batang pohon tersebut dan meruntuhkannya.

Monster yang tadi menyerang Muse berjalan beberapa langkah ke depan. Secercah cahaya terpancar dari atas, menyinari tubuh monster itu. Aku mengamati ciri - ciri monster tersebut. Sosoknya menyerupai sebuah pohon hidup dengan tangan menyerupai ranting tumbuhan.

'Wajahnya' yang terletak pada batangnya menggeram dengan sangarnya.

"I-itu Mandrake!"

"What the fuck is Man– Whoaaa!"

'Lengan' Mandrake itu mengikat kaki Muse dan menyeretnya. Sang operator DEVGRU berusaha melepaskan diri dengan menendang-nendang 'lengan' berbentuk ranting itu.

Frustasi, ia langsung mengeluarkan pistol dan menembaki Mandrake itu dengan penuh amarah. "Lepasin aku, kampret!"

Pistol SIG P226 MK25 yang ia gunakan menyalak dengan keras. Namun, pistol tersebut tak mampu menembus kulit kayu Mandrake tersebut. Aku mengarahkan sisir bidik senapan serbuku ke wajah Mandrake tersebut dan menembak berkali-kali sampai dia melepaskan temanku.

"Muse! Menghindar dari sana!" Teriakku sembari mengganti magasin. Muse mengangguk dan beranjak menghindar seperti suruhanku.

Mandrake itu mengalihkan perhatiannya padaku. Monster pohon itu menggeram dan mengayunkan tangannya ke atas. Aku sudah bisa membaca gerakan itu. Aku berguling menghindar ke samping sebelum monster itu hampir menghantamku menjadi kue mochi. Goncangan yang dibuat hantaman itu membuatku sedikit terhuyung, namun, kuda-kudaku dapat menahan beban tubuh.

Aku kembali menembaki tangan monster itu sampai putus. Sesaat setelah si Mandrake menggeram, aku melihat Jeanne menerjang ke arahnya.

"Haaaahhh!"

Dengan sebuah teriakan panjang, pedang Jeanne bersinar terang sebelum ia menusuk tubuh Mandrake itu berkali - kali. Setelah, Mandrake itu melemah, sang gadis kesatria mengakhiri serangan 'combo'-nya dengan sebuah tebasan yang membelah tubuh monster itu menjadi dua sebelum pecah menjadi puluhan potong kayu.

Aku sempat terpana melihat apa yang barusan ku lihat. Gerakan yang ia peragakan tadi sangat anggun tetapi penuh dengan ketangkasan. Apakah Jeanne benar - benar gadis yang aku lihat saat aku hampir mati kemarin? Aku menggelengkan kepalaku sesaat sebelum berdiri. Memeriksa sekitar apakah ada musuh tersisa. Ternyata tidak. Para primata yang masih hidup memutuskan untuk melarikan diri, meninggalkan mayat-mayat rekan mereka yang bergelimpangan di tanah.

"Clear!"

Muse dan Blade juga menyatakan bahwa situasi telah "Clear!". Jeanne sempat terhuyung dan hampir terjatuh, namun, ia bisa bisa menancapkan pedangnya ke tanah sebagai tumpuan. Aku jadi khawatir dengannya.

"Jeanne, kau tak apa-apa?"

Ia menyeringai sambil melambai padaku. Nafasnya terengah-engah. "Tidak apa...aku hanya sedikit kelelahan...itu saja. Terima kasih bantuannya. Senapan sihir kalian… benar-benar luar biasa!"

Mendengar pujiannya itu, aku hanya tersipu sambil menggaruk-garuk leher. Entah kapan aku bisa menjelaskan bahwa tidak ada sihir dalam senjata yang kami pakai.

Sementara itu, Blade menunjuk ke arah tumpukan kayu sisa-sisa Mandrake.

"Kumpulkan kayu-kayu itu. Benda itu akan sangat berguna untuk api unggun."

Aku penasaran darimana dia tahu semua ini.dia seperti mengetahui segalanya. Apakah dia punya kemampuan meramal atau semacamnya? Muse tak dapat menahan dirinya untuk bertanya. "Yo, Kapten. Dari mana dapat informasi sebanyak itu?"

"Dari buku," Blade tidak memberi kami waktu untuk bertanya dan langsung menjawab. "Kalau kamu bertanya dari mana aku dapat uang, tanya sama Wand. Dia memakai cara yang sama denganku."

Bagaimana dia bisa–

Orang Inggris ini seperti bisa membaca pikiran orang dari melihat wajah. Aku harus berhati-hati dengannya. Bisa-bisa dia mengumbar aibku.

Sebenarnya aku lebih khawatir Muse mengejekku habis-habisan sepanjang perjalanan daripada Jeanne mengetahui aibku. Aku sudah mengenalnya sejak kecil dan tahu bagaimana rem mulutnya bisa blong jika ia mendapat bahan untuk 'kata-kata bijak' sok pintarnya.

------------------------------------------

Matahari sudah terbenam di ufuk barat. Kegelapan kembali menguasai isi hutan ini. Namun, Night Optical Device GPNVG-18 yang kami pasang di helm dapat menyinari seluruh isi hutan dengan cahaya hijau -di mata kami. Optik malam konvensional memiliki 2 buah lensa, namun berbeda dengan optik satu ini yang memiliki 4 buah lensa dengan dua optik menghadap lurus sementara sisanya ke arah samping, sehingga membuat kami seperti memiliki empat mata. Jenis optik inilah yang digunakan DEVGRU saat Operasi Tombak Neptunus. Operasi yang berhasil menewaskan dedengkot teror paling terkenal di dunia, Osama Bin Laden.

Lensa optik konvensional memiliki bidang pandang yang sangat terbatas sehingga membatasi kewaspadaan situasi dari operator pasukan khusus. Saat menghadapi sudut ruangan atau titik buta, operator akan sulit melihat lawan yang bersembunyi di sudut kanan atau kiri. Boleh dibilang seorang operator yang mengenakan optik malam hanya dapat melihat sudut lurus ke depan saja, sehingga seringkali harus menoleh ke kanan dan ke kiri, yang menyebabkan risiko hilangnya bidikan. Desain GPNVG-18 yang revolusioner dapat membuat kami bisa melirik ke sudut mati tersebut.

GPNVG-18 merupakan optik malam paling canggih yang pernah dibuat. Harganya tak tanggung-tanggung 65 ribu USD . Dengan uang sebanyak itu, kamu bisa membeli rumah berukuran sedang di Tokyo atau sebuah mobil mewah.

Atasan sudah menjamin kami akan mendapat peralatan terbaik demi kelancaran misi. Karena tidak ada jaminan aku bisa pulang dengan selamat. Yah, ini bukan pertama kalinya aku dihadapkan situasi seperti ini.

You Signed the Motherfucking Contract!

Itulah yang dikatakan Muse pada marinir baru yang suka mengeluh saat kami di Luminia.

Di malam yang sunyi ini, kami bergerak dalam satu garis lurus. Aku —yang mereka bilang memiliki mata paling tajam— berada di paling depan, diikuti dengan Jeanne, Muse, dan Blade secara berurutan.

"Hei...Jeanne, kan?" Muse memecahkan keheningan malam dengan berbisik pada Jeanne.

Jeanne sendiri memiliki kemampuan sihir untuk melihat dalam gelap. Aku dapat melihat matanya mengeluarkan sinar saat dia menoleh, seperti sinar yang dihasilkan NVG Muse dan Blade.

"Ya?"

Sementara mereka mulai mengobrol, aku melirik ke setiap sudut untuk memastikan tak ada ancaman. Sesekali aku mengarahkan laser tak kasat mata ke arah semak-semak dan pohon yang aku dengar menggemersik.

"Aku tahu gerakanmu tadi itu keren, seperti karakter anime itu...aku lupa namanya, yang pasti ada 'ass' di nama depannya."

Aku tak bisa bilang apa kecuali mendesah. Aku ingin sekali mentoyor orang ini karena bicara bahasa vulgar di depan seorang gadis yang masih 'suci'.

"Tapi, kamu punya senapan. Kenapa malah menyerbu seperti kumpulan orang retard di pasifik 70 tahun yang lalu, yang dalam kedunguan tak terbatasnya menyerbu regu kakekku dengan pedang sambil berteriak 'Banzai!' walaupun mereka punya senapan..."

"Oi, rasis lu!" Jawabku dengan lantang .

"Kebetulan sekali, salah satu dari mereka ada di sebelahku, hehehe."

Pernah nonton video di Youtube tentang semangka yang tembak senapan sniper? Kalau pernah bayangkan semangka itu sebagai kepala Muse. Itu yang ingin aku lakukan.

Dan seperti yang aku tebak, Jeanne sama sekali tidak mengerti percakapan omong kosong ini. Wajahnya bingung seribu bahasa.

"Maaf, aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan."

"Sudah kubilang, percuma bicara dengan orang autis," Aku benar - benar penasaran bagaimana bisa pasukan elit SEAL Team 6 menerima orang setolol dia?

"Setidaknya orang autis ini mengatakan hal yang benar."

Aku mendesah panjang. Jadi dia mengaku sebagai autis? "Terserah apa katamu, goblok."

Walaupun kami bertengkar seperti ini, konsentrasi kami sebenarnya masih tertuju pada lingkungan sekitar. Tentara memang suka melemparkan ejekan pada satu sama lain sebagai bukti kedekatan mereka. Kami sebenarnya sudah sering melempar ejekan sebelum menjadi tentara. Sejak SMP lebih tepatnya.

"Kamu ingat hukum perang Murphy pasal 6? 'Jika itu hal goblok tapi dapat bekerja, itu tidaklah go–"

"Diam..." Ucapan Muse dipotong oleh suruhan Blade yang tengah menancapkan sebuah sangkur di pohon sambil mendengarkan dengan teliti.

Setelah kami menghentikan obrolan, aku merasa tanah tempat kami berpijak bergetar. Getaran itu semakin kuat setiap hitungan detik. Pekikan sang kapten mengembalikan konsentrasi kami.

"Menjauh dari jalan setapak dan merunduk!"

Kami pun berlari menjauh dari jalan setapak dan merunduk, sebelum satu makhluk raksasa menerjang melewati kami sambil menerobos dan menjatuhkan puluhan pohon. Aku sempat dengan refleks menarik Jeanne ke balik tumpukan batu.

Setelah getaran itu berhenti, aku menengok keluar. dan melihat sesosok makhluk besar setinggi kira-kira 3 meter berdiri membelakangiku. Aku bisa mendengar suara nafas binatang ternak pemakan tumbuhan dan bau seperti...kotoran kerbau.

"Apa-apaan itu?"

Muse merayap ke sebelahku. Aku menaikkan optik malam-ku dan mengucek mataku sebelum menatap makhluk itu lebih dekat.

"Minotaur?"

Tanya Jeanne dalam nada rendah. Jika itu benar - benar seekor Minotaur, apa yang dilakukan makhluk seperti itu di malam hari seperti ini?! Aku kira Minotaur beraktifitas pada siang hari.

Makhluk manusia besar berkepala banteng itu memutar pandangannya ke kiri dan kanan. Telinganya berusaha mendengar apa yang di sekitarnya.

Di balik cahaya hijau NVG, aku menatap Blade, yang kini bersembunyi di belakang sebuah pohon. Dengan isyarat tangan, ia memerintahkan kami untuk mematikan laser dan menyuruh Muse untuk mundur duluan. Muse membalas dengan memberi tanda 'oke' lalu perlahan-lahan merayap menjauh dari posisiku. Aku mematikan laser ANPEQ di senapanku lalu mengarahkan ujung laras ke wajah Minotaur itu, yang masih diam di tempat, menatap ke kiri dan ke kanan.

Setelah Muse berhasil menjauh, Blade memerintahkanku dan Jeanne untuk mundur sementara mereka berdua melindungi dari belakang. Aku berbisik ke telinga gadis itu yang kebingungan melihat kami berkomunikasi menggunakan gerak tubuh.

"Kita akan merayap sejauh mungkin dari sini, seperti Muse. Jangan sampai membuat suara. Mengerti?" Gadis itu lalu mengangguk paham.

Dengan hati-hati, Jeanne menelungkupkan badannya ke tanah dan mulai merayap perlahan-lahan menjauh dari posisiku. Memang tidak secepat Muse tapi lebih baik pelan namun pasti. Lagipula, Minotaur itu terlihat sudah tidak waspada. Saat melihat monster itu berjalan menjauh, aku menghela napas panja–

"Hachim!" Jantungku seperti berhenti berdetak saat mendengar gadis ksatria itu bersin dengan keras.

Aku memutar kepalaku, menatap Minotaur itu. Makhluk besar itu menatap kami dengan mata yang menyala seperti api. Ia menggertakkan giginya, mempertontonkan taring tajam yang dilapisi air liur.

Kemudian, semua situasi berubah menjadi FUBAR.

"GO LOUD!!!"

Dengan sedikit panik, kami bertiga menghujani wajah Minotaur itu dengan timah panas. Jeanne juga ikut menembakkan senapan Musket-nya. Namun, serangan kami seperti hanya membuat makhluk itu jengkel, sama sekali tidak menyakitinya. Ia mencabut sebuah pohon dari akarnya, lalu melemparkannya ke arah kami.

"Incoming!" Pekik Muse. Kami berguling menghindar pohon itu. Tak puas, Minotaur itu maju menerjang berlari ke arah kami, tepatnya ke arahku dan Jeanne. Dengan gesit, aku mengganti magasin sementara gadis ksatria di sampingku menghunuskan pedangnya, bersiap untuk menghadapi monster itu.

Tepat sebelum makhluk itu menggapai kami, sebuah roket menghantam pundak si Minotaur, membuat tangan kirinya buntung dan ia kehilangan ke seimbangan dan roboh.

Aku menatap ke belakang, melihat Muse dengan tabung peluncur roketnya yang berasap. Blade lalu berteriak. "Kalian berdua, mundur! Roket itu belum cukup untuk membunuhnya!"

Aku segera bangkit dan mengeluarkan sebuah granat fragmentasi dan granat asap, melemparkan kedua benda lonjong itu ke arah Minotaur itu lalu bergegas ke arah rekanku.

Naas, tanpa kusadari monster itu bangkit dengan cepat dan melempari kami dengan sebuah pohon tumbang sebelum kedua granat meledak, masing-masing memuntahkan ledakan fragmentasi dan asap pekat.

Pohon itu menghantam pohon lain di dekat kami, menyebabkan efek domino. Pohon lain yang tumbang nyaris saja jatuh menggencetku, tapi tidak bagi Jeanne.

Kaki gadis itu terjepit oleh pohon. Dengan tak berdaya ia berusaha mengangkat pohon dan melepaskan kakinya. "Wand, kakiku!"

Aku bergegas menghampirinya dan mencoba mengangkat batang pohon itu. Ternyata sangat berat. Aku sama sekali tidak bisa mengangkatnya walau hanya beberapa inci.

Blade dan Muse dengan cepat berlari ke arah kami. Setelah sampai, mereka berdua mengambil posisi untuk menolong Jeanne. Tiba-tiba, Minotaur itu mengaum dengan ganas. Si brengsek itu masih hidup rupanya.

"Wand, kamu mundur dan siapkan senapan sniper. Biar aku dan Muse yang akan menolong Jeanne. Untuk sementara waktu, Minotaur itu akan kesulitan melihat dan mencium bau," bisik Blade padaku.

"Baik," Aku mengangguk dan beranjak pergi, menyerahkan penyelamatan Jenna kepada mereka.

"Muse, dari 3, 2, 1, angkat!"

Tanpa mempedulikan apapun, aku berlari sejauh mungkin, mencari tempat yang bagus untuk posisi menembak. Aku pernah bilang berat semua perlengkapan yang aku bawa ini membunuhku, tapi beban yang aku bawa saat ini rasanya tidak seberapa.

Setelah kira-kira berlari 50 meter, aku mengeluarkan senapan sniper-ku dari gunbag dan memasang teropong NVG di depan teropong pembesar. Aku lalu membentangkan bipod, dan berbaring telungkup di atas tanah, membidik melalui teropong sniper ke arah tabir asap yang kian memudar.

"Alright! Kami berhasil melepaskan Jeanne! GREEN 2, awasi arah jam enam kami!"

Mendengar kabar dari Blade melalui radio membuatku menghembuskan napas lega. Syukurlah, mereka semua baik-baik saja….

Namun, semua rasa lega itu berubah saat aku mendengar auman monster itu lagi.

"Fuck! Dia datang lagi."

Sekujur tubuhku kembali menegang. Sekuat tenaga aku tahan rasa takutku, menenangkan pikiran agar bisa berfokus pada musuh di depanku. Namun, sulit sekali rasanya….

"Mereka datang dari segala arah!"

"Pemberontak sialan!"

"Warlord, kami butuh bantuan! Mereka akan membantai kami di sini!"

"Awas roket!"

"Wand! Apa yang kamu tunggu!"

"Hah?!" Dengan refleks, aku menarik pelatuk senapanku, melontarkan peluru yang tak mengenai apapun. Aku lalu mengokang senapanku....

Apa….apa yang aku pikirkan? Bisa-bisanya di situasi genting seperti ini aku….

"Woi, lu ngapain sih?! Habisi si jelek itu!"

Aku kembali berusaha menenangkan pikiranku, fokus pada target yang kini bayangannya nampak di balik tabir asap, berlari mengejar Muse dan Blade yang membopong Jeanne. Terlihat sebuah tourniquet terikat di paha kanan ksatria itu.

Jika tulang atau kulit Minotaur memang sekuat rompi tahan peluru, maka aku harus menembak monster itu saat jaraknya lebih dekat. Aku membidik tepat ke arah dahinya dan menunggu sampai monster itu berada lebih dekat, kemudian menarik napas dalam dan meremas pelatuk. Hentakan keras dari popor menghantam pundakku, diikuti oleh letupan tembakan.

Sebuah peluru Lapua Magnum .338 tepat mengenai dahi sang Minotaur, menembus kulit dan tengkorak makhluk itu. Sang Monster banteng seketika itu roboh dengan darah memancar dari lubang yang dibuat oleh peluru berkaliber besar.

Selesai sudah….

"All clear!" Teriak Muse setelah memastikan makhluk itu tidak akan bangun lagi.

Blade perlahan-lahan menyandarkan Jeanne pada sebatang pohon. Ia lalu menghampiriku sambil mengomel. "Letnan, apa-apaan tadi itu? Kamu hampir membunuh kami!"

Ini bertama kalinya Kapten sampai membentakku. Aku memang salah karena pikiranku bias kemana-mana, tapi aku tidak mengerti bagaimana itu bisa sampai terjadi….

"Maaf, pak…. Nggak akan saya ulangi lagi…."

Melihatku dimarahi dan bagaimana kita semua nyaris saja tewas, Jeanne juga ikut murung. "Maaf, karena kelalaianku…. Kita semua…."

"Tidak apa, nak. Yang penting kau selamat," Jawab Blade sambil tersenyum, berbanding terbalik saat dia menceramahiku tadi. Si pak tua ini….

Gadis itu mengangguk muram dan mencoba melepaskan torniqutedi kakinya. Aku berjongkok di sebelahnya, melepaskan pengikat itu untuknya. Ia lalu mengatakan sesuatu pada kami. "Oh ya, bias tolong cabut tanduk Minotaur itu. Tanduk Minotaur sangat mahal jika dijual di pasar. Kau bisa mendapatkan 30 keping emas jika menjual satu."

Kami memiliki dua tanduk. Itu berarti 60 keping emas.

"60 keping emas itu seberapa?"

Gadis itu menyentuh dagunya dengan jari telunjuk seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.

"Hmmm...kalian dapat membeli senjata premium di pasar ibu kota atau sebuah rumah besar di pinggir kota."

Mendengar jawaban itu, Muse bersiul dan segera menghunuskan pisau untuk mencongkel tanduk itu. Aku kurang mengerti apa maksud 'senjata premium' itu. Mungkin maksudnya senjata langka yang memiliki kekuatan luar biasa, tapi aku ragu jika itu lebih kuat dari senjata api.

"Minotaur adalah monster Alpha yang langka. Karena itulah harganya fantastis," lanjut Jeanne.

Mungkin jika kami berburu lebih banyak, kami akan jadi orang kaya mendadak. Tapi itu berarti peluru kami akan cepat habis. Bagaimana pun misi adalah yang terpenting. Hal lain nomor dua.

Blade mangut-mangut mendengar penjelasan Jeanne. "Kau bisa berjalan?"

"Akan aku coba….luka ini tidaklah seberapa," Jawab Jeanne sambil beranjak berdiri. Ia masih bisa berjalan walaupun sedikit pincang. "Zona aman juga sudah cukup dekat dari sini."

"Wand, pimpin jalan."

Aku membuka kompas di lenganku dan mencari arah tujuan kami....

------------------------------------------------

Tempat peristirahatan.

Melihat kejadian tadi, bodoh jika kami memaksa melanjutkan perjalanan dalam kegelapan. Belum lagi GPNVG-18 membutuhkan baterai dua kali lipat Optik Malam biasa, sehingga memaksa kami harus hemat.

Beruntung Jeanne tahu tempat beristirahat yang aman dari serangan makhluk buas, atau dalam istilah mereka 'Zona Aman'.

Saat ini aku sedang mengobati luka di lutut Jeanne. Bukan masalah, hanya lebam dan sedikit lecet. Obat merah, alcohol, dan kapas sudah cukup untuk menyembuhkan luka itu.

Seperti dugaanku, gadis itu sedikit merintih kesakitan saat aku membersihkan lukanya dengan alcohol lalu menutupnya dengan kapas yang diisi obat merah. "Maaf, sedikit perih."

"Tidak apa. Terima kasih banyak, Wand," Jawabnya sambil tersenyum manis padaku. Hah, lagi-lagi….

Sejak kapan aku menjadi pengecut seperti ini?

Jeanne lalu melepaskan baju zirahnya. Menurut dia di sekitar tempat ini ada tumbuhan yang menghalau masuk monster karena bau yang dikeluarkan. Bagiku baunya seperti lavender dengan sedikit bau-bau pedas Tabasco*.

Aku mengumpulkan kayu-kayu sisa Mandrake tadi di tanah kosong di depan kami. Muse menuangkan minyak tanah pada kayu-kayu tersebut sebelum aku membakarnya dengan korek batangan.

Sementara itu, Blade membuka resleting ranselnya. Senyuman tipis di wajahnya memberikan aku petunjuk. Mungkin, dia ingin menunjukkan sesuatu pada kami.

"Semuanya aku ingin berkata jujur. Sebenarnya aku sudah menyembunyikan sesuatu pada kalian...tapi karena kita berhasil bertahan hidup sampai saat ini, aku akan memberitahu kalian."

Menyembunyikan sesuatu? Jangan bilang kalau itu-

Blade merogoh isi ranselnya, kemudian mengeluarkan sebuah kaleng makanan. Muse langsung terkejut dan tak bisa membendung air liurnya. Rasa lapar sudah menggerayangi perut kami.

"Wow, Ravioli!"

Blade menyeringai dan melemparkan kaleng - kaleng tersebut satu per satu ke arah kami. Salah satu kaleng yang dia lempar hampir terpeleset dari tangan Jeanne. Gadis itu mengocok - ngocok isi kelang sambil mendengarkan suara yang dihasilkan. Ia juga sempat menghirup pembukanya dengan penasaran. Aku dan Muse terkekeh melihat tingkah kampungan teman baru kami.

"Apa ini?"

"Kau tahu Ravioli? Pasta yang berisikan daging dan dilumuri saus. Kemudian masukan Ravioli itu ke dalam kaleng."

"Kau tahu cara membukanya?"

Gadis ini menggelengkan kepalanya. Aku mendesah dan mengambil kaleng tersebut dari tangannya. Aku membuka bagian atasnya dengan pengungkit dan menaruh sebuah sendok plastik bersih ke dalamnya, kemudian menyerahkannya kembali.

Setelah Jeanne berterima kasih padaku, aku mulai menyantap Ravioliku.

Jeanne melahap suapan pertamanya. Dalam hitungan detik setelah ia menelannya, wajahnya seperti berbunga-bunga. Ia benar-benar menyukainya.

Kami makan malam dalam kesenyapan, yang terdengar hanyalah suara Jeanne yang melengking dengan sedikit berlebihan setiap kali dia mengunyah. Aku terpaku melihatnya tersenyum. Pipinya tersipu dan terdapat beberapa sisa makanan menempel.

"Seetinya awa seowang yan jatu yinta."

Muse mencoba menggodaku. Namun mulutnya yang penuh dan wajahnya yang belepotan justru membuat tawa Blade meledak. Si orang Amerika melirik Blade dengan bingung.

"Awa?"

Aku tak bisa menahan diriku. Aku langsung tertawa kecil menunjuk ke arah wajahku. "Mukamu woi! Makan Ravioli aja nggak bisa!"

"Aku maan Rabioli!"

Dia masih tidak mengerti apa yang kami maksud. Aku hanya bisa menghela dan menahan tawa.

Blade menyikut lengan Jeanne dan mengarahkan pandangnnya pada Muse. "Lihat si goblok ini!"

Setelah selesai makan, kami mengubur kaleng-kaleng kosong tersebut dan mengeluarkan kantong tidur. Di antara kami, hanya Jeanne yang tidak membawanya. Aku tahu dia kedinginan dari nafasnya yang menggigil. Ia hanya diam sambil menyandarkan diri pada pohon di dekat api unggun.

Aku berjalan mendekati gadis itu dan menyerahkan kantong tidurku. Dia hanya menatapku menyodorkan kantong itu, kemudian melambaikan tangannya.

"Ah, tidak perlu, Wand. Aku sudah terbias...Ha..ha-cim!" Ia bersin berkali - kali sebelum menyeka hidungnya dengan kemeja.

"Gunakan saja, aku akan berjaga malam ini."

"Eh, jaga malam? Tapi ini kan tempat aman."

"Tidak ada, salahnya berjaga-jaga bukan?"

"Baik..." Dengan sedikit ragu-ragu, ia mengambil kantong tidurku.

"Terima kasih, Wand."

Gadis itu langsung menjauh sambil menyembunyikan wajahnya yang merona...

Aku hanya tersenyum kecil dan duduk di tempat Jeanne menyandar tadi. Aku mengangkat dan menaruh senapan di pangkuanku dan melihat sekitar.

Muse sudah tertidur. Dengkurannya terdengar sangat keras, berbalapan dengan suara jangkrik. Sementara Blade...entah dia sudah tertidur atau belum, ia hanya meringkuk ke kiri sehingga aku tak bisa melihat matanya.

Jeanne membentangkan kantong tidur itu di dekatku dan masuk ke dalamnya.

"Selamat malam, semua," Kata gadis itu pada semua.

Semuanya sudah tertidur, sementara aku disini masih terjaga untuk melihat sekitar. Muse sudah berhenti mendengkur setelah Blade menyumbat mulutnya dengan kaos kaki. Sesuatu yang kudengar hanya suara serangga yang menghuni hutan ini, aliran air yang tak jauh dari sana, dan suara dengkuran lembut Jeanne.

Setiap kali aku menatap wajah polos gadis ini, jatungku serasa melompat-lompat kegirangan dan nafasku menjadi tidak teratur. Kurasa itu normal, karena aku laki-laki yang masih tertarik oleh perempuan. Namun, itu bukan berarti aku boleh bertingkah seperti remaja perjaka.

Aku mendesah dan kembali mengamati sekitar, ditemani oleh jutaan bintang yang bersinar di langit.

-------------------------------------------

Keesokan harinya aku terbangun oleh langkah kaki di dekatku. Aku langsung menodongkan senjata pada orang tersebut.

"Hei, tenanglah Wand..." Kata Blade sambil perlahan menurunkan tangannya yang terangkat.

Aku mendesah panjang dan memasang kembali pengaman sebelum menaruh senapan itu di sebelahku.

"Mimpi buruk?"

Aku kembali menyandarkan punggungku pada pohon, lalu mendesah.

"Enggak, cuma kaget aja..."

Aku menyandarkan senapan serbuku pada pohon dan mengamati Blade dari ujung kaki sampai ujung kepala. Dia sudah berpakaian lengkap dan membawa sebuah sekop kecil. Hanya saja senapan G36C-nya tersandar di dekat Muse yang masih tertidur pulas.

"Ngomong-ngomong, mau kemana, kok bawa sekop?"

"Mengintai. Kita nggak tahu apa yang ada di sekitar kita....Sekalian aku mau cari tempat buat boker," Kata Pria berambut merah itu, sebelum berjalan keluar 'safe zone'.

Setelah Blade menghilang dari hadapanku, aku melepas rompi anti peluru dan helmku karena kegerahan. Udara di hutan ini memang sejuk, tapi juga lembap...

Aku mendengar sesuatu. Itu seperti suara air mengalir deras. Aku ingat Jeanne sempat bilang kalau ada sungai dan air terjun di sekitar sini. Dengan membawa pistol dan pisau di sabuk, aku berjalan ke arah sungai itu.

Saat sedang berjalan berpuluh-puluh langkah, aku dapat mencium bau segar air tawar, sampai kemudian aku menemukan sungai beserta air terjun itu. Berbeda dengan air terjun yang biasa aku temui, air terjun ini sangatlah indah. Airnya jernih sampai aku dapat melihat dasarnya. Berbagai macam bunga dan tumbuhan yang tumbuh di sekitarnya semakin menambah kesan indahnya.

Tanpa pikir panjang, aku langsung melepaskan seluruh pakaianku dan melompat ke sungai. Di Timur Tengah hampir tidak ada air. Jadi, jika air dalam botol mineral sudah habis, aku terpaksa meminum apapun yang cair. Tentu saja, aku mandi bahkan sampai sebulan sekali. Semua hal itu aku pelajari dari Korps Marinir Amerika Serikat atau 'Uncle Sam's Misguided Children*'.

Sesaat setelah aku membasuh wajahku dan meminum air itu, aku memperhatikan bayanganku di permukaan air sungai. Aku meregangkan otot lenganku yang sepertinya semakin membesar berkat latihan kerasku selama ini. Hmmmm, sepertinya aku perlu melatih lagi otot perutku. Aku tidak mencari agar six-pack tapi aku tidak ingin perut buncit seperti om-om mesum cacingan.

Tiba-tiba, aku mendengar sesuatu muncul dari dasar sungai tepat di belakangku. Dengan spontan, aku memutar tubuhku dan melihat apa itu. Sesuatu itu tak lain dan tak bukan adalah seorang gadis familiar berambut pink. Dengan kata lain, gadis itu adalah Jeanne. Dan tentu saja, dia tidak mengenakan sehelai benang pun.

"Jeanne?"

Aku menatapnya tepat di wajahnya. Aku berusaha keras untuk menahan diriku agar tidak melihat ke bawah. Gadis itu membasuh rambutnya, sebelum sepasang bola mata biru muda itu menatapku.

"Wand?"

Selama beberapa saat, kami hanya menatap mata satu sama lain. Beberapa saat itu rasanya canggung, bahkan sangat canggung karena yang terdengar hanyalah suara aliran air dan siulan burung.

Kami mulai tersipu dan hal yang sudah aku perkirakan terjadi.

"Kyaaa~"

Ia berteriak. Sementara ia berusaha menutupi tubuhnya, aku langsung berbalik badan. Terkadang aku tak bisa menahan hormonku dan mengintip ke belakang. Aku dapat melihat dengan jelas seluruh tubuhnya. Kulitnya putih bersih dan terlihat sangat halus bila disentuh. Tubuhnya yang basah terkena air dan payudara yang tidak terlalu kecil maupun besar juga-

A-apa yang aku pikirkan?! Buddha, Dewa, siapapun yang berada di langit sana! Tolong, ampuni aku!

"J-jangan lihat!"

Aku baru saja ingin meminta maaf dan pergi darisana, sebelum seseorang berteriak.

"Jangan bergerak, orang mesum!"

Aku melirik ke arah belakang dan melihat seorang gadis bertelinga runcing membidik panahnya ke arahku. Gadis itu memakai mantel hijau bertudung(seperti Robin Hood) dengan lambang perisai dengan kepala unicorn dan petir di punggungnya. Ia memakai tank top coklat dan celana pendek berwarna sama dengan mantelnya.

Aku melihat rambut pirang pendek berkibas di dalam tudung itu. Mata hijaunya melotot ke arahku...

Tunggu dulu...sepertinya aku pernah melihatnya....

"Elisa?" Tanya Jeanne saat ia melihat gadis itu.

"Jeanne?" Gadis itu sempat menurunkan panahnya. Jadi mereka saling kenal?

"Tunggu...Kalian mengenal satu sama lain?"

Gadis elf itu kembali menggeram dan menodongku dengan panah. Aku mengangkat tanganku dengan refleks, walaupun aku masih memasang wajah datar.

"Jangan coba-coba mengalihkan permbicaraan! Aku akan menghukummu, orang mesum!"

Aku berusaha memberitahunya yang sebenarnya terjadi sampai aku mendengar suara pistol yang dikokang.

"Jatuhkan!" Perintah Blade sambil menodongkan pistol ke kepala Elf itu.

"Apakah kau teman pemerkosa ini?"

"Pemerkosa?" Blade terkekeh dengan sinis, sebelum menggeram murka. "Beraninya kau wanita jalang bertelinga runcing memfitnah bawahanku!"

Pertumpahan darah yang tak perlu adalah hal terakhir yang ingin ku lihat. Aku memutuskan untuk berjalan keluar dari air sambil mengangkat tangan.

"Ini hanya kesalahpahaman...pak."

Gadis elf itu berjalan mundur. Wajahnya langsung memerah sementara tangannya langsung menutupi matanya.

"Kyaa! Pakai sesuatu!"

Aku melihat ke arah sang kapten SAS yang melirik ke tubuh bagian bawahku dan menggelengkan kepalanya.

"Ck ck ck, tutupi 'benda itu' dengan sesuatu, letnan," Aku mengerti apa yang dia maksud...karena itu aku mengumpat.

"Sial..."

Aku meraih sebuah daun dari pohon di atasku untuk menutupi 'benda itu' dan segera meraih pakaianku, dan pergi darisana.

-------------------------------------------

Setelah kami kembali ke Zona Aman dan Jeanne membantuku menjelaskan semuanya secara rinci, gadis elf itu tak hentinya meminta maaf padaku. "Maaf, Tuan Wand. Aku benar-benar minta maaf!"

"Tidak perlu minta maaf...Aku tahu itu kesalahpahaman," Jawabku secara halus sambil mendesah. Aku melirik ke arah Jeanne. "Jadi Jeanne, kau mengenal orang ini?"

"Iya, dia teman masa kecilku," Jeanne tersenyum riang pada kawannya. "Lama tak berjumpa, Elisa!"

Kedua gadis itu saling berpelukan melepas rindu. Elisa membalasnya dengan senyuman nakal. Saat si gadis elf ini mendekap temannya, aku melihat sebuah jambul yang mirip 'antenna' berkedut di atas kepalanya. "Heheh, sudah lama kita tidak bertemu ya, Jeanne!"

Setelah mereka berdua melepaskan pelukannya, Elisa memperkenalkan dirinya pada kami sambil menyeka rambutnya.

"Oh ya, namaku Elisa Lightheart sang Ranger! Senang bertemu kalian!" Kami bertiga mengangguk.

"Ngomong-ngomong Elisa, mengapa kau ada disini? Bukan kah kamu ada tugas di Ibu Kota?" Tanya Jeanne.

"Aku diperintahkan untuk mencari gembong narkoba yang dikabarkan berkeliaran di Darf."

Aku jadi semakin penasaran dan menanyainya lebih banyak. "Jadi, kau berhasil menangkapnya?"

"Tentu saja, aku sempat menyamar jadi pelayan bar untuk mencari tahu tentang targetku. Dan setelah aku melihatnya, aku langsung mengikutinya."

"Jadi karena itu kemarin kau berlari?"

Dia mengangguk dengan riang sebelum menanyai kami. "Ngomong-ngomong, kalian mau pergi kemana?"

"Ke Ibu Kota. Mereka ingin bertemu dengan Tuan Putri," Jawab Jeanne.

"

Ohh benarkah? Jadi tujuan kita sama! Aku boleh ikut ya~," Tanya Elisa dengan mata berbinar - binar seperti anak anjing. Karena senyum super moe-nya, Muse sampai harus memegang hidungnya untuk jaga-jaga agar tidak mimisan, sementara aku hanya menatapnya aneh. Blade tertawa dengan gugup sebelum menjawab pertanyaannya.

"Boleh-boleh saja...jika kamu tak keberatan bersama kumpulan pria bau amis seperti ka-"

Tiba-tiba saja ia melompat ke arah Blade, mencoba memeluknya. Namun, ia berhasil menghindar dan Elisa malah menabrak Muse.

Pemuda berambut pirang itu merintih saat misil FGM-13 Lightheart menghantam tubuhnya. Elisa mencoba menopang badan dengan tangannya, naas itu semakin membuat Muse kesakitan saat dadanya ditekan. Gadis elf itu menatapku dan kembali tersenyum nakal.

"Yey! Terima kasih! Mohon bantuannya ya!"

Dengan itu, badut kelima bergabung dengan rombongan sirkus.


AUTORENGEDANKEN
Natsuki_Nanami Natsuki_Nanami

[Footnote]

Tabasco = Jenis saus cabe yang dibuat dari cuka, cabai jenis Capsicum frutescens var. tabasco, dan garam. Saus ini rasanya pedas dan sedikit asam, dan memiliki aroma yang unik.

*Uncle Sam's Misguided Children = Anak-anak Paman Sam yang Salah Arah. Akronim plesetan dari USMC atau United States Marine Corps (Korps Marinir Amerika Serikat).

Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C6
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen