Berjalan melewati jalan setapak tanpa ada halangan. Hanya saja ada poop kucing yang baru kulompati. Kusadari, jalanan yang menuju distrik pertokoan sudah mulai dekat.
Langkah kecil tanpa suara, mencoba menghilangkan hawa keberadaan. Jika tidak, aku akan dipermalukan di distrik pertokoan yang menjadi tujuanku. Kenapa? Entahlah, mereka seenaknya jidat mereka.
Ketika berjalan di tengah-tengah distrik pertokoan yang di mana sepanjang jalan ini terdapat toko. Setiap samping kiri dan samping kanan semenanjung jalan. Terdapat beragam toko yang memiliki jenis usaha yang berbeda-beda.
"Wah!? Nak Panda! Ke sini! Mampir dong!"
"Ada Mas Panda! dilihat sayur-sayurnya!"
"Kak Panda! Bantu masak nasi goreng udang petai! Buatan Kak Panda memang yang terbaik!"
Aku terdiam ketika memasuki distrik pertokoan. Orang-orang di sekitarku mencari seseorang yang bernama Panda, bodoh sekali bahwa aku ada di dekat mereka semua. Mungkin mereka heran dengan panggilan Panda, langka sekali orang yang memiliki panggilan seperti itu.
Di distrik pertokoan ini, sepenuhnya adalah orang-orang yang pernah aku bantu dari segi sosial, finansial dan kesehatan. Kenapa aku bisa melakukan hal seperti meskipun aku memiliki kehidupan dan kondisi yang sederhana?
Hanya ada satu jawaban. Barang siapa yang berbuat baik, niscaya kebaikannya akan dilipat gandakan. Barang siapa yang berbuat kejahatan, niscaya kejahatannya akan dilipat gandakan.
Karena itu, dimohon kepada guru agar tidak terlalu menyusahkan murid-muridmu di setiap pembelajaran dan ulangan. Jika anda mempersulit mereka dan dibenci para murid, niscaya para murid yang kau perlakukan seperti itu akan memiliki dendam kesumat kepadamu.
Mengecek ponsel pintar untuk melihat beberapa bahan makanan yang harus kubeli. Karena waktu masih belum larut senja berwarna jingga kemerahan, aku berkeliling sebentar di distrik pertokoan.
Menerima beberapa bahan makanan gratis dari penjual sayur. Menerima beberapa ikan laut gratis dari penjual ikan. Sebetulnya aku menolak mentah-mentah, namun mereka memaksa karena merasa berhutang kepadaku.
Hutang dan hutang, apa itu hutang? Itu adalah situasi di mana teman somplak yang meminjam uang. Jika tiba saatnya ditagih, niscaya teman somplak itu akan amnesia dan menagih hutang akan sia-sia.
Ketika aku istirahat sebentar di toko jus yang dikelola oleh Paman Macho. Kutatap toko yang terasa asing bagiku, aku merangkai kata-kata menjadi pertanyaan. Aku menoleh ke arah Paman Macho yang tengah memilih buah segar di keranjang buah.
Pria dewasa botak dengan usia di atas kepala dua. Tubuh kekar dan berotot yang identik dengan tenaga kuli, berakhir menjadi pedagang buah. Menurutnya, pekerjaan yang ia gandrungi saat ini lebih baik untuk membuang masa lalunya yang tidak berarti.
"Paman, apa yang terjadi dengan toko itu?"
Tanyaku seraya menunjuk toko yang dimaksud. Paman Macho mengikuti arahanku, ia menyimpan kembali buah mangga yang dia genggam ke keranjang.
"Oh ... toko itu sebelumnya berupa toko yang menjual souvenir dan beberapa barang berukuran kecil. Hanya saja ... mereka membutuhkan uang ketika anak satu-satunya mereka terkena musibah. Kini, toko itu diganti menjadi toko yang menjual beragam jenis roti."
"Ngomong-ngomong kau tahu alamat pemilik toko sebelumnya?"
"Ya, aku tahu. Tapi aku tidak akan memberikannya kepadamu, kenapa? Kau pasti akan mengunjungi dan memberikan mereka bantuan."
Cih, hebat juga Paman Macho yang dapat membaca pikiranku. Harus kuakui, apa yang dikatakannya memang benar dan aku tidak bisa menyangkalnya. Hanya saja, hatiku merasa aneh ketika seseorang mengalami musibah.
Gejala psikologis ini berbeda-beda untuk setiap orang. Aku yang berpatok pada kebaikan dibalas kebaikan, kejahatan dibalas kejahatan. Bagiku, itu menjadi kegiatan tingkat minimum untuk kehidupanku.
"Paman Macho, beritahu aku latar belakang dari keluarga pemilik toko roti itu. Kau penguasa daerah ini, jangan bilang kau tidak tahu."
Ucapanku membuat Paman Macho terdiam. Dia merasa kesal padaku dengan alis kanan yang berkedut-kedut, ia menyerah disertai helaan napas. Namun, dia bersedia untuk menceritakannya padaku meskipun informasinya sedikit.
"Kabar yang kudengar hanyalah seorang perempuan berusia kepala tiga. Dia memiliki seorang anak perempuan bisu. Kabarnya sepasang suami istri itu bercerai, namun aku tidak tahu apa alasannya."
Aku memperhatikan seluruh gerak-geriknya, kontak mata, pola napas, dan perubahan dalam ekspresinya. Setelah dia menjelaskannya padaku. Seluruh sel dalam otakku langsung sibuk menyambungkan puzzle yang belum tersambung.
Pola napas dilakukan delapan kali. Kontak mata selalu menghindari pandanganku. Gerakan yang ia tunjukkan kepadaku hanyalah gerakan tidak berguna. Bagus, Paman Macho tidak berbohong.
Manusia jika berbohong dapat dilihat dengan mudahnya. Lakukan kontak mata ketika pembicaraan, jika lawan bicara menatap balas pandanganmu. Tidak diragukan lagi, dia berniat berbohong.
Karena itu, ketika melihat dua orang tengah melakukan pembicaraan dan diakhir mereka melakukan perjanjian. Aku tersenyum kecil, menatap pihak yang berbohong setelah memperhatikannya dari segi gerakan tubuh dan kontak mata.
"Paman Macho, bisa kau buatkan aku tiga jus buah terbaikmu yang dikemas pada gelas plastik?"
Tanyaku kepada Paman Macho yang tengah mencium harum nikmat mangga. Ia menggenggamnya menggunakan tangan kanan lalu menoleh ke arahku. Ia menganggukkan kepala dan menerima pesananku.
Menunggu Paman Macho tengah membuat jus terbaik yang dibuat olehnya. Aku menyambungkan semua puzzle, kondisi, ingatan, dan semua hal yang berkaitan dengan perempuan itu. Karena kebiasaanku dalam berpikir sebelum bertindak, orang tuaku menyuruhku untuk menjadi seorang detektif.
Sungguh permintaan yang hebat dari orang tua. Lagipula, semua anak ingin membahagiakan orang tua kandung mereka. Mau berapa tahun, mereka ingin membahagiakan orang tua dengan jerih payahnya.
Setelah membayar tiga jus buah. Aku membayarnya dengan uang yang lebih. Berbalik badan, meninggalkan toko milik Paman Macho.
"Panda! Uangnya terlalu banyak!"
Seru Paman Macho setelah jarak antara kami berdua sudah cukup jauh. Aku melambai-lambaikan tangan kiriku pertanda sampai jumpa. Mengangkat tangan kananku, menghela napas untuk mengatur frekuensi dan suara yang cukup nyaring.
"Terima kasih atas informasinya!"
* * * * *
*Tring-ting
Suara bel terdengar ketika tanganku menekan gagang pintu dan mendorongnya. Ketika tatapanku mengarah ke depan, terdapat perempuan yang memakai pakaian kasual namun juga mengenakan celemek motif bunga Rhododendron pulchrum atau yang biasa dikenal azalea ungu.
"Tidak kusangka, ini adalah rumahmu."
Ucapanku terdengar olehnya yang tengah menulis sesuatu di meja kasir. Pandangan kami berdua saling bertemu, senyuman kecil kutampakkan. Kifune terkejut, ia segera merobek kertas pemesanan lalu menulis sesuatu dan ditunjukkan kepadaku.
Aku menghampirinya karena jarak antara kami berdua cukup jauh. Aku sudah menduganya, dia akan menanyakan pertanyaan yang berupa penggalian informasi. Dari mana kau tahu rumahku ada di sini?
Pertanyaan yang ia gores pada lembaran kertas tipis membuatku tersenyum kecil. Menjelaskannya cukup singkat, aku adalah orang penting di balik layar. Itulah yang aku katakan meskipun Kifune tidak mengerti dengan ucapanku.
"Asuhara, apakah ada pelanggan?"
Frekuensi yang lembut dan tutur kata yang halus itu berasal dari balik pintu belakang Kifune. Gagang pintu ditekan, sosok perempuan dewasa dengan usia di atas kepala tiga terlihat. Dia menghampiri kami berdua seraya mengelap kedua tangannya pada celemek yang dikenakan olehnya.
"Selamat datang, apakah ada roti yang ingin dipesan?"
Tanya dirinya seraya menghampiri Kifune dan ia mengambil alih kasir. Aku hanya memesan satu roti panggang manis berisi cokelat. Kifune memberitahu Ibunya bahwa aku adalah teman sekelasnya melalui catatan kecil.
Sosok Ibunya yang memakai bandana putih. Terlihat tegar akan menghadapi persoalan hidup, apalagi dirinya yang kini hanya tinggal berdua dengan Kifune. Mungkin tidak ada hubungannya denganku, siapa peduli dengan itu karena apalah aku yang hanya remahan rengginang di kehidupan mereka.
Ibunya terlihat cukup terkejut ketika mengetahui bahwa aku adalah temannya. Dia terlihat ragu untuk menanyakan sesuatu. Namun, akhirnya dia menanyakan siapa namaku.
"Biasanya aku dikenal dengan panggilan Panda. Namaku adalah—"
*Kriing
Suara telepon rumah berdering. Karena terlihat penting, Ibunya segera pergi ke belakang untuk mengangkat teleponnya. Kini, Kifune yang mengambil alih dalam membungkus roti yang aku pesan.
"Kifune ... langsung saja pada intinya. Apakah kau mengenaliku?"
Pertanyaanku membuat Kifune terkejut disertai kedua matanya yang terbuka lebar. Aku menanyakan pertanyaan aneh itu karena ada kemungkinan kecil bahwa dia mengalami masalah. Meskipun aku tidak tahu apa itu, yang pasti ... aku hanya ingin memastikannya ...
To Be Continue
— Bald kommt ein neues Kapitel — Schreiben Sie eine Rezension