"Apa di sana menyenangkan?"
Suara tanya terdengar tatkala Vano baru saja menginjakan kakinya di dahan pohon. Kontan ia langsung menolehkan kepalanya ke bawah. Di sana, terlihat seorang gadis kecil nan cantik menatap polos ke arahnya.
Vano tersenyum kecil, lantas mengangguk mantap.
"Tentu, Anna."
"Kalau gitu, ajarin Anna naik ya, Van? Anna juga ingin naik ke sana."
Pinta Anna dengan mata berbinar. Pasalnya, semenjak ia mengenal Vano. Anak laki-laki itu selalu saja naik ke atas pohon. Sementara Anna lebih memilih duduk di bawah seraya mencurutkan bibirnya sebal. Di samping ia juga tidak pernah naik pohon sebelumnya, membuat dirinya sedikit takut untuk menaikinya.
"Kalau kamu ingin naik, kamu harus berjuang, Anna."
"Kamu kok selalu ngomong gitu sih, Van? Kan tinggal ulurin tangan kamu. Terus bantu Anna naik."
Anna semakin cemberut karena Vano selalu saja mengulang kata yang sama. Vano pun terkekeh pelan mendengarnya.
"Ya memang seharusnya begitu. Ya sudah, kamu nggak usah naik, ya? capek. Biar aku saja yang turun."
Katanya kemudian, lalu ia segera turun dari dahan pohon yang tidak terlalu tinggi itu. Sampai pada akhirnya...-
"Tapi Anna mau naik ke sana, Vanooo!"
Anna merengek hingga membuat Vano menghembuskan napas lelah. Bukan tanpa alasan sebenarnya, ia hanya tidak ingin Anna jatuh dan terluka lagi.
Sementara bagi Anna, diseumur hidupnya hal itulah yang ia inginkan. Melakukan hal-hal yang tidak biasa pada hidupnya, bersama anak laki-laki itu.
"Ya udah, naiklah.."
Anna tersenyum senang. Walau tak lama, kedua tangannya terangkat dengan diam di udara, ia mendadak ragu.
"Tak apa, Anna. Pohon ini tidak tinggi. Kamu bisa menginjakan kaki ke dahan itu. Nanti aku bantu kamu pegangan."
Tunjuknya pada dahan terendah diantara dahan-dahan tinggi lainnya. Salah satunya, tempat yang Vano -anak laki-laki itu berdiri saat ini.
Hingga tak lama gadis kecil itu pun mulai menggapai dahan pohon yang tepat di depan perutnya, berusaha naik ke dahan yang Vano sebutkan tadi. Dan, ya Anna berhasil.
"Berjuang Anna! naik sekali lagi! Setelah itu, kamu bisa pegang tanganku."
Pernyataan Vano barusan kembali membuat Anna mendongkak menatap ke arah anak laki-laki itu yang dibalas dengan anggukan.
Anna menatap lekat-lekat dahan itu. Ia kembali mengangkat tangannya meraih dahan pohon lainnya. Napasnya mulai tersengal.
"Ayo, Anna! Pegang tanganku."
Sekali lagi Anna tersenyum, karena kali ini Vano mengulurkan tangan padanya lalu membantu ia naik ke atas pohon. Hingga ia berhasil menaiki dahan pohon itu dengan selamat.
Tepat saat itulah Anna mengedarkan pandangannya pada sekeliling. Seketika ia merasa takjub dengan pemandangan yang disuguhkan. Di atas pohon ini, hal yang tak terlihat pun menjadi terlihat.
"Apa kamu senang sekarang?"
Anna menolehkan kepalanya kembali pada Vano yang tersenyum menatapnya.
Tanpa sadar Anna pun membalas senyuman itu.
"Iya, makasih ya, Van."
Vano mengangguk, kedua mata hazel-nya beralih ke depan.
"Sebenarnya pohon adalah salah satu tempat persembunyianku."
Anna mengeryit.
"Maksudnya? sembunyi gimana?"
"Asal kamu tahu, Anna. Pohon adalah bagian dari hidupku saat ini. Disaat aku ingin menghindari orang-orang, aku akan bersembunyi di atas pohon."
"Kok gitu?"
"Ditempat tinggalku sekarang, terlalu banyak orang yang mengganggu. Sementara aku hanya ingin sendiri. Walau bunda Nayla selalu menasihatiku, hal itu tidak berpengaruh untukku."
Anna semakin bingung dengan ucapan anak laki-laki itu. Kerutan pun muncul pada dahinya.
"Siapa bunda Nayla?"
Mendengar itu, Vano pun kembali menolehkan kepalanya pada gadis kecil itu.
"Yang merawatku. Aku janji, akan memperkenalkanmu padanya nanti."
Anna mengangguk tersenyum.
"Kamu selalu ingin sendiri. Lalu sekarang?"
"Sekarang aku sama kamu, Anna."
Ucapan Vano kontan membuat Anna lagi-lagi tersenyum tulus.
Waktu semakin berlalu, mereka terhanyut dalam obrolan. Hembusan angin tak henti-hentinya menerpa mereka. Tapi, tidak mengganggu keduanya. Hingga akhirnya Vano berdiri kemudian.
"Ini sudah sore, Anna. Sebaiknya kita segera pulang. Aku tidak mau mendengar kamu di marahin lagi orang rumahmu karena terlambat pulang."
Anna mengangguk.
Pada akhirnya mereka bangkit dari duduknya. Dengan saling pegangan tangan, Vano membantu Anna turun dari atas pohon tersebut.
"Mau balapan?"
Kata Vano begitu mereka menginjakan kaki ke tanah. Membuat Anna yang menatap anak laki-laki itu mengangguk tersenyum.
"Oke, aku hitung ya. Satu... dua..."
Belum juga selesai menghitung, Vano sudah melangkahkan kakinya dengan cepat lebih dulu. Anna yang melihatnya pun membulatkan mata.
"Vanooooo, tunggu!"
Vano tertawa sesaat Anna berlari mengejarnya. Mereka berlari melewati padang rumput yang tinggi disekitar bukit itu.
.... Tertawa bersama melewati hari.
***
Anna tiba di rumah oma Mayang dengan senyuman manis yang terbit di wajahnya. Untuk kesekian kalinya sejauh yang ia ingat, Anna merasa bahagia. Ia lebih dekat ke orang asing ketimbang siapa pun sebelumnya, bahkan Rio -kakaknya sendiri.
Dengan Vano, gadis kecil itu terkadang lupa dengan duka yang dialaminya. Segitu hebatnya kah anak lelaki itu hingga membuat ia berubah?
Tapi, senyuman itu mendadak hilang sesaat ia mendengar suara seseorang....-
"Ma, tolong sekali ini. Izinkan Ryan membawa pulang Anna."
Papa?
Anna membatin, suara itu adalah suara Bryan -papa'nya.
Dengan rasa penasaran yang tinggi, gadis kecil itu pun mengintip dari balik pintu yang tidak tertutup rapat. Di sana, tepatnya di kamar Mayang. Ia melihat Bryan duduk bersimpuh menggenggam kedua tangan ibu-nya itu.
"Memberi kamu izin membawa pulang Anna? setelah itu kamu akan melakukan hal yang sama, hingga membuat dia bernasib sama seperti kakak-nya? Tidak, Bryan! mama bersumpah tidak akan mengizinkan kamu membawa Anna pulang."
Balas Mayang seraya bangkit melepaskan kedua tangan pria itu.
"Ryan janji ma, Anna tidak akan bernasib sama seperti Rio."
Mayang tersenyum sinis.
"Lalu bagaimana dengan istrimu itu? istrimu sendiri saja belum bisa kamu rubah. Dan, mama yakin dia tidak akan pernah berubah, Ryan. Bahkan semenjak kematian Rio, mama dengar dia malah semakin menjadi-jadi. Wanita egois.."
Bryan terpaku mendengar ucapan Mayang, begitu pun dengan Anna yang masih terdiam mengintip.
"Mbok. Sedang apa?"
Anna menolehkan cepat kepalanya begitu seseorang berdiri tepat sampingnya. Terlihat gadis kecil yang lebih muda darinya tampak memandang dengan penasaran. Yakni anak dari asisten rumah Mayang yang sudah beberapa tahun itu bekerja di rumah wanita tua itu.
Seketika Anna menggelengkan pelan kepalanya. Hingga suara pintu di depan mendominasi pendengaran telinga mereka.
"Loh... Anna, Galuh. Sedang apa kalian di sini?"
Pertanyaan barusan kontan membuat Anna dan gadis kecil yang disapa Galuh itu menolehkan kepalanya pada sumber suara. Terlihat Mayang dan Bryan memandang dengan kerutan di dahinya masing-masing.
"Tidak oma, Kami hanya kebetulan lewat. Iya, kan?"
Anna menatap Galuh, memberi isyarat pada gadis kecil itu dengan kedipan sebelah matanya.
"Inggih, oma."
Ucap Galuh kemudian.
"Ya sudah kalau gitu. Galuh, tolong bilang ibu mu siapkan makan kesukaan wak Bryan."
Galuh mengangguk sopan. Walau satu sisi Mayang kesal dengan sikap Bryan, tapi bagaimana pun pria itu adalah anak laki-laki semata wayang-nya yang paling disayangi.
"Tunggu, Galuh."
Ucap Bryan sesaat Galuh membalikan badannya hendak melangkah pergi.
"Ini untuk kamu, beli-lah apa yang kamu mau."
Dan, Bryan memberikan beberapa lembar uang begitu Galuh menghadapnya.
"Matur suksma, paman."
Galuh pun melenggang pergi setelah mengucapkan terimakasih, hingga akhirnya menyisakan beberapa orang diantaranya.
"Ingat, Ryan. Mama tidak akan membiarkanmu membawa pulang Anna. Kecuali...dia sendiri yang mau."
Mayang menatap tajam Bryan, hingga kedua mata-nya itu melirik sekilas Anna yang tampak berdiri terdiam menatap keduanya. Ia sangat yakin, bahwa gadis kecil itu sudah mendengar semua pembicaraannya bersama ayah-nya itu.
Tak lama, Mayang juga melenggang pergi entah ke mana. Bryan beralih menatap Anna. Ia sangat merindukan putrinya, walau belum satu bulan gadis kecil itu pergi meninggalkannya.
"Anna, kamu mau kan ikut papa pulang ke rumah?"
Pertanyaan itu membuat Anna menelan perih saliva-nya. Mendadak ia teringat akan kejadian-kejadian memilukan yang ia alami sebelumnya.
"ENGGAK!"
Anna berlari menaiki tangga untuk kemudian memasuki kamar dengan pintu yang tertutup keras hanya demi meninggalkan Bryan yang menatap sendu kepergiannya.
Hingga di kamar itu, Anna bersimpuh, terengah-engah. Perlu beberapa menit untuk menenangkan dirinya dan menyadari bahwa ia belum mengeluarkan tangisannya.
... Bagaimana pun melihat Bryan hanya akan membuka lagi luka dihati gadis kecil itu.
***
Angin mulai berhembus. Padang rumput mengeliat dari kantuk semalam dan pancaran sinar matahari melintasi kerucut memenggal pucuk gunung berapi, menghangatkan bumi beserta isinya.
Terlihat, Kedua bola mata berwarna coklat tampak bergerak-gerak mengikuti arahan pensil. Saat itu, Anna -si gadis kecil duduk terdiam mengambar sesuatu pada kertas di balik pohon dari atas bukit seperti biasanya.
Hujan rintik semalam telah membasahi tanah dan popohonan, tapi hal itu tidak menyurutkannya untuk tetap pergi ke atas bukit. Sesekali, ia menghirup aroma tanah basah, daun-daun busuk, dan humus, yang membangkitkan rasa nikmat yang asing dalam indranya.
"Hai!"
Anna mendongkak dan mendapati Vano yang tersenyum ke arahnya.
"Udah lama?"
Dan, Anna hanya menggeleng menjawabnya. Lantas ia kembali meneruskan aktifitasnya itu. Hal tersebut tentu tidak luput dari pandangan Vano, ia mengerutkan dahi sesaat melihat gadis kecil itu menganggambar dengan tatapan sayu seolah menatap kosong.
Dalam benak, Vano bertanya. Apa Anna sedang tidak baik? apa yang membuat gadis kecil itu kembali bersedih? Padahal baru kemarin mereka bersenang-senang.
Kemudian matanya beralih pada kertas yang tengah di gambari Anna. Di sana, tergambar 4 orang manusia. Seperti sebuah keluarga kecil. Terdiri dari ayah, ibu, anak laki-laki dan anak perempuan.
Apa Anna sedang merindukan keluarganya?
Vano pun mencoba menenangkan diri. Hingga ia melihat rambut Anna dipenuhi daun-daun kering, yang oleh anak laki-laki itu diambili satu per satu, membuat Anna kembali menatap ke arahnya.
"Sini, kutunjuki sesuatu."
Katanya kemudian, ia bangkit dari duduknya seraya mengambil alih tangan Anna dan menggandengnya. Mereka berjalan mengeyam fajar dunia, menyeret-nyeret kaki lewati tanah becak, memetik rumput-rumput yang ada disekitar, saling menatap dan tersenyum, tanpa bicara. Sampai mereka tiba di padang di kejauhan.
Vano menyuruhnya tiarap dan jangan bersuara. Mereka merayap-rayap mendekati belukar, berputar sedikit dan lantas Anna pun melihatnya. Seekor kuda putih yang indah tengah melahirkan, sendirian di bukit.
Kedua anak tersebut diam terpaku, mencoba tak terdengar sekalipun embusan napas mereka. Anna merasa suka cita menggelegar dalam dadanya begitu si induk kuda mengeluarkan anaknya, matanya pun berkaca-kaca.
"Kalau sudah besar nanti, aku akan menikahimu dan kita akan tinggal di sini di tempat rahasia kita berada."
Bisik Vano tiba-tiba.
Anna menolehkan kepalanya cepat. Vano tersenyum manis menatap dirinya. Saat itu pula, untuk pertama kalinya, Anna merasakan perasaan aneh dalam hati.
... Tapi harapan tinggal harapan. Semua tidak berjalan semestinya, karena tak lama setelah itu. Vano seakan hilang bak ditelan bumi.