App herunterladen
79.06% Anastasya Story : Cinta Terpendam / Chapter 34: Puncak Pagelaran Pensi : 2

Kapitel 34: Puncak Pagelaran Pensi : 2

Menuju hatimu adalah perjalanan jauh yang rela aku tempuh.

.

.

.

Anna merasakan waktu seolah terhenti begitu kedua mata di depan sana menatap ke arahnya. Jantungnya seketika berdegup kencang. Bagai berdiri di tempat luas yang gelap, sinar lampu seakan menyoroti dirinya juga laki-laki itu.

Ia sangat yakin, arah pandang Revan hanya tertuju padanya.

Bolehkah ia berharap sekarang?

Anna tidak ingin berlebihan, tetapi ia akui ia tidak dapat bernapas pada saat-saat seperti ini. Ia merasa tidak nyaman, sekaligus nyaman. Tapi, rasa yang paling dominan adalah rasa hangat.

Hingga akhirnya semua terbuyarkan oleh suara seseorang yang menyentak dirinya...-

"Hai, An!"

Anna menarik diri dari lamunan, kontan menolehkan kepalanya ke samping. Ia terkejut mendapati Rena -pacar Billy, yang tersenyum menatapnya.

Saat itu juga Anna menarik napas, kembali melihat ke arah panggung. Revan sudah tidak lagi melihatnya.

Oh, come on, An. Back to the eart !!

Anna menyunggingkan senyum lebar begitu kembali mengalihkan kedua bola matanya pada Rena.

"E.. Hai, Ren! di sini juga?"

Rena mengangguk.

"Sekolah gue kan di undang juga sama sekolah lo. Oh ya, Apa kabar, An?"

"Baik.., lo? Emm- kenalin ini Manda dan Karin, sobat gue. Man, Rin, ini Rena.... pacarnya Billy."

"Gue juga baik....., oh ya?? salam kenal ya kalian."

Manda dan Karin pun membalas perkataan Rena. Sampai akhirnya mereka bersama menyaksikan kembali ke arah panggung.

I unzip the back to watch it fall

While I kiss your neck and shoulders

No don't be afraid to show it all

I'll be right here ready to hold you

Girl you...

"Gila, An! sekolah lo hebat banget!! Bikin acara pensi saja gede-gedean. Ampe ngundang penyanyi bintang terkenal lagi."

Pernyataan Rena barusan membuat Anna menolehkan kepalanya pada gadis itu.

Anna terkekeh.

"Iya, tuh... semua ini kerjaan Revan."

Rena menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. Pasalnya, yang ia tahu Revan ada tipe laki-laki yang cuek dan masa bodo.

"Hebat juga dia....! Oh ya, by the way, tadi gue juga lihat lo pentas.. asli, ekting lo menjiwai banget. Lo tahu gak? temen-temen cowok sekolah gue dari tadi ngomongin elo. "

Anna mengernyit.

"Oh, ya? ngomongin apa?"

"Lo cantik, pinter ekting, terus, ah ya gitu deh... intinya, si Revan beruntung punya cewek kayak elo."

Kalimat terakhir Rena barusan membuat Anna terkekeh pelan. Ia merasakan panas di kedua pipinya.

Versace on the floor

Ooh take it off for me, for me, for me, for me now, girl

Versace on the floor

Ooh take it off for me, for me, for me, for me now, girl, mmm

Lagu selesai. Para penonton bertepuk tangan, bahkan sebagian berteriak histeris. Dan, Anna tidak pernah melepaskan pandangannya pada Revan.

Citra dan Gilang pun sudah kembali ke depan panggung.

"Terimakasih Kick Out !! kalian memang ruarrrr biasa. Dan Billy, You're hot."

Citra mengecup jauh Billy. Membuat koor tidak terima kembali membahana. Sementara Billy terkekeh kecil dan membalas dengan kedipan sebelah matanya. Tanpa tahu akan Rena yang memandang sebal kekasihnya itu.

"An, lo mau anter gue ke Billy? Sumpah, gue mau jitak tuh anak."

Kedua alis Anna terangkat, ia menggulum mulutnya. Berusaha untuk tidak tertawa. Pada akhirnya Anna pun mengangguk mengiyakan, lalu meminta izin kepada kedua sahabatnya itu untuk mengantar Rena ke back stage.

Sementara Revan yang baru saja turun dari atas panggung kembali memasang headset-nya, lantas dikejutkan dengan beberapa gadis yang tiba-tiba meminta foto bareng dengannya.

Tak ayal semua itu disaksikan oleh Anna yang baru saja tiba di belakang panggung.

"An, gue ke Billy dulu ya."

Anna menyengir sekilas, lalu mengangguk. Hingga akhirnya Rena pun melangkahkan kaki meninggalkannya.

Dan, setelah kepergian Rena, gadis itu kembali menatap ke arah Revan. Ia berdesis, lebih baik dirinya pergi sebentar dari pada harus menyaksikan kekasihnya itu dekat-dekat dengan gadis lain.

Di samping, ia juga tidak mau mempermalukan laki-laki itu akhirnya.

Namun, Anna salah menduga. Tanpa sengaja, Revan melihatnya tepat gadis itu berbalik melangkah.

***

Tepat di menit yang sama,

Sisil mendengar deringan keras pada kantung celana-nya. Gadis itu pun dengan segera mengambil ponselnya itu.

"Iya, hallo?"

Sapanya langsung, begitu ia meletakan ponsel itu pada telinganya. Padahal seseorang di sana belum bicara.

Tak lama kerutan muncul pada dahi gadis itu.

"Apa?!!"

Sisil tampak terlihat panik, ia tidak tahu harus berkata apa setelah mendengar kabar tak mengenakan itu.

"Oke, nanti saya beritahukan dulu pihak ketua penyelenggara. Secepatnya, kami tunggu."

Setelah Sisil menutup telepon-nya, ia pun melangkah mencari seseorang. Siapa lagi jika bukan Revan.

Dilihatnya laki-laki itu tengah dikerumuni gadis-gadis di belakang panggung. Dan, Sisil berdecak sebal, ia tidak peduli. Langsung saja dirinya menyelip diantara kerumunan tersebut.

"Van, boleh ngomong sebentar?!"

Tanyanya dengan nada setengah teriak begitu Revan melihat ke arahnya. Dan, Revan mengangguk serta meminta maaf pada gadis-gadis itu.

"Ada apa?"

Tanya balik Revan sesaat mereka terbebas.

"Gawat, Van. Kayaknya Jaz rada telat nyampe sini. Dia kena macet di jalan karena ada perbaikan jalan. Tadi banget asisten-nya telepon gue. Mana tinggal satu band yang tampil lagi. Gimana dong, ini?"

Revan menghembuskan napasnya pelan, mencoba untuk bersikap tenang. Ia berpikir sejenak, sebelum akhirnya mata itu menangkap seseorang.

"Dimas!"

Panggilan Revan barusan membuat Dimas yang tengah terduduk seketika menolehkan kepala-nya pada laki-laki itu. Lantas ia pun bangkit menghampirinya.

"Apa?"

"Lo tahu Jaz, kan? guest star sekolah kita?"

Dimas mengangguk, jelas-lah siapa juga yang tidak tahu penyanyi terkenal itu.

"Dia telat datang. Lo bisa bantu gue mikir? lo kan orangnya kritis."

Revan menaik turunkan alisnya, menggoda Dimas. Sementara Dimas memutar bola malas karenanya.

Saat itu pula sebuah ide tercetus di otaknya.

"Lo masih inget gak, tahun kemarin cewek lo ngapain?"

Revan mengerutkan dahi-nya bingung. Kenapa tiba-tiba Dimas bertanya tentang Anna?

"Ah, pikun lo! si Anna nyanyi, kan? Suruh dia nyanyi buat ngulur waktu."

Sisil yang sadari tadi mendengar percakapan kedua laki-laki itu tersentak, ia mengelengkan kepalanya cepat.

"Nggak, jangan Anna, plis!"

Bentaknya, membuat Revan dan Dimas langsung mengalihkan matanya pada gadis itu.

"Kenapa? lo ada masalah?"

Tanya Dimas kemudian, tetapi Sisil tidak menjawab.

Jelas saja ada, Sisil kan benci Anna. Ia tidak ingin Anna terlihat "waw" dimata orang-orang. Tapi gadis itu juga tidak tau harus menjawab apa. Karna ia tahu akhirnya kedua laki-laki itu pasti malah akan memandang remeh dirinya.

Karna merasa tidak ada jawaban. Revan pun kembali mengalihkan pandangannya pada Dimas. Membuat Sisil pamit pergi karna merasa tidak dibutuhkan lagi.

"Lo mau bantu gue nyari Anna?"

Dimas mengangguk, tak lama ia pun pergi. Sementara Revan mengeluarkan ponselnya, mencoba menghubungi gadis itu. Namun, setelah beberapa kali mencoba tetap tidak ada jawaban.

Kamu di mana?

Batinnya bertanya,

Ia ingat jika tadi gadis itu ada di sekitarnya. Kenapa Anna tidak menghampirinya seperti yang biasa gadis itu lakukan? malah membiarkan ia dihampit gadis-gadis lain.

Revan memejam erat matanya, dalam keadaan seperti ini. Entah mengapa, ia merindukan saat-saat Anna posesif pada-nya.

Walau pada akhirnya Revan terlihat menggelengkan kepalanya. Demi Tuhan, Ia tidak punya banyak waktu... lalu memutuskan pergi...

... Mencari gadisnya.

***

Hembusan angin malam menerbangkan rambut yang terurai itu. Anna memejamkan matanya sekilas saat hembusan itu menerpa wajahnya. Saat ini, gadis itu lebih memilih menyaksikan pensi dari lantai 2 seorang diri. Menghindari keramaian yang terjadi dibawah sana.

Ingatannya masih jelas, bagaimana saat ia melihat ekspresi Revan yang tersenyum ketika gadis-gadis itu menghampiri dirinya. Berbanding terbalik saat bersamanya yang selalu saja memasang tampang datar.

Walau pernah beberapa kali Anna melihat Revan tersenyum padanya, itu seperti keajaiban yang langka yang jarang diperlihatkan laki-laki itu.

Anna menghembuskan napas-nya lelah.

Sampai kapan cerita ini berlangsung? Jujur, ia merasa jika hidupnya itu terasa monoton.

Hingga di mana Anna merasakan beku pada pipi-nya. gadis itu tersentak, lalu menolehkan kepala dan mendapati Leo yang tersenyum seraya meletakan minuman kaleng pada pipi-nya itu.

Ugh, pantes dingin!

"Apa?"

Tanya Anna kemudian, menjauhkan pipi-nya dari minuman itu.

"Buat lo."

Anna mengerutkan dahi, walau pada akhirnya ia menerima.

"Thanks."

Leo tersenyum kecil menatap Anna. Ia juga menghadapkan tubuhnya itu ke arah panggung seraya meletakan kedua lengannya pada pagar beton.

"Lo, kenapa di sini?"

"Pengen saja."

Jawabnya Anna singkat tanpa mengalihkan pandangannya.

"Bukan karena Revan? sampai kapan elo bertahan, An? padahal tanpa sadar dia selalu nyakitin lo."

Pertanyaan barusan membuat Anna seketika menolehkan kepalanya pada Leo. Sementara Leo balas menatapnya dengan tatapan yang tak bisa gadis itu mengerti. Entah sedang berhalusinasi atau tidak, tapi Anna bisa menangkap sedikit kilasan cemburu dari mata Leo. Tapi, ia coba menyakinkan diri, mungkin hanya perasaannya saja.

"Revan baik kok, gue yakin dia nggak akan nyakitin gue."

Dan senyum simpul yang terselip di sela-sela kalimat barusan, memberikan gambaran jelas betapa tak berefeknya pertanyaan Leo bagi Anna.

Tak bisa berkata-kata lagi, Leo pun memaksakan sebuah senyuman.

"Gue harap begitu. Atau.."

Ucapan menggantung Leo menarik perhatian Anna. Gadis itu menunggu kalimat lanjutan yang keluar dari mulut laki-laki itu. Entah mengapa, Anna merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia sendiri tidak mengerti. Tapi, yang jelas ia menunggu.

... Menunggu kata-kata itu... dengan harap-harap cemas.


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C34
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen