Hal terburuk tentangmu adalah bahwa kamu hanya ada satu di dunia.
.
.
Tepat di halaman belakang sekolah yang jarang dikunjungi orang-orang. Anna menghembuskan napas panjang, duduk termenung sendiri menatap kosong sepatu convers yang terpasang di kedua kakinya.
Suara kicauan burung dari balik pohon mendominasi alam. Hembusan angin pelan sesekali datang menghampiri hanya sekedar untuk menerbangkan sebagian anak rambutnya.
Setelah kejadian tadi di koridor, gadis itu memutuskan pergi ke tempat yang tenang dan sunyi. Tak peduli kedua sahabat yang menunggunya untuk menghabiskan waktu istirahat bersama di kantin.
Pikirannya masih terpaku pada seputar bagaimana lagi cara meminta maaf agar Revan tidak terus-menerus marah padanya.
Sebenarnya apa yang membuat Revan semakin mengacuhkahnya seperti tadi? apa hanya karena ia sudah membuat laki-laki itu menunggu lama, atau karena laki-laki yang bernama Leonandra? Terus terang, Anna tidak tahu kalau Revan akan datang menyusulnya ke rumah. Bahkan laki-laki itu juga tidak memberinya kabar sedikitpun.
Soal Leo, bukankah Revan juga seharusnya tahu, bahwa dirinya juga Leo hanya sebatas teman biasa selayaknya para gadis yang selalu mengelilingi laki-laki itu.
Lantas kenapa?
Anna mengerjap, tiba-tiba ia melihat sepasang sepatu ada di depannya. Gadis itu pun mendongkak, melihat siapa gerangan.
Leo ?
Sekali lagi, Anna memandang dengan kedua mata yang bulat.
Saat ini Leo tengah berdiri tepat di hadapan Anna dengan kedua tangan yang dimasukannya pada kantung celana.
"Lo, kenapa bisa tahu gue di sini?"
Leo tersenyum kecil, sebelum akhirnya..-
"Maaf, gue ngikutin elo sadari tadi."
Hah
Mendengar ucapan Leo barusan membuat Anna menganga. Kemudian ia melihat laki-laki itu yang melangkah pelan, duduk di kursi panjang di tempat yang saat ini juga gadis itu duduki.
Ya, mulanya Leo memang berencana akan pergi ke kantin. Tapi rasa penasaran muncul setelah melihat ekspresi Anna yang tidak seperti biasanya.
Jujur saja, ia merasa gadis itu seperti lebih berhati-hati saat bersama dirinya.
"Lo, lagi ada masalah sama Revan?"
Kali ini, Leo mencoba bertanya to the point. Ia melihat reaksi Anna yang berusaha tersenyum, tapi tampak gugup. Satu tangannya bersembunyi di balik cengkraman tangan lainnya.
"E -enggak kok, siapa bilang?"
"Gue udah liat semua tadi. Gimana cowok itu cuekin lo. Elo gak usah ngelak, An."
Anna menelan saliva-nya, ia memang tidak bisa berkata apa-apa lagi. Tak lama, kekehan pelan keluar dari mulutnya.
"Iya sih, cuma masalah dikit."
"Masalah apa lagi?"
Pertanyaan Leo barusan membuat Anna menolehkan cepat kepalanya pada laki-laki itu. Kenapa Leo menjadi serba ingin tahu sekali tentangnya?
"Masalah sepele kok."
Anna berharap mulutnya dapat melantunkan kata, namun tidak mudah. Karena perasaan yang tidak tega ini, ia menyusahkan dirinya sendiri. Mana mungkin ia bilang akar masalahnya terletak pada laki-laki di sampingnya ini.
Justru jawaban Anna semakin membuat Leo penasaran. Ia ingin berusaha mengabaikannya, tapi ia juga tidak bisa. Kerutan muncul pada dahinya, ia tampak berpikir sejenak. Sebelum akhirnya menjatuhkan kembali tatapannya pada gadis itu.
"Kalau cowok itu suatu saat nyakitin lo, datanglah ke gue. Gue pasti akan selalu hibur lo dan bikin lo bahagia."
Katanya dengan jeda sesaat, kemudian Leo tertawa, menunjukan bahwa ia tidak benar-benar serius. Namun, tawa itu terdengar hambar.
Melihat itu mau tidak mau Anna pun tersenyum kecut.
Bagi Anna, itu hanya candaan. Maksudnya, apa sih kata-kata serius yang pernah diucapkan Leo?
Bagi Leo, itu adalah kata-kata serius, yang diucapkan dengan nada penuh canda. Sayangnya gadis itu tidak bisa menebak apa maksud ucapannya tadi.
Yang jelas, kata-kata itulah yang menjadi sumber masalah mereka di kemudian hari.
***
Keesokan harinya,
Bi Marni bangun dari tidurnya. Setelah menyelesaikan ibadah subuhnya itu, wanita tua itu pun memutuskan melangkah menuju dapur.
Tiba-tiba kerutan muncul pada dahi begitu mendengar suara kentrengan antara katel juga spatula.
"Siapa yang sedang masak sepagi ini?"
Tanyanya penasaran. Dengan langkah pelan, wanita tua itu mengintip dari balik tembok. Kemudian melotot saat tahu siapa orang itu.
"Non, Anna. Sedang apa?"
Anna menolehkan cepat kepalanya, terkejut melihat bi Marni yang sudah berdiri tepat di sampingnya itu.
"Astaga, bi. Bikin Anna kaget saja."
Pernyataan barusan membuat bi Marni terkikik pelan saat melihat ekspresi anak majikannya barusan.
"Habisnya, non. Pagi sekali udah masak. Non Anna lapar, ya? sini biar bibi teruskan."
"E - enggak bi. Ini bukan buat Anna. Emm- maksudnya buat bekal Anna nanti."
Ralatnya begitu melihat kerutan pada dahi bi Marni.
"Tumben, non. Biasanya kan bibi yang siapkan."
Anna terkekeh pelan menanggapi pernyataan bi Marni. Sejujurnya masakan itu spesial untuk kekasihnya, yang secara langsung dibuat khusus oleh gadis itu.
"Sudah, bi Marni gak usah banyak tanya. Siapkan saja sarapan kayak biasanya. Sebelum oma turun."
"Oh, iya bener, non."
Bi Marni pun melenggang pergi menyiapkan bahan masakan untuk sarapan nanti. Meninggalkan Anna yang masih berkutat dengan masakannya itu.
Hingga akhirnya jadilah nasi goreng spesial buatannya. Anna tersenyum lebar, ia memang tidak pandai memasak. Tapi ia berharap masakan yang penuh cinta itu mampu meluluhkan amarah Revan nanti.
"Yosss! semoga Revan gak cuekin gue lagi setelah ini."
Anna meletakan sebentar kontak makan itu di nakas. Ia memutuskan untuk kembali ke kamar seraya menunggu matahari terbit. Berkesiap untuk pergi ke sekolah.
Butuh lima belas menit untuk gadis itu keluar dari kamar mandi. Lantas setelah penampilannya itu dirasa rapi, Anna pun mengambil tasnya. Hingga keluar dari kamar dan melangkah menuruni tangga.
Dilihatnya oma yang sudah duduk manis dimeja makan.
"Pagi oma!"
Sapa Anna dengan semangat, lalu duduk di hadapan wanita tua itu seperti biasa.
Mayang melirik sekilas Anna, sedetik kemudian kembali mengaduk susu pada gelas.
"Ceria sekali kamu hari ini."
Sindirnya, seraya menyerahkan segelas susu pada gadis itu.
Pernyataan Mayang barusan membuat Anna terkekeh singkat. Ia mengucapkan terima kasih, sebelum akhirnya..-
"Harus dong, oma. Masa cemberut mulu."
"Nah, gitu dong."
Mayang menganggukan kepala bersyukur, mengingat kelakuan Anna sadari kemarin diam memandangi naskah dramanya mengundang perhatiaan wanita tua itu. Masalahnya Anna bukan menghafal naskah melainkan malah melamun. Entah apa yang ada dipikiran cucunya itu, yang jelas Mayang sedikit penasaran. Dan, ia tahu ada sesuatu. Apalagi ketika melihat Revan yang datang ke rumah seorang diri, menanyakan apakah Anna sudah sampai ke rumahnya atau belum. Karena yang Mayang tahu, biasanya Anna diantar pulang laki-laki itu.
Sampai-sampai Revan pun rela menghambiskan waktunya selama satu jam demi menunggu kepulangan Anna.
Pada akhirnya Mayang pun bertanya, saat itu juga mengalirlah cerita dari mulut Anna. tentang kesalah pahaman antara dirinya juga Revan.
Setelah menyelesaikan sarapannya, Anna kembali melangkah menuju dapur untuk mengambil kotak bekalnya.
Dimasukannya kotak itu kedalam tas. Anna berbalik dan ia tidak dapat menahan senyum-nya yang lebar.
... Tepat saat itulah suara klakson dari kendaraan seseorang terdengar diluar sana.
***
Tempat tongkrongan Revan di warung belakang sekolah pagi ini terlihat begitu ramai. Suara petikan gitar dibarengi nyanyian para laki-laki yang berada di sana membuat suasana semakin meriah.
Setelah beberapa saat yang lalu seorang guru datang ke kelasnya dan memberitahukan bahwa guru yang kebetulan mengajar kelas itu tidak dapat hadir. Alhasil kelas itu pun bebas.
Hampir sebagian murid laki-laki di kelas Revan memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di tempat itu hingga jam pelajaran berganti. Termasuk Revan, sekali-kali ia juga ingin bertingkah layaknya siswa pada umumnya
Saat ini, Revan terlihat tengah duduk di kursi panjang, punggungnya menyender ke meja yang terbuat dari kayu. Kedua bola matanya menatap Billy, Marchel juga Dimas yang tak berhenti berceloteh memarahi dirinya.
Ya, Revan bercerita soal kejadian kemarin pada kawan-kawannya tentang Anna dan Leo. Awalnya mereka tampak terlihat biasa tapi menit selanjutnya malah menghujat dirinya.
"Bego! Tolol sih lo, Van! Kesel gue sama lo!"
Billy mengusap wajahnya kasar.
"Habis itu lo enggak ngejar dia sampai ke rumah?"
Revan mengangguk menanggapi ucapan Dimas yang memasang tampang penasaran.
"Terus gimana?"
"Gue nunggu dia sejam di rumahnya, dan lo semua tahu? gue malah liat dia pulang bareng cowok itu."
"Nah kan, lo sih! Coba saja lo ngomong ke kita mau nganterin Anna pulang dulu. Pasti kita izinin, iya gak?"
Kali ini Marchel meminta persetujuan dari Dimas juga Billy, yang akhirnya diangguki keduanya.
Revan mendengus, seketika ia menyesal. Jika akhirnya mereka malah menyalahkannya seperti ini, ia juga tidak akan bercerita pada ketiga sahabatnya itu.
"Udah ah! pusing gue denger cerita lo yang rumit. Gue mau ngisi perut dulu."
"E - gue ikut!"
Ucap Billy kemudian yang ditimpal Marchel. Hingga Marchel pun melangkahkan kakinya mengekori Billy.
"Van, jujur sama gue. Lo mulai ada rasa sama Anna?"
Revan melirik sekilas Dimas. Lalu menghembuskan napasnya itu.
"Jujur, gue gak tahu perasaan gue sekarang. Yang jelas adanya Anna membuat hidup gue sedikit lebih berwarna."
Dimas tersenyum tipis menanggapi hal itu. Sejujurnya ia malah senang melihat Revan saat ini. Karna rencana yang ia telah susun sebelumnya mulai terlihat menunjukan hasil.
Waktu semakin berlalu, mereka telah kembali ke kelasnya. Belajar dengan pelajaran kedua.
Saat itulah Revan merasakan getaran pada saku celananya. Dengan hati-hati laki-laki itu mengeluarkan ponselnya. Tanpa diketahui guru juga Dimas yang duduk di sebelahnya.
Nomer telepon asing terlihat dilayar ponselnya. Revan mengerutkan dahinya begitu melihat isi pesan itu. Tak lama, ia pun memasukan kembali ponselnya itu ke dalam saku.
Dalam pikirannya bertanya, siapa yang mengirim pesan itu. Ia menjadi tak sabar untuk melihatnya.
Hingga bel istirahat berbunyi, Revan keluar kelasnya seorang diri. Kakinya membawa ia pergi ke suatu tempat.
Revan menggenggam erat gagang pintu, ia tahu sudah ada orang yang menunggunya di balik pintu ini. Dan benar saja, begitu ia mengayuhkan benda tersebut ke depan. Punggung seseorang terlihat, lebih tepatnya seorang laki-laki.
"Elo?"
Revan berucap, seketika laki-laki itu pun membalikan badannya. dan membuat Revan memandang tajam dirinya.
"Hai, Van. Gue gak sangka lo mau samperin gue juga."
"Apa maksud lo nyuruh gue datang ke mari, Leo? dan dari mana elo tahu nomer gue?"
Ya, laki-laki itu Leo. Ia yang mengirim pesan Revan dan menyuruhnya datang seorang diri ke rooftop.
"Kayaknya gak penting juga gue cerita dari mana gue dapet nomer lo. Karna ada yang lebih penting yang pengen gue bicarain sama elo."
Revan mendengus sinis.
"Apa ini ada kaitannya dengan Anna?"
Leo mengangguk tegas menanggapi itu.
"Gue tahu, lo kepaksa ngejalin hubungan dengan Anna, Van. Kalau sekiranya lo gak beneran cinta dia. Gue mohon, lo lepasin dia."
"Tahu dari mana lo soal perasaan gue, hingga akhirnya lo bisa mengambil kesimpulan itu. Elo hanya orang baru. Lo ingat?"
Melangkah pelan, Leo pun mendekati Revan.
"Gue cukup tahu itu, Van. Gue memang orang baru, tapi gue juga gak bodoh."
Katanya jeda sesaat, sebelum akhirnya..-
"Gue juga tahu, selama ini lo menaruh rasa curiga sama gue. Dan gue acungi jempol untuk itu. Karna lo memang benar. Gue cinta Anna sejak pandangan pertama."
Tangan Revan mengepal. Alisnya menyatu tegas. Helaan napasnya berat. Ia berusaha menahan emosinya. Ia perlu sabar sejenak dan terus mendengarkan omongan laki-laki di hadapannya.
Baru kemudian ia boleh mengambil keputusan.
"Klimaksnya karena kejadian kemarin, gue gak tahan lihat Anna yang murung karena lo acuhin. Itu membuat gue semakin ingin ngerebut dia dari lo."
Revan tersenyum sinis.
"Apa artinya itu lo nantang gue?"
Mendengar itu Leo menyeringai, ia semakin mendekatkan dirinya pada Revan. Wajah mereka hanya terpaut beberapa senti.
"Lo pintar! mulai hari ini mari kita perang."
Lantas ia pun melangkah melewati Revan, yang mengeratkan giginya geram.
Hingga akhirnya Revan pun juga memutuskan meninggalkan rooftop melangkahkan kakinya menuju ruang OSIS. Yang ia butuhkan adalah meredam amarahnya.
Ia menutup keras pintu itu, dan menggebrak meja di hadapannya.
"Brengsek!!"
Kemudian ekor matanya menangkap suatu benda di meja depannya. Tanpa sadar Revan mendapati dirinya mendekat.
Adalah sebuah kotak makan yang diatasnya terdapat secarik kertas yang bertuliskan.
*Tadi aku cari-cari kamu di mana-mana, tapi kamunya gak ada. ini aku bawain bekel spesial buatan aku sendiri. Semoga kamu suka dan gak marah lagi.
Love.
Mrs. Revano future*
Revan tersenyum tipis membaca itu. Ia membuka tutupnya dan melihat apa isinya. Tak lama mengambil sendok dan memakannya.
"Asin"
Tapi Revan menghargai itu. Seperti perasaan yang menyusup ke dalam hatinya.
... diam-diam.