Mengapa kenangan hanya dapat diputar ulang di dalam kepala? Mengapa tidak kita saja yang memindahkan masa lalu ke masa kini, lalu menjalaninya, mengulang kisah yang sama?
.
.
.
Anna, si gadis kecil berjalan tergesa-gesa menuju bukit seperti biasanya. Senyum hangatnya tercetak di bibir, menemani setiap langkah gadis mungil itu.
Hingga di mana ia merasakan keringat menetes di dahi dan napas yang mulai terengah-engah, tapi gadis kecil itu sekalipun tak ingin berhenti sejenak.
Jika ditanya kenapa? semua dilakukan hanya demi ikrar janji yang ingin ia tepati pada seseorang.
Gadis kecil itu mengedarkan pandangan pada setiap penjuru bukit setibanya ia di sana. Dengan mata yang memincing serta helaian rambut panjangnya yang terurai, membuat mahkotanya itu berterbangan seiring dengan cepatnya hembusan angin.
Tidak lama dahinya mengkerut, karna orang yang ingin ia temui tak jua menampakan diri.
Di mana dia.
"Mencari seseorang?"
Suara tanya disertai kekehan terdengar, membuat gadis kecil itu kembali menautkan kedua alisnya, bingung akan sumber suara. Pada akhirnya Anna mendongkak dan mendapati seorang anak laki-laki, duduk tersenyum di dahan pohon seraya menjuntaikan kedua kakinya.
"Vano!"
Anna tersenyum lalu berteriak memanggil Vano -anak laki-laki itu. Lantas Vano pun kembali tertawa kecil. Dengan sigap ia turun dari atas dahan dalam sekali ayunan.
Hup
"Lama sekali."
Vano menepuk-nepukan kedua tangannya dari butiran tanah sesaat ia berdiri dari jongkoknya setelah meloncat tadi. Ia bertanya dengan ekspresi yang sulit dideskripsikan.
"Maaf Vano, tapi Anna baru dapat izin dari oma. Oh ya! kita akan melakukan apa hari ini?"
Senyum Vano mengembang tatkala melihat gadis kecil itu bertanya dengan kedua mata berbinar.
"Kita akan berkeliling dengan itu."
Vano menunjuk tangannya pada suatu benda, lantas Anna pun mengikuti arahan telunjuk anak laki-laki itu. Adalah sebuah sepeda bercat merah yang tampak kusam, dan hampir seluruh bagiannya tertutupi karat.
Seketika Anna mengkerutkan dahinya.
"Punya siapa?"
"Tidak tahu. Tapi kita bisa pakai itu sekarang."
Gadis kecil itu tampak mencurutkan bibirnya kemudian, ia mulai berpikir sesaat. Sebelum akhirnya..-
"Tapi Anna tidak bisa pakai sepeda, Vano."
Vano tersenyum kecil mendengarnya. Ia lantas berbalik berjalan mengambil sepeda itu, lalu menaikinya.
"Anna bisa naik pijakan di belakang Vano. Ayok..!"
Senyuman kembali terbit di wajah cantik Anna, gadis kecil itu pun berlari menghampiri Vano dan sepedanya. Ia lalu menaiki pijakan itu, tak lupa berpegangan pada kedua bahu anak laki-laki itu.
"Pegangan yang kecang, ya."
"Oke..."
"Siap?"
"Siap!"
Anna menjawab dengan antusias. Membuat Vano terkekeh mendengarnya.
Saat itu pula Vano meletakan kakinya di sadel. Ia mulai mengayuhkan sepedanya sepelan mungkin, sadari tanah yang tidak rata, di samping ia juga tengah membawa anak orang di belakangnya.
Vano harus menahan tawa beberapa kali jika tidak ingin terkena cubitan dari Anna yang ribet sendiri dengan baju roknya. Jika tahu begini, mungkin gadis kecil itu tidak akan mengenakan pakaian seperti yang di pakainya saat ini.
"Anna mau mencoba?"
Vano bertanya sesaat dirinya menghentikan sepeda itu, ia memutar kepalanya dan menatap langsung manik mata Anna yang sedikit kecoklatan.
"Sudah Anna bilang, Anna tidak bisa, Vano"
"Tidak apa-apa, An. Kan ada Vano. Nanti Vano bantu ajarin Anna sampai bisa deh, janji."
Vano tersenyum seraya memberikan tanda "V" di jarinya, Sementara Anna yang melihat itu akhirnya mengangguk walau sedikit ragu.
"Iya, Anna coba."
Anna, Gadis kecil itu pun turun dari pijakannya, di susul dengan Vano kemudian.
Dengan sabar Vano mengajari gadis kecil itu. Tidak mudah memang, mengingat hal itu baru pertama kalinya Anna membawa sepeda.
Sehingga apa yang terjadi adalah gadis kecil itu lagi dan lagi menjatuhkan pijakan kakinya ke tanah.
***
"LIHAT VANO! ANNA BISA!"
Anna berseru, ia berteriak senang karna akhirnya gadis kecil itu dapat bermain sepeda setelah hampir seharian mencoba dan terus mencoba.
Gadis kecil itu tertawa gembira seraya mengayuhkan sepedanya dengan mulus.
Sementara Vano tersenyum karnanya. Dalam hati ia berkata, tidak sia-sia juga dirinya mengajari Anna. Nyatanya memang tidak sesulit yang ia bayangkan.
"Vano, mau Anna bonceng tidak? kan Anna udah bisa."
"Boleh!"
Vano, anak laki-laki itu berlari menghampiri Anna, dengan segera ia menaiki pijakan dan memegang kedua bahu gadis kecil itu.
"Yeee... kamu bisa, Anna!"
"Vano, jangan gerak! Nanti kita bisa aaaaa.."
Anna sedikit tergoncang tatkala Vano mengoyang-goyangkan kedua bahunya, hingga akhirnya gadis kecil itu kehilangan keseimbangan. Dan...-
Bruk
"Anna, kamu tidak apa-apa?!"
Wajah Vano seketika panik. Pasalnya ia melihat Anna yang tengah meringis sakit memegang lututnya yang berdarah.
Lain halnya dengan Vano, dirinya tidak terluka sedikitpun.
"Perih."
Anna memejam erat matanya, ia ingin sekali menangis karna menahan sakit di kakinya.
"Tunggu sebentar."
Setelah berkata itu, Vano pun bergegas menaiki sepedanya, dengan cepat ia mengayuhkan sepeda itu. Sementara Anna menatap itu dengan kerutan di dahinya.
Waktu semakin berlalu, anak laki-laki itu tak juga kembali. Dalam hati ia bertanya, apa Vano telah meninggalkannya?
Tapi tak lama dari itu, ia mendengar seseorang memanggil namanya. Dilihatnya Vano kembali mengayunkan sepeda dengan kantong kresek di tangan kirinya.
"Maaf Anna, tadi Vano beli obat dulu di bawah. Apa masih perih?"
Anna memandang Vano dengan napas terengah-engah. Ia senang, ternyata anak laki-laki itu tidak pergi meninggalkan dirinya.
"Masih."
Vano menghela napas panjang, lalu ia pun mengeluarkan obat dan plester untuk kemudian mengobati luka di lutut Anna.
Anna kembali meringis.
"Maaf, gara-gara Vano, kamu jadi terluka. Vano janji, Vano bakal lebih berhati-hati menjaga Anna. Vano tidak ingin lagi melihat Anna kesakitan, apalagi bikin Anna sampai nangis."
Anna menatap sendu Vano, sedetik kemudian berganti dengan senyuman lebar, gadis kecil itu mengangguk bahagia. Sebelum akhirnya...-
"ANASTASYA!"
Seketika Anna tersadar dari lamunannya, ia hampir melotot tatkala semua mata di kelas tengah memandang dirinya. Membuat gadis itu menyengir, memperlihatkan deretan giginya yang rapi.
"Ibu sibuk ngajar, kamu malah enak-enak ngelamun. Kalau kamu tidak mau belajar, keluar sana!"
Anna mencurutkan bibirnya, ia memberengut kesal.
"Maaf bu, Anna mau belajar."
Bu Marta -guru yang tengah mengajar itu hanya menggeleng-gelengkan kepala, dan pada akhirnya ia tetap kembali melanjutkan pembahasannya. Sementara Anna masih dengan tampang cemberutnya, bisa-bisanya ia melamun di saat pelajaran berlangsung.
"Makanya fokus, An. Fokus!"
Manda meledek seraya terkekeh pelan, dan Anna hanya menatap tajam gadis itu.
"Diam lo!"
Di sisi lain, Leo menggelengkan kepalanya dengan senyum kecil.
"gadis yang sangat lucu."
***
Di mana pun Anna berada, selalu banyak pasang mata yang memandanginya dengan tatapan ingin tahu. Bukan hal aneh sebenarnya, mengingat Anna yang memang sulit didekati. Apalagi Anna memiliki wajah yang masuk ke dalam kategori cantik. Wajar jika kehadirannya mengundang rasa penasaran mereka. Tidak hanya kaum laki-laki, tapi perempuan juga.
Untungnya, Anna sudah terbiasa menjadi pusat perhatian. Itu sebabnya ia berdiri di samping kelas Revan -kekasihnya, bukannya risi ditatapi banyak orang. Tetapi sebaliknya, ia malah bersikap acuh.
Dengan setia, gadis itu menunggu kelas Revan yang pintunya bahkan masih tertutup, hingga akhirnya matanya membulat sempura karna kelas laki-laki itu bubar juga.
"Hai!"
Anna tersenyum tatkala ia berdiri di hadapan Revan. Sementara Revan yang melihat itu hanya menghela napas pelan.
"Hai Anna. Eh Van, gue duluan."
Dimas berkata seraya menepuk pundak Revan. Ia pun pergi meninggalkan keduanya, di susul Marchel serta Billy.
Revan menatap kepergian kawan-kawannya itu, tidak lama matanya kembali melihat Anna dengan senyum yang masih terpampang di wajah gadis itu.
"Bareng ya."
Anna mendekati Revan seraya merangkul mesra laki-laki itu, membuat Revan berdecak. Ia pun melangkahkan kakinya menuju parkiran dengan Anna di sampingnya.
Tak lama mereka pergi meninggalkan sekolah akhirnya.
"Baby, nanti malam ada food festival loh di dekat rumahku. Kita ke sana ya?"
Anna berkata sesaat mereka tengah di perjalanan. Revan melirik sekilas Anna dari balik kaca sepion karnanya.
"Males."
Jawab Revan akhirnya, dan Anna mencurutkan bibir mendengar itu.
"Ya sudah kalau kamu tidak mau. Aku bisa pergi dengan Leo."
Kontan, Revan pun menge-rem motornya mendadak setelah mendengar itu. Membuat Anna -gadis yang duduk di belakangnya langsung memeluk erat laki-laki itu.
"Turun!"
Anna tersentak mendengar nada dingin yang keluar dari mulut Revan. Dengan sigap, ia turun dari motor laki-laki itu.
"Apa yang kamu bilang barusan? pergi berdua dengan dia? Kamu berani dengan apa yang kamu lakukan itu?!"
Anna menggerut kesal, ia merasa laki-laki itu tengah menantang dirinya.
"Iya! aku akan pergi dengan Leo nanti malam, APA KAMU PUAS?"
Revan menatap tajam Anna, entah kenapa ia merasa sesak dan tidak bisa menahan amarah saat itu juga.
"Baiklah, pergi saja dengan cowok itu."
Revan pun kembali menyalakan mesin motornya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ia melanjukan motornya dan meninggalkan Anna yang terbengong-bengong.
Oh astaga!
Anna bergetar saat motor Revan hilang dari pandangan.
"Ada apa dengan dirinya?"
Revan kenapa ya? ada yang tahu.. hihi