Masih mengikuti langkah si kembar, ternyata mereka sudah berada di lantai tiga. Terlihat sebuah kasur yang cukup besar yang langsung menghadap jendela luar. Juga terdapat sofa panjang yang berada dekat jendela. TV dan playstation, lemari pakaian, juga dapur kecil dengan meja makan kecil – dengan kapasitas hanya untuk dua orang.
Langkah mereka masih belum terhenti, si kembar masih mengarahkan mereka untuk naik ke atas. Dan akhirnya mereka tiba di ruangan yang terbuka, ada meja yang cukup panjang yang bisa menampung hingga enam orang.
Beberapa pohon hias juga mengelilingi di sekitar pinggiran atap. Atap Kanopi juga terpasang untuk menghindari sinar matahari langsung.
"Silahkan duduk." Ucap Rafa, yang menyodorkan bangku ke arah Putri. Rafa membuka kotak merah yang berisikan minuman kaleng yang dingin, memberikan kearah Putri dan Andi. "Disini gak selengkap di rumah Put, jadi jangan terlalu kecewa ya." Ucap Raja yang juga membuka minuman kalengnya dan meneguknya dengan cepat, dan duduk berhadapan dengan Putri dan Andi.
"Untungnya suasana sore, matahari tidak menghadap ke arah gedung ini. Kalau tidak kita akan kepanasan di atas sini." Ucap Rafa yang memegang erat bahu Andi, mengisyaratkan untuk segera duduk.
"Kalian datang berdua saja, kok bisa tau tempat ini?" Tanya Raja dengan bingung. Putri meletakkan minumannya, dan mulai berpikir hal apa dulu yang akan dia tanyakan kepada kakaknya. "Kita sama Ka Wira, tapi karena kita naik motor jadinya lebih cepat sampai." Jawab Andi yang tau Putri tidak menjawab pertanyaan kakaknya.
"Kak, sekarang harusnya Putri yang tanya. Sebenarnya ada apa semalam, dan ini tempat siapa? Kok Kakak bisa ada disini? Dan kenapa chat Putri gak dibalas-balas?" Putri bertanya dengan banyak, membuat si kembar saling bertatapan.
"Ok, mau siapa yang jelasin?" Tanya Raja ke Rafa, Dan Rafa mempersilahkan Raja untuk menjelaskannya. Seketika Raja menatap Andi,
Andi pun tersadar kalau dirinya hanyalah orang luar. "Maaf, saya nunggu dibawah aja ya kak, kayanya gak etis kalau saya ikut dengar." Andi langsung berbicara dan bangkit dari duduknya.
"Sorry, bukan maksud mau ngusir. Tapi gak apa-apa kok kalau memang kamu mau dengar. Kita gak mau kamu merasa terepotkan saja. "Ucap Raja singkat, dan Putri menarik lengan Andi untuk segera kembali duduk.
Raja mulai melanjutkan pembicaraanya. "Well, dari mana ya ceritanya ya?" Ucap Raja yang memainkan minuman kalengnya. "Pertama ini tempat kita, kalian bisa liat kan ada papan namanya RR – Raja dan Rafa." Ucap Raja dengan bangga. Terlihat senyum puas di wajah Rafa.
"Ok, RR ya." Ucap Putri yang mengkeryitkan dahinya yang masih bingung. Raja kembali memulai ceritanya. "Kau tau tidak Put, kami mulai bisnis kami pada saat kami masih duduk di bangku SMA, awalnya hanya keisengan kami lama-lama kami mulai menyukai dengan setiap karya seni yang kami buat." Ucap Raja dengan bangga.
"Kamu sudah lihat kan dibawah, beberapa lukisan, vas, guci, dan beberapa patung dengan model yang kreatif." Rafa menimpali Raja yang sedang berbicara.
"Hampir semua kami yang buat, beberapa ada yang kami beli juga sih. Dan waktu luang kami gunakan untuk mengikuti beberapa kursus dan seminar mengenai karya-karya seni."Ucap Raja kembali bercerita. Putri masih belum bisa menemukan hubungan cerita kakanya dengan kejadian yang sudah dialami olehnya semalam.
Percakapan mereka pun tertunda, Wira baru saja tiba dengan Mega. Wira menggenggam erat tangan Mega. Raja dan Rafa yang tersadar dengan kehadiran Wira, langsung menyambut dengan riang.
"Hai Mega, bagaimana kabar kamu sekarang? Sudah lebih baik?" Tanya Raja menatap Mega yang terlihat bingung dengan kehadiran Raja dan Rafa. "Kabarku sudah baik-baik saja." Jawab Mega tersenyum kecil.
"Syukurlah, Aku dengar dari Wira kamu sudah mulai kembali bersekolah ya?" Tanya Rafa, Mega dan Wira memutuskan untuk duduk berdekatan dengan Raja. "Ya Benar." Jawab Mega singkat.
"Ka Rafa, hari ini Wira gak bisa nginep." Ucap Wira memulai pembicaraannya. Putri menatap ke arah Mega, yang masih terlihat canggung. "Ka Wira harus pulang ya, karena suasana rumah.." Putri kembali menatap Mega, yang mulai memperhatikannya bicara.
"Well, gue rasa cukup fair kan Put." Wira menatap serius Putri, "Kamu ada Andi dan gue ada Mega. Dan mereka tahu soal masalah keluarga kita." Wira melanjutkan omongannya. Raja dan Rafa yang mulai menyadari situasinya, mulai mengambil alih pembicaraan di antara mereka.
"Ok..ok,, cukup. Biar gue lanjutkan penjelasan gue. Bisa kan." Ucap Raja menengahi, dan sekarang semua tatapan menuju ke arah Raja.
"Jadi, sekali lagi gue jelaskan RR Galery adalah ide yang terbentuk dari kami waktu SMA. Tentunya saat itu kami belum punya tempat seperti ini, awalnya kami mengenalkan karya-karya kami kepada orang-orang terdekat. " Raja berhenti sebentar, dan membuka kembali kaleng minumannya. Yang lainnya masih asik menyimak cerita Raja.
"Uang saku kami waktu itu, cukup besar ya Raf." Ucap Raja melirik ke arah Rafa. "Ya benar, bahkan kami berhasil mengumpulkan modal dari uang saku kami. Dan tentunya beberapa penjualan kecil-kecillan yang kami lakukan." Rafa membenarkan ucapan Raja.
"Yahh, seiring berjalannya waktu. Kami pun berhasil membukan galeri ini. Dan berkat Rian juga nama kami semakin tenar. " Raja kembali meneguk minuman dinginnya. "Kau tau kan Rian menekuni ilmu manajemen bisnis dan pemasaran." Ucap Rafa membantu menjelaskan.
"loh, Ka Raja dan Rafa kan juga ambil jurusan yang berkaitan dengan hal itu bukan?" Tanya Putri dengan bingung. Terlihat kakak kembarnya saling bertatapan dan tersenyum lebar ke arah Putri. "Put..put.. kamu tau kan, kita gak pernah serius dengan kuliah kita." Jelas Raja mencoba menahan gelinya.
"Ya kita memang kuliah disitu sih. Tapi kita juga ambil jurusan seni khusus di weekend saja." Rafa kini mulai mengambil alih pembicarannya. "Itulah mengapa, kami memang tidak pernah serius untuk kuliah kami. Tapi tidak dengan jurusan seni kami." Ucap Rafa.
"Stop kak, Putri jadi bingung. Ka Raja dan Ka Rafa, menjelaskan terlalu banyak dan terlalu mundur. Kakak tau kan apa yang terjadi semalam sama papa dan mama." Ucap Putri dengan kesal. "Ya kami tau, Rian dan Wira pun tau." Jawab Raja dengan santai, membuat Putri sedikit terkejut.
"Ok, begini Put." Rafa membetulkan posisi duduknya, "Intinya adalah kami ketahuan oleh Papa. Puncak kemarahannya adalah malam kemarin." Terlihat Raut wajah Rafa yang sedih. "Sepertinya sudah takdir, kami harus ketahuan juga kan." Rafa menatap dingin kearah Putri.
"Ada kenalan bisnis papa yang memesan salah satu lukisan terbaik kami. Awalnya kami tidak tau kalau itu kenalan bisnis papa." Raja membantu Rafa untuk menyelesaikan cerita mereka.
"Kami hanya berpikir pesanan seperti biasanya. Pesanan itu adalah salah satu karya terbaik kami, kami mejualnya dengan cukup mahal loh dan orang itu berani membayar." Raja tersenyum puas.
"Jika saja gue dan Rafa tau ternyata lukisan itu dibeli untuk dijadikan hadiah untuk papa. Kita gak akan berani untuk menanggapi pesanannya." Kini terlihat wajah sedih Raja dan Rafa yang terpancar. Baru kali ini Putri melihat kakak kembarnya yang periang terlihat sedih.
"Papa mengetahui dengan cepat, apalagi kami selalu menuliskan inisial nama kami di bawah lukisan. Sepertinya Papa mengetahui dari nama dan nomor telepon kami yang berada di kartu garansi yang kami buat." Raja memegang punuk lehernya dan memijitnya dengan pelan. Putri seperti merasakan beban yang dirasakan oleh kakaknya.