App herunterladen
74.31% Memory Of Love / Chapter 81: Cubita Mesra

Kapitel 81: Cubita Mesra

Bila menyeret Edwin dengan segera, sambil berjalan ia terus menggerutu tentang sikap Edwin.

"Kak....ga gitu juga kali, aku tahu kak Edwin ga suka sama Caca, tapi paling ga hargai sedikit lah perasaan Caca".

"Ogah amat, cewek kaya Caca tuh ga bisa dikasih hati barang sedikit" Edwin terus berkilah setiap kali Bila mencoba memberi pengertian "dasar prempuan ular".

"Kakak, kita pulang aja yuk kak" Bila mengajak Edwin untuk pergi "sekarang kita temui kak Frans, pulang aja".

"Good idea sayang, ternyata kamu memang pengertian ya sama aku".

"Udah, diem" jawab Bila ketus karena kesal.

Setelah berpamitan pada Frans mereka segera meninggalkan acara, bertemu Caca benar-benar membuat mood Edwin menjadi buruk.

Sementara Caca masih mengorek informasi tentang Edwin, dari apa yang ia ketahui saat ini Edwin dan Bila baru saja memulai hubungan mereka lagi.

"Oh...lagi cinta-cintanya ternyata" Caca berkata pada diri sendiri.

"Caca" sapa Frans dari belakang sambil menepuk pundak Caca.

"Frans, selamat ya semoga sukses" Caca memberi selamat atas peresmian restoran Frans sambil mencium pipi Frans.

"Thankyou, tambah cantik kamu Ca, kemana aja?" Frans memberondong pertanyaan pada Caca.

"Aku kuliah dan kerja di Bandung, jarang pulang sih emamg, tapi karena undangan kamu aku berencana balik aja lah".

"Wo....karna aku?" Frans menggoda Caca.

"Ya....karena kamu aku ketemu Edwin,dan aku sudah memutuskan untuk mendapatkan Edwin" Caca berkata pada Frans dengan percaya diri.

"Ca...aku cuma ngingetin ya, kamu kan tahu Edwin sudah punya Bila, jangan rusak lagi lah hubungan mereka, kasian mereka".

"Enak aja, apa yang aku mau harus aku dapatkan dengan cara apapun" jawab Caca teguh.

"Ya elah Ca, nih didepan kamu ada cowok se keren aku Ca, buka mata kamu girls, masih banyak cowok keren selain Edwin" Frans mencoba memoengaruhi Caca.

Caca tak menjawab ia hanya melempar senyum simpul pada Frans seolah mengejek.

Mengetahui mood Edwin yang buruk saat ini Bila yang tadinya berencana untuk memberitahukan tentang keputusan ayahnya ahirnya mengurungkan niatnya.

Ia takut jika ia tetap memberitahukan hal tersebut Edwin akan berbuat nekat, dengan mendatangi ayahnya atau mengancam putra pak Baroto.

Bila tidak ingin hubungan baiknya dengan pak Baroto rusak hanya karena emosi Edwin.

"Kak kita mau kemana?" Bila mencoba mencairkan situasi hening sejak awal perjalanan mereka.

"Aku ga tahu Bil" jawab Edwin datar.

"Kalau gitu kita ke rumah Fani aja yuk kak!".

"Apa, ke rumah Khafiz?" Edwin berkata dengan kesal, ia masih saja jelous jika ada sesuatu yang berhubungan dengan Khafiz.

"Ya....ke rumah Khafiz" Bila tahu apa yang Edwin rasakan "tapi aku mau ketemu Fani, heran kakak masih aja cemburu sama Khafiz".

Bila kesal dengan sikap Edwin, dan ahirnya iapun merajuk seperti yang Edwin lakukan.

"Kalau kakak ga mau ya udah, aku turun depan, biar aku ngangkot ke sana, tapi" Bila terdiam sejenak sambil melirik Edwin "tapi nanti kalau aku pulang sama Khafiz ga boleh cemburu ya!".

"Wuis....enak aja ayo aku anter, nyari kesempatan kamu ya?".

"Daripada yang nganter manyun terus, males banget".

"Ya....aku ga manyun lagi deh nih" Edwin memasang muka senyum yang dipaksakan "udah senyum nih, jangan ngambekin aku ya sayang!" pinta Edwin pada Bila.

Bila tersenyum sambil mencubit gemas pipi Edwin yang mulai cubby "anak manis, gitu dong" dengan lembut Bila menghibur Edwin.

Edwin tersenyum dengan perlakuan Bila, setelah, baru kali ini ia mendapat perlakuan manis dari Bila.

"Bila... kalau setiap aku ngambek kamu.gitu, aku mau ngambek terus ah" Edwin mulai menggoda.

"Emang kenapa?" Bila belum sadar dengan apa yang ia lakukan.

"Aku mau dong dicubit lagi pipinya sama kamu" tanpa alih-alih Edwin berkata.

"Ih kakak" wajah Bila segera memerah mendengar ucapan Edwin.

Seketika suasana hati Edwin berubah, hanya karena cubita mesra dipipinya.

Mereka sampai disebuah rumah yang bergaya klasik, dengan halaman yang luas dan tanaman yang tertata rapi membuat rumah itu terlihat asri.

Bila segera mengetuk pintu dan sesaat kemudian Fani membuka pintu, setelah Fani membuka pintu Bila tersenyum melihat Fani yang kelihatan lebih gemuk dengan perut sedikit membuncit.

Saat ini Fani telah mengandung buah cintanya dengan Khafiz, dan usia kandungannya sudah hampir tiga bulan.

"Bila....." Fani terlihat bahagia ketika tahu tamu yang datang adalah Bila.

"Fani.....kangen" Bila langsung memeluk Fani.

Sementara dua prempuan yang lama tak bertemu itu sedang berpelukan seperti lala dan poo, mata Edwin tertuju pada perut Fani yang sudah terlihat membuncit.

"Fan...kamu hamil?" tanya Edwin.

"Ya kak" Fani menjawab dengan malu-malu.

"Wih....Bil kamu ga pengen tuh?" kembali Bila mendapatkan serangan.

"Ya ga lah, orang aku belum punya suami masa hamil, enak aja" Bila mencoba menghindari godaan Edwin.

"Kalau aku pengen menghamili kamu". dengan lugas Edwin berkata tanpa malu.

"Ih kak Edwin apaan sih, dasar ga tahu malu" Bila langsung berubah galak "Fan kamu sendirian?".

"Ga kok, Khafiz lagi di rumah, masuk yuk" Fani memjawab sambil tersenyum melihat tingkah Edwin dan Bila "masuk yuk".

Bila masuk bersama Fani diikuti Edwin, yang tiba-tiba menggandeng Bila.

Khafiz keluar dari kamarnya, ketika melihat temannya datang Khafiz langsung menyapa mereka.

"Eh ada tamu" sapa Khafiz sambil menyalami Bila dan Edwin.

"Selamat bro, lu udah terbukti laki-laki 100%" sifat tengil Edwin kembali muncul.

"Makasih" Khafiz hanya mampu menjawab singkat karna merasa canggung " duduk Win".

Mereka kemudian duduk dalam satu ruangan, yang berada di bagian samping agar nyaman karena samping rumah Fani dan Khafiz memang dikhususkan untuk tamu dekat dan. keluarga.


AUTORENGEDANKEN
Bubu_Zaza11 Bubu_Zaza11

Jahilnya nongol lagi nih.

Kapitel 82: Tunggu Kejutan Itu Tiba

Mereka awalnya berbincang dan bercanda dalam suasana yang akrap, sikap tengil dan humoris Edwin benar-benar mampu mencairkan suasana.

Sekali-kali Edwin meledek pasangan calon orang tua baru itu, akan tetapi Khafiz kadang juga membalasnya dengan meledek nasip Edwin dan Bila yang belum juga melanglah ke jenjang pernikahan.

Sebenarnya hati Bila terasa sakit dengan situasi tersebut, ia sangat terluka jika mereka membicarakan pernikahannya dengan Edwin karena kenyataannya ayahnya telah menentukan jodoh untuknya.

Bila tak kuat lagi menahan beban di dalam hayinya, lalu ahirnya ia meminta Fani untuk berbicara di ruangan lain.

"Fan...aku males diledekin mulu sama dualaki-laki dudepanku ini lho" Bila membuat alasan agar Edwin tidak curiga "fan pindah aja yuk"

Bila berkata sambil menggandeng Fani ke ruangan lain.

Ketika mereka sudah agak jauh dari Edwin Bila berbisik di telinga Edwin.

"Fan sebenarnya aku mau cerita sama kamu".

"Cerita apa Bila?" Fani agak terkejut.

"Nanti kita cerita ditempat yang aman" Bila memohon.

Setelah sampai dikamar Fani, Bila segera menceritakan tentang keputusan ayahnya untuk menjodohkannya dengan anak pak Baroto, Bila bercerita dengan berurai air mata.

"Fan....aku harus gimana?".

"Aku ga tahu Bil harus ngomong apa?" Fani merasa iba dengan nasip Bila "Bila aku tahu kak Edwin orang yang baik, tapi kalau ayah kamu sudah memutuskan untuk menikahkanmu dengan orang lain, pastilah itu yang terbaik, karena pastinya ayah kamu menginginkan yang terbaik untuk kamu"

"Aku tahu Fan, tapi rasanya cintaku cuma buat kak Edwin".

"Tadi aku cuma menjelaskan dari sisi aku Bil, tapi keputusan ada ditangan kamu, ini hidup kamu".

"Aku sayang sa kal Edwin, tapi aku ga mau jadi anak durhaka dengan melawan orang tua".

Bila kembali menangis tersedu-sedu, sehingga Fani harus menenangkannya.

"Bila pikirkan semuanya dengan jernih, menikah bukan hanya antara kamu dan kak Edwin, tapi juga tentang keluarga kalian"

"Aku tahu Fan, aku tahu dan yakin bahwa pak Baroto akan bersikap baik sama aku, tapi aku ga tahu bagaimana anaknya".

"Kalau orang tuanya baik, aku yakin anaknya juga baik".

"Aku bingung bagaimana cara menjelaskan semua ini ke kak Edwin, aku ga sanggup menyakitinya".

"Maksut kamu?" Fani bertanya dengan heran.

"Aku ga bisa melawan keinginan ayah, jadi aku menerima perjodohan itu, tapi disisi lain aku bingung bagaimana menjelaskannya ke kak Edwin".

Bila dan Fani sama-sama terdiam karena bingung mencari solusi.

"Bucarakan semua ini secepatnya Bil, sebelum terlambat" Fani mengingatkan.

"Ya Fan aku akan mbicarakan ini secepatmya".

Setelah menceritakan semua Bila menangis sejadi-jadinya ditemani Fani, setelah Bila menenangkan diri dan merapikan dirinya mereka keluar.

Edwin melihat Bila yang keluar dari kamar Fani, walaupun sudah membersihkan mukanya tapi mata sembap Bila masih bisa terlihat.

Melihat keadaan Bila, Edwin segera berdiri menghampiri gadis itu.

"Bila kamu kenapa?" Edwin bertanya dengan penuh perhatian.

"Tadi Fani ngajak aku nonton drama, dramanya sedih banget jadi nangis deh aku kak" Bila membuat alasan.

"Oh....drama, lebay kamu".

Bila tersenyum walau hatinya sedih mendengar ucapan Edwin "kak pulang yuk".

Edwin mengangguk, kumudian mereka pergi dari rumau Fani, sedang Fani menatap mereka dengan tatapan kesedihan.

"Fan ada apa sebenarnya?" Khafiz bertanya karena merasa ada sesuatu yang tidak beres.

"Bila dijodohkan sama orang tuanya Fiz, kasihan mereka" Fani mulai menangis "baru saja mereka bahagia, tapi kebahagiaan itu tak berlangsung lama".

Khafiz memeluk Fani untuk menenangkannya.

Setelah mengantar Bila, Edwin kembali ke rumahnya.

Hari itu pak Baroto kembali membicarakan tentang gadis yang ingin ia jodohkan dengan Edwin, saat itu mereka ber dua sedang menikmati makan malam.

"Win...papa mau bicara hal penting sama kamu, dan hari ini harus selesai".

"Apa lagi pa?"

"Papa sudah melamar gadis itu untuk kamu"

"Apa?" Edwin mbelalakan matanya karena kaget "pa aku yang mau nikah, kenapa papa memutuskan sepihak, menikah bukan perkara mudah pa, aku belum mengenal gadis itu".

"Tapi gadis itu setuju, ayahnya tadi memberi kabar ke papa".

"Pa...berarti papa belum ketemu langsung sama gadis itu kan?".

"Belum, tapi gadis itu menerima lamaran itu, yah mungkin awalnya dia nolak, tapi karena gadis itu anak yang solihah mungkin dengan berat hati ia menerimanya demi orang tuanya".

"....." Edwin meringis mendengar cerita ayahnya tentang gadis pilihannya.

"Jadi kalau sama orang tuanya aja nurut, pasti dia calon istri yang baik buat kamu, dan karena gadis itu sudah setuju kamu juga harus mau".

"Ga semudah itu lah pa, aku ga mau salah mengambil keputusan". Edwin masih menolak "lagi pula aku sudah punya calon sendiri, papa ga usah repot-repot, anak papa ini pasti sebentar lagi menikah"

Pak Baroto tak mendengarkan alasan Edwin, ia tetap bersikukuh dengan keputusannya, samoai ahirnya Edwin kalah berdebat.

"Sudahlah pa, kalau sekedar bertemu ya aku akan menemuinya, tapi untuk selanjutnya biarkan aku yang memutuskan, karena ini hidupku pa".

Mendengar kesanggupan Edwin senyum lebar segera menghiasi wajag pak Baroto, "tunggu kejutan itu tiba Win" ucap pak Baroto dalam hati.


AUTORENGEDANKEN
Bubu_Zaza11 Bubu_Zaza11

Happy reading aja.

Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C81
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank 200+ Macht-Rangliste
Stone 0 Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen

tip Kommentar absatzweise anzeigen

Die Absatzkommentarfunktion ist jetzt im Web! Bewegen Sie den Mauszeiger über einen beliebigen Absatz und klicken Sie auf das Symbol, um Ihren Kommentar hinzuzufügen.

Außerdem können Sie es jederzeit in den Einstellungen aus- und einschalten.

ICH HAB ES