Meja kerja Sita.
Menunggu pesan balasan dari pacarnya yang tak kunjung datang, Sita berusaha menelepon Farani, sayangnya telepon hanya tersambung tanpa terangkat. Seharusnya sekarang Farani sedang di jalan, jadi itu bisa menjadi alasan kenapa Farani tidak mengangkat telepon dari dia. Begitulah pemikiran Sita.
Pukul 16.15 WIB
Ini bukan sesuatu hal yang biasa Farani lakukan. Semua keluarga Farani terkenal dengan ketepatan waktu. Bahkan untuk sekelas Fareza yang terkadang "ngaret" pun masih tetap tidak terlambat banyak.
Dengan sedikit kepanikan, Sita masih berusaha menelepon Farani. Lalu sebuah pesan datang. Dan pesan itu datang dari Fareza.
'Ambil mobil lo sekarang.'
Mendapat pesan yang sedikit ganjil dari Fareza, Sita lalu segera menuju rumah Farani. Dari isi pesannya, Sita bisa menebak bahwa Fareza sedang emosi. Selama perjalanan, yang dipikirkan Sita hanya tentang Farani, juga tentang 'kesalahan apa yang gue perbuat?'
Tak bisa dipungkiri, untuk mendapatkan restu untuk berpacaran dengan adik Fareza bukan hal yang mudah. Memang Sita tidak melakukan apapun untuk membuktikan perasaannya kepada Farani, tetapi banyak kesepakatan dan syarat yang Sita dapatkan dari Fareza.
Beethoven no. 15.
CRV putihnya terparkir di halaman rumah. Saat akan membuka pintu, pintu sudah terbuka terlebih dahulu. Fareza muncul dari balik pintu.
"Kita ngobrol di luar aja." sambil melemparkan kunci mobilnya, Fareza berjalan menuju mobil.
Sita mengikuti di belakang Fareza, masuk ke kursi pengemudi dan meninggalkan Beethoven 15 tanpa sempat melihat Farani. Fareza meminta berhenti di minimarket dekat rumahnya.
"Ini terakhir kalinya gue ngomong baik-baik ke lo. Jangan macem-macem sama adek gue."
"Maksud lo?" Sita masih belum paham arah pembicaraan.
"Kenapa lo tidur di rumah gue?"
"Adek lo yang ngajakin gue masuk."
"Jadi lo mau bilang kalo adek gue godain lo?"
"Nggak." pikiran Sita berputar, dia berusaha mecari kata-kata yang tepat agar kesalahpahaman ini tidak berlanjut. "Kita nggak ngapa-ngapain. Gue disana karena nemenin Farani yang takut sendirian."
"Intinya, jangan deketin adek gue lagi."
"Kalo gue nggak mau?" tantang Sita dengan penuh pecara diri.
Fareza hanya melirik tajam ke arah Sita, membuka pintu dan meninggalkan Sita di dalam mobil. Kepalanya tiba-tiba seperti mendapatkan beban yang sangat berat. Perlahan, Sita menyandarkan kepalanya pada kemudi mobil.
"What should I do, Fa?"
Beberapa kali HP Farani berdering. Hanya dibiarkan berdering tanpa pernah dilihat siapa yang meneleponnya atau bahkan untuk mengangkatnya. Dengan tak sabarnya, Fareza segera mematikan HP Farani dan memasukkannya ke dalam laci mejanya.
Dalam amarah yang masih berkecamuk, Fareza berusaha menenangkan pikirannya. Kepalan tangannya tak kunjung terurai. Bahkan keinginan untuk menghancurkan barang yang ada di sekitarnya semakin memuncak. Pada akhirnya, yang dilakukan Fareza adalah menyiram tubuhnya dengan air untuk mendinginkan kepala.
Di kamar sebelah, Farani yang sudah berhasil menguasai diri, hanya bisa duduk menatap keluar melalui jendela. Disana nampak CRV putih yang familier, namun tidak dapat berbuat banyak. Dilihatnya Sita menatap ke arah kamarnya.
Farani menganggukkan kepala kepada Sita, seolah memberitahukan bahwa dirinya baik-baik saja. Dan Sita di bawah yang melihat anggukan Farani membalas anggukan itu.
Saat itu sudah jam 7 malam, dan Farani enggan untuk turun ke bawah. Bahkan setelah Fareza memanggilnya untuk makan malam.
Selain karena dia tidak merasa lapar, keengganan Farani untuk turun adalah karena Sita yang masih berdiri diluar sana. Dirinya hanya bisa menatap Sita dari kamarnya di lantai dua. Begitu juga Sita yang hanya bisa menatap Farani dari luar.
*
Hari kepulangan Ayah dan Bunda dari bulan madu.
Pesawat yang ditumpangi orangtua Farani dan Fareza dijadwalkan akan mendarat pukul 3 sore. Kedua kakak beradik itu sudah sampai di bandara sejak pukul setengah 3 sore.
"Abang." teriakan Bunda terdengat di kejauhan.
Dengan senyum semanis mungkin yang bisa ditampakkannya, Fareza menyambut Bunda dan Ayahnya. Pelukan yang erat dan penuh rindu diberikan untuk Fareza.
"Sehat?" tanya Ayah sambil menepuk pundaknya.
Fareza menganggukkan kepalanya. "Ayah sehat?" lalu Fareza bergantian memeluk ayahnya.
"Bunda, I miss you so much." Farani tak kalah erat memeluk Bundanya.
"Rumah aman kan, Dek?" pertanyaan jahil Ayah dijawab dengan manyun oleh Farani.
"Aman. Kan nggak ditinggalin selama Ayah sama Bunda nggak ada."
"Loh, mana Sita? Katanya mau ikut jemput juga."
Seketika keheningan melanda. Sesaat Farani hanya diam saja, dan Fareza seperti kebingungan untuk memberi alasan.
"Masih kerja Bunda, kan nggak bisa seenaknya main keluar dijam kerja." Farani mencoba menjelaskan.
Tanpa ambil pusing, keluarga itu segera meninggalkan bandara, menuju rumah yang sangat nyaman bagi mereka.
Di dekat pintu keluar, sepintas Farani melihat Sita. Dia berdiri dibalik pilar bandara yang besar. Setelah diamati, itu memang Sita.
"Adek mampir toilet bentar ya." kata Farani, emmisahkan diri dari rombongan untuk menuju toilet.
Sebelum sampai toilet, Farani menyelinap dan mendatangi Sita.
Kepanikan sedikit terlihat diwajah Sita mengetahui kekasihnya ada di hadapannya. Pikirannya masih terbayang pada kakak Farani yang terlalu protektif kepada sang adik.
"Kenapa lo malah kesini?" tanya Sita, khawatir kalau-kalau Fareza memergoki mereka.
Tanpa banyak kata, Farani melepas kerinduannya kepada sang kekasih. Pelukan hangat dan kuat. "Ini tempat umum, siapa aja boleh kesini."
Membalas pelukan Farani dan mencium kepala kekasihnya, Sita tak dapat berkata-kata. Apalagi yang harus diucapkan kalau sebuah pelukan dapat mewakili apa yang dia rasakan.
"HP lo masih di Fareza?" tanya Sita, memastikan kenapa semua panggilannya tidak dijawab oleh Farani.
"Iya, nanti gue chat pake nomer lain." ucap Farani terburu-buru. Dia tidak mau membuat keluarganya menunggu, juga tidak mau membuat kakaknya merasa curiga.
Keduanya lalu berpisah. Farani berjalan menuju parkiran, menyusul keluarganya yang sudah menantikan kedatangannya.
Selama perjalanan pulang, Farani hanya menyandarkan kepalanya di bahu Bunda tanpa banyak berkata. Bunda segera mengetahui ada yang aneh dengan tingkah putri semata wayangnya itu. Dia tidak akan beralih ke 'silent mode' kalau tidak ada hal yang mengganggu pikirannya. Ditambah lagi, beberapa kali Bunda mendapati Fareza melihat ke belakang melalui cermin depan.
Sesampainya di rumah, Farani langsung pamit untuk pergi ke kamarnya. Melihat itu, kecurigaan Bunda makin membara.
"Kayanya Adek lagi ada masalah, Yah." kata Bunda, memungkapkan apa yang menjadi penemuannya kepada sang suami.
"Masalah apa?"
"Nggak tau. Apa mungkin ada hubungannya sama Sita?"
"Bertengkar?" Ayah mencoba menebaknya.
"Mungkin."
"Wajar itu mah. Hubungan kalo nggak pake ngambek betengkar nggak seru." dengan santainya Ayah menanggapi.
Melihat suaminya seperti tidak terpengaruh dengan perubahan perilaku putrinya, Bunda menjadi jengkel sendiri. "Nyesel ngomong sama Ayah."