Theater tidak penuh kala itu, tapi juga tidak lenggang. Beberapa pasangan nampak sudah mengisi bangku sambil bercanda dan berbisik. Sampai di kursi J 10 dan J 11, Sita mempersilahkan Farani untuk duduk. Tak berselang lama setelah mereka duduk, film dimulai.
Film pilihan Fareza kali ini bertemakan horor. Entah dari mana dia mendapatkan ide untuk menonton film macam itu. Jelas itu tipe Fareza banget.
'Hadeh, rasanya kok nggak keruan gini yak?' Farani mencoba menenangkan diri, terlebih hatinya.
Kalau boleh jujur, Farani memang dari dulu tidak pernah suka film horor. Bisa dibilang dia tipe yang penakut, sangat penakut hingga bisa dipastikan nanti malam dia tidak akan berani ke kamar kecil sendirian.
Sambil komat-kamit, Farani berharap film segera berakhir. Saat mendengat beberapa penonton berteriak, rasanya ingin berlari saat itu juga. Tapi dia masih bisa menahan diri karena ada Sita disampingnya. Rasa takutnya terkalahkan oleh rasa malu. Pilihan terakhir adalah mengenggam baju Sita dengan erat.
Sita yang menyadari bahwa Farani ketakutan segera menarik tangan Farani sambil berbisik, "ayo kita keluar aja."
Bahkan film berlum berjalan 30 menit, tapi mereka sudah keluar. Selama perjalanan dari kursi menuju pintu keluar, Farani terus memejamkan mata dan menggengam baju Sita dengan eratnya. Sita dengan sabar membimbing Farani untuk keluar dari theater dengan selamat.
Begitu sampai di luar, Sita bisa melihat wajah Farani yang pucat karena ketakutan. Seketika dia merasa bersalah.
"Maaf, gue nggak tau lo bakal ketakutan." ucapnya dengan penuh penyesalan.
Farani langsung menggelengkan kepala, "nggak, gue yakin ini ulah Fareza."
"Kita duduk dulu di situ." Sita membimbing Farani yang masih berwajah pucat untuk duduk di bangku tunggu. "Gue cariin minuman hangat sebentar."
Saat hendak melangkah, tiba-tiba Farani menarik baju Sita, "Jangan pergi, disini aja."
Dengan penuh pengertian Sita kembali duduk di sebelah Farani, lalu mengenggam tangan Farani. "It's okay."
Perlu sedikit waktu bagi Farani untuk kembali memperoleh ketenangan sebelum bisa kembali menjadi dirinya. Beberapa orang yang melihat mereka mungkin akan menganggap mereka sebagai pasangan yang lebay karena duduk berdampingan tapi masih berpegangan tangan. Tapi, baik Sita maupun Farani tidak menggubris pendapat orang.
"I am okay." akhirnya Farani kembali menjadi dirinya, memberi senyum termanisnya kepada Sita. Melihat itu, Sita bersyukur dan membalasnya dengan anggukan.
Pukul 18.00 WIB.
Perut Farani sudah keroncongan, protes karena sedari tadi belum terisi. Tanpa rasa rikuh, Farani mengajak Sita ke restoran favoritnya. Restoran Jepang.
Sambil menunggu pesanan, Farani mencoba memecah keheningan. "Kenapa lo irit kata?"
"Nggak papa." jawab Sita sambil memainkan HPnya. Sepertinya Sita sedang menunggu seseorang memberi kabar lewat HP.
"Telepon gih, daripada bolak-balik cek HP." perkataan Farani membuat Sita mengalihkan tangannya dari HP, tapi sepertinya Farani sudah menyadarinya.
Sita sedang menunggu pesan atau panggilan dari Kia. Dia berpesan kepada Kia untuk menghubunginya setiap jam, tapi bahkan setelah 2 jam kepergiannya dari rumah, Kia tak kunjung memberi kabar.
"Nggak ada salahnya telepon duluan, ketimbang kepikiran kek gitu." Farani berusaha meyakinkan Sita untuk terakhir kalinya. Segera, Sita bangkit dan menjauh dari Farani. Melakukan panggilan ke HP Kia untuk mengetahui kabar adiknya tersebut.
"ya Tuhan, ngenes amat gue yak. Nonton sama orang yang pikirannya nggak ada di tempat." gerut Farani sambil berkirim pesan kepada Lulu.
Tepat saat makanan datang, Sita kembali ke kursinya. Terlihat bahwa dia merasa lega setelah melakukan panggilan entah ke siapa. Saking laparnya, Farani segera melahap makanan yang ada di depannya, bahkan tanpa berbasa-basi kepada Sita.
Selain rasa kesalnya karena film horor yang tadi ditonton, Farani juga merasa emosi karena sikap Sita yang tidak fokus ke dirinya. Bukan berarti Sita harus terus memperhatikan dirinya, tapi minimal dia menghargai keberadaan Farani yang terpampang nyata di hadapannya, bukannya malah sibuk memikirkan orang lain yang sangat dinantinya.
Tanpa sadar, Sita tersenyum melihat kelakuan Farani. Sita merasa bertanggung jawab atas kelakuan beringas Farani melahap makanan tanpa jeda itu. Untungnya Farani tidak menyadari kehadiran sebuah senyuman dari Sita.
"Pelan-pelan aja, gue nggak bakal ngerebut makanan lo kok." ucap Sita, berusaha menenangkan Farani. Lirikan tajam Farani menjadi jawaban bahwa dia tidak peduli dengan apa yang dia lakukan, dan juga pemikiran orang terhadapnya.
Selesai makan langsung bayar, Farani meninggalkan Sita di belakang. Bahkan saat laki-laki itu memanggil namanya, Farani masih tetap melanjutkan perjalanannya tanpa menoleh. Dengan tinggi yang mencapai 180 cm, jelas kaki Sita lebih panjang daripada kaki Farani, itu sebabnya langkah kaki Farani segera tersusul.
"Gue anter pulang. Gue udah janji sama Fareza."
Hening. Rasanya Farani mulai terbiasa dengan keheningan bersama Sita. Walaupun sudah beberapa kali berkendara bersama, mereka belum juga bisa memecahkan keheningan.
"Gue nelpon Kia tadi. Dia di rumah cuma sama bibi."
Mendengar perkataan Sita, Farani merasa sedikit bersalah. Sedari tadi dia sudah menduga yang tidak-tidak ke Sita, yang nyatanya Sita hanya khawatir kepada adiknya.
"Trus kenapa lo nekat pergi kalo Kia cuma sendirian di rumah?"
"Waktu tau gue mau pergi sama lo, dia excited banget. Bahkan baju ini dia yang milihin."
Sekali lagi Farani merasa bersalah. Bahkan kali ini dia seperti mendapat tamparan.
"I'm sorry." ucapnya tanpa berani menatap Sita.
*
Sesampainya di rumah, hal pertama yang dilakukan Farani adalah mendatangi kamar abangnya. Jelas acara nonton tadi sore disponsori oleh kakak tertampannya, Fareza.
"Abang!" langsung saja Farani menjambak dan mengacak-acak rambut kakaknya tanpa ampun.
Saking kesalnya, bahkan Farani tidak menyadari bahwa di kamar kakaknya tidak hanya dia sendiri, tetapi ada beberapa temannya. Kebrutalan Farani memang sudah menyebar, tapi seperti kata orang, no pict=hoax. Beberapa teman Fareza yang menyaksikan dengan mata kepalanya akhirnya mengakui kebrutalan Farani.
"Apaan coba? Sakit tau." Begitu berhasil melepaskan diri, Fareza langsung berlari, bersembunyi di belakang temannya.
Menyadari bahwa di kamar kakaknya tidak hanya mereka berdua, Farani lalu langsung keluar kamar. Perasaan malu menghinggapi dirinya. Akan tetapi, karena rasa kesal yang sudar dirasakannya kepada Fareza, dia tidak mempedulikan rasa malu itu. Yang penting tujuan utamanya untuk membalas Fareza terlaksana.
"Rasain Lo." dengan rasa puas, Farani berjalan ke kamarnya untuk berganti pakaian dan lalu pergi tidur. Sepertinya dia akan bermimpi indah malam ini.