Ludwina tidak mendengar berita dari Kevin selama beberapa bulan setelah mereka membahas "pemutusan perjanjian" di antara mereka.
Ia merasa agak bersalah karena membuat Kevin patah hati, tetapi ia tahu bahwa justru tidak adil kalau ia terus memberi harapan kepada pemuda itu hingga entah kapan.
Dari Hong Kong, Ludwina terbang ke New York. Ia selalu merasa seperti di rumah sendiri di kota tersibuk di belahan benua Amerika itu. Big Apple adalah rumah keduanya, karena Ludwina menghabiskan masa empat tahun kuliah di sana.
Saat pikirannya resah, ia akan kembali ke kota itu. Ia banyak memikirkan pertanyaan Kevin di Hong Kong, bagaimana bila Andrea ingin menikah dan punya anak? Ludwina bukan tipe perempuan keibuan yang bisa mengurusi anak kecil.
Jangankan membesarkan seorang anak, membayangkan sakitnya melahirkan saja membuat Ludwina takut setengah mati. Dia bukan perempuan pemberani.
[Kamu di mana? Aku nggak lihat update kamu di Instagram.]
Saat sedang membaca buku di Central Park, Ludwina menerima email dari Andrea.
Ah, ya... Minggu lalu Ludwina bilang akan ke Singapura, tetapi ia malah ke Hong Kong untuk memutuskan pertunangan dengan Kevin, dan karena pikirannya resah, ia langsung melanjutkan perjalanan ke New York.
Ia berusaha menahan diri untuk tidak menghubungi Andrea karena ia sadar hubungan mereka bergerak sangat cepat sejak pertemuan kedua di bandara dan Ludwina menghabiskan waktu dua minggu di Singapura.
Mereka bertemu hampir setiap hari dan masing-masing bisa merasakan bahwa mereka mempunyai perasaan terhadap satu sama lain. Bagaimana kalau Andrea segera menyatakan cinta? Ludwina belum siap menjawabnya.
[Oh... ada urusan penting ke Hong Kong. Sekarang sudah beres. Aku di New York.]
[Tumben nggak posting foto.]
[Aku sudah nggak mau pamer foto traveling di media sosial. Nanti saja aku tunjukin ke kamu ya.]
Ludwina ingat waktu makan malam bersama Andrea waktu itu dan ia menunjukkan album perjalanannya ke Italia, ke Skotlandia, dan berbagai tempat di dunia, rasanya pendapat dan like para followernya di instagram menjadi tidak berarti, dibandingkan komentar dan decak kagum pemuda itu atas foto-foto yang diambilnya.
Foto-foto yang diambilnya di Hong Kong, dan foto-foto di New York sekarang, sudah ia pilih dalam satu album yang akan ditunjukkannya kepada Andrea dan keluarganya. Mungkin nanti kalau ia sedang bosan, ia akan memposting satu dua ke instagram, tetapi tidak akan seperti dulu.
Lagipula penjelasan Andrea tentang pelanggaran privasi yang dilakukan para perusahaan raksasa teknologi media sosial cukup membuatnya kuatir. Ia tidak mau dikuntit stalker yang mungkin berniat jahat kepadanya atau keluarganya. Bagaimanapun keluarga Ludwina sangat kaya dan menculiknya untuk tebusan bukanlah hal yang mustahil terjadi.
[Shall we make plans for Italy? Proyekku selesai dua minggu lagi. Setelah itu bisa ambil cuti.]
[Kamu belum pernah ke Eropa, kan? Mau mampir ke Paris dan Amsterdam nggak? Kayaknya belum sah ke Eropa kalau belum kedua kota itu. Lagipula visa Schengen lewat Belanda lebih gampang didapat daripada negara lain.]
[Boleh. Aku cuma punya 10 hari. Kamu atur aja itinerary dan kirim aku, nanti aku yang booking hotel atau airbnb.]
Ludwina merasa berdebar-debar karena akan segera traveling bersama Andrea. Ia yakin sekali pemuda itu akan menjadi teman jalan yang menyenangkan, tetapi ia takut bahwa perasaan mereka akan berkembang terlalu cepat.
Di sisi lain, bila ternyata mereka tidak cocok, dan banyak bertengkar selama di perjalanan, akan lebih baik bagi keduanya untuk segera mengetahui ketidakcocokan di antara mereka dan menyudahi hubungan.
Ludwina lebih senang traveling sendiri karena ia jarang menemukan teman jalan yang cocok. Teman-teman kuliahnya dulu, ataupun temannya dari Jakarta, tidak banyak yang bisa diajak traveling dengan asyik. Ada yang terlalu lambat, terlalu banyak bicara, terlalu pelit, terlalu boros, hitung-hitungan, dan kadang hanya karena masalah kecil di jalan, hubungan pertemanan bisa rusak.
Ia kadang-kadang traveling dengan Kevin dan karena sifat mereka yang mirip dan santai, keduanya selalu menikmati bertualang bersama, ditambah dengan situasi finansial yang setara, tidak ada yang merasa berat bila harus menghabiskan uang sejumlah sekian untuk traveling.
Pasangan traveling yang punya kelas sosial berbeda biasanya harus sangat berhati-hati dalam menyentuh masalah uang dan pengeluaran bersama agar tidak ada yang merasa terpaksa membayar terlalu banyak atau merasa dimanfaatkan.
Inilah salah satu perangkap dalam hubungan yang ditakuti Ludwina. Ia sangat berharap Andrea tidak terlalu sensitif masalah uang.
Ia juga berharap dalam perjalanan mereka ke Eropa, Andrea akan melihat banyak pasangan yang bahagia tanpa menikah dan punya anak. Ludwina sudah bertekad akan memperkenalkannya ke teman-temannya yang hidup bahagia di Eropa tanpa anak...
Ia segera membuat daftar.
***
Andrea memperoleh visa Schengen dari kedutaan Belanda yang berlaku selama setahun dan kemudian mereka segera mengurus detail perjalanan mereka.
Ludwina me-redeem dua tiket business SQ dari Singapura ke Amsterdam dan tiket kereta Thalys dari Amsterdam ke Paris. Dari Paris ia membeli tiket pesawat ke Roma lalu kembali ke Amsterdam dan Singapura. Ia memberi daftar tempat-tempat wajib dikunjungi kepada Andrea dan pemuda itu segera memesankan akomodasi.
Ludwina bolak-balik Singapura selama sebulan itu. Ia bertemu Andrea di sela kesibukannya untuk membahas rencana perjalanan mereka. Ludwina sebisa mungkin menghindari makan di Moccasin Restaurant karena ia tidak ingin bertemu Kevin, dan Andrea sepertinya paham itu, ia tak pernah lagi mengusulkan mereka makan di sana.
**
Akhirnya saat yang dinantikan itu pun tiba. Mereka akan ke Eropa bersama!
Ludwina sungguh tidak sabar.
Andrea datang menjemputnya ke Raffles Hotel dengan taksi dan mereka berangkat ke bandara Changi beberapa jam lebih awal.
Biasanya Ludwina akan berangkat di saat terakhir karena sebagai frequent flyer prioritas tertinggi, ia boleh datang 5 menit sebelum pesawat berangkat dan mendapat akses khusus. Tetapi karena Andrea tidak menyukai stress bila ada apa-apa di jalan dan mereka terlambat boarding, Ludwina mengalah dan berangkat lebih awal.
Sesampainya di bandara mereka bisa bersantai beberapa jam di lounge business sambil menunggu boarding. Sebenarnya not bad juga, pikir Ludwina.
Saat di lounge, ia melihat Andrea tampak seperti di rumah sendiri. Tidak ada penampilan canggung karena pelayanan prioritas penumpang business, walaupun Ludwina menebak pemuda itu belum pernah terbang dengan kelas business. Tetapi ia membaur sempurna, seolah ia memang ada di kalangan traveler yang berkelas dan punya uang banyak.
Begitu mereka naik pesawat yang dipenuhi orang-orang antar bangsa, Ludwina juga melihat Andrea membaur dengan mudah. Orang tak akan bisa dengan mudah menebak kebangsaannya, hanya dari penampilannya. Wajahnya memiliki gurat-gurat halus khas Asia tetapi tingginya yang 183 cm dan penampilannya secara keseluruhan terlihat Eropa.
Ludwina tak dapat melepaskan pandangan mengagumi pemuda itu saat sedang membereskan kursinya dan mulai duduk.
"Kamu lihat apa?" tanya Andrea sambil tersenyum geli, melihat Ludwina seperti terpesona.
"Lihat kamu." Ludwina mengaku dengan malu-malu, ia lalu duduk di kursinya, di sebelah Andrea. "Aku senang kita traveling bareng."
"Me too." Andrea menyerahkan obat tidur kepada Ludwina, "Mau minum ini biar bisa tidur nyenyak di perjalanan? Jadi nanti sampai Amsterdam nggak jetlag."
Ludwina menggeleng, "Aku nggak pernah jetlag. Badanku sudah biasa terbang lintas benua dalam waktu yang sering. I'll be fine. But, you should take it. Kamu nggak mau menghabiskan liburan di Belanda sambil terkantuk-kantuk karena jetlag. Nggak seru."
Andrea menurut. Ia meminum sebutir obat tidur setelah makan malam dan kemudian segera tidur pulas di kursinya yang diturunkan menjadi flatbed.
"Good night, Wina. See you in Amsterdam."
Ludwina mengangguk. Biasanya ia juga tidur dalam penerbangan, tidur dengan mudah tanpa bantuan obat tidur, karena baginya pesawat sudah seperti rumah sendiri. Tetapi kini ia hanya duduk di tempatnya dan mengamati pemuda yang tidur di sebelahnya.
Ia tak keberatan kalau wajah orang ini menjadi wajah yang terakhir dilihatnya sebelum tidur, dan pertama dilihatnya setelah bangun.
Dalam hati ia menimbang-nimbang... seandainya Andrea memang jatuh cinta kepadanya seperti yang diduganya, mungkin Ludwina tidak keberatan menikah dengannya. Tapi ia tetap tidak mau punya anak. Ia tak tahu apakah hal itu bisa diterima.
Ia tak bisa membayangkan kalau Andrea memutuskan bahwa anak adalah hal terpenting dalam hidup dan ia tidak bisa bersama Ludwina karena ini.
Ludwina menghela nafas dalam-dalam. Atau mungkin...ia harus membuat bagaimanapun caranya, Andrea harus jatuh cinta kepadanya begitu dalam, hingga ia tak sanggup berpisah dengan Ludwina dan menerima keputusan gadis itu untuk tidak memberinya anak.
Gadis itu menimbang berbagai peluang yang ada di benaknya dan tidak bisa tidur sepanjang perjalanan. Ketika mentari terbit, pesawat SQ mereka akhirnya mendarat di Belanda. Andrea bangun dan menemukan Ludwina masih terjaga di sebelahnya, sibuk dalam pikirannya sendiri.
"Mhmm... kamu sudah bangun?"
"Welcome to Amsterdam, Andrea. The weather looks perfect. Cuacanya bagus untuk jalan-jalan."
Wina menghindari pertanyaan Andrea dan segera menunjuk ke jendela pesawat. Cuaca memang terlihat cerah dari luar. Biasanya jam segini akan ada banyak kabut dan semua serba abu-abu, tetapi sekarang justru terlihat langit biru dan matahari yang mulai bersinar. "It's a good omen. Ini pertanda baik."
Keduanya melewati imigrasi dengan cepat lalu naik kereta ke Central Station. Hotel yang disewa Andrea sangat dekat dari Dam Square, tidak jauh dari stasiun kereta.
Ketika mereka check in, Ludwina baru menyadari bahwa Andrea memesankan dua kamar.
"Kenapa nggak satu kamar aja, Ndre, ambil yang tempat tidurnya twin. Jadi kita nggak boros biaya akomodasi," kata Ludwina keheranan.
"Aku kan laki-laki dan kamu perempuan. Tar kalau kita tidur sekamar bisa tergoda macem-macem..." jawab Andrea sambil mengangkat bahu.
"Seriously, abis menjelajah kota pasti kita berdua akan capek banget dan maunya cuma langsung menggeletak di kasur dan pingsan. Boro-boro tergoda macem-macem," bantah Ludwina. "Mau taruhan ga kalo aku pasti nggak akan membuat kamu tergoda? Kalau aku menang kamu gendong aku keliling Rembrantplein besok."
"Tapi hotelnya sudah dibayar."
"Iya, nggak apa-apa. Kita establish aja dulu, coba tidur di kamar yang twin dan lihat kalau memang kita baik-baik saja, maka booking hotel yang berikutnya bisa diubah, biar jadi satu kamar. Yang sekarang dibiarin saja dulu."
Akhirnya Andrea mengalah. Ia tetap membayar kedua kamar yang sudah terlanjur dipesannya, tetapi kedua koper mereka dimasukkan ke kamar yang sama, dengan dua tempat tidur twin.
"Aku ambil yang dekat jendela ya," Ludwina segera mengklaim posisi terbaik, dan ia tersenyum senang melihat Andrea sama sekali tidak mempermasalahkannya. Hm.,, satu poin plus untuk pemuda itu, pikirnya. Ia tidak ribet.
Mereka langsung keluar dari hotel dan menjelajah Amsterdam dengan berjalan kaki. Sebagai pemandu wisata yang baik, Ludwina membawa Andrea ke tempat-tempat terbaik yang diketahuinya.
Mereka makan di salah satu restoran di tengah kota sambil minum Amstel bir, lalu berjalan-jalan ke Red Light District, lalu mencoba ganja di Coffee Shop, yang rasanya ternyata biasa saja. Menyusuri kanal demi kanal, melihat istana raja, lalu dihabiskan di Rijks Museum.
Ludwina benar, saat malam tiba dan mereka menyelesaikan petualangan, keduanya sudah sangat lelah dan hanya ingin tidur. Ludwina mandi duluan dan bergegas naik ke tempat tidurnya. Ketika Andrea akan masuk ke kamar mandi, gadis itu mengatakan bahwa saat pemuda keluar kamar mandi ia tak perlu takut akan tergoda oleh Ludwina.
Andrea tidak mengerti maksudnya, hingga ketika ia selesai mandi dan mendapati gadis itu telah menutup wajahnya dengan masker wajah berwarna hitam yang tampak mengerikan dalam pencahayaan lampu kamar mereka.
"See? I told you, kamu nggak akan tergoda macam-macam sama aku. Jadi kita bisa traveling bareng tanpa harus boros uang di akomodasi." Ludwina tersenyum penuh kemenangan lalu mematikan lampu di sisinya dan mulai tidur.
Andrea memandangnya hanya sambil geleng-geleng kepala. Oke, berarti Ludwina menang taruhan dan besok ia harus menggendong gadis itu di Rembrandtplein...
Memikirkan itu ia hanya bisa tersenyum sendiri. Sepertinya ia sering sekali menggendong Ludwina... Gadis ini kadang seperti anak kecil.