"Hai, Ami. Senang dapat lagi bicara dengan Anda. Saya diberitahu ayah, Anda akan bertemu
dengannya di USS Alamo…."
"Ya, Ayahmu ada di sini sekarang. Anda dimana, Roxy?"
"New York. Sudah berangkat penjemputan untuk si Bungsu…?"
Ami tertegun. Dia menatap pada ayah Roxy yang sedang ngobrol perlahan dengan Laksamana Lee.
"Anda sudah tahu adanya operasi penjemputan itu…?"
"Saya mendesak Ayah untuk mempergunakan pengaruhnya. Kita semua berhutang nyawa padanya, kan? Sudah berangkat yang menjemput si Bungsu, Ami…?"
"Y..Ya! Sudah…."
"Kita doakan bersama mudah-mudahan tak ada halangan. Apalagi Thomas MacKenzie yang menjemput adalah pilot pesawat tempur yang amat bisa diandalkan…."
"Ya, kita bersama mendoakan.. Roxy…."
ADALAH Cowie pertama tersentak bangun dari tidurnya yang nyenyak karena mendengar suara aneh di antara suara air terjun. Dia membangunkan kawan-kawannya yang bergelimpang di dalam goa di balik air terjun itu.
"Suara heli…!" bisik si Bungsu.
Mereka bangkit dan bergegas ke tabir air terjun yang menutup goa persembunyian mereka.
Tiba-tiba sorot lampu heli menerangi air terjun itu. Lalu lampu sorot itu dimatikan. Kemudian dihidupkan. Mati, hidup lagi terputus-putus.
"Morse! Itu heli Amerika menjemput kita…!" seru Kopral Jock Graham setelah mengartikan kerdipan lampu yang dipergunakan seperti morse bagi kapal-kapal di laut.
Mereka keluar dari balik air terjun itu, di bawah sorot lampu heli menuruni bukit batu tersebut dengan cepat. Heli itu mengapung rendah di hamparan pasir lebar di tepi sungai di bawah air terjun itu. Mereka berempat berlarian ke sana.
Letnan Cowie yang Negro itu pertama sampai di dekat heli. Namun dia tak segera naik, dia menunggu yang lain. Yang pertama naik adalah Kopral Jock Graham, kemudian Sersan Tim Smith, kemudian si Bungsu. Baru dia menyusul.
"Lengkap! Go.. go.. go…!!" seru sersan penjaga mitraliur di bagian kanan setelah semuanya naik.
Seiring dengan melambungnya heli itu dengan cepat ke atas, terdengar suara.
"Hallo, Bungsu. Welcome home…!"
Si Bungsu kaget mendegar panggilan itu. Dia menoleh ke arah orang yang menyapanya, yang tak lain dari pilot heli itu. Meski dia memakai helm pilot, namun si Bungsu mengenalnya dengan baik.
"MacKenzie…" seru si Bungsu sambil mengulurkan tangan, disambut dengan salaman yang kukuh dan hangat oleh suami Michiko itu.
Kemudian mereka menumpahkan perhatian pada pelarian itu. Sebab, sesaat setelah mereka bersalaman, mereka mendengar tembakan dan melihat perluru seperti kembang api menyembur-nyembur dari dua heli yang lain ke arah depan mereka. Saat itu keempat pelarian itu baru menyadari bahwa selain heli yang mereka naiki masih ada dua heli lain yang mengawal.
"Sir, ada empat pesawat tempur memburu kita…" ujar co-pilot yang mendampingi MacKenzie.
"Yap, kita layani!" ujar MacKenzie sambil membuat manuver tajam ke kanan menghindari terkaman peluru yang amat jelas kelihatan datangnya dalam kegelapan malam.
Tak jelas apa jenis pesawat yang memburu mereka. Tapi kini ketiga heli itu saling sama-sama menyerang, menghindar dan melindungi. Mereka tak lagi mempedulikan kemana arah mereka. Yang penting mereka menghindar, atau balas menembak sambil terbang berputar atau melambung ke kiri, ke kanan, berbalik ke belakang. Sampai suatu saat sebuah ledakan dan bola api besar terlihat di samping kanan mereka.
"Cobra kena, hancur…!" ujar co-pilot MacKenzie.
Namun pada saat yang bersamaan, dua buah pesawat tempur yang sedang menyembur-nyemburkan peluru ke arah mereka, yang berada di bahagian depan kiri dan kanan mereka, terlihat menjadi bola api. Yang satu ditembak MacKenzie, yang satu lagi ditembak heli pengawal yang tersisa. MacKenzie menembak sambil meliuk-liukkan terbang helinya.
"Shit, kita kena…!" ujar MacKenzie setelah terasa sebuah guncangan kecil.
"Ya, kita kena…!" seru copilot.
Sekilas keempat pelarian itu melihat asap putih menyembur dari bahagian bawah hidung heli. Namun setelah itu tak ada serangan apapun. Kedua pesawat Vietkong yang tersisa lenyap dari udara.
"Mereka menghindar karena tadi kita bertempur di atas wilayah Kamboja…" ujar MacKenzie.
"Kita juga harus menghindar, Sir…" ujar copilot.
"Tenang, Panglima AU-nya junior saya waktu di West Point…" ujar MacKenzie.
Belum habis ucapannya di radio terdengar perintah untuk menjelaskan identitas mereka dari pesawat Angkatan Udara Kamboja. Hanya selang beberapa saat, dua pesawat pemburu Kamboja sudah berada di bahagian kiri kanan mereka. MacKenzie menjelaskan mereka AU Amerika, dan sebelum dialog berlanjut dia langsung saja menyapa Panglima AU Kamboja, sambil menjelaskan siapa dirinya dan posisi rumitnya saat ini karena pesawatnya kena tembak.
Hal itu dia lakukan karena dia yakin Panglima itu sedang memonitor pembicaraan antar-pilot pesawat tempur yang sedang di udara itu.
Hal itu dipastikan, karena negara manapun yang dimasuki pesawat tempur asing tanpa konfirmasi pasti dilaporkan langsung kepada Panglima AU-nya.
Panglima AU Kamboja yang empat tingkat di bawahnya saat di West Point, kalang kabut dan membuat rencana kilat untuk membantu. Dia memberi petunjuk agar MacKenzie mendaratkan pesawatnya di sebuah bekas lapangan Angkatan Udara negara yang bernama asli Kampuchea itu. Dia segera mengirim teknisi dan mobil tangki bahan bakar. Kerja kilat sepuluh teknisi dan mengisi bahan bakar itu selesai menjelang subuh.
Saat kedua heli itu kembali mengudara, tiga pesawat tempur Kamboja mengiringi seolah-olah "mengusir" heli Amerika itu dari wilayahnya. Dalam waktu singkat lima pesawat itu lenyap dalam kabut subuh. Heli itu terlebih dahulu digiring ke arah selatan, ke arah Teluk Siam. Setiba di atas Laut Cina Selatan lalu melambung ke kiri, ke arah Philipina. Di perairan internasional baru kedua heli itu "dilepas", namun tetap diawasi kalau-kalau disergap pesawat tempur Vietkong. Setelah dirasa aman, barulah pesawat tempur kamboja balik ke pangkalannya.
Usailah skenario yang "dirancang" Panglima AU Kamboja itu dengan Thomas MacKenzie, senior yang dia hormati saat di Akademi Militer Amerika dulu.
Ketika mereka turun di helipad, tempat pendaratan heli di USS Alamo, mereka benar-benar disambut dengan upacara yang istimewa. Si Bungsu heran, karena orang-orang yang dia kenal ada di kapal perang itu. Ada Alfonso Roger, multimilyuner yang "membayarnya" untuk mencari anaknya Roxy Rogers. Ada Jhon McKinlay, pahlawan Hamburger Hill teman Alfonso. Ada Kolonel Eddie MacMahon, perwira SEAL yang dia bebaskan bersama Roxy. Ada Le Duan dan… Ami Florence!
"Hai, Ami. Senang bertemu kembali denganmu…" ujar si Bungsu saat mereka tegak bertatapan dalam jarak sedepa.
Tak ada jawaban apapun dari bibir Ami Florence. Mereka masih bertatapan dalam diam. Lalu… gadis itu menghambur memeluk si Bungsu, memeluknya erat-erat dalam isak tangis bahagia. Mereka berpelukan dalam tatapan haru semua yang ada di helipad itu.
"Jangan lagi kau tinggalkan aku, Bungsu. Jangan lagi, please..!"ujar Ami dalam isak tangisnya.
Hari itu juga mereka diantar dengan helikopter dari USS Alamo ke sebuah hotel mewah di Manila, ibukota Filipina. Malam harinya mereka berkumpul di restoran hotel yang sengaja dipesan untuk acara pertemuan malam itu. Pertemuan sebagai rasa syukur atas pembebasan dan ucapan terimakasih kepada si Bungsu. Ketika mereka memegang gelas minuman, sementara Ami Florence bergayut di tangan si Bungsu, seseorang menepuk pundak Ami.
"Sorry, aku pinjam orang ini sebentar…"ujar sebuah suara sambil meraih tangan si Bungsu sebelum Ami Florence sempat menoleh.
"Thi-thi..!"seru Ami Florence dan si Bungsu hampir bersamaan tatkala mengetahui siapa yang berkata.
Gadis itu terpaksa melepaskan tangan si Bungsu, karena dia segera dipeluk Ami Florence. Mereka berpelukan saling melepaskan rindu. Habis itu Thi Binh merenggangkan pelukannya lalu kembali bicara.
"Boleh ku pinjam orang asing ini sebentar?"ujarnya sambil kembali memegang tangan si Bungsu.
"Boleh asal jangan kau bunuh dia.."ujar Ami Flerence.
Si Bungsu terpaksa menuruti Thi Binh tatkala gadis itu menariknya keluar dari lingkaran orang banyak itu. Tapi dia hanya membawa si Bungsu"menghindar" beberapa langkah.
"Waw, cantiknya kau, Thi-thi…"ujar si Bungsu saat tegak berhadapan saling menatap.
"Aku sudah minta izin pada Ami…"ujar gadis itu, lalu tanpa memberi kesempatan pada si Bungsu untuk memikirkan ucapannya, masih dalam tatapan semua yang hadir, termasuk Ami Florence, gadis itu memeluknya, menciumnya.
Lama sekali.
Si Bungsu terengah ketika ciuman itu selesai. Orang-orang pada bertepuk, termasuk Ami!
"Aku akan tetap mencintaimu…"ujar Thi Binh tertahan.
Lalu dia kembali memegang tangan si Bungsu membawanya kembali ke lingkaran orang banyak. Dan "menyerahkan" kepada Ami Florence. Dia masih memegang tangan si Bungsu, saat Ami memeluk lengan lelaki itu yang sebelah lagi. Yang hadir kembali bertepuk tangan.
Mereka kembali tenggelam dengan cerita"masa lalu". Saat tengah berbincang itu MacKennedy berbisik kepada si Bungsu.Mengatakan ada telepon untuknya.
"Telepon ? Dari siapa…?" pikir si Bungsu heran.
Dia lalu pamit pada Ami lalu menuju ke telepon.
"Halo..siapa ini?"
"Bungsu-san…"
Dug!
Jantung si Bungsu berdegup.
"M..Michiko…?"
Sepi beberapa saat.Di antara ke sepian itu si Bungsu mendengar suara isak Michiko di telepon.
"Kau baik-baik saja, Michiko-san…?"
Tak ada jawaban selain isak tangis.
"Kau dimana Michiko..?"
"Los Angeles…"jawab Michiko pelan setelah lama terdiam.
"Michiko-san…..terimakasih kau telah meminta suamimu menyelamatkan diriku. Aku berhutang budi padamu dan pada Mackenzie, terimakasih.."
"Bungsu-san…"
"Ya…?"
Sepi.
Si Bungsu hanya mnedengar suara terisak tertahan Michiko.
"Michiko-san…"
Sepi.
"Bungsu-san.."
"Ya…?"
"Jaga dirimu baik-baik…"
"Kau juga, Michiko…"
Sepi....Lama.
Lalu si Bungsu mendengar gagang telepon diletakkan. Hubungan telepon itu terputus. Si Bungsu menarik nafas, berusaha menenangkan hatinya yang terguncang. Kemudian berjalan ke westafel di toilet. Mencuci mukanya. Lalu kembali bergabung dengan Ami Florence, Le Duan, Laksamana Jones dan Alfonso Rogers.
Saat mereka bicara, seorang datang berbisik ke pada Ami. Mengatakan ada telepon.
"Dari siapa?" tanya Ami yang masih bergelantungan ke tangan si Bungsu.
"Roxy Rogers, Mam…"ujar orang itu.
"Oh, Roxy!"ujar Ami sambil menoleh pada Alfonso Rogers, ayah Roxy. Alfonso Rogers mengangguk sopan.
"Ada pesan untuk Roxy?"tanya Ami pada si Bungsu.
"Sampaikan salamku padanya…"ujar si Bungsu.
Ami menuju ke tempat telepon dan mengangkat gagang telepon.
"Hai..Roxy…"sapa Ami memulai bicara.
"Sudah selesai penjemputan?"
"Ya..ya! Terimakasih... Anda dimana?"
"Los Angeles. Sudah kau sampaikan terimakasihku pada Bungsu?"
"Sudah. Tapi ayahmu lebih duluan menyampaikannya…"
"Dia baik-baik? Maksudku si Bungsu?"
"Ya, dia baik-baik.."
"Ami…"
"Ya…?"
"Ada yang ingin bicara denganmu…"
"Oya, siapa ?"
"Tanya saja namanya pada yang bersangkutan secara langsung…" jawab Roxy.
Ami Florence menanti dengan heran.
"Halo, Ami…"
Ami Florence mengerutkan kening. Dia mencoba mengingat, suara siapa di seberang sana? Thi Binh? Tak mungkin. Yang pasti suara perempuan.
"Eh.. ya. Ya, saya Ami Florence! Maaf, dengan siapa saya bicara?"
"Kita memang belum pernah bertemu. Namun cerita tentangmu banyak ku dengar dari Roxy. Suami saya sekarang ada bersamamu dan ayah Roxy, Tuan Rogers…"
Ami menatap keliling. Melihat si Bungsu, laksamana Lee, Alfonso Rogers, Eddie MacMahon, Jhon MacKinlay dan abangnya sendiri Le Duan.
"Thomas MacKenzie, dia suami saya…."ujar suara di telepon mengejutkan Ami yang sedang memikir-mikir siapa suami perempuan yang meneleponnya ini.
"Ooo..suami anda yang menjemput si Bungsu dan tiga tawanan lainnya.."
"Ya, selain saya yang meminta, dia juga bertekad melakukan hal itu…"
"Si Bungsu dan suami anda bersahabat?"
"Tidak, saya yang pernah jadi sahabatnya…"
Ami tertegun.
"Maaf Anda…?"
"Michiko. Nama saya Michiko. Anda pasti belum pernah mendengar nama saya, Nona Ami…"
Dug!
Jantung Ami berdegup kencang, hampir saja telepon yang di pegangnya terjatuh mendengar nama itu.
"Michiko Matsuyama…"desisnya perlahan.
Dug!.
Kini justru jantung Michiko yang berdegup kencang, saat Ami Florence menyebut namanya secara lengkap, kendati terdengar amat perlahan.
"Anda…?"
"Ya, si Bungsu sering bercerita tentang anda, Mam…"
Dug!
Kini telepon di tangan Michiko lah yang hampr jatuh, mendengar ucapan Ami Florence barusan.
"Dd..Dia.."
"Dia bercerita betapa dia dan anda saling mencintai, Mam. Dia mencari Anda Sampai Ke Dallas, namun…"
Mereka sama-sama terdiam. Sampai akhirnya terdengar suara Michiko lirih.
"Nasiblah yang memisahkan kami…"
"No, Mam! Bukan karena nasib. Nasib bisa dirobah dengan usaha. Apapun yang terjadi sehabis usaha dan doa manusia, namanya takdir. Bila sudah takdir, tak seorangpun manusia yang bisa merubahnya. Apa yang terjadi diantara kalian adalah takdir, karena kalian sudah berusaha sekuat daya untuk dapat bersama. Anda sendiri datang dari Jepang mencarinya ke Indonesia. Usaha yang amat luar biasa. Dia mencari anda ke Dallas, namun takdir kalian berkata lain, Mam…."
Sepi.
"Apa..apakah dia masih…"
"Dia tidak hanya masih "mengingatmu" Mam! Dia justru masih mencintaimu! Namun dia orang yang sangat tahu diri dan faham benar bahwa di antara kalian ada garis yang tak boleh dia langkahi. Dia mencintaimu bukan karena hanya ingin memilikimu, tapi ingin membuatmu bahagia. Dia takkan menikah kalau orang yang dinikahinya. sengsara bersamanya, kendati dia amat mencintai wanita itu. Dia ikut bahagia, kalau wanita yang dia cintai bahagia, kendati bukan bersamanya…"
Sepi lagi.
"Anda mencintainya, Ami?"
Dug lagi!
Sepi sesaat, sampai akhirnya terdengar suara Ami.
"Yes, Mam…"
Sepi sampai terdengar suara Michiko perlahan.
"Dia mencintaimu, Ami…?"
Sepi.
Lalu terdengar suara Ami lirih.
"No,.. Mam. Dia mencintaimu. Malam-malam terkadang dia menggigau menyebut namamu, dan tersentak bangun…"jawab Ami dengan amat jujur dan dengan suara amat tersendat.
Sepi.
Michiko mendengar Ami Florence terisak. Ami Florence mendengar Michiko terisak.
Kedua perempuan yang dipisahkan ribuan kilo meter, dipisahkan laut dan benua.
Kedua mereka masih sama-sama memegang telepon dengan diam.
"Ami…"
"Yes, Mam…"
"Maukah kau menjaganya, untuk kebahagianmu dan demi aku…?"
"Mam..??"
"Ami, please…"
Sepi amat menekan. Terdengar suara Michiko kembali memanggil.
"Ami…:"
"Yes, Mam…"
"I love you…"
"I love you too..Michiko-san!"
Saat bergabung kembali dalam kelompok si Bungsu dan yang lain-lain, meski dia tersenyum namun si Bungsu melihat ada bekas air mata di pipi gadis itu.
"Michiko yang menelponmu, Ami?"tanya si Bungsu lembut.
Ami menatapnya.
"Tadi dia juga meneleponmu, Dear?"
Si Bungsu mengangguk. Ami Florence tak dapat menahan harunya. Tanpa dapat ditahan dia terisak. Si Bungsu memeluknya. Dia menumpahkan tangisnya dipelukan lelaki dari Indonesia itu.
"I love you. I love you…!" bisik Ami Florence dalam pelukan erat si BUNGSU.
Tamat.
— Bald kommt ein neues Kapitel — Schreiben Sie eine Rezension