App herunterladen
82.33% TIKAM SAMURAI / Chapter 219: Ninja…

Kapitel 219: Ninja…

Ucapannya segera disambut acungan kepalan tangan semua tawanan tersebut, tak kecuali mereka yang lumpuh akibat siksaan. Si Bungsu menatap pada Roxy. Gadis itu, yang duduk di dekat Helena, teman satu selnya yang tak bisa berdiri, juga tengah menatap padanya.

Hanya beberapa saat menatap gadis itu, tiba-tiba dia menoleh ke arah lorong darimana dia tadi masuk ke tempat penyekapan ini. Di sana masih bersandar dua orang tentara Amerika, menghadap pada Kolonel MacMahon. Kolonel ini nampaknya arif ada sesuatu yang tak beres dari cara si Bungsu yang tiba-tiba menoleh ke terowongan itu.

"Ada sesuatu yang tak beres?"

"Nampaknya ada yang datang…" jawab si Bungsu sambil matanya tetap memandang ke arah lorong tempat keluar masuk itu.

Kolonel tersebut juga menatap ke arah mulut lorong yang di depannya tegak dua anggota pasukan Amerika itu. Mereka semua pada terdiam.

"Ada empat orang yang sedang naik kemari. Mereka sekitar lima puluh meter dari kita…" ujar si Bungsu perlahan sambil memperhatikan lorong kecil tempat mereka kini berada.

Tentara Amerika yang belasan orang itu, kendati kondisi mereka amat buruk, namun mereka adalah pasukan-pasukan elit Amerika. Beberapa di antaranya adalah pasukan Baret Hijau yang amat tersohor itu. Namun yang lebih terkenal lagi adalah Kolonel MacMahon, yang bersama empat orang anak buahnya kini ikut tertawan. Mereka berasal dari pasukan SEAL. Pasukan khusus Angkatan Laut Amerika yang amat terkenal itu.

Tapi, kendati sudah berkonsentrasi penuh mereka sungguh tak mendengar apapun. Orang Indonesia ini mengatakan ada empat tentara yang kini sedang naik. Kalau saja bukan orang ini yang bicara, MacMahon pasti mengatakan ucapan itu bual semata. Namun hatinya mengatakan lelaki ini bukan pembual, dan dia juga yakin, lelaki ini jauh lebih tangguh dari dirinya.

Dia menatap pada si Bungsu. Seolah-olah menyerahkan bagaimana langkah berikutnya pada orang Indonesia itu. Si Bungsu segera menyuruh bawa orang-orang yang sakit ke lekuk di mana tadi dia menemukan air. Kemudian di menyuruh tentara-tentara Amerika itu, termasuk si kolonel, berjaga di terowongan besar. Dia sendiri menggantikan tempat kedua tentara yang berjaga di mulut terowongan.

"Saya takkan bisa berbuat banyak terhadap keempat tentara Vietnam itu. Yang lolos ke terowongan besar ini menjadi tugas Anda menyelesaikannya, Kolonel…" ujar si Bungsu, sambil menyerahkan bedil yang dia bawa kepada si kolonel.

Kolonel itu menatap si Bungsu sesaat setelah menerima senjata tersebut. Si Bungsu tahu, tatapan si kolonel maupun anggotanya seperti mempertanyakan, apa yang akan dia perbuat menghadapi ke empat Vietnam yang sedang naik itu tanpa senjata.

"Saya hanya akan mencoba mengalihkan perhatian mereka. Anda bertindak saat mereka memperhatikan saya…" ujar si Bungsu perlahan.

Pasukan kecil yang compang camping dan hanya memiliki sebuah senjata pinjaman dari si Bungsu itu segera bergerak cepat mencari perlindungan. Dalam waktu singkat terowongan itu kosong. Antara terowongan tempat keluar masuk itu ke terowongan besar tempat penyekapan tentara Amerika ada jarak sekitar sepuluh meter. Siapapun yang datang menuju ke terowongan tempat penyekapan tentara Amerika ini, begitu keluar dari terowongan kecil akan berbelok ke kanan.

Sementara dinding di mana si Bungsu kini bersembunyi berada di sebelah kiri. Dia beruntung, karena di bahagian kiri itu ada sebuah lekuk yang bisa dia pergunakan sebagai tempat menyurukkan badannya.

Hanya beberapa detik dari saat dia berdiri di lekuk itu, dia mendengar langkah kaki bersepatu hampir sampai ke mulut terowongan. Jumlah tentara Vietnam yang datang itu ternyata memang empat orang.

Kedatangan mereka bisa segera diketahui, karena sambil berjalan mereka juga berbicara, yang juga terdengar oleh Kolonel MacMahon dan lima anggotanya yang siaga di mulut terowongan besar. Mereka menanti dengan berdebar. Setelah bertahun-tahun disekap, inilah pertama kali mereka berada dalam situasi siap tempur.

Suara tentara Vietnam yang sedang bicara itu terdengar semakin jelas ketika mereka semakin dekat ke mulut terowongan kecil.

Kini keempat mereka sudah keluar dari terowongan kecil tersebut. Karena tak pernah menduga bahwa terowongan itu sudah dimasuki orang lain, ke empat tentara itu segera berbelok ke kanan. Saat akan sampai ke mulut terowongan besar, tiba-tiba mereka mendengar suara, seperti siulan, dari arah belakang. Tanpa curiga apapun, karena menyangka suara itu hanya suara sesuatu yang tak perlu dicurigai, sambil tetap melangkah mereka menolehkan kepala ke belakang.

Untuk sesaat mereka masih melangkah selangkah lagi, sampai akhirnya langkah mereka terhenti tatkala menyadari kehadiran orang lain di dalam terowongan yang amat dirahasiakan ini. Celakanya, karena mereka demikian yakin akan keamanan terowongan ini, karena banyak sekali ranjau yang ditanam secara rahasia, ditambah lagi para tawanan Amerika itu disekap dengan rantai sebesar-besar lengan di kaki, tangan dan pinggang, maka mereka merasa tak perlu siaga dengan senjata yang mereka bawa.

Masing-masing mereka memang membawa senjata. Namun senjata itu mereka sandang di bahu. Begitu berhenti setelah melihat ada orang asing di belakang mereka, ke empat tentara Vietnam itu agak lega. Karena lelaki asing itu sama sekali tak membawa bedil sebuah pun. Itulah sebabnya mereka dengan tenang meraih bedil yang mereka sandang. Kemudian mengarahkan larasnya ke arah si Bungsu.

Si Bungsu tetap tegak dengan dua kaki terpentang dengan kedua tangannya lurus di sisi kiri kanan tubuhnya. Salah seorang tentara Vietnam yang berpangkat sersan, paham bahwa orang ini sudah mengetahui tempat yang amat dirahasiakan oleh induk pasukannya. Jika orang ini tak segera dihabisi, merekalah yang akan dihabisi komandan mereka.

Dengan pikiran demikian, sersan itu segera menarik pelatuk bedilnya. Namun begitu, telunjuknya menyentuh pelatuk, begitu dia rasakan sesuatu yang amat pedih di antara dua alis matanya. Pedih dan sakit yang amat sangat! Penglihatannya tiba-tiba menjadi gelap. Amat gelap gulita. Dan hanya itu. Sebab setelah itu, tubuhnya jatuh tertelungkup. Berkelojotan beberapa saat dengan rasa sakit yang tak tertahankan. Lalu diam. Mati!

Ketiga temannya tak sempat merasa terkejut. Mereka hanya sempat melihat sekilas, kedua tangan lelaki itu bergerak dengan amat cepat. Mereka tak melihat ada bedil atau pistol di tangan lelaki itu. Mereka juga tak melihat ada sesuatu yang meluncur dari tangan lelaki tersebut. Namun entah apa sebabnya, tubuh ketiga mereka tiba-tiba menjadi limbung. Ada rasa sakit yang menyergap diri mereka dengan amat sangat.

Tak seorang pun yang sempat menarik pelatuk bedil. Dua orang di antara mereka merasakan sesuatu yang amat pedih di hulu jantung. Ketika tangan mereka menggapai ke arah yang amat sakit itu, mereka menemukan sebuah benda kecil tertancap di sana. Lalu, mata mereka terbeliak, lalu tubuh mereka rubuh terhempas. Yang seorang lagi merasakan tenggorokannya seperti dimasuki duri yang amat tajam. Nafasnya seperti tersumbat, matanya mendelik. Dari mulutnya tiba-tiba menyembur darah segar.

Sampai dia rubuh, menyusul ketiga temannya, dia tak pernah tahu bahwa tenggorokannya sudah ditembus sebuah samurai kecil yang teramat tajam, dan dilontarkan dengan cara yang teramat mahir, dengan kecepatan yang tak terikutkan mata, oleh lelaki asing yang tadi bersiul dari arah belakang mereka.

Tak seorang pun di antara keempat tentara Vietnam itu yang pernah membayangkan bahwa mereka akan menemui akhir perjalanan hidup seperti ini. Di kiri kanan terowongan besar, Kolonel MacMahon dan kelima anak buahnya menanti dengan perasaan tegang kemunculan tentara Vietnam itu. Beberapa saat yang lalu mereka sudah mendengar langkah keempat tentara Vietnam itu mendekat.

Barangkali hanya tinggal dua atau tiga langkah lagi, mereka pasti muncul di terowongan besar di mana mereka menanti, dan mereka yakin ke empat tentara itu bisa mereka habisi.

Namun tiba-tiba saja langkah yang mendekat itu berhenti. Kemudian terdengar keluhan-keluhan pendek susul menyusul, diiringi suara bergedebuk seperti suara benda keras jatuh. Lalu sepi.

Detik demi detik berlalu dalam kesunyian yang amat mencekam. Mereka sampai berkeringat menanti dengan kekhawatiran orang Indonesia itu sudah dihabisi. Si Kolonel memberanikan diri mengintai dengan mengacungkan bedil ke arah mulut terowongan kecil. Dan dia ternganga. Perlahan dia menurunkan bedil, kemudian dengan menenteng bedil itu dia keluar dari tempat persembunyiannya, melangkah ke arah pintu terowongan kecil itu.

Kelima anak buahnya yang sedang menempel ketat ke dinding, menatap heran pada si kolonel. Mereka ikut kaget ketika si kolonel melangkah ke arah suara serdadu Vietnam yang mereka dengar tadi. Karena tak ada suara tembakan apapun, mereka ikut-ikutan keluar dari persembunyian masing-masing. Melangkah ke arah mulut terowongan, dan seperti si kolonel, tiba-tiba mereka pun dibuat hampir tak mempercayai apa yang mereka lihat.

Di depan mereka empat serdadu Vietnam terlihat pada bergelimpangan. Saat itu si Bungsu tengah mencabuti samurai kecilnya yang terakhir, yang tertancap di tenggorokan salah seorang tentara Vietnam itu.

Kini ke-17 orang Amerika tersebut sudah berkumpul di dekat si Bungsu. Lelaki Indonesia itu tengah menyisipkan samurai-samurai kecil ke sabuk karet tipis di balik lengan bajunya, setelah dia menghapus darah yang lekat di samurai itu ke pakaian tentara Vietnam yang dia bunuh.

"Ninja…" desis seorang letnan pasukan SEAL sambil nanap menatap si Bungsu.

Semua menatap padanya, kemudian pada si Bungsu. Sembari menutupkan lengan bajunya, sehingga semua samurai kecil di balik lengan baju itu lenyap dari penglihatan, si Bungsu menatap ke arah letnan tersebut.

"Saya memang belajar dari seorang Jepang. Namun di Jepang sana yang mahir mempergunakan samurai kecil-kecil seperti ini tidak hanya Ninja. Siapapun bisa melakukannya, asal mau berlatih keras…" ujar si Bungsu perlahan.

Kendati semua tentara Amerika itu berasal dari pasukan elit, namun mereka tak dapat menyembunyikan perasaan heran bercampur takjub mereka pada kehebatan lelaki dari Indonesia tersebut dalam menghabisi keempat tentara Vietnam itu. Dengan takjub mereka memperhatikan luka kecil di tubuh ke empat tentara Vietnam itu. Semua luka terdapat di tempat yang mematikan. Di antara alis mata, tenggorokan dan di jantung.

Yang membuat mereka takjub bukan bekas luka itu, tetapi orang yang menyebabkan luka tersebut. Membidik tempat-tempat yang demikian mematikan bukanlah hal yang mudah. Dan menghujamkan pisau kecil dari jarak beberapa belas meter, dalam waktu yang amat cepat secara beruntun, sehingga tak satu bedilpun sempat meletus dari empat tentara itu, benar-benar suatu kemahiran yang sulit dicerna akal. Sebahagian besar di antara mereka adalah ahli bela diri yang amat terlatih. Ahli pertempuran yang mahir mempergunakan senjata api maupun pisau komando. Namun, untuk membunuh empat tentara Vietnam sekaligus dengan pisau dalam waktu hanya hitungan detik, belum pernah mereka khayalkan.

Karenanya, tidaklah berlebihan kalau mereka kini pada menatap pada orang Indonesia itu dengan kagum.

"Kita harus segera meninggalkan tempat ini. Komandan mereka akan curiga jika keempat tentara yang mati ini tak muncul-muncul di barak di bawah sana. Lagipula, pagi nampaknya sebentar lagi akan turun…" ujar si Bungsu setelah melihat jam tangannya.

"Baik, Tuan yang mengenal jalan ini, karena baru saja masuk kemari. Tuan yang memimpin kami keluar dari tempat penyekapan ini…" ujar Kolonel MacMahon pada si Bungsu.

Si Bungsu tak merasa perlu lagi berbasa-basi. Usai para tentara itu melucuti senjata, peluru dan bayonet milik ke empat tentara Vietnam yang mati tersebut, dia segera berjalan di depan, menuruni terowongan yang menurun tajam ke bawah sana. Mereka juga tak perlu menyembunyikan keempat mayat tentara Vietnam tersebut. Takkan ada yang harus disembunyikan lagi.

Begitu tentara Vietnam naik kemari, mereka akan segera tahu bahwa semua tawanan sudah kabur. Helena yang tak bisa berjalan dipangku oleh seorang sersan. Begitu juga tentara yang sakit, segera dipapah bersama. Mereka bergerak cepat menuruni terowongan terjal dan berliku itu. Tentara yang berasal dari anggota SEAL, pasukan khusus Angkatan Laut itu, segera menempatkan diri di belakang si Bungsu.


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C219
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen