Pantas dia makan setengah ulas, rupanya durian ini durian yang kurang sedap dan jarang dimakan orang di kampungnya. Yang tak sedap bagi mereka, sudah juling mataku saking keenakannya. Bagaimana pula bentuk durian yang enak bagi mereka itu?
Si Bungsu jadi malu sendiri, bila diingatnya. Bahwa dia melahap semua isi durian yang sebesar lengan itu. Padahal dia mengatakan lebih enak durian dikampungnya dari durian ini.
"Tak enak, tapi kok banyak juga Anda makan, ya?" tiba-tiba di sentakan lagi oleh pertanyaan Han Doi.
Matanya terbuka membelalak. Untunglah saat itu Han Doi sedang melangkah kearah tungku, yang menjerang bubur yang telah menggelegak. Harum bubur itu menyebar bersama asap tipis yang keluar dari sela-sela tutup periuk. Bubur itu pasti sangat enak. Baunya saja sudah menunjukan betapa akan sedap rasanya. Tapi aku takkan memakan bubur itu. Kukatakan saja perut ku kenyang makan durian. Nanti dia tanya lagi, mana yang enak bubur itu atau bubur di kampungnya. Lama-lama kutempeleng juga orang ini, si Bungsu menyumpah-nyumpah dalam hati.
Tapi, kendati mula-mula sudah menolak dengan alasan kenyang, namun begitu melihat Han Doi dengan lahap dan dengan suara berkecipak melahap bubur itu, si Bungsu akhirnya menyerah. Dengan mengubur rasa malu dalam-dalam, dia mengambil mangkuk yang tadi sudah diletakkan didepannya.
Dia isi mangkuknya itu separoh saja, agar tak kelihat rakus. Lalu dia makan. Wualah.. Mak, sedapnya bukan main. Dia sudah berusaha makan pelan-pelan, agar tak kelihatan congok. Namun dalam beberapa suap, isi mangkuknya licin tandas.
"Tambahlah, Habiskan saja isi priuk itu. Malam ini kita akan berjalan jauh bukan?"ujar Han Doi.
Habiskan isi periuk? Itu menghina namanya. "Tambahlah" saja sudah cukup menghina baginya, yang tadi menolak makan dengan alasan kenyang. Kini disuruh pula menghabiskan isi periuk itu. Si Bungsu tersinggung luar biasa. Tapi nikmatnya rasa bubur itu yang sedapnya juga luar biasa, membuat dia terpaksa menyimpan rasa tersinggungnya dalam kocek baju.
Dia tarik periuk itu ke dekatnya. Lalu dia salin isinya. Hampir melimpah mangkuk di depannya. Kemudian dia makan dengan lahap. weleh.. weleh.. weleh! Si Bungsu akhirnya tersandar ke dinding. Yang tersisa hanya rasa lemah karena hampir seminggu tak makan apapun.
Ayahnya memperkenalkan si Bungsu pada gadis itu. Gadis itu mula-mula merasa malu dan rendah diri akibat penyakitnya. Namun setelah ayahnya mengatakan, bahwa anak muda inilah yang memberinya obat sehingga cepat pulih, gadis itu menganggukkan kepala kepada si Bungsu, memberi hormat.
Si Bungsu mendekat. Kemudian memegang kening gadis itu. Gadis itu tak mampu menahan tangisnya. Airmatanya mengalir di pipinya.
"Engkau akan segera pulih, dik. Percayalah…"ujar si Bungsu sambil mengusap kepala gadis itu. Gadis itu justru menangis terisak.
"Tenanglah, Tuhan akan membalas orang-orang yang menjahanami ibumu, yang juga menjahanami dirimu, anakku. Yakinlah, Tuhan akan membalas mereka lebih pedih dari apa yang diterima ibumu, dan juga dirimu…."ujar Duc Thio perlahan dengan suara bergetar.
Maksud mereka akan menanyai gadis itu, tentang jalan mana yang harus di tempuh menuju tempat dia disekap tentara Vietkong itu terpaksa diurungkan sementara.
Di ruang depan, Han Doi akhirnya menceritakan semua peristiwa yang menimpa keluarga pamannya. Dahulu pamannya adalah seorang pegawai perusahaan ekspor di kota pelabuhan Donghoi, di utara kota Da Nang. Namun ketika kota itu direbut Vietkong. Mereka kemudian mengungsi jauh ke selatan, ke kota saigon.
Namun hanya dua bulan di kota itu, istri pamannya meninggal akibat infeksi yang di deritanya saat diperkosa. Dua abang Thin Binh, yang harus berhenti kuliah karena perang, terbunuh tatkala Saigon di hujani bom oleh artileri Vietkong.
Pamannya memutuskan untuk menyingkir dulu ke desa yang amat jauh ini, sampai perang berakhir. Maksudnya menyingkir kemari adalah untuk menyelamatkan Thi Binh, yang wajahnya jelita dan tubuhnya sedang mekar. Anaknya kini pasti takkan selamat di Saigon, bila kota itu jatuh ketangan Vietkong. Jika keadaan sudah membaik, mereka akan kembali ke kota. Itu maksud pamannya.
Namun baru sekitar delapan bulan menyingkir ke kampungnya yang jauh terpencil ini, tentara Vietkong justru memilih tempat ini sebagai kamp tahanan rahasia mereka untuk menyembunyikan tawanan perang Amerika. Dan anak gadisnya ternyata benar-benar tidak bisa diselamatkan.
Menjelang tengah malam, ketika Thi Binh kembali minta makan, mereka menunggu gadis itu selesai. Setelah itu, ayahnya menceritakan bahwa si Bungsu berniat menyelamatkan seorang gadis seorang juru rawat Amerika, yang di tawan di kamp di bukit-bukit batu sana.
"Apakah Thi-thi pernah melihat ada seorang wanita Amerika di sana…?" tanya ayahnya.
Thi Binh yang sedang menatap si Bungsu menggeleng.
"Saya tak pernah melihatnya. Kamp tempat mereka mengurung kami jauh dari kamp para tentara itu. Tapi saya pernah mendengar tentara-tentara itu membicarakan seorang gadis Amerika yang sering ditiduri komandan mereka. Saya tak tahu, apakah dia juru rawat itu…" ujar Thi Binh perlahan dalam bahasa Inggris yang fasih.
"Engkau pernah mendengar mereka menyebut nama wanita itu?" tanya si Bungsu.
"Tuan datang dari Indonesia?" tiba-tiba gadis itu bertanya.
Tidak hanya si Bungsu, ayahnya dan Han Doi juga kaget mendengar pertanyaan tiba-tiba tetapi amat tepat itu. Tapi dari mana gadis itu tahu nama 'Indonesia'?
"Ya, kenapa?"jawab si Bungsu perlahan.
"Tuan.. Apakah Ninja?"kembali gadis itu mengajukan pertanyaan yang mengagetkan.
"Tidak. Di Indonesia tidak ada Ninja…" Gadis itu menarik nafas. Wajahnya nampak kecewa.
"Kalau begitu, bukan Tuan orangnya…"ujar gadis itu perlahan.
Semua mereka saling bertukar pandang. Ucapan gadis itu menyebar teka-teki bagi mereka.
"Apa maksud mu, nak…?"tanya Duc Thio pada puterinya.
Thi Binh kembali menatap nanap pada si Bungsu. Kemudian pada ayahnya, lalu pada sepupunya Han Doi. Kemudian sambil menunduk dia berkata.
"Di tempat penyekapan, malam-malam hari saat tidur setelah remuk diperkosa bergantian, saya beberapa kali didatangi mimpi. Mimpi yang sangat memberi harapan…" gadis itu berhenti sesaat. Kepalanya masih menunduk.
"Apa isi mimpimu…?"tanya Han Doi.
"Seorang Ninja datang menyelamatkan saya. Dia mengaku dari Indonesia…"gadis itu berhenti lagi.
"Dia sebutkan namanya padamu dalam mimi itu, Nak?"tanya ayahnya. Gadis itu menggeleng lemah.
"Tapi wajahnya mirip Tuan ini. Tapi Tuan ini bukan ninja, jadi bukan dia yang datang dalam saya itu…." ujarnya lemah, dan kembali menunduk.
"Dia sebutkan bahwa dirinya adalah Ninja?"tanya Han Doi.
Gadis itu menggeleng.
"Lalu, dari mana kamu tahu dia seorang Ninja?"
"Dia membunuhi tentara Vietkong itu dengan senjata rahasia seperti yang lazim dipakai Ninja. Ada besi tipis, runcing-runcing, ada samurai kecil yang dia selipkan di balik lengan bajunya, dia…"
Suaranya terputus. Diputus oleh gerakan Han Doi yang tiba-tiba. Demikian tiba-tiba dan cepat, sehingga si Bungsu sendiri tak sempat mencegah. Han Doi meraih tangan kanan siBungsu. Lalu dengan sebuah gerakan, lengan baju pemuda itu dia singkapkan. Mata Thi Binh terbelalak. Di lengan pemuda itu ada sebuah karet tipis. Pada ban karet itu tersisip beberapa samurai kecil dan beberapa lempengan besi tipis persegi enam, yang seginya merupakan sudut yang tajam.
"Senjata seperti ini yang dipakai orang didalam mimpimu itu, Thi Binh?"tanya Han Doi.
Gadis itu terkesima. Begitu juga ayahnya. Wajahnya bergantian menatap antara senjata-senjata itu dengan wajah si Bungsu.
"Sejak tadi saya yakin. Tuanlah yang datang ke dalam mimpi saya itu. Kenapa lama benar Tuan datang untuk menyelamatkan saya?" ujar gadis itu lirih, dengan mata berkaca-kaca.
Si Bungsu tak menjawab. Ada rasa aneh, sekaligus rasa tersedak, yang membuat dia tak mampu bicara. Bagaimana kedatangannya kedesa itu bisa merasuk kemimpi gadis tersebut?
"Tuhan yang mengirimmu kedalam mimpi saya Tuan. Tuhan yang mengirimmu! Dalam derita sepanjang hari di kamp sana saat saya di perkosa bergantian dengan biadap oleh belasan lelaki setiap hari. Saya berdoa agar Tuhan mengirimkan seseorang untuk membunuhi para jahanam itu, dan menyelamatkan diri saya. Dan Tuhan memberikan harapan pada saya dengan berkali-kali mengirimkan Tuan kedalam mimpi saya…"
Tak seorangpun yang bicara setelah itu. Sepi, kecuali isak perlahan Thi Binh.
"Maaf jika saya datang terlambat. Namun barangkali bukan saya yang datang kedalam mimpimu, Dik.."ujar si Bungsu perlahan.
"Dari mana saya tahu nama negeri Tuan adalah Indonesia? Saya tak pernah mengetahui nama itu, baik di buku bacaan atau di sekolah. Terakhir, dua hari sebelum saya dibebaskan dari kamp karena penyakit kotor ini, Tuhan kembali mendatangkan Tuan ke dalam mimpi saya. Saat itu sipilis sudah menggerogoti diri saya dengan hebat. Tuanlah satu-satunya harapan saya untuk membalaskan dendam. Mimpi itu tak mampu saya ingat keseluruhannya. Di antara demam yang hebat, saya hanya melihat Tuan sepenggal-sepenggal. Kendati demikian, saya mengingatnya dengan baik…" gadis itu berhenti, dia minta minum.
Usai menghirup semangkok air putih matanya kembali menatap nanap pada si Bungsu.
"Dalam mimpi itu, saya melihat Tuan bertiga, seorang gadis indo yang cantik sekali dan seorang lelaki, mungkin abangnya. Di laut ada sebuah kapal perang, besar sekali. Gadis itu bersama abangnya naik kekapal, dia menangis karena tuan tak ikut naik. Tuan berlayar sendiri di kapal perang kecil, sambil berbisik pada saya, sabarlah Thi-thi…saya akan datang membantumu. Itu yang saya lihat dan dengar dalam mimpi saya. Jika apa yang saya lihat dalam mimpi saya yang terakhir tidak pernah dalam hidup tuan, artinya kapal perang yang besar itu, gadis indo yang cantik itu, tak ada kaitannya sama Tuan, maka benarlah bahwa bukan Tuan orang yang dikirim Tuhan kedalam mimpi saya itu…"
Kini tak hanya Thi Binh, tapi juga Duc Thio dan Han Doi menatap si Bungsu dengan nanap-nanap. Demi Tuhan Yang Maha Pencipta, Yang Maha Mengetahui, si Bungsu merasa dirinya menggigil dahsyat mendengar penuturan gadis itu.
"Engkaukah yang dilihat Thi-thi di dalam mimpinya itu, Bungsu?"ujar Han Doi perlahan.
Si Bungsu menatap pada Thi Binh. Gadis itu menatap padanya tak berkedip.
"Andakah yang dikirim Tuhan ke dalam mimpi saya itu, Tuan.."desah Thi Binh.
"Tuhan Maha Besar! Benar, sayalah yang engkau lihat dalam mimpimu itu, Dik. Saya tak tahu kenapa saya bisa menyelinap ke dalam mimpimu. Tapi, Ya Allah, semua yang engkau dalam mimpi itu, kapal perang besar, seorang gadis Indo dan abangnya, semuanya benar…"ujar si Bungsu dengan suara bergetar.
"Ada yang lupa saya ceritakan. Saat di dalam air, Tuan menekan-nekan jam tangan yang terletak di tangan kiri. Saat itu saya seperti membaca pikiran Tuan tentang jam itu. Jam itu memiliki berbagai kegunaan. Bisa mengeluarkan kawat baja halus, pisau dan mengirimkan sinyal. Jam itu bertali kulit hitam dengan plat berwarna biru.."
Han Doi segera meraih tangan si Bungsu sebelum anak pamannya itu selesai bicara. Menyingkapkan lengan baju pemuda itu, dan semua yang diceritakan Thi Binh mengenai jam tangan dalam mimpinya, segera terlihat di lengan kiri anak muda itu.
Si Bungsu benar-benar tak mampu bersuara. Dia bangkit dari duduknya. Kemudian mengulurkan tangan pada gadis belia itu. Namun gadis itu segera menghindar.
"Jangan sentuh saya. Tuan akan tertular penyakit sa…."
Ucapannya terputus oleh jamahan lembut tangan si Bungsu dipipinya, dia menatap lelaki yang sering datang dalam mimpinya itu. Si Bungsu memegang bahu gadis itu, kemudian merangkulnya. Merasa bahwa lelaki ini tidak jijik pada dirinya yang terjangkit sipilis, hati Thi Binh menjadi luluh. Sesaat gadis itu balas memeluk dengan erat, diantara air mata yang membasahi pipinya.