"Tak peduli apa pekerjaan kami.Yang jelas serahkan uangmu..!"
"Hm,akhirnya terbukti bahwa kalian hanya igin merampok,bukan?"
Lelaki besar itu jadi berang.Dia memberi isyarat dan kedua anak buahnya segera maju. Namun kaki si Bungsu bergerak cepat sekali. Lelaki didepannya menyangka bahwa si Bungsu akan menendang tangannya, maka dia menghadapkan mata pisaunya kebawah. Berharap kaki si Bungsu akan menendag ujung pisau yang runcing itu.
Namun dia salah kira, si Bungsu ternyata menendang tempurung lututnya. Demikian dan telaknya tendangan itu, kaki lelaki itu lemas dan tempurungnya bergeser, tegaknya jadi goyah. Tapi dia coba untuk melangkah,namun kakinya terlalu sakit. Dia jatuh berlutut dengan mengeluh, jatuhnya kedepan. Hingga kepalanya sangat dekat dengan kaki si Bungsu. Kalau saja si Bungsu mau, dengan mudah dia bisa menendang pelipis lelaki itu. Namun dia tak berniat menjatuhkan tangan jahat.
Lelaki yang satu lagi, yang menyerang dia dari sebelah kanannya segera dinanti dengan sebuah tinju. Tinju itu mendarat di hidungnya, lelaki itu terdongak. Untuk sesaat seperti ada sejuta kunang-kunang dimatanya. Sebelum dia sadar sepenuhnya apa yang terjadi, sebuah tendangan mendarat diperutnya. Tubuhnya berlipat dan jatuh menerpa lelaki besar yang tadi memberikan komando! Dalam gebrakan yang pendek kedua lelaki itu dilumpuhkan.
"Oooo.. pandeka waang rupanya, ya? Hmm.. Boleh, boleh! Mari saya beri waang pelajaran. Waang akan selalu ingat pelajaran dari Datuak Hitam…."
Tangan kirinya mencabut sebuah belati yang sebuah lagi. Kini tangan kiri dan kanan Datuk Hitam memegang belati berkilat. Lelaki tua peniup saluang dan suami pedendang itu jadi kaget mendengar lelaki besar itu menyebut namanya, Datuak Hitam!
Siapa yang tak kenal dengan nama itu? seorang begal berhati kejam. Seorang kepala rampok dan kepala copet yang baru pulang dari Betawi. Kini di Minangkabau dia mengepalai puluhan pencopet dan perampok. Markasnya tak diketahui dengan pasti. Entah di Padang atau Bukititnggi, entah di Padang Panjang. Namun dalam aksi-aksi pencopetan, perampokan, baik ditoko atau rumah penduduk bahkan pembunuhan, selalu dikaitkan dengan namanya!
Dia memang terkenal amat Bagak, amat kejam dan amat pendekar. Kabarnya dia di Betawi membuka sasaran silat. Di Betawi sana dia juga mengepalai puluhan garong, Datuk Hitam siapa yang tak kenal namanya? Mendengar namanya saja sudah bisa membuat orang terkencing-kencing.
Kini, datuk yang terkenal itu berdiri dihadapan si Bungsu memegang dua bilah belati. Sebuah serangan dilakukannya dan si Bungsu menunduk, namun Datuk itu seperti bisa membaca gerakannya. Begitu menunduk sebuah tendangan menanti. Hampir saja dagu si Bungsu hancur kena tendangan kakinya yang besar. Masih untung anak muda itu bisa mengelak cepat dengan menjatuhkan dirinya ke kanan. Dia berguling dilantai los galuang itu. Namun Datuk itu memburunya dengan injakan-injakan yang kuat, membuat si Bungsu menggelindingkan badannya jauh-jauh.
"Hm..Boleh juga…"ujar si datuk memuji.
Anak muda itu bergulingan dilantai dengan cepat. itu membuat nya kagum. Kini mereka telah tegak berhadapan lagi. Si datuk menyerang dengan ayunan tangan kanan nya. Si Bungsu mundur, si datuk menyepak, si bungsu mundur lagi, dan akhirnya dia terpepet kedinding.
"Nah, bergerak kemana lagi kau buyung, serahkan saja uang mu.he..he…"ujar datuk itu.
Si Bungsu tersenyum melihat si datuk memainkan belatinya dengan bersilang di depannya.
Bagaimana dia harus menghajar lelaki ini? Dia tak ingin membunuh. Bukankah dia telah kembali berada di Minangkabau. Kenapa dia harus membunuh orang kampungnya sendiri? Terasa tak sedap dihati, namun si datuk itu makin mendesaknya.
"Hmm, tak mau? Baiklah. Saya akan ambil uangmu setelah perutmu terbusai…"
Sehabis berkata begitu kedua pisaunya secapat kilat menghujam. Si Bungsu menjatuhkan dirinya selurus dinding. Begitu kakinya mencecah lantai, kaki kanannya terangkat. Menghantam kerampang datuk itu dengan telak. Tubuh datuk itu terangkat dari lantai sejari. kemudian dengan mata mendelik jatuh terlutut kelantai.
"Onde, maaak. onde-onde den waang gili.eh waang sipak. Aduh maak...!"
Datuk itu merintih-rintih, kedua pisaunya lepas, kini tangannya memegang onde-onde yang dia sebutkan itu. Yang sakitnya bukan main, yang mencucuk ke ulu hati. Menghentak ke benak kecil. Dalam keadaan begitulah dia ditinggalkan oleh si Bungsu dan rombongan tukang saluang.
Luka peniup salung itu tak begitu parah. Mereka menuruni janjang ampek puluah, tak jauh dari los galuang itu. Tak jauh dari janjang ampek puluah itu mereka memasuki rumah yang berdinding tadia, dinding bambu yang dianyam. Dan beratap seng yang sudah merah dimakan usia.
"Masuklah, disinilah kami menompang tinggal…"ujar lelaki penggesek rebab itu.
Perempuan tukang dendang itu bergegas masuk, menyiapkan air hangat dan kopi. Kemudian mereka duduk minum kopi. Perempuan itu juga menyertai ketiga lelaki itu minum kopi. Dua orang anak-anak tidur beralaskan tikar pandan kasar berselimut selimut lusuh.
"Itu anak kami.."ujar si penggesek rebab.
Beberapa kali dia melirik istri penggesek rebab itu.
"Maafkan saya. Saya rasanya kenal dengan istri sanak…"ujarnya sambil menatap pada istri tukang rebab itu.
Perempuan yang ditatap itu heran. Dia mengangkat kepala. Menatap pada lelaki yang didepannya itu. Menatap lama-lama, tapi dia tetap tak mengenalnya.
"Ya, saya dari sana…" kata si Bungsu perlahan.
Sementara itu isterinya yang tengah menatap pada si Bungsu, tiba-tiba jadi pucat.
"Uda…, uda Bungsu…?" katanya seperti bermimpi.
"Ya. sayalah ini, Reno…" jawab si Bungsu.
Perempuan tukang dendang itu, yang tak lain dari Reno Bulan yang pernah bertunangan dengan si Bungsu ketika remaja, tiba-tiba menangis. Kedua lelaki yang ada di sana hanya menatap tak mengerti.
"Dimana ayah dan ibumu, Reno?" tanya si Bungsu perlahan.
Sesaat Reno masih menangis, yang menjawab adalah suaminya.
"Amak dan abak telah meninggal. Sudah enam tahun yang lalu."
"Inalilahi wainnailahi rojiun…"
"Saudara kenal dengan beliau?"
"Saya masih terhitung kemenakan oleh ayahnya…" jawab si Bungsu sambil menatap pada suami perempuan itu.
"Sudah berapa lama sanak mencari nafkah dengan bersaluang ini?"
Lelaki itu menatap pada ayahnya yang meniup saluang.
"Sudah empat tahun. Kami tak bersekolah, tak punya sawah atau ladang. Saya baru enam tahun menikah dengan Reno. Yaitu setelah suaminya yang pertama meninggal dalam suatu kecelakaan…"
Si Bungsu tertunduk.
Masa lalunya saat dia remaja seperti berlarian datang membayang. Ke masa dia dipertunangkan dengan Reno. Gadis tercantik di Situjuh Ladang Laweh. Dia tak tahu, apakah dia mencintai Reno waktu itu atau tidak. Dia juga tak perduli, apakah Reno mencintainya atau juga tidak. Waktu itu dia terlalu sibuk berjudi ke mana-mana, tak sempat memikirkan soal cinta atau soal pertunangan.
Dia sibuk dengan judi yang telah mencandu. Namun jauh di lubuk hatinya ketika itu, dia merasa bangga juga bertunangan dengan Reno Bulan. Betapa takkan bangga, Reno gadis paling cantik di kampungnya itu merupakan pujaan setiap anak muda. Ada pedagang dan saudagar dari Payakumbuh datang melamarnya dengan membawa uang dan emas dalam jumlah banyak sekali. Tapi Reno menolak.
Ketika mereka dipertunangkan, kampung itu jadi gempar. Gempar bukan karena mereka tak sebanding. Betapa mereka takkan sebanding,
Reno gadis tercantik di seluruh desa yang berada di kaki Gunung Sago. Gadis alim dan digelari puti saking cantiknya. Sementara si Bungsu, kendati bermata sayu –kata orang tanda-tanda mati muda– namun gagah dan semampai. Pasangan yang membuat banyak orang mendecak kagum.
Namun kegemparan dipicu oleh perangai si Bungsu. Pejudi Allahurobbi, tak pernah Katam Alquran, dan tak pernah menjejak masjid untuk Jumat, Subuh atau Isa. Preman tuak yang dibenci kaum ibu di mana-mana, preman tapi tak tahu silat selangkahpun. Itulah sumber kegemparan saat mereka dipertunangkan. Perbedaan mereka bak badak[1] jo tukak. Reno adalah bedak yang harum semerbak, si Bungsu adalah tukak yang membuat orang muntah kayak.
Sebenarnya sudah berkali-kali pihak keluarga Reno meminta agar calon mantu mereka itu merobah perangainya. Permintaan itu tentu saja disampaikan lewat ayah dan ibu si Bungsu.
Ayah dan ibunya sendiri telah berusaha keras agar anak mereka jadi orang. Tapi si Bungsu tak perduli. Bahkan dia tetap tak peduli ketika akhirnya, setelah semua usaha menyadarkannya jadi gagal, keluarga Reno datang mengembalikan tanda pertunangan. Dia benar-benar tak perduli. Malah dia melemparkan cincin pertunangan yang dia pakai pada perempuan separoh baya yang datang berunding ke rumahnya.
Perbuatan yang mendatangkan aib dan murka ayahnya. Itulah semua kisah tragedi itu. Betapa dia takkan kenal pada perempuan di hadapannya ini?
Kini perempuan yang bernama Reno Bulan itu menunduk, menangis. Tubuhnya kurus tak terurus. Namun bayangan kecantikannya masih jelas. Itulah salah satu sebab kenapa orang banyak datang melihat bila mereka main saluang. Orang ingin menatap wajahnya yang lembut dan matanya yang indah.
Siapa sangka, gadis cantik bunga kampungnya dulu itu akhirnya akan jadi pendendang saluang. Yang hidup dengan menjual suara disepanjang malam yang dingin dan lembab. Yang mencari nafkah dari belas kasihan orang banyak.
Namun itu juga suatu perjuangan hidup. Mereka masih mau berusaha, tidak sekedar menampungkan tangan minta sedekah. Mereka juga pedagang. Meski yang diperdagangkan adalah suara.
"Kata orang….Uda telah meninggal di Pekanbaru…."
Si Bungsu dikagetkan oleh suara Reno. Dia mengangkat kepala.
"Meninggal?"
"Ya. Banyak orang berkata begitu. Berita itu dibawa oleh panggaleh dari Pekanbaru. Uda ikut bergerilya di sana. Sampai akhirnya tertembak dan…meninggal di sebuah kampung bernama Buluh Cina…"
Ya, itulah cerita yang didengar oleh Reno ketika masih gadis. Semula dia sangat sedih ketika diberitahu orang tuanya bahwa pertunangannya dengan si pejudi telah diputuskan. Dia lalu dicarikan calon suami. Seorang kaya dan masih ada pertalian darah dengan keluarganya.
Namun gadis cantik itu menolak. Dia mencintai si Bungsu, teman sesama mengajinya itu.
Mereka memang tak pernah bicara soal cinta. Namun beberapa kali bertemu, di surau tempat mengaji, di pasar atau di jalan, mereka sempat saling beradu pandang. Saling mengerling dan bertukar senyum. Itu sangat membahagiakannya. Dia tak perduli si Bungsu itu pejudi.
Ketika huru-hara selama pendudukan Jepang berlangsung, dia dan keluarganya mengungsi ke Painan. Tempat yang jauh dari jangkauan balatentara Jepang. Di sana dia selalu berharap untuk dapat bertemu dengan si Bungsu. Dia ingin mengatakan pada anak muda itu, bahwa dia mencintainya. Bahwa dia akan tetap menantinya. Dia yakin anak muda itu juga mencintainya. Meski si Bungsu tak pernah berkata begitu, tapi hati perempuannya yang paling dalam mengatakan bahwa anak muda itu juga menaruh rasa suka padanya.
Bertahun-tahun lewat, dia telah dibawa pindah kemana-mana. Dia tetap menolak untuk dinikahkan dengan lelaki lain. Dia tak mengatakan pada orang tuanya alasan penolakannya. Pokoknya dia menolak. Sampai suatu hari dia ditanya oleh ibunya.
"Engkau masih menanti si Bungsu, Reno?"
Reno kaget, dia tatap ibunya. Perempuan tua itu juga menatapnya. Ibu selamanya adalah orang yang paling dekat dan paling mengerti akan isi hati anaknya. Ibu selamanya adalah perempuan yang penuh kasih sayang terhadap anak-anaknya. Reno menangis dan memeluk ibunya yang tua.
"Maafkan Reno, Mak…" katanya lirih.
"Katakanlah. Apakah engkau mencintainya, dan masih menantinya?"
Lama sunyi, sampai akhirnya Reno mengangguk dan menangis dalam pelukan amaknya. Ya, kemana lagi dia harus mengadu. Si ibu berlinang air matanya. Sejak saat itu si ibu berusaha keras mencari kabar tentang si Bungsu.
"Ke ujung langit pun dia, saya akan mencarinya. Saya akan melamarnya kembali untuk Reno…" ujar si ibu suatu malam, saat dia bertengkar lagi dengan suaminya.
"Membuat malu! Bangsat itu penjudi! Dahulu pejudi itu telah memutuskan hubungannya dengan melemparkan cincin pertunangannya bukan? Apakah anakmu tak laku, sehingga tak ada lelaki yang mau jadi suaminya? Reno cukup mengangguk saja, maka sepuluh lelaki kaya atau yang berpangkat akan datang melamarnya! Katakan begitu pada anakmu yang gila itu! Pada gadis tuamu itu! Apakah dia tetap takkan berlaki sampai tua, sampai jadi nenek-nenek. Apakah dia ingin marando tagang[2]?" sergah suaminya dengan berang.
Tapi isterinya juga jadi naiak suga[3].
"Tuan lelaki busuk! Hanya memikirkan diri Tuan saja. Tuan tak pernah memikirkan bagaimana hati anak Tuan. Biar dia kawin dengan rampok sekalipun, asal dia mencintainya dan bahagia…!"
"Kalian sama-sama gila!"
Reno yang mendengarkan pertengkaran itu hanya menangis di kamarnya. Lalu,… suatu hari datanglah kabar itu. Kabar tentang kematian si Bungsu di Desa Buluhcina. Sebuah desa 25 kilometer dari kota Pekanbaru. Reno merasa dirinya runtuh mendengar berita kematian itu.
"Tak mungkin. Tak mungkin…" desahnya berkali-kali.
Berbulan-bulan dia tetap tak mempercayai berita itu. Namun itulah berita terakhir yang didengarnya tentang lelaki yang dia cintai itu. Dan akhirnya, dia menyerah pada kehendak kedua orang tuanya. Terutama kehendak ayahnya. Agar dia segera menikah.
Dia lalu menikah. Meski dalam usia yang sudah sangat terlambat menurut ukuran saat itu. Dia menikah dengan seorang pedagang kaya. Namun hanya beberapa tahun. Pedagang itu dirampok. Tokonya dibakar. Hartanya ludes. Dan suaminya sendiri mati dalam suatu kecelakaan. Reno yang telah kematian ayah dan ibu, jadi hilang kemudi.
Untunglah ada seorang lelaki, pemain rabab yang ikut kelompok saluang yang menikahinya.
Dia tak punya pilihan. Makanya dia menerima dikawini lelaki itu. Daripada hidup dalam godaan. Daripada sesat.
Begitulah sejarahnya.
Dan kini, di hadapannya, duduk lelaki yang pernah dia nanti bertahun-tahun. Lelaki yang dicintainya sepenuh hati. Kalau malam tadi dia tak mengenal si Bungsu, itu memang bukan salahnya.
Anak muda itu kelihatan terlalu gagah dengan tubuh berisi. Lagipula mana berani Reno menatap lelaki lama-lama. Karena dia tahu terlalu banyak lelaki usil yang selalu berdatangan ke tempat mereka bersalung. Tak perduli dia telah bersuami, dan suaminya ada pula di dekatnya!
Kalaupun mungkin ada hatinya berdetak, namun bagaimana dia akan meyakini bahwa lelaki itu adalah si Bungsu? Yang telah dikatakan meninggal dunia. Dia tak mau ditipu oleh mata. Dia tak mau ditipu oleh harapan yang telah punah.
"Apakah engkau tak pernah pulang ke kampung, Reno?" si Bungsu bertanya perlahan.
Dia ingin sekali mendengar cerita tentang kampung halamannya. Tentang Situjuh Ladang Laweh. Reno menggeleng.
"Sudah lama sekali saya tak ke sana. Sudah berbilang tahun. Apa yang harus saya jenguk ke sana? Tak ada lagi ayah dan ibu, tidak juga sanak tak ada famili. Kalaupun ada famili jauh, famili sesuku, mereka takkan mengacuhkan karena kami miskin. Sudah demikian adat di kampung kita. Orang yang dipandang dan didatangi, bila pulang dari rantau, adalah orang-orang yang pulang membawa harta. Orang-orang yang berhasil di perantauan…" Reno menjawab dengan getir.
Si Bungsu tertunduk diam.
"Apakah kalian tak mungkin berdagang?" tanyanya.
Suami Reno tertawa perlahan.
"Bukankah kami kini berdagang? Kami berdagang suara. Hanya itu yang bisa kami perdagangkan. Karena hanya itu pula modal kami. Untuk berdagang yang lain, dibutuhkan modal yang lain pula. Apalagi pergolakan ini membuat keadaan tidak menentu.."
Tapi, kendati situasi keamanan masih belum menentu, si Bungsu menyuruh mereka agar benar-benar berdagang. Dia memberinya modal dari uang yang dia bawa pulang. Keluarga pesalung itu semula menolak. Tapi si Bungsu memaksa mereka untuk menerima modal itu. Dia punya alasan untuk berbuat demikian. Dia punya uang yang cukup. Tapi untuk apa uangnya kini? Dia tak punya siapa-siapa. Dia anak yang bungsu. Tak beradik. Ada seorang kakaknya, tapi kakaknya itupun telah meninggal.
Dia ingin Reno berobah nasibnya. Lagipula Reno adalah anak mamaknya. Dengan uang itu suami Reno membeli sebuah kedai di Los Galuang. Kemudian membeli kain batik ke Padang.
Mereka berjualan kain panjang dan selimut tebal. Selain itu, masih banyak kelebihan uang dan mereka membeli sebuah rumah cukup besar di Jangkak, Mandiangin.
Malam itu, selesai Magrib dan makan malam mereka duduk di ruang tengah.
"Reno, Sutan Pilihan, besok saya akan ke pergi. Mungkin ke Payakumbuh. Tapi perjalanan hidup tak bisa kita terka. Yang jelas besok saya akan pergi. Sutan sudah tahu apa hubungan saya dengan isteri Sutan di masa lalu. Saya yakin Sutan akan menjaga Reno baik-baik. Reno, nasib ditentukan oleh Tuhan. Nasiblah yang membuat kita tercerai berai. Kini sayangi dan jaga anak dan suamimu. Aku menyayangimu sebagai adikku, kenanglah aku sebagai mengenang saudara lelakimu. Aku akan bahagia bila mendengar kabar kalian hidup bahagia…"
Reno tenggelam dalam tangis terisak-isak. Sutan Pilihan tak mampu membendung air matanya.
"Demi Allah, Uda Bungsu, saya akan menjaga Reno sebagaimana Uda pesankan. Dia ibu dari anak saya, dan saya mencintainya. Saya tak tahu bagaimana harus mengucapkan terimakasih atas semua bantuan Uda pada kami, hanya Tuhan yang akan membalasnya…." ujar Sutan Pilihan perlahan.
Besoknya, ketika si Bungsu akan keluar rumah, Reno tak dapat menahan rasa kehilangannya. Dia peluk lelaki itu di depan suaminya. Sutan Pilihan menjadi sangat terharu.
"Jangan lupakan kami Uda. Jangan lupakan kami.." ujar perempuan itu dalam rasa hibanya yang sangat. Si Bungsu balas memeluknya.
"Reno Adikku, jaga suamimu, jaga anakmu.."
"Jaga juga diri Uda baik-baik…" ujar Reno diantara isaknya.
Itulah puncak pertemuan mereka beberapa bulan yang lalu, perpisahan!
Semasa bertunangan mereka tak pernah berpelukan. Jangankan berpeluk, berpegangan tangan saja tak pernah. Kini, setelah zaman berlalu, saat Reno menjadi isteri lelaki lain dan si Bungsu menjadi pengembara yang tak tahu dimana akan mengakhiri pengembaraannya, mereka berpelukan sebagai dua orang adik beradik di depan suami Reno. Sutan Pilihan, suami Reno, menatap perpisahan itu dengan hati yang amat hiba. Dia ingin si Bungsu tetap berada di antara mereka. Budi dan keihlasan anak muda itu amat mengikat hatinya.
---------
[1] badak (bahasa Minang) = bedak
[2] marando tagang = bujang/gadis seumur hidup.
[3] naiak suga = naik emosi