App herunterladen
0.75% TIKAM SAMURAI / Chapter 2: Surau Tua

Kapitel 2: Surau Tua

Perkelahian yang tak seimbang itu segera saja berakhir. Keempat lelaki berdegap tersebut dengan mudah menyikat lawan mereka. Lawan yang mereka sikat itu adalah seorang anak muda yang berusia sekitar 19 tahun. Anak muda itu tergelimpang dekat sungai di belakang surau tinggal, jauh dipinggir kampung. Pakaian anak muda itu sobek sobek. Dia tak sadar diri. Uangnya terserak-serak. Keempat lelaki yang mengeroyok dan melumpuhkan dirinya itu segera memunguti uang yang terserak serak itu. Uang itu tadinya adalah uang mereka berempat. Berpindah tangan pada anak muda itu dalam suatu perjudian yang berlangsung sejak sore kemaren.

Menjelang subuh, ternyata anak muda itulah yang menang. Dia memang seorang pejudi ulung. Tiap berjudi jarang yang kalah. Tapi malangnya dia selalu disikat lawannya yang dia kalahkan. Perjudian hampir selalu diakhiri perkelahian. Dan dalam tiap perkelahian dipastikan dialah yang kalah, karena lawan-lawan yang dia kalahkan bersatu mengeroyoknya. Lalu selalu saja uang yang telah dia menangkan disikat oleh lawan-lawannya kembali. Termasuk juga uang miliknya sendiri.

"Lihat-lihat dulu orang yang akan waang[1] lawan buyung. Jangan sembarang main saja....!" Salah seorang dari lelaki yang berempat itu berkata. Tak ada sahutan, karena anak muda itu memang tak mendengar apa-apa. Dia tergolek pingsan. Keempat lelaki itu kemudian pergi. Kertas koa berserakan diantara puntung rokok daun enau. Hampir tengah hari anak muda itu baru sadar dari pingsannya.

Tak ada yang mengetahui bahwa dia tergolek disana. Tempat mereka berjudi memang tempat yang terpencil. Di sebuah surau yang telah lapuk. Surau itu tak pernah lagi sejak seorang guru mengaji mati diterkam harimau saat pulang mengajar. Kampung jadi gempar. Dan surau tempat mengaji dipindahkan orang ke tengah kampung. Tapi lama-lama bekas surau itu berubah jadi tempat orang bermain koa.. berjudi dengan kertas ceki.

Mereka tak takut pada harimau, sebab umumnya pejudi-pejudi itu adalah orang-orang yang mahir dalam bersilat. Lama-lama, berjudi di surau bekas itu menjadi suatu kebanggaan diantara para pejudi. Sebab berjudi disana merupakan salah satu ujian mental. Hanya orang yang berani dan berilmu tinggi saja yang berani main ke sana. Untuk mencapai surau itu harus melewati kuburan. Kemudian sebuah lembah berbelukar, baru surau. Lembah berbelukar itu, dahulu, ketika surau itu masih tempat mengaji, adalah sawah. Tapi kini sudah ditinggal dan jadi belukar.

--oOo--

Anak muda itu menggerakkan tangannya. Dia masih tertelungkup, menggerakkan kaki. Matanya masih terpejam, hidungnya mencium bau tanah liat. Telingany lambat-lambat mendengar kicau burung.

"Hm... aku masih hidup," bisiknya.

Dia coba memutar tubuh, kepalanya terasa berdenyut. Tapi dengan menghajan[2] semua tenaga, dia berhasil menelentangkan tubuh. Matanya jadi silau menatap sinar matahari yang terjun dari sela-sela daun pepohonan. Dia bangkit, duduk dengan bersitumpu pada kedua lengannya. Menggoyang-goyangkan kepala yang kembali berdenyut sakit. Dia segera ingat pada kemenangannya menjelang subuh tadi, tapi dia tak berniat untuk memeriksa uang dikantongnya. Tak perlu. Uang itu tak perlu diperiksa. Pasti sudah disikat orang. Dia segera mengumpulkan ingatannya kembali. Merekat sisa-sisa ingatannya sejak kemarin. Ya, kemarin senja dia datang kemari bersama empat orang lelaki. Keempat lelaki itu dia kenal tatkala membeli jagung bakar di pasar Jumat. Dia tak tahu siapa mereka, tapi dari cara mereka tegak dan bicara, dia segera mengenal bahwa mereka adalah parewa[3] dan pejudi. Dia kenal orang-orang jenis ini, sebab dia sendiri adalah penjudi yang lihai. Dia ahli dalam berkoa atau main dadu. Keempat lelaki itu dia lihat tengah jongkok dekat sebuah pedati[4] yang dipenuhi tembakau. Dia ikut jongkok.

"Minta api" katanya pada salah seorang yang sedang mengisap rokok daun enau. Orang itu tak segera bereaksi, beberapa saat dia menatap anak muda yang tiba-tiba duduk di dekatnya itu. Tapi anak muda itu acuh saja. Dan akhirnya dia memberikan rokok yang dihisapnya.

"Terima kasih" ujar anak muda itu seraya mengambil rokok yang tinggal puntung pendek itu.

Tapi setelah dia membakar ujung rokoknya, puntung rokok lelaki itu tidak dia kembalikan, melainkan dia buang begitu saja. Muka lelaki itu menjadi merah, tapi anak muda itu seperti tidak peduli, dia malah mengeluarkan segumpal uang dari sakunya.

"Berminat main ?" dia bertanya dengan tenang.

Ah, dia memang ahli dalam soal ini. Lelaki yang dia buang puntung rokoknya itu kembali menatapnya. Kemudian menatap pada ketiga orang temannya yang masih tetap dengan tenang rokok dan duduk mencangkung. Salah seorang diantara mereka mengwrdipkan mata. Dan anak muda itu dapat menangkap isyarat kedipan itu dengan sudut matanya, namun dia pura-pura tak tahu.

"Main apa waang bisa?" lelaki itu balik bertanya.

"Main apa saja!" jawabnya pasti.

"Koa?"

"Boleh!"

"Dadu?"

"Boleh!"

"Barambuang?"

"Boleh, sembaranglah!"

Lelaki itu kembali menatap tiga temannya. Dan kembali yang mengerdip tadi mengerdipkan sebelah matanya yang juling.

"Waang dengan siapa?"

"Saya berjudi tak pernah berkawan. Saya bisa main sendiri, dan ...menang!"

Lelaki yang puntung rokoknya dibuang itu menelan ludah. Dia menatap anak muda itu. Memperhatikannya dengan seksama. Melihat buku jarinya, melihat sikunya, melihat kakinya. Dan dia menduga bahwa anak muda ini pasti pesilat. Tapi dia juga yakin, bahwa dengan berempat mereka bisa "memakan" anak ini. Mereka toh juga bukan orang sembarangan.

"Dimana tempatnya?"

"Terserah"

"Kami bukan orang sini. Kami tak tahu dimana tempat bermain yang baik"

"Saya tahu...."

"Dimana ?"

"Di surau usang di hilir kampung sana..."

"Tempat guru mengaji diterkam harimau itu ?"

Kini anak muda itu pula yang balas menatap lelaki itu.

"Kenapa tahu bahwa di surau itu dulu ada guru mengaji yang diterkam harimau, kalau memang bukan orang sini ?"

"Kejadian itu sudah lama bukan ? Setiap orang di pasar Jumat ini bercerita tentang kejadian itu beberapa tahun yang lalu"

Anak muda itu menarik nafas.

"Benar, di sanalah tempat main yang aman. Bagaimana, berani ke sana ?

Untuk pertama kalinya, keempat lelaki itu tertawa bersamaan. Tertawa mendengar tantangan anak muda ini.

"Tak ada yang ditakuti oleh Baribeh dan kawan-kawannya buyung..." Lelaki juling yang tadi mengerdip berkata.

"Baribeh ?"

"Ya, waang tak pernah mendengarnya ?"

"Pernah, Baribeh itu binatang"

Si Juling terdiam. Yang lain juga. Lelaki yang tadi puntung rokoknya dibuang itu jadi kelabu mukanya karena menahan berang.

"Jangan sembarang bicara buyung. Mulut waang bisa saya sobek", ujar lelaki itu dengan suara berat.

"He, bukankah Baribeh itu memang binatang ? Dan kerjanya memang tukang sobek pohon Kampeh untuk mendapatkan getahnya, kenapa sanak mesti marah ?"

Lelaki itu bangkit dan hampir saja menerjang anak muda itu kalau tidak dilerai oleh si Juling. Si Juling berbisik ke telinganya, dan lelaki itu mengurungkan niatnya untuk melanyau[5] anak muda itu. Kemudian si Juling memutar tubuh, bicara pada anak muda itu.

"Lebih baik waang hati-hati buyung. Tuan kami ini adalah pesilat yang bergelar Baribeh. Kerjanya memang merobek mulut orang-orang sombong seperti waang. Untung dia berbaik hati kali ini. Nah, kapan permainan bisa dimulai ?"

"Terserah, sekarang pun jadi. Tapi harap diingat, saya hanya menantang sanak untuk berjudi, bukan untuk berkelahi....."

"Baik, baik! Tapi siang ini kami ada urusan, bagaimana kalau senja nanti ?"

"Tengah malam pun saya mau. Saya tunggu kalian di sana" Dan tanpa menoleh lagi anak muda ini berlalu.

"Pukimaknya! Anak siapa dia makanya berani jual lagak begitu..." maki lelaki yang tadi puntung rokoknya dibuang.

"Nampaknya dia cukup berisi. Kalau tidak mana dia berani berbuat seperti itu".

"Berisi tak berisi, yang jelas dia punya banyak uang. Malam ini kita sudahi dia. Hei... waang siapkan dadu dua pasang Jul".

"Dadu itu selalu saya bawa...." Jawab lelaki yang dipanggil Jul itu.

Panggilan itu ternyata singkatan dari kata 'Juling'. Lalu persis ketika azan magrib berkumandang, mereka muncul di surau usang itu. Di sana anak muda tadi telah menanti. Dibawah cahaya lampu damar yang ada di bekas surau itu mereka segera memulai permainan.

Mula-mula mereka main dadu. Dadu itu sudah disiapkan oleh si Jul. Biasanya mereka tidak pernah kalah. Sebab dadu itu sudah dibuat sedemikian rupa, hingga apa saja yang dipasang lawan, pasti bisa diputar letaknya hingga tidak tertebak. Cara memutar dadu itupun dengan lihai dilakukan oleh si Jul yang Juling itu. Kelihatannya hampir-hampir sempurna.

Tapi kali ini mereka ternyata menghadapi seorang hantu judi. Mereka tidak menyangka bahwa dalam usia yang sedemikian mudanya anak ini sudah tidak terkalahkan dalam soal berjudi. Lewat tengah malam hampir semua uang mereka disikat anak muda itu. Mereka sudah pada mengantuk. Tapi anak muda itu tetap seperti semula. Matanya yang sayu, mukanya murung, tetap saja tidak berubah. Tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan sedikitpun.

Si Jul sudah beberapa kali memberi isyarat pada Baribeh untuk menghantam anak muda itu

Tapi Baribeh sendiri ragu-ragu. Masakan anak muda ini tak mempunyai "simpanan" agak

sedikit. Artinya, anak muda ini paling sedikit tentu pandai bersilat. Sebab mustahil dia akan berani sendirian saja kalau tak ada kepandaian apa-apa. Hanya kini yang menjadi bahan pertimbangan mereka adalah silat apa yang dimiliki dan jadi andalan anak muda ini. Kumango? Pangian, Lintau, Starlak atau Pauh? Atau Sunua dan Silek Tuo yang terkenal itu? Tak ada jawaban yang pasti. Anak muda itu tetap saja meraih kemenangan demi kemenangan.

"Ah, kita istirahatlah sebentar….." si Baribeh berkata.

"Boleh. Berhentipun juga boleh..!" anak muda itu menjawab seenaknya. Muka Baribeh dan teman-temannya jadi kelabu mendengar jawaban itu.

"Berhenti kata waang?! Adat di mana waang pakai buyung, berhenti di saat orang lain kalah!" si Jul bertanya dengan nada tak sedap. Tapi anak muda itu tetap cuek, malah dengan tenang pula dia balas berkata:

"Tak ada adat apa-apa dalam berjudi ini sanak. Kalau mau main terus juga tak apa. Tentu kalau kalian masih punya duit. Saya khawatir kalian akan pulang dengan celana dalam saja...…."Dan sambil mengulum senyum, anak muda ini mengelaikan diri ke tikar pandan usang yang mengalas lantai surau itu. Baribeh menggerutu panjang pendek. Tapi dia juga mengelaikan tubuhnya. Pelita kecil yang menerangi ruangan surau itu bergoyang-goyang kena angin lemah yang masuk dari sela-sela lobang di dinding. Si Juling dan Baribeh mulai sama-sama berfikir. Bagaimana kalau lampu ini dimatikan. Kemudian mereka hantam anak muda itu, dan uangnya mereka sikat. Uang anak muda ini ternyata banyak sekali. Ada tiga kali sebanyak yang dia perlihatkan di Pasar Jumat pagi tadi. Dengan uang itu mereka bisa membeli tiga buah pedati atau bendi dan beberapa petak sawah. Ah, uang itu harus mereka peroleh. Harus ! Baribeh melirik ke lampu togok yang bergoyang itu.

"Kalau lampu ini mati, kita akan susah….." tiba-tiba anak muda itu berkata. Baribeh dan si Jul kaget. Anak muda ini rupanya bisa membaca isi hati mereka. Dan mereka jadi tambah yakin bahwa anak muda ini punya ilmu yang tak rendah.

"Hei, sanak ada membawa api ?" Anak muda itu bertanya. Baribeh menelan ludahnya sebelum menjawab.

"Ada. Mengapa ?"

"Ada yang berniat mematikan api itu nampaknya... " anak muda itu berkata lagi. Baribeh dan teman-temannya tambah kaget dan pelan-pelan jadi kecut. Anak muda ini memang seorang yang padat isinya, pikir mereka. Tapi untuk tak kalah gengsi Baribeh kembali bertanya :

"Siapa pula yang akan mematikannya?"

"Angin!. Tak terasa angin makin kencang?"

Anak muda itu berkata seadanya. Tak sedikitpun dia menyangka bahwa orang-orang itu memang berniat akan mematikan lampu itu. Tapi Baribeh dan teman-temannya merasa diolok-olok oleh anak muda itu. Mereka merasa disindir. Karenanya mereka memilih diam saja. Diam dengan hulu hati yang amat pedih saking menahan berang. Menjelang subuh mereka bangun dan main lagi. Kali ini main koa. Tapi sialnya, anak muda itu menang terus. Terus dan terus. Akhirnya keempat lelaki itu memang tinggal celana kotok saja. Semua pakaian mereka, termasuk keris dan pisau serta korek api, habis tergadai kepada anak muda itu. Anak muda itu ternyata memang setan judi. Dan ketika mereka sudah hampir telanjang, anak muda itu tertawa terpingkel-pingkel. Saat itulah iman Baribeh dan teman-temannya layu. Anak muda itu mereka sikat bakatintam[6]. Mula-mula yang menghantam adalah si Jul. Tendangannya yang pertama tak mengenai sasaran. Anak muda itu sebenarnya terteleng kepalanya. Tendangan si Jul lewat. Tapi dalam penglihatan mereka, anak muda itu mengelak dengan jurus lihai. Teman si Jul menghantam pula dari belakang. Waktu itu anak muda tersebut tiba-tiba menunduk, ingin memungut duitnya yang berserakan. Dan tendangan yang melaju dari belakangnya kembali tak mengenai sasaran. Malah ketika dia bangkit tiba-tiba, kaki yang tengah melintas itu terbawa naik oleh punggungnya. Tak ampun lagi, si tinggi di belakangnya terjengkang. Keempat lelaki itu terkejut, tak sedikitpun mereka menyadari bahwa kedua serangan tadi luput hanya secara kebetulan saja. Kini dengan kewaspadaan tinggi, keempat lelaki itu bersiap. Si Baribeh membuka serangan dengan sebuah pukulan. Dan kali ini faktor kebetulan itu tak lagi menyertai anak muda tersebut. Pukulan itu mendarat dengan telak di dadanya. Dia terhuyung, serangan berikutnya berkatintam menghamtam tubuhnya. Dia terpekik-pekik. Teraduh-aduh. Namun keempat laki-laki itu tidak memberi ampun sedikitpun. Dari atas surau perkelahian yang tidak bisa disebut perkelahian itu, beralih ke bawah. Beralih karena tubuh anak muda itu tercampak menghantam dinding karena sebuah tendangan yang telak. Tubuhnya menghantam dinding lapuk dan jebol, tubuh¬nya melayang ke bawah lewat dinding lapuk yang jebol itu. Dan di bawah surau itulah nasibnya selesai.

Kini dia mengingat kembali semua peristiwa itu. Wajahnya yang murung, matanya yang sayu, terangkat perlahan. Dia menarik nafas panjang. Seharusnya dia sudah berhenti main setelah menang besar sepekan yang lalu. Dia berniat membeli sawah, atau pergi merantau dengan uang itu. Hidup di kampung ini terasa membosankannya. Tapi dasar penjudi, begitu mengetahui ada penjudi lain, dia segera berselera lagi. Dan inilah akibatnya. Lambat-lambat dia merangkak ke sumur. Mencuci muka dan sekujur tubuhnya yang bergelimang luluk[7]. Meminum air sumur itu beberapa teguk. Kemudian naik kembali ke surau. Dia memungut beberapa puntung rokok daun nipah. Membuka gulungannya. Kemudian mengumpulkan tembakau dari sisa rokok itu. Dari kertas usang yang masih menempel di dinding surau dia menggulung sebatang rokok dengan tembakau sisa tadi. Lalu bersandar ke tiang tengah. Lalu mengambil anak korek api yang terserak. Lalu membakar rokoknya. Matanya terpejam mengisap rokok assembling itu. Saat matanya yang sayu terpandang pada kertas-kertas koa yang berserakan, dia memungutnya beberapa buah.

"Babi halus … Jarum udang … Tali sirah…" katanya sambil melemparkan koa itu ke lantai satu demi satu seraya menyebutkan nama kertas-kertas tersebut. Rokok itu tak habis dia hisap. Dia terbatuk-batuk. Pikirannya melayang pada Baribeh dan ketiga temannya. Dia bersumpah untuk mencari mereka. Akan dia ajak lagi berjudi. Dan dia yakin akan mengalahkan orang-orang itu. Hanya kini dari mana dia harus mencari modal? Akan dia jualkah kambingnya yang tiga ekor itu? Ah, Ibu dan ayahnya pasti marah. Marah ibunya mungkin dapat dia amankan. Ibunya paling-paling marah sebentar. Yang dia takuti adalah ayahnya.

Ayahnya suka main tangan. Mentang-mentang guru silat. Puih, dia jadi mual melihat ayahnya yang dia anggap banyak lagak itu. Apalagi kalau ayahnya sudah mengajar di sasaran silat. Hatinya jadi bengkak melihat. Dia paling benci melihat orang belajar silat. Apa untungnya belajar silat? Mending belajar judi. Uang dapat perut kenyang, pikirnya. Meski telah berkali-kali dia dikeroyok orang dalam berjudi, dan berkali-kali pula ayah dan kakaknya memaksa untuk belajar silat, namun dia tetap tak menyukai silat. Dia memang termasuk anak yang aneh. Ayahnya adalah seorang guru silat ternama, demikian pula kakaknya. Tapi dia sendiri lebih suka main koa atau main layang-layang. Dia tahu ayahnya tak menyenangi perangainya itu. Tapi apa pedulinya. Dia tidak pernah menyusahkan mereka toh? Dia memang beberapa kali dihajar oleh pejudi-pejudi lain. Sering babak belur dalam perkelahian. Tapi dia tak pernah mengadu pada ayah dan saudaranya yang jagoan silat itu. Tidak. Pantangan baginya untuk mengadu. Bagi dia judi merupakan suatu lambang kejantanan. Kenapa hanya pesilat yang disebut jantan? Kenapa pejudi tidak? Bukankah berjudi juga membutuhkan keahlian? Malah baginya judi lebih tinggi nilainya dari silat.

Dalam judi orang mengadu otak. Sementara dalam silat orang mengadu otot. Nah, secara harafiah bisa diartikan bahwa dia jauh lebih berotak dari pada ayah atau pesilat manapun! Begitu alur fikirannya. Tambahan lagi, berjudi dia anggap mempunyai seni yang tinggi. Dalam main dadu dibutuhkan semacam firasat yang tajam untuk mengetahui "mata" berapa yang akan muncul di atas. Dan diperlukan perhitungan yang teliti untuk gim sampai tiga kali dalam main koa. Dalam silat mana ada seninya? Yang ada hanya main sepak, pukul, siku, tangkap, cekik, atau tendang uncang-uncang di kerampang, atau banting. Bah, benar-benar keras dan kasar. Dia benar- benar tak menyukainya. Dia lalu tertidur karena lelah. Dalam tidurnya dia bermimpi jadi seorang pesilat yang jauh lebih tangguh dari ayah dan kakaknya. Bahkan jauh lebih tangguh dari pesilat pesilat tangguh manapun jua. Lewat tengah hari dia terbangun. Dia menyumpahi mimpinya yang jadi pesilat tangguh itu. Kenapa tak mimpi menjadi seorang raja judi. Dengan masih menyumpah-nyumpahi mimpinya dia turun dari surau tersebut. Kakinya melangkah ke arah kampung. Perutnya terasa amat litak. Ketika akan sampai di rumahnya, sebuah rumah gadang beratap ijuk, dia lihat beberapa perempuan berada di rumah. Dia memutar ke belakang. Lewat pintu belakang dia naik ke rumah. Terus ke dapur. Di dapur dia berpapasan dengan kakaknya.

"Hei Bungsu, orang mencari . . . Astaga ! Berantam lagi kau ya … ?"

Anak muda itu, yang merupakan anak yang paling bungsu di antara mereka dua beradik, dan karena itu dia dipanggil dengan sebutan si Bungsu, tak menghiraukan kekagetan kakaknya. Dia mengambil piring. Dan mulai menyenduk nasi.

"Duduklah ke sana. Jangan mengambil nasi sendiri. Awak laki-laki. Biar kakak ambilkan . ."

"Ah tak usah susah-susah. Saya bisa mengambil sendiri "

"Duduklah, tukar pakaianmu. Di depan ada tamu yang akan bicara denganmu".

"Tak ada urusanku dengan mereka . ."

"lni tentang pertunanganmu . ."

Dia tetap tak peduli, yang jelas dia ingin makansekenyang-¬kenyangnya. Ketika mulai menyuap, ibunya muncul. Perempuan itu tertegun melihat anak bungsunya ini. Dia tak usah bertanya kenapa muka dan tubuhnya biru-biru. Tak usah ditanyakan kenapa pakaiannya robek-robek. Perempuan ini sudah arif akan apa yang telah terjadi. Dia tatap anaknya yang tengah makan dengan lahap itu

[1] kamu. bahasa minang pasaran.

[2] mengerahkan.

[3] preman.

[4] gerobak yang ditarik oleh sapi/kerbau.

[5] menghantam.

[6] tanpa ampun.

[7] lumpur.


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C2
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen