Beberapa bulan telah berlalu semenjak insiden antara Keluarga Liu dengan Keluarga Pan. Selama itu pula tidak ada seorangpun yang berani membicarakan insiden tersebut sembarangan karena takut mengalami hal serupa. Terutama karena Keluarga Pan merupakan keluarga yang paling berpengaruh di desa itu. Sehingga biarpun Pan Li sering berbuat onar, tiada seorangpun yang berani mengusiknya.
Di sisi lain, semenjak insiden tersebut, Yan Hua semakin menyibukkan dirinya dalam hal bela diri. Hampir setiap hari ia berlatih dengan pedangnya di halaman belakang rumahnya, membuat ibunya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kini gerak tubuhnya semakin gesit dan gerakan pedangnya pun semakin cepat, hanya menciptakan bayang-bayang samar bagi mata siapapun yang melihatnya.
Yan Hua bukanlah seorang anak yang lemah dan mudah putus asa. Katanya bahwa semakin ia di injak, maka akan semakin liar pula ia bertumbuh. Tekadnya sudah bulat, ia akan menghabisi Keluarga Pan. Satu demi satu, perlahan tapi pasti.
Ia menggerakkan pedangnya dan membiarkan pedang tersebut menancap pada batang pohon di depannya. Anak itu menghela napas panjang, beberapa waktu ini ia sedang kesulitan. Ibunya hampir setiap hari terbaring di atas ranjang sejak insiden beberapa bulan yang lalu karena sakit. Sudah berpuluh puluh tabib ia datangkan unuk mengobati ibunya, namun hasilnya nihil. Kondisi ibunya tetap seperti itu sedangkan harta keluarganya habis untuk biaya berobat. Di sisi lain ia sendiri tidak mampu bekerja untuk membayar tabib lain untuk mengobati ibunya. Keluarga Pan telah memasang peraturan tidak tertulis bagi semua orang untuk tidak menerima satupun anggota keluarga Liu untuk bekerja.
"Hua'er..." Panggil ibunya yang berjalan ke arahnya dengan segelas teh melati hangat.
Yan Hua mengelap dahinya yang basah lalu tersenyum kepada ibunya sebelum ia mengambil dan menyesap teh kesukaannya itu.
"Terimakasih. Apakah ibu sudah baikan?" Tanyanya setelah menghabiskan secangkir teh tadi.
"Ibu tidak apa-apa. Tidak lelah setelah bermain pedang seharian?"
Yan Hua terkekeh, "Tidak. Suatu saat aku harus menghajar keluarga anjing itu. Aku akan membiarkan mereka terlebih dulu bersenang senang sebelum saat itu tiba."
Qin Mei menghela nafasnya panjang. Seandainya saja insiden itu tidak terjadi tentu saja Yan Hua tidak akan jadi seperti sekarang, pikirnya. Apalagi jika teringat akan kondisi tubuhnya yang tidak menentu, Qin Mei benar- benar sedih dan belum ikhlas apabila suatu hari ia harus meninggalkan Yan Hua sendirian di dunia ini. Ia menatap Yan Hua iba kemudian katanya, "Hua'er gantilah pakaianmu. Ibu ingin melihatmu dalam balutan pakaian yang pantas."
....
"Masuklah..." Sahut Qian Mei saat mendengar seseorang memberi salam di depan ruangannya.
Pintu kayu itu bergeser, menampakkan sesosok gadis kecil berusia 7 tahun sedang berjalan dengan anggun. Perawakan tubuhnya yang langsing dan proporsional terbalut dalam pakaian sutra berwarna biru muda dengan corak bunga-bunga pada lengannya. Pada bagian pinggangnya di berikan semacam sabuk dari bahan yang sama pula dengan sepotong giok berbentuk harimau menggantung di pinggang kanannya.
Rambutnya sebagian digelung keatas, di ikat, dan diberikan tusuk rambut giok serta beberapa ornamen bunga dari perak sebagai hiasan. Sedangkan sisa rambut lainnya dibiarkan menggerai ke belakang. Wajahnya yang biasanya ia tutupi oleh cadar sekarang benar-benar tampak jelas. Wajahnya berbentuk bulat telur, matanya bulat dan besar dengan sinar mata yang bening layaknya kristal, serta bibir yang mungil dan merah merekah. Sungguh kecantikan yang tiada duanya!
Anak perempuan itu tak lain adalah Yan Hua. Dia memang seorang gadis kecil namun karena suatu alasan tertentu, ia harus berpakaian sebagai anak lelaki selama ini.
Qin Mei membelalakan matanya takjub. Sungguh cantik anak ini dan entah berapa orang yang akan jatuh hati padanya ketika ia besar nanti, pikir Qian Mei sembari menghela nafas panjang. Bahwasannya menjadi wanita cantik di jaman itu tentu bukan merupakan hal yang baik karena semakin cantik seseorang maka semakin banyak pula bahaya yang mengancamnya.
Qian Mei menatap wajah Yan Hua dengan rasa sayang, namun tak ayal terselip pula rasa kasihan. Mata Yan Hua...Mata itu...Mata yang sama saat ia bertemu dengan Qian Qian terakhir kali...
Yan Hua sendiri paham benar arti tatapan ibunya itu. Tak ayal ia pun mau tidak mau pun teringat sedikit tentang masa lalunya.
Matanya pun menerawang ke peristiwa 3 tahun yang lalu dimana Yan Hua saat itu masih berusia 4 tahun.
Pagi itu burung-burung bernyanyi dengan merdunya sembari bermandikan cahaya mentari. Yan Hua kecil sedang belajar menyulam bersama Qian Mei di halaman belakang kediaman utama ketika ia mendengar suara gaduh dari ruangan ayahnya. Ia pun bergegas menuju ke ruangab tersebut di temani oleh Qian Mei.
Pada jaman itu, setiap rumah keluarga aristokrat terdiri dari beberapa kediaman untuk tiap anggota keluarga dan kediaman yang berbeda akan dihubungkan oleh sebuah lorong terbuka.
"A-Ayah?" Panggil Yan Hua lirih sembari membuka pintu ruangan ayahnya.
Matanya terbelalak menyaksikan pemandangan di depannya. Ayahnya memegang pedang yang berlumuran darah, ekspresi wajahnya yang biasanya tenang tergantikan dengan wajah gusar penuh amarah. Ia bahkan tidak menyadari kehadiran putrinya di sana.
Qin Mei segera mendekap mulut Yan Hua dan menyuruhnya untuk diam dan hanya mengintip dari celah pintu.
Di sisi lain, seorang pelayan pria telah tergeletak di lantai dengan kepala yang telah terpisah dari tubuhnya. Darahnya membasahi lantai sekaligus pakaian ayahnya, membuat ayahnya seribu kali lebih menyeramkan daripada saat ia terakhir memarahi Yan Hua yang memecahkan guci keramik kesayangannya.
Seorang wanita muda berlutut sembari menangis tersedu-sedu, "Aku sama sekali tidak melakukan apa yang engkau tuduhkan!"
"Lalu kalau begitu kenapa engkau bersama dengan pria bajingan ini?! Dalam satu kamar! Dasar wanita hina! Jangan-jangan Yan Hua juga bukan darah dagingku?!"
Pandangan mata wanita itu meredup, ia paham benar bahwa tangisannya bukan berarti apapun bagi pria di hadapannya ini. Pria ini tidak akan pernah memaafkan hal-hal yang akan membuat nama besarnya tercoreng, meskipun itu keluarganya sendiri. Tapi mendengar bahwa lelaki di hadapannya ini sampai tega untuk memaki anaknya sendiri, membuat darahnya meluap.
"Li Xin! Aku tahu bahwa kau hanya menikahiku demi harta keluarga Liu! Kau boleh menghinaku selama ini dengan mengambil beberapa selir lain. Tapi untuk menuduhku melakukan hal penuh dosa seperti ini dan kau bahkan memaki anakmu sendiri, aku takkan bisa memaafkannya! Lebih baik kau bunuh saja aku!"
Pria yang di panggil Li Xin itu mengerutkan alisnya lalu tangan kanannya menunjuk-nunjuk wanita itu dengan penuh amarah. "Wanita kurang ajar! Kau berani membantah suamimu?! Aku yang berkuasa di sini! Berani sekali kau-"
Ia menjadi sangat kalap dan bahkan sebelum ia menyelesaikan kalimatnya tadi, tangan kanannya yang memegang pedang sudah siap untuk menusuk istrinya. Siapapun yang berani menghinanya bahwasannya juga harus mati ditangannya.
"IBUUUU!"
"QIAN QIAN!"
- Akan ada romance tapi alurnya lambat
- Mohon kritik dan saran yang membangun :)
- Sampai bertemu di chapter selanjutnya.