App herunterladen
40% Soca (Mata yang Tidak Bisa Melihat) / Chapter 10: Perjalanan ke Rohellio (1)

Kapitel 10: Perjalanan ke Rohellio (1)

Soca

(Mata yang Tak Melihat)

Setelah melajukan kuda beberapa lama dan memastikan tidak ada yang mengejar, Rigel memutuskan rehat dulu. Rasa nyeri di kaki yang tadi diabaikan mulai meradang, harus cepat-cepat ditangani. Bila tidak, pasti akan semakin parah.

Kebetulan, di depan sana ada sungai kecil. Rigel menjorokkan kudanya di hilir. Membantu menurunkan Rallia lebih dulu, kemudian dirinya.

Meski terlihat kecil juga dangkal, air sungai tampak jernih. Banyak akar-akar menganjur di sisi sungai, berasal dari pohon-pohon besar di sekitarnya. Udara di sana sangat lembap, lumut-lumut hijau tumbuh subur di batang-batang pohon. Panorama hijau terasa sejuk nan asri. Daun-daun kering maupun yang baru lepas──masih berwarna kehijauan──banyak berserakan di sisi sungai.

Rigel membasuh luka di kaki setelah mencabut panahnya lebih dulu. Darah mengaliri betis, kemudian hilang dibawa arus sungai. Pergi ke semak-semak, ia mengamati beberapa tanaman dan memetik beberapa daun.

Kembali ke sisi sungai, Rigel menumbuk daun-daun yang tadi dipetik. Digunakan untuk menutup luka sebelum dibalut dengan kain.

"Apa lukanya serius?" Rallia yang sedari tadi terus memperhatikan memberanikan diri bertanya.

"Eh?" Rigel menolehkan kepalanya. "Tidak, luka seperti ini beberapa hari lagi juga kering."

"Em, syukurlah."

"Jadi, apa sekarang kau sudah memiliki tempat untuk dituju?" Rigel mengisi botolnya dengan air. Berjalan menghampiri.

Rallia tidak menjawab, hanya menggeleng pelan.

"Minumlah," Rigel menyodorkan botol berisi air. "Sampai kau menemukan tempat untuk dituju. Bagaimana bila ikut dulu saja denganku ke Rohellio."

"Rohellio?" Rallia menerima botol, meminumnya penuh hati-hati. Roman wajahnya agak berubah saat mendengar kata Rohellio.

"Ya. Aku ingin menemui guru dari guruku, Aaron Costel." Rigel memandangi gumpalan awan putih di kaki langit.

'Aaron Costel, berarti guru dari Tuan Nereid.' Rallia berucap di dalam hati. Menganggukkan, ia berucap yakin. "Jika Tuan Rigel mengizinkan, saya ingin ikut ke Rohellio."

"Eh?" Rigel agak bingung dengan perubahan mimik gadis di depannya, mendadak berubah penuh semangat. "Kau tidak perlu memanggilku dengan sebutan tuan, cukup menyebutku dengan nama saja, Rallia. Namamu Rallia, bukan?"

"Eh! Itu? Baiklah!" Rallia seperti merasa tidak enak hati. "Iya, namaku Rallia."

"Baiklah kalau begitu! Ayo, pergi ke Rohellio bersamaku." Rigel mengulurkan tangannya sembari tersenyum hangat.

"Eh?" Rallia terkejut mendapat uluran tangan dari Rigel, ragu-ragu ia menerima. Perasaannya tak menentu mendapat perlakuan semacam itu. Wajahnya seperti terbakar, padahal tempatnya duduk teduh di bawah rindang daun. Rasa malu menyusup memenuhi emosi.

"Eh?" Roman wajah Rigel berubah bingung. Ia menarik tubuh Rallia hingga berdiri. Lalu katanya, "Rallia sini botol minumnya, mau kuisi air lagi supaya penuh. Takutnya di jalan nanti kita tidak menemukan kedai atau pedesaan."

"Huh? Iya!" Rallia tercenung beberapa saat kemudian buru-buru menyerahkan botol pada Rigel. Kali ini, rasa malu yang dideritanya jauh berlipat-lipat dari yang tadi.

Rigel hanya tersenyum simpul menanggapi tingkah aneh rekan gadisnya itu, berjalan ke sungai.

<>

Dirgantara ditaburi bintang-bintang, pertanda siang sudah berakhir dan malam tengah berkuasa. Rembulan masih bulat sempurna, gelar purnama masih digenggamnya. Aurora mewarnai sang langit seperti goresan-goresan tirai bambu yang bercahaya.

Lantaran kondisi Nereid masih cukup parah, Altair memutuskan untuk istirahat dulu malam ini. Sebab, guncangan di kereta kalau terus dipaksakan akan memperparah keadaan adik seperguruannya. Sekalipun laju kereta pelan-pelan.

Allera baru usai mengganti semua perban di tubuh Nereid, memakaikan kembali mantel tebalnya.

"Bagaimana kondisinya?" Altair menghabiskan suapan terakhir palubasa──sup daging dengan kuah gurih.

"Sudah lebih baik dari sebelumnya, tetapi masih belum bisa dikatakan baik." Allera menghela napas, memandangi kerlip lentera dari celah jendela. "Dari dulu, tubuh Nier memang istimewa. Separah apa pun luka di tubuhnya perlahan-lahan pasti akan sembuh dengan sendirinya. Walau terkadang, membutuhkan waktu."

"Benar. Namun, luka yang sekarang sangat berbeda, benar-benar parah. Kalau saja kemarin kita terlambat sedikit, aku tidak yakin Nier masih bernapas hingga saat ini." Altair meminum air di dalam gelas hingga kering.

"Itu yang kupikirkan, regenerasi tubuh Nier kali sangat lamban, benar-benar lamban. Apa yang sebenarnya terjadi selama dua tahun ini pada Nier?"

"Kita akan tahu jika Nier siuman nanti. Sementara ini, kita hanya bisa memberinya obat-obatan serta merawatnya dengan telaten untuk membantunya menyembuhkan diri." Altair menghampiri, menepuk pelan pundak gadis itu agar lebih tenang.

Hening. Allera dan Altair saling membisu sembari memandangi Nereid dengan satu rasa penasaran yang sama; apa yang sudah dialami rekan mereka selama kurang lebih dua tahun ini.

Di saat seperti itu, dari luar terdengar keributan. Suara benda jatuh berbarengan dengan suara guci pecah atau semacamnya. Bentakan kasar terdengar samar diiringi suara langkah kaki berlarian. Tampaknya keributan yang terjadi tidaklah kecil.

Altair ataupun Allera sama-sama merasa penasaran sekaligus sempat kaget. Namun, salah seorang harus tetap tinggal untuk menjaga Nereid. Oleh karena itu, tanpa diskusi lebih dulu pun keduanya sudah bisa saling mengerti. Altair melangkah keluar untuk melihat keributan di luar sana, sedangkan Allera lebih memilih menjaga Nereid.

Keributan berasal dari ruang penerimaan tamu. Sepertinya seorang pria bertubuh kekar baru saja melempar seorang resepsionis hingga menabrak guci besar sampai pecah. Orang-orang yang melihat ketakutan lalu berlarian.

Mengeratkan mantel tebalnya, Altair coba mendekati agar dapat memperoleh informasi lebih jelas. Matanya menyipit mendapati pria bertubuh kekar yang di lehernya terdapat lilitan rantai. Entah apa arti rantai tersebut, entah sebagai kalung atau apa. Altair tak ingin peduli, meski agak merasa geli. Bayangkan saja, rantai seukuran ibu jari itu digunakan sebagai aksesori, seperti tidak ada perhiasan lain saja.

"Cepat katakan di mana orang ini berada?" pria berkalung rantai membeberkan sebuah lukisan cat air berisi gambar mirip Nereid.

"S-saya tidak tahu, Tuan ...." Resepsionis muda gemetaran, wajahnya pucat seperti bulan kesiangan. "O-orang yang Tuan maksud mungkin ... mungkin mendaftar siang atau sore tadi. S-saya ... dan rekan saya berjaga di bagian ke dua, y-yaitu dari petang sampai esok pagi."

"Alasan!" Si pria berkalung rantai mencengkeram kedua bahu si resepsionis muda dan sudah akan membantingnya keluar dari balik meja. Namun, sebuah suara menahan.

"Tunggu dulu! Tuan ... Rantai?" Altair menggaruk rambut di atas telinganya menggunakan jari telunjuk. Berjalan mendekat, kemudian menunjuk ke arah lukisan. "Hmmm, sepertinya tadi aku melihat orang itu."

Si pria berkalung rantai mulanya merasa kesal lantaran Altair menyebutnya "Tuan Rantai", tetapi mendengar pemuda itu mengatakan tahu di mana orang yang tengah dicarinya. Ia pun dengan cepat melupakan kemarahannya. Cengkeraman pada si resepsionis muda dilepaskan dan lekas berbalik menatap Altair.

"Katakan! Katakan di mana kau melihat bocah ini, huh?" Si pria berkalung rantai sangat antusias, sampai-sampai air liurnya berhamburan. Kalau dilihat dari jarak agak dekat, tampak pula gigi-giginya besar-besar berwarna kuning. Wajahnya yang jelek akan terlihat semakin jelek bila dilihat lebih dekat.

"Emmm, biar kuingat-ingat dulu." Altair memasang ekspresi seolah-olah tengah berpikir keras. Matanya diam-diam memindai seluruh ruangan, mencari tahu apakah si pria berkalung rantai sendirian atau membawa anak buah. "Omong-omong, dari mana kau tahu kalau orang yang sedang kau cari itu berada di sini?"

"Heh, sebenarnya kau tidak di mana orang ini?" Si pria berkalung rantai mulai tidak sabaran.

"Kau jawab dulu pertanyaanku, baru aku jawab pertanyaanmu," Altair bersikeras. Namun, roman serta sikapnya tetap kelihatan santai dan kalem.

"Aku diperintahkan majikanku untuk membawa bocah ini kembali. Majikanku memberiku seekor serigala pelacak, tetapi saat aku memasuki gerbang penginapan ini. Si tolol penjaga gerbang malah membacok serigalaku hingga sekarat." Si pria berkalung rantai begitu berapi-api saat menceritakan kejadian yang barusan menimpanya.

"Hahahaha ...." Entah apa yang membuat Altair tertawa lepas. Namun, yang pasti si pria berkalung rantai langsung memelototi.

"Apa yang coba kau tertawakan, Bocah? Ingin cari ribut denganku, huh?" jengek si pria berkalung rantai.

"Eh?" Altair menghentikan tawanya secara mendadak, pura-pura jengah. "Ya, kau sendiri yang bodoh. Walaupun Kallonna masih bagian dari Kerajaan Anca, kota ini tidak sekacau Soesa. Di sini, kau tidak boleh membawa masuk binatang liar ke sembarang tempat."

"Halah! Sebenarnya kau tahu tidak di mana orang yang kucari berada? Tidak usah ngelantur ke mana-mana!" Meremas-remas jari-jemarinya sendiri, si pria berkalung rantai benar-benar sudah merasa geram.

"Baik! Baik! Tadi aku melihat pria itu terhuyung-huyung di penginapan bagian timur──" Altair menyetop ucapannya sendiri. Sebab, si pria berkalung rantai sudah keburu pergi diikuti oleh sekitar lima sampai enam orang berseragam hitam.

Altair pun bergegas pergi, meninggalkan ruangan bersama satu mayat yang tergelatak di antara pecahan vas bunga. Sementara itu, si resepsionis muda yang selamat entah sejak kapan sudah angkat kaki dari sana.

Allera cukup terkejut saat Altair membuka pintu dengan tergesa-gesa.

"Hai! Apa kau ingin mendobrak pintu, huh?" tegur Allera.

"Cepatlah! Kita pergi sekarang!" Altair lekas membawa Nereid di punggungnya kemudian meraih tas ransel di atas meja dengan satu tangannya.

Sebenarnya Allera tidak mengerti sama sekali. Namun, ia telah mengenal Altair cukup lama. Jadi, jika pria itu berlaku demikian, pastilah ada alasannya. Oleh karena itu, tanpa banyak bertanya apa-apa dulu, ikut bergegas.

Altair memotong tali yang menghubungkan kereta dengan kuda menggunakan belati aura. Mendudukan Nereid di depan dan memakai ranselnya di belakang. Satu tangannya dipakai untuk menahan tubuh Nereid agar tidak jatuh, sedang satunya lagi digunakan untuk memegang tali kekang.

"Ha!" Altair menghentakkan kedua kakinya pada perut kuda. Binatang itu pun lekas meringkik dan melaju, menembus malam.

Allera mengikuti.

Bersambung ....


Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C10
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen