App herunterladen
50% Rimei di Negeri Clobusow / Chapter 1: 1. Rahasia Rimei
Rimei di Negeri Clobusow Rimei di Negeri Clobusow original

Rimei di Negeri Clobusow

Autor: Ista_Lori

© WebNovel

Kapitel 1: 1. Rahasia Rimei

Rimei berulang kali menoleh ke belakang guna memastikan kali ini dia tidak diikuti sebelum memasuki hutan Kesunyian. Cukup satu kali dia ketahuan dan jangan sampai mengulang kesalahan yang sama. Dia bernyanyi lirih saat melangkah memasuki batas antara padang rumput dengan hutan.

"Sulur merambat simpan dan tidurlah, biarkan kesunyian melingkupimu dalam sekejap. Sampai tiba saatnya kutinggalkan." Sulur yang sudah meliuk-liuk bergerak memanjang untuk mengejar Rimei perlahan-lahan mulai mengendur saat lagu penghantar kesunyian dinyanyikan. Lirik yang singkat tapi mampu membuat hutan terdengar sunyi saat Rimei setengah berlari melintasi hutan.

Rimei mempercepat lari karena padang rumput sudah terlihat. Letak desa seperti lingkaran target. Lingkaran terbesar dan terluar adalah hutan kesunyian. Lingkaran kedua adalah padang rumput. Pusatnya adalah desa tempat tinggalnya.

"Bunyikan alarm tanda bahaya dan minta warga berkumpul."

Seorang pemuda yang duduk di rumah pohon meniup terompet yang disambut oleh peniup terompet lainnya.

"Aku akan mengantarmu menuju forum." Pemuda itu berlari mendahului Rimei tapi sebentar kemudian sudah bisa disusul oleh gadis itu.

Melihat lari Rimei yang kencang dan peringatannya membuat pemuda itu tahu kalau ini masalah yang serius. Selama ini alarm tanda bahaya hampir tidak pernah dibunyikan karena keadaan selalu aman terkendali.

Mereka memperlambat lari karena sudah memasuki desa. Desa hanya terdiri dari beberapa rumah-rumah yang terlihat ganjil karena rumah itu tinggi tetapi memiliki jendela-jendela yang rendah hampir mencapai tanah. Daun pintu memiliki pegangan pintu yang lebih pendek dari rumah normal. Atap rumah melengkung, semakin kesamping semakin kecil hingga ujung atap mencapai tanah. Dari kejauhan orang pasti mengira kalau itu adalah bukit karena atap tertutup oleh rumput dan tanaman.

Rimei berjalan memasuki ruang pertemuan sambil mengatur napas. Dia melihat sebagian besar warga desa sudah berkumpul di dalam ruang pertemuan. Pemuda yang membunyikan terompet membawa Rimei mendekati mimbar dan seseorang memberikan kursi serta air minum agar gadis itu lebih tenang. Rimei mengambil napas dalam-dalam agar napasnya kembali teratur hingga suaranya akan lebih tenang saat berbicara.

Rimei mengedarkan pandangan dan melihat ada beberapa kursi yang masih kosong. Ruang pertemuan yang tinggi berbanding terbalik dengan kursi-kursi pendek yang diduduki oleh warga. Semua tampak masih muda dan segar, tidak tampak ada orang tua di sini. Seorang yang dianggap tetua desa memasuki ruangan dan langsung menuju mimbar.

"Kita disini karena mendengar tanda alarm dibunyikan dan saya ingin tahu siapa yang memerintahkannya." Suara bijaksana tetua meredakan kasak-kusuk diantara warga.

Rimei berdiri dan meminta ijin untuk berbicara di mimbar. Tetua mengijinkan hal itu dan mempersilakan untuk menggantikan posisinya. Rimei membungkuk hormat sebelum melangkahkan kaki menuju mimbar.

"Aku memerintahkan alarm dibunyikan karena ada kabar tidak enak yang menyangkut desa kita. Seorang pewaris keluarga Syailendra menginginkan hutan Kesunyian untuk dibangun sebagai lahan pertanian dan peternakan terbesar di negeri ini karena hutan berbatasan langsung dengan tanah keluarga itu. Pandu, nama orang yang akan meratakan hutan demi ambisinya." Rimei menjelaskan dengan berapi-api membuat orang-orang terbakar amarah.

"Bagaimana itu bisa terjadi? Apa orang itu tidak tahu bahaya hutan Kesunyian?" tanya seorang warga.

"Aku dengar-dengar dia baru kembali dari kota yang jauh karena ayahnya meninggal. Mungkin dia belum mendengar kabar tentang desa ini karena sejak kecil diasuh nenek yang berada jauh dari desa Fuli." Warga yang lain ikut berkomentar.

"Diam! Biarkan Rimei melanjutkan ceritanya." Gilang sang tetua angkat bicara.

"Tadi pagi saat aku keluar dari hutan hendak menuju desa Fuli ada yang memukul tengkukku sampai pingsan. Ketika sadar, aku sudah berada di dalam kamar. Terdengar pembicaraan dua orang yang berjaga di depan pintu." Rimei menarik napas panjang.

"Mereka bilang kalau aku terlihat keluar masuk hutan beberapa kali padahal warga desa yang nekat masuk hutan tidak pernah ada yang kembali. Itu yang membuat Pandu yakin kalau hutan tidak berbahaya. Dia sudah mengumpulkan orang sakti dari seluruh penjuru negeri untuk mengurus hutan ini." Rimei turun dari mimbar dan digantikan oleh Gilang.

"Bagaimana kalau identitas kita terbongkar? Kita bukan manusia biasa sedangkan kita juga tidak masuk dalam makhluk sihir." Seorang wanita gemuk yang duduk paling pojok terisak setelah menyuarakan kekuatirannya.

"Maafkan aku, karena aku kalian jadi seperti ini." Delia, istri Gilang menangis pilu hingga suaminya turun dari mimbar untuk menenangkan.

"Ini bukan salahmu." Gilang memeluk istrinya.

"Ini salahku, seandainya waktu itu aku tidak mengejek Kalia pasti dia tidak mengutuk kita." Delia menangis semakin keras.

"Ini salahku juga, kalau saja aku tidak menangkap Kalia dan mengurungnya pasti kita hidup normal," ujar Gilang.

Sementara mereka terbawa suasana, matahari sudah mulai terbenam. Orang-orang berdiri dari tempat duduk dengan gelisah lalu mulai mengeliat, mendesis, berteriak kesakitan, dan ada beberapa yang terbaring di lantai berguling-guling. Perlahan-lahan tubuh mereka mulai mengecil dari ukuran normal dan menyusut menjadi setengahnya, mereka berubah menjadi kerdil seperti kurcaci. Wajah mereka tampak lebih tua dengan keriput dan rambut coklat pucat. Telinga mereka memiliki puncak yang lancip dan sedikit lebih lebar dari telinga manusia normal. Suara juga lebih kecil hingga mirip dengan cicitan burung. Pakaian yang mereka kenakan tidak berubah karena dibuat sedemikian rupa agar mengikuti bentuk tubuh pemiliknya

Semua orang kembali duduk saat perubahan itu sudah selesai. Suasana sedih yang menyelimuti masih ada karena Delia terus menangis dari awal sampai akhirnya jadi kurcaci. Pembicaraan masih belum dilanjutkan karena Gilang masih sibuk membujuk istrinya agar berhenti menangis.

"Sudah, jangan salahkan dirimu karena semua tetua ikut andil dalam kutukan ini. Kami juga ikut mengejek serta menyiksa Kalia hingga dia dendam dan mengutuk kita. Silahkan lanjutkan ceritamu, Rimei." Nindi mempersilahkan Rimei untuk terus bicara.

"Aku bisa keluar dari kamar karena menggunakan kunci serba guna. Kedua penjaga kubuat tidur dengan serbuk putih Keturon. Gudang yang digunakan untuk menyekapku terletak di halaman belakang dekat dengan tembok pembatas. Beruntung ada pohon besar yang bisa kupanjat untuk keluar dan turun dengan mengandalkan tali yang kuikat disalah satu dahan. Kalau saja tasku diambil pasti aku masih terkurung dan mereka akan tahu tentang rahasia kita."

"Kapan mereka akan menyerang?" tanya Nindi mewakili Gilang.

"Tidak tahu, yang kutahu mereka masih dalam pencarian mencari orang-orang sakti untuk menaklukkan hutan. Sepertinya tidak dalam waktu dekat karena tempat tinggal orang-orang sakti sangat jauh dan mereka baru akan berangkat besok pagi." Rimei turun dari mimbar untuk memberi kesempatan bagi Gilang berbicara.

"Sebaiknya kalian pulang dulu. Kami para tetua akan membicarakan ini lebih lanjut." Gilang turun dari mimbar dan menuju ruangan yang ada di belakangnya.

Semua warga meninggalkan ruang pertemuan untuk kebali kerumah masing-masing. Rimei berangkul ibunya dan mereka berjalan dalam diam. Bahkan saat makan malam berlangsung tidak ada satu pun yang berbicara. Arni-sang ibu melanjutkan kegiatan mempersiapkan makan malam yang tadi sempat tertunda. Arni, Tulus, Lupi, dan Rimei duduk bersama untuk menikmati makan malam sederhana mereka.

"Ayah, apa yang akan terjadi dengan kita kalau hutan bisa diratakan?" tanya Rimei dengan penasaran.

"Jangan ikut campur dalam masalah ini. Kamu masih terlalu muda," ujar Tulus.

"Makan saja, Dik." Lupi mengalihkan pembicaraan.

Rimei sengaja membantu ibunya mencuci piring karena ada yang ingin ditanyakan. Dia tidak mau ayah dan kakaknya mendengar karena mereka berdua tidak suka kalau Rimei terlalu banyak bertanya.

"Ibu, apa aku boleh bertanya?" Rimei membilas piring yang sudah disabun oleh ibunya. Setelah melihat anggukan kepala dari ibu, Rimei baru berani melanjutkan perkataannya.

"Apa yang dimaksud oleh tetua dengan kesalahan jaman dahulu yang membuat kita ada dalam kondisi seperti sekarang?" Rimei memperhatikan tubuh kurcacinya.

Arni menghela napas panjang seolah-olah hal yang akan dibicarakan adalah hal yang tabu bagi desa Gon, "Dulu waktu para tetua masih kanak-kanak, mereka bermain di dalam hutan dan menemukan kupu-kupu berwarna coklat dengan garis-garis hitam yang tertidur di atas bunga. Ternyata itu bukan kupu-kupu tetapi peri. Nenek buyut Delia tidak mempercayai hal itu dan mulai mengejek peri yang bernama Kalia. Beliau bilang kalau Kalia memiliki wajah yang buruk rupa dan sayap yang berwarna kusam. Kakek buyut Gilang menangkap Kalia dan memasukkannya dalam toples selai yang masih ada sedikit sisa selai. Kalia tidak bisa menggerakkan sayap dan anggota tubuh yang lain karena lengket tetapi tetua yang lain secara bergantian mengguncangkan toples hingga tubuh Kalia terlempar-lempar mengenai dinding toples."

"Kalau dia terperangkap dalam toples, bagaimana caranya mengutuk?" tanya Rimei penasaran.

"Kalia menangkap tongkat sihir yang terlempar di dekatnya dan menghancurkan toples menggunakan sihir lalu terbang. Kalia berubah menjadi besar, bersinar, dan sangat cantik. Sangat berbeda dengan penampilan sebelumnya karena sayapnya juga berubah menjadi warna pelangi. Dia mengeluarkan kutukan Cilbol dan mengurung para tetua di dalam hutan Kesunyian, saat sulur-sulur tanaman pemakan daging mulai merambat mereka berteriak dan berlari ketakutan. Ada beberapa yang tertangkap dan mulai ditarik mendekati tanaman induk untuk dimangsa. Tiba-tiba terdengar suara nyanyian, itu adalah nyanyian penghantar kesunyian yang dinyanyikan oleh seorang pemuda. Seperti yang kita ketahui kalau nyanyian itu membuat sulur-sulur itu menarik diri dan tertidur seolah-olah hutan sangat sunyi. Pemuda itu menyuruh semua anak mengikutinya dan sampailah mereka di tanah lapang yang kita tinggali sekarang." Arni menjelaskan asal muasal kejadian tanpa ada yang terlewatkan satu pun.

"Jadi anak-anak itu adalah para tetua? Lalu siapa pemuda yang menyelamatkan mereka?" Rimei mendekati ibunya agar lebih jelas mendengar kelanjutan cerita.

"Iya, mereka adalah para tetua. Pemuda itu adalah peri penjaga hutan. Dia yang mengajari cara untuk bertahan hidup di hutan ini. Andai kita bisa hidup normal seperti manusia lain." Arni menghembuskan kasar karena menyadari kalau keinginannya adalah sesuatu yang mustahil.

"Kita seharusnya bisa minta tolong penjaga hutan agar terbebas dari masalah ini." Mata Rimei bersinar cerah karena merasa sudah menemukan jalan keluar.

"Itu tidak mungkin karena penjaga hutan sudah tidak menampakkan diri setelah semua tetua beranjak dewasa dan menikah." Arni menggelengkan kepala.

"Sudah selesai, mari tidur. Jangan terlalu dipikirkan karena para tetua akan mendapatkan jalan keluarnya." Arni mendorong perlahan Rimei agar segera keluar dari dapur.

"Aku pasti akan menemukan caranya, Bu." Rimei bertekat untuk membantu karena dia merasa sedikit bersalah. Karena kecerobohannya saat keluar masuk hutan membuat kaumnya terancam.

Nb :

Keturon : ketiduran


AUTORENGEDANKEN
Ista_Lori Ista_Lori

Keturon : ketiduran dalam bahasa Jawa

Load failed, please RETRY

Wöchentlicher Energiestatus

Rank -- Power- Rangliste
Stone -- Power- Stein

Stapelfreischaltung von Kapiteln

Inhaltsverzeichnis

Anzeigeoptionen

Hintergrund

Schriftart

Größe

Kapitel-Kommentare

Schreiben Sie eine Rezension Lese-Status: C1
Fehler beim Posten. Bitte versuchen Sie es erneut
  • Qualität des Schreibens
  • Veröffentlichungsstabilität
  • Geschichtenentwicklung
  • Charakter-Design
  • Welthintergrund

Die Gesamtpunktzahl 0.0

Rezension erfolgreich gepostet! Lesen Sie mehr Rezensionen
Stimmen Sie mit Powerstein ab
Rank NR.-- Macht-Rangliste
Stone -- Power-Stein
Unangemessene Inhalte melden
error Tipp

Missbrauch melden

Kommentare zu Absätzen

Einloggen