Hanya membutuhkan waktu beberapa menit sampai kapal merapat di sekitar jarak dua puluh meter dari semenanjung pelabuhan tikus yang biasa digunakan oleh para penyelundup dan perompak di lautan Bargobar. Jangkar segera diturunkan dan dua buah sekoci juga ikut turun dari dek kapal secara bersamaan.
Di atas sekoci terlihat Marco , Harley dan dua personil Sabotage lain mendayung sekoci menuju garis pinggir pantai.
Begitu sekoci merapat aku langsung memberi sinyal dan mengangguk pelan ke arah Regi yang berdiri satu meter di samping kanan ku.
Kami langsung keluar dari balik pohon kelapa yang banyak berjejer di sepanjang garis pantai.
Sekoci yang memiliki panjang tak sampai tiga meter itu akhirnya merapat tepat ke bibir pantai. Marco dan Harley segera turun dari sekoci dan bergegas ke arah kami.
"Lapor, Pak, Regu Dua siap bertugas !" Dia memberikan hormat keprajuritan padaku disusul oleh Harley yang melakukan hal serupa.
Aku hanya memberi balasan hormat militer pada mereka.
"Bagaimana tentang perjalanan kalian, Letnan Satu?"
"Tidak terdapat hal yang menjadi masalah sampai sejauh ini, Pak. Perjalanan kami hanya beberapa masalah dan hambatan kecil mengenai Kraken yang dua hari lalu mencegat dan merusak beberapa bagian kapal meski tidak terlalu parah kerusakannya."
"Kraken...?"
Marco mengangguk.
"Iya, Pak. Ukurannya memang tidak terlalu besar. Jadi, kami membutuhkan sedikit waktu untuk mengatasinya."
"Kraken , huh...Apa saja yang telah dirusak monster itu?"tanyaku penasaran.
Jika kerusakan kapal terlalu berbahaya , maka mau tidak mau misi harus ditunda sampai perbaikan kapal dilakukan. Itu akan sangat berbahaya jika kami menjelajahi lautan berbahaya dengan kapal yang telah rusak.
"Buritan kapal mengalami keretakan. Kami telah memperbaikinya dua hari yang lalu dan perbaikan itu dapat memberi jaminan pada pelayaran kita , Pak."Marco hanya mengangguk.
"Jika anda telah mengatakannya...Namun, jika kerusakan kapal terlalu parah , untuk melanjutkan misi adalah hal yang mustahil... Bisakah anda memastikannya lagi?"
"Saya mengerti, Pak. Saya akan memastikan untuk memperbaiki buritan kapal lagi nanti."
"Bagus."
"Regi sebaiknya anda kembali ke Kota Hoke, berikan kabar kepada Cedric Willhem bahwa rombongan kami akan sedikit terlambat...Ku pikir waktu dua minggu terlalu cepat, minta pada Cedric Willhem perpanjangan waktu selama dua puluh hari..."perintahku sambil menatap ke arah Regi.
Dia hanya mengangguk.
"Siap, pak!"
"Sekarang anda bisa berangkat dengan salah satu kuda yang kita gunakan saat datang kemari."
"Baik, Pak!" Regi segera bergegas menuju kuda yang kami ikat tidak jauh dari bibir pantai. Kemudian dia langsung memecut kuda dan bergerak ke arah utara, yaitu arah kota Hoke.
Jarak Kota Hoke dari tempat ini akan menghabiskan waktu lima hari perjalanan dengan berkuda. Wilayah pelabuhan tikus ini adalah wilayah yang masuk dalam kategori wilayah hutan. Jadi, tak jarang akan kami temui beberapa monster semacam goblin yang kerap mengganggu perjalanan kami kemarin untuk sampai bisa sampai di tempat ini. Meski, goblin itu sendiri tidak seberbahaya Serigala di Mugell Valley.
Ku pikir Regi akan mampu mengatasi masalah tentang goblin-goblin itu seorang diri,gumamku.
Aku segera memerintahkan Marco untuk menarik kuda ke dalam sekoci.
Dari atas sekoci aku bisa memandang dari jauh ke arah buritan kapal yang memang memiliki beberapa tempelan dari papan di beberapa bagian ujungnya.
Seperti yang dikatakan Regi, kerusakan buritan kapal memang tidak terlalu parah, sehingga kami tidak mengalami masalah untuk melanjutkan misi kami .
Hal lain yang sebenarnya sangat kutakutkan adalah keluhan dari markas besar jika mereka tahu bahwa unitku telah merusak kapal yang beberapa minggu lalu baru di datangkan dari salah satu perusahaan penggalangan kapal terbesar di Kekaisaran Tirani Gohlun.
Aku memang sedikit mengetahui masalah finansial Kerajaan Campestris yang sedikit bermasalah belakangan ini. Jadi, tidak bijak menguras anggaran untuk perbaikan kapal.
Ku rasa jika semua anggaran belanja pada masa perang sipil lebih banyak dialokasikan untuk gaji tentara, santunan dan hal-hal yang berhubungan dengan kerugian seperti tekanan pihak militer di beberapa daerah tuan feodal, itu akan agak menggangu jalannya roda perekonomian yang stabil di sebuah negara, termasuk Kerajaan Campestris.
Kadang karena hal itu penguasa harus memeras kering otak para menteri keuangannya untuk bekerja keras mengatasi masalah semacam ini. Tetapi, jika aku tidak sala, orang-orang mengatakan bahwa pria diposisi itu, pria yang bernama Randal Mercer itu merupakan salah satu Marquise yang memiliki kepiawaian dalam bidang ekonomi yang tak kalah dengan briliannya Cedric Willhem, si menteri keuangan dua tahun lalu.
Ketika jembatan tali diturunkan dari dek kapal aku segera meraih itu dan membiarkan Marco dan Harley mengurusi soal kuda. Aku hanya menenteng di bahuku prototipe Carbine yang sebelumnya ku gantung di sisi kuda sebelum aku naik ke sekoci tadi.
Beberapa awak kapal yang merupakan personil dari Sabotage telah berbaris rapi dan memberikan salam hormat mereka.
Aku hanya mengangguk pelan sebelum mereka menurunkan telapak tangan mereka dari keningnya.
Awak kapal ini berjumlah sekitar seratus orang, termasuk Marco dan Harley di dalamnya.
Setelah Marco memerintahkan bawahannya untuk menaikkan kuda dari sekoci ke atas dek kapal , dia segera bergegas ke sampingku.
"Seratus orang, pak... Awak saat ini berjumlah seratus orang."tutur Marco.
Aku mengangguk.
"Ku pikir itu akan sesuai dengan kebutuhan..."
"Apa yang kita lakukan selanjutnya ,pak?"
"Arahkan kapal menuju timur wilayah lautan Bargobar. Kurasa kita akan menemukan kelompok bajak laut Mata Satu di sana...Aku memberikanmu wewenang untuk mengawasi kapal ini sementara aku akan beristirahat sejenak..."kataku sebelum pada akhirnya meninggalkan Marco dan bergerak ke arah salah satu kamar dalam geladak kapal.
Aku memang cukup lelah setelah perjalanan beberapa hari dari Kota Hoke ke pelabuhan tikus ini. Keadaan medan yang tidak nyaman dan serangan goblin membuat kami tidak bisa tidur nyenyak atau beristirahat sejenak selama beberapa malam belakangan. Jadi, membalas dendam untuk tidur pada siang bolong seperti ini , kupikir tidak ada salahnya.
Berbeda dengan kapal dalam dunia modren dan zaman abad pertengahan di Eropa. Untuk persenjataan dalam kapal ini tidak dikenal semacam penggunaan meriam atau peluncur rudal.
Mereka hanya menggunakan sebuah bentuk ketapel yang mekanismenya seperti crossbow yang memiliki batu bulat dari batu gunung yang dibentuk menjadi proyektilnya, mereka menamakan alat ini sebagai, Panah Kapal.
Ukuran badan panah kapal hanya dua meter panjangnya dan tiga puluh sentimeter lebarnya.Mekanisme panah kapal sepenuhnya menggunakan gaya pegas untuk melontarkan peluru batu. Jadi, panah kapal hanya memiliki jangkauan tembakan yang tidak terlalu jauh jika dibandingkan meriam kapal di era pasca kolonialisme.
Dengan kata lain, mekanisme panah kapal jauh tertinggal jika dibandingkan dengan meriam penghancur geladak kapal era Kolonialisme seperti Imperial Howitzer yang biasa dipakai tentara kerajaan era pasca kolonial di negara-negara penjelajah besar di masanya.
Posisi panah kapal juga di letakkan pada pinggiran kapal.Berbeda dengan Imperial Howitzer yang diletakkan di depan moncong kapal. Panah kapal Itu bisa posisikan di lantai bawah atau di lantai atas.
Kakiku melangkah ke arah salah satu kamar utama yang biasa digunakan oleh kapten kapal.
Ruangan itu hanya seluas tiga x enam meter. Di bagian depan terdapat meja dan kursi yang memiliki lubang jendela tanpa kaca yang membuat pemandangn lautan lepas bisa terlihat jelas dari sini.
Sementara , untuk tempat tidur dalam kamar hanya dibuat dari papan yang membentuk ranjang kapal yang hanya muat untuk menampung tidur dua orang.
Di atas ranjang terdapat sebuah alas dari kain yang di dalamnya di isi dengan kapas. Alas itu lebih mirip selimut sebenarnya. Karena ketebalannya hanya sekitar lima sentimeter. Di atas alas tidur dilipat rapi selimut yang di letakkan tepat diatas bantal dan guling.
Aku segera melemparkan tubuhku ke arah kasur dari ranjang tipis itu.
"*Hoam..."
"Jika dipikir-pikir lagi aku memang merindukan rumah..."
"Kapan aku bisa kembali ke Jerman..?Aku merindukan keluargaku..."kataku berbisik.
Aku hanya memandangi langit-langit kamar sambil membayangkan kenangan-kenangan kecil tentang Ibu, Helena dan Jacob.
Untuk kesekian kalinya aku benar-benar merindukan mereka.
Kerinduanku semakin berat seiring berjalannya waktu di dunia ini. Aku tidak pernah mengira akan ada kejadian semacam pertukaran tubuhku ke dunia ini.
Aku ingin cepat-cepat kembali.
Aku ingin cepat-cepat menemukan suatu sihir yang bisa memulangkanku ke Jerman. Meski, dalam ingatan terakhirku, tubuhku telah hancur akibat serangan granat yang dilempar oleh pasukan tentara merah.
Namun, aku tetap menjaga asaku untuk kembali ke dunia asalku. Aku ingin kembali ke kampung halaman meski kemungkinan terburuknya aku telah mati di dunia sana.
Mungkin inilah yang orang-orang sebut sebagai sebuah harapan dari manusia. Sebuah cara untuk manusia tidak kehilangan asa mereka.
Kurasa aku juga sama.
Bukankah aku juga manusia ? Ku pikir tidak ada salahnya memiliki sedikit asa di dalam keinginan besar pada hati kecilku ini. Menunggu dan bersabar sambil terus mencari cara bagiku untuk kembali ke kampung halaman.
Kembali berada di samping keluargaku...
Mataku semakin memberat dan deru ombak yang menghantam dan membuat kapal bergoyang, membuatku seperti berada di atas ayunan saat aku masih balita dulu.
Suara-suara dari orang-orang berjalan di luar menghantarkanku pada rasa kantuk yang luar biasa, sehingga aku tidak menyadari bahwa tidur nyenyak telah menghampirku.
Bagian kecil dalam ingatan adalah sebuah bagian kecil dari mimpi-mimpiku. Gambaran samar dalam tidurku, menciptakan kenangan tentang keluarga yang amat kurindukan selama ini.
Sayup-sayup terdengar dan samar -samar terlihat percakapan terakhir dengan adik perempuanku, Helena. Itu adalah gambaran percakapan terakhir sebelum aku di kirim ke Koln sebagai petugas lapangan yang kembali kulihat dalam tidurku kali ini.
"Kakak laki-laki benar-benar luar biasa...Anda telah menduduki posisi penting dalam jajaran militer di infanteri Nazi kita. Kupikir Fuhrer akan sangat menghargai anda sebagai seorang keturunan Ras Ksatria Arya"puji Helena sambil terus menyulam sebuah sweeter kecil yang disulamnya untuk diberikan pada adik lelaki kami,Jacob.
Aku hanya tersenyum kecil sambil masih duduk pada atas kursi di ruang tengah yang menghadap langsung pada posisi punggung Helena yang membelakangiku dan duduk di kursi yang menghadap jendela kaca ke arah teras rumah.
"*Fumu ,Tentu saja, kakak laki-laki anda ini adalah orang yang luar biasa...Suatu hari kakak anda ini akan menjadi seorang jenderal di satuan SS atau infanteri Nazi..."kataku bangga.
"Ah...Jika saja kakak laki-laki tidak jadi militer , ku pikir aku tidak akan perlu sibuk-sibuk mengurusi peternakan dan pertanian bersama ibu dan Jacob..."keluhnya.
Aku hanya bisa mengkerutkan dahiku setelah mendengar keluhan Helena barusan.
"Ada apa dengan pujian yang barusan anda katakan , jika anda juga mengeluh pada akhirnya? Itu sangat bertolak belakang , adik perempuan…"sahutku.
Helena hanya berhenti sejenak untuk menyulam sweeter itu. Dia terdiam tanpa kata , lalu bersuara serak dan pelan.
"Bukan soal itu, kakak laki-laki...Ku pikir anda harus memikirkan lebih matang untuk memutuskan terjun ke lapangan langsung, di kamp Koln..."gumam Helena.
"Bukankah tempat bekerja anda sekarang cukup dekat dengan rumah, jadi anda bisa pulang sesekali untuk membantu di ladang...? Dan lagi...Ini soal garis depan medan perang...Anda tahu garis depan medan perang sangat berbahaya, bukan?"sambungnya.
"Aku ingat teman sekolahku pergi wajib militer dan dikirim ke Afrika...Hanya beberapa bulan dia pulang dengan dog tag dan surat terakhir saja ...Aku khawatir kakak laki-laki akan mengalami hal yang serupa..."gumam Helena lagi dan dia terlihat cemas sambil menundukkan kepalanya.
Aku hanya tersenyum kecil mendapati adik perempuanku mulai mengeluh dan cemas soal pemindah tugasanku ke kamp di Koln.
Jadi, aku langsung berdiri dan berjalan pelan ke arah Helena, adik perempuanku. Kemudian, meletakkan telapak tangan kananku di atas kepalanya.
"Apakah anda takut Kakak laki-laki anda ini pulang hanya tinggal nama, Helena?" tanyaku, meredakan kecemasan dalam kepala adik perempuanku, Helena.
Helena hanya menanggukkan kepalanya pelan.
"En...Saya benar-benar cemas jika sesuatu hal yang buruk menimpa anda, Kakak laki-laki..." katanya dengan wajah dipenuhi ekspresi kecemasan.
Aku hanya bisa mengusap-usap kepala Helena, adik perempuanku.
"Jangan takut, Helena...Kakak laki-laki anda ini adalah seorang Aryan. Kakak laki-laki anda ini adalah seorang ksatria Jerman Raya."kataku mantap untuk meneguhkan anggota keluargaku akan keputusan atasan untuk pemindahan tugasku ke kamp di Koln.
"Tetapi...Kak...Belakangan ini aku bermimpi aneh dan buruk mengenai anda."gumam Helena dengan mata yang mulai memerah karena kecemasan yang dimilikinya.
"Mimpi?"Aku hanya memiringkan kepalaku.
"En...Aku bermimpi anda pergi dengan hanya mengenakan pakaian dinas anda ...Lalu anda hanya berjalan menjauh dan menjauh sampai akhirnya sepenuhnya meninggalkan kami bertiga..."
"Seberapa keraspun saya memanggil kakak laki-laki, anda sama sekali tidak menoleh ke arah kami bahkan hanya sejenak saja, anda tidak melakukannya...Itu membuatku cemas pada anda, kakak laki-laki" kata Helena terputus-putus.
"Aku takut..Aku takut kakak laki-laki akan pergi meninggalkan kami seperti mimpi burukku itu...Meski, itu hanya mimpi...Meski, itu hanya bunga tidur..Aku…Aku merasa kakak akan pergi ke sebuah tempat yang jauh dan tidak bisa kami lihat dan gapai...Aku hanya...Aku hanya tidak dapat tidur nyenyak belakangan ini karena mimpi yang sama akan ada selalu muncul dalam tidurku,Kakak laki-laki...Kuharap anda mengerti kecemasan saya…Bisakah anda memikirkan nya , Kakak laki-laki..?" Mata Helena mulai meneteskan sebuah titik kecil air mata.
Aku tahu bahwa kecemasan adikku beralasan. Di garis depan perang kematian sangat dekat di ujung hidup masing-masing tentara. Tetapi, sebagai seorang militer dan prajurit, aku harus melaksanakan tugas negara yang ada dan telah kuletakkan pada pundakku sendiri.
Bagaimana bisa aku lari dengan ekor di antara kaki-kakiku?
Kebanggaanku sebagai Aryan, lalu keluargaku adalah alasan untukku tidak menolak dan langsung menyetujui pemindahan tugasan ini.
Jika aku berhasil menoreh keberhasilan dalam karirku, itu akan memudahkanku untuk menaiki tangga kepangkatan militer yang saat ini menjadi bergengsi dan menjamin hidup.
Benar, itu semua untuk masa depan keluarga kami…
Itu semua akan menjamin masa depan keluarga kami. Sebagai sebuah keluarga petani dan peternak di pedesaan sangat sulit untuk hidup dalam keadaan perekonomimian negara yang belakangan ini semakin memburuk.
Ini juga untuk keluarga kita, adik perempuan ...Jadi, janganlah anda terlalu khawatir pada kakak laki-laki anda. Kakak laki-laki anda ini melakukan ini semua untuk kita, kataku dalam hati untuk meneguhkan tujuan utama kepergianku , untuk keluargaku.
"Jangan takut itu semua hanya mimpi saja...Mimpi adalah mimpi, itu tidak nyata, adik perempuan....Lagipula, Jerman Fuhrer adalah Jerman yang adidaya dan kuat.… Tidak akan terkalahkan jika berperang dengan negara-negara semacam Polandia dan Soviet. Saya tidak akan pernah mati sebelum anda menikah. Peganglah kata-kataku barusan, adik perempuan" Aku hanya bisa mengecup kening adik perempuanku. Berharap kecupan kening itu membuatnya tidak lagi khawatir dan menghapus segala kecemasannya.
Helena hanya menatap ke arahku sambil setitik air mata yang telah mengalir di pipi hingga dagunya tadi disusul dengan tetesan air mata baru yang berasal dari matanya yang berwarna biru gelap itu.
"Aku tahu anda mencemaskanku, adik perempuan...Tetapi, yakinlah pada Kakak Laki-laki anda ini ... Bukankah anda telah melihat kehebatan kakak laki-laki anda ini? Bahkan sekelompok serigala tidak akan bisa mengalahkanku yang hanya memiliki tangan kosong, bukan?"kataku sambil tersenyum untuk menghibur dan meneguhkan kepercayaannya untukku.
Helena hanya memeluk pinggangku sambil air mata mulai deras membasahi wajahnya. Dia terisak mengantar kepergianku dalam dua hari lagi.
"*Hiks...Anda harus berjanji kembali, Kakak laki-laki...Anda harus berjanji untuk hidup...Anda harus kembali, Kakak laki-laki..." Adikku mulai menangis deras di pinggangku. Kesedihan dari kata-katanya dapat kurasakan. Ini adalah kesedihan dalam salam perpisahan dua saudara sedarah. Sebuah momen yang akan selalu kuingat.
Kakak laki-laki telah tahu bahwa anda akan mencemaskan dan merindukan kakak laki-laki, adik perempuan. Tetapi, sebagai seorang petani dan komandan yang bertugas di kantor militer kota, tidak akan mencukupi untuk menanggung kebutuhan hidup kita dimasa sulit seperti sekarang. Kakak laki-laki pergi ke Koln karena kakak sangat membutuhkan kenaikan pangkat secepatnya. Jadi, gaji kakak akan bertambah lebih banyak untuk dialokasikan untuk menanggung kehidupan kita di sini.
Oleh karena itu, meskipun kakak laki-laki sebenarnya agak cemas meninggalkan kalian di desa ini, tetapi kakak laki-laki pikir hal ini adalah satu-satunya cara bagi Kakak laki-laki untuk menafkahi kalian setelah ayah telah tiada lima tahun lalu.
Ibu juga membutuhkan biaya untuk pengobatannya secepatnya...
Bukankah anda juga melihat beberapa bulan belakangan kondisi kesehatannya menurun? Bagaimana kakak laki-laki anda ini bisa melihat kondisi ibu makin memburuk? Bagaimanapun juga, aku adalah kakak laki-laki , bukan?
Semua hal itulah yang sebenarnya ingin ku sampaikan pada adik perempuanku, Helena.
Namun, sampai kapanpun aku tidak akan pernah bisa mengatakan semua kenyataan itu kepadanya...Jadi, aku memilih memendamnya.
Bagaimana bisa aku mengatakan semua itu? Aku adalah seorang kakak laki-laki bagi adik perempuan dan adik laki-lakiku.
Bagaimana mungkin aku tega untuk membuat cemas keluargaku sendiri untuk memberi tahu tentang kondisi ekonomi yang kami hadapi sekarang?
Biarkan aku saja yang menanggung semua itu dan memikirkan jalan keluarnya. Kalian cukup memastikan untuk merawat ibu dan mengerjakan ladang dan peternakan kita...
Hiduplah tanpa memikirkan itu semua, adik perempuan.
"En."aku hanya mengangguk pelan sambil menahan diri untuk meneteskan air mata.
Aku bisa merasakan air mata Helena telah membasahi kemeja putihku. Jadi, aku hanya bisa terus mengusap-usap kepala adik perempuanku ini,berharap dia memberikan dan meletakkan semua rasa kepercayaannya padaku.
Aku yakin dia akan mengerti dan percaya ...
Jika dia tidak mengerti sekarang, kuharap suatu hari nanti dia akan mengerti tentang itu semua.
Itu semua hanya masalah waktu saja. Jangan takut… , kakak laki-laki anda sudah cukup mengatasi permasalahan ekonomi dalam keluarga kita, adik perempuan, kataku dalam hati.
"*Hiks anda harus kembali , Kakak Laki-laki...Anda harus memastikan bahwa anda akan baik-baik saja di sana... Anda harus berjanji kepada saya"Dia masih terisak-isak di pinggangku. Hal itu membuatku menjadi sedikit terbawa suasana. Namun, aku tidak bisa meneteskan air mataku untuk perpisahan yang tak tahu kapan dan apakah perang ini akan memiliki ujung ?
Aku sebenarnya tidak tahu kapan aku bisa kembali …
Karena perang adalah sesuatu yang memakan waktu dan tidak pasti…
Aku juga sebenarnya tidak tahu apakah aku bisa kembali lagi ke sini, atau aku pulang hanya dengan surat terakhir dan dog tag yang sekarang menggantung di leherku.
"Tentu saja...Kakak laki-laki akan berjanji pada anda, Adik perempuan...Percaya pada kakak laki-laki anda ini...Kakak laki-laki anda ini akan memastikan untuk mengirimi anda surat dari medan perang...Tenanglah...Jangan cemas, saya akan baik-baik saja..."gumamku.
"Tenanglah....Jangan cemas, Adik perempuan..."kataku lagi.
Namun, semua kenangan dari percakapan terakhirku dengan adik perempuanku malah membuat tetesan air mata mengalir dalam tidur nyenyakku.
Kenangan dalam mimpi itu telah membangunkanku dari tidur nyenyak , dan mimpi indah telah berubah menjadi mimpi tentang kesedihanku akan kerinduan milikku.
Kerinduan akan janji yang telah kubuat dengan adik perempuanku, Helena, tampaknya akan menjadi lebih sulit dari perkataan mulut yang pernah ku janjikan padanya.
Aku hanya bangkit lalu duduk dan bersandar di dinding papan ranjang kamar sambil mengenang kejadian itu. Mengenang tentang janjiku pada adik perempuanku, Helena.
Untuk adik perempuanku, Helena.
Sebenarnya ,kakak laki-laki ingin secepatnya kembali ke desa kita...
Kakak ingin secepatnya melihat anda, Jacob dan Ibu. Hanya saja, kakak tidak bisa melakukan itu sekarang. Kakak belum bisa menemukan cara untuk kembali, jadi...
Jadi kakak hanya bisa meminta maaf pada anda...
Maaf....
Maaf telah mengingkari janji yang telah kakak buat dengan anda...
Maaf adik perempuan...
Maaf Helena, Maaf Jacob, Maaf ibu...
Aku tidak bisa kembali sekarang...
Ku hanya bisa menghapus air mata kerinduan akan keluargaku. Dalam hati aku berpikir bahwa keluargaku adalah alasan terkuat untuk aku terus hidup. Meskipun , aku tidak bisa kembali sekarang tetapi aku harus tetap hidup dan bernafas di dunia asing ini.
Tunggu aku kembali, adik perempuan.
***
.