Ruangan bernuansa putih dengan bau obat tercium menyengat. Seluruh orang disana berlalu lalang tanpa mempedulikan bau tajam obat, seperti sudah terbiasa. Pemuda tinggi berjalan menggenggam sebuket bunga Lily. Masuk ke sebuah ruangan tepat dimana seorang wanita paruh baya terbaring.
Pemuda itu menaruh buket bunga tepat di meja samping setelah sebelumnya membuang bunga lain yang telah layu. Ia sudah melakukan hal itu cukup lama. "Bagaimana kabarmu Ma ?"
Wanita itu tak menjawab. Matanya hanya terpaku pada bunga Lily yang masih segar. Seakan sosok pemuda yang menyapanya hanya bayangan.
"hey Ian, kau datang tepat waktu" Seorang pria dengan seragam perawat berseru di pintu ruangan yang sengaja di buka. "Dokter James ingin bertemu denganmu" Ujarnya kemudian.
Ian menoleh kembali pada wanita tadi, posisinya masih sama. Tak menggubris Ian sama sekali.
"Kemarin ibumu bercerita tentang mu" Jelas perawat pria tadi, sebuah name tag terpasang didadanya—Alan Chester. "Kemarin bahkan dia memujiku tampan saat aku menyuapinya"
"tampan seperti Hitler" Ian suka sekali mengejek garis keturunan Alan. Pria berdarah Jerman itu mendengus kesal.
"Sopanlah padaku, kalau kau masih seperti itu aku tak akan membantumu saat di perguruan tinggi" Alan merangkul akrab bahu Ian, sedangkan pemuda lainnya masih betah memasang wajah datar.
"oh iya aku lupa.. sebentar lagi kita akan satu angkatan" Ian menyindir tentang keterlambatan kelulusan Alan dan bagaimana pemuda itu mengulang terus menerus hampir semua mata kuliah.
"Ck.." Decakan kesal terdengar dari mulut Alan. "Cepat sana masuk jika tidak kau akan ku pukul"
"Kau yakin bisa kalah dari ku ?" Ian terus saja menggoda Alan hingga dirinya masuk ke dalam pintu putih di ujung jalan.
"Selamat sore tuan Kendrick" Suara berat itu langsung menyapanya. Seorang pria tua dengan kepala setengah botak duduk di balik meja. Sebuah papan nama terpajang di atas meja itu— James Callahan.
Ian duduk berhadapan dengan pria yang memakai jas putih khas dokter. "Selamat sore" jawabnya padat.
Dokter James hanya tersenyum, sedikit paham dengan sifat Ian yang tak terlalu suka basa basi. "Jangan khawatir kan ibumu, dia sudah lebih baik dari pertama kali dibawa kesini" Dokter James meraih berkas di laci meja kerjanya.
"Ibumu sudah mulai bisa mengingat nama-nama para perawat namun hal itu harus sering di lakukan, Interaksi antara orang lain sangat penting.. dan kau harus sangat sabar berkomunikasi dengannya—"
"Apakah ibuku bisa sembuh ?"
Dokter James menghela nafas dan kembali melanjutkan penjelasannya yang terpotong. "Penyakit Alzheimer jarang sekali bisa sembuh, walau usia ibumu terbilang cukup muda daripada beberapa pasien yang mengidap penyakit serupa biasanya berusia 60 keatas. Tapi tak menjamin ibumu dapat sembuh" Dokter James sedikit berat hati menjelaskan fakta buruk yang ada.
"Namun, dengan interaksi yang bagus ibumu tak akan lagi bersikap di luar kendali seperti waktu itu" Sebagai Dokter kewajibannya memang memberikan fakta, namun rasa kemanusiaan ingin berharap keajaiban datang.
"Dokter.. apa Alzheimer bisa menyerang usia belasan tahun ?"
Pria tua itu sedikit terkejut atas pertanyaan Ian "Umumnya penyakit itu menyerang lansia, jarang sekali kasus remaja yang mengidap alzheimer. Kenapa bertanya seperti itu ?"
"Ah~ tidak jadi" ada keraguan di balik jawaban Ian, pemuda itu nampaknya sedang menyembunyikan sesuatu "kalau begitu aku permisi"
.
.
.
Malam cerah dengan bintang bertaburan. Pemuda dengan earphone di telinganya berjalan tegap menyusuri trotoar. Kakinya melangkah masuk ke dalam gedung perpustakaan daerah. Vincent menyempatkan dirinya mampir untuk membaca beberapa lembar buku didalam.
Perpustakaan yang buka hingga jam 10 mungkin tak memiliki pengunjung banyak terbukti hanya beberapa orang saja yang datang. Dan dirinya merupakan pengunjung tetap disana.
Meraih sebuah buku bersampul biru tua dengan judul yang tercetak sangat tebal pada sampulnya. "Magic Island" sebuah karya fiksi dimana sekelompok pemuda datang ke pulau ajaib dengan berbagai hewan aneh dan unik. Vincent tahu berita kontroversi tentang penulisnya yang mengkonsumsi ganja dan obat terlarang saat menulis karya ini, dan semua bentuk halusinasi dapat terlihat dalam buku ini.
Vincent tak terlalu menyukai karya fiksi karena menurutnya itu bertentangan dengan realitas. Namun pengecualian untuk buku yang sedang ia baca, ini adalah masterpiece.
"Perpustakaan akan tutup dalam 10 menit"
Suara dari speaker di atas ruangan bergema, memperingatkan para pengunjung untuk mengepak barang mereka dan buku yang hendak di pinjam. Tak terkecuali dengan Vincent, ia kembali menaruh buku yang ia baca di tempatnya semula. Dan bergegas berjalan pulang.
Jika tak ada pengumuman mungkin saja ia sudah menginap di perpustakaan karena lupa waktu. Ada alasan baginya untuk tak meminjam buku itu.
Kembali memasang earphone di telinganya, pemuda itu berjalan menyusuri trotoar dengan lampu jalan yang berjejer membantu penerangan.
Pemuda itu mendudukan dirinya di kursi halte yang kosong. Menunggu kedatangan bus terakhir di hari itu. Dan Bus yang ia tunggu datang tepat setelah ia menghitung mundur detik demi detik di dalam hati. Vincent sangat jenius, ia tak perlu lagi menggunakan alat bantu jam ataupun kalkulator untuk menebak pukul berapa saat ini.
Ia bersimpangan dengan seorang gadis yang menurutnya aneh saat hendak masuk ke dalam Bus. Aneh karena gadis itu selalu menatapnya bahkan saat vincent sudah duduk di dalam Bus. Gadis yang tengah berdiri di halte tak mengalihkan pandangan terhadapnya.
Vincent yakin sekali ia tak pernah bertemu dengan gadis itu. Ia memang bukan orang yang hafal setiap nama dan wajah seseorang, namun kali ini ia yakin tak ada hubungan dengan gadis aneh tak di kenal itu.
.
.
.
'krieet'
Ranjang usang itu berderit dengan suara khas. Seseorang diatasnya tampak menggeliat disela tidurnya, mungkin sedikit terganggu dengan cahaya menyilaukan yang menimpa kelopak matanya. Nathan terbangun dari tidur panjangnya. Ia terlelap begitu perutnya kenyang.
"ughh~" kepalanya berdenyut sesaat setelah mencoba duduk di tepi ranjang. Perlahan ia berjalan kearah dapur, meneguk segelas air mungkin bisa meringankan sakit kepalanya.
Nathan sedikit terheran dengan keadaan dapur yang sudah rapi. Ia tak ingat telah membersihkannya kemarin, atau mungkin penyakitnya kambuh tanpa ada efek samping yang menonjol.
Namun tetap saja ia harus meminum obatnya, tak ingin kejadian lebih parah membuatnya kehilangan ingatan dalam waktu seminggu. itu sangat merepotkan sebenarnya. Terlebih lagi jika ia tak ingat akan diadakan ujian dan tak ada persiapan.
Langkahnya sedikit lunglai masuk ke dalam kamar mandi tempat dimana ia menyimpan obatnya. Untunglah kepalanya tak terlalu sakit hingga tak perlu menenggak lebih banyak butir obat. Rasa berdenyut masih ia rasakan, namun tak separah sebelumnya. Mungkin air dingin dapat membantu mengembalikan keadaannya.
Saat mandi, sudut matanya menangkap bekas aneh di balik laci obat. Seperti sebuah ruang tersembunyi lainnya. Nathan bukannya tak tahu, ia hanya tak terlalu peduli dengan beberapa bekas yang tertinggal dari pemilik sebelumnya.