Andra melangkah cepat menuju pintu utama rumah tersebut, ia tengah memutar otak mencari jawaban yang tepat apabila papa dan mamanya bertanya mengenai keberadaan sang istri.
Ceklek! Pintu terbuka, Andra menyunggingkan seulas senyum menyambut kedatangan papa dan mamanya yang sudah berdiri di depan pintu.
Seorang wanita paruh baya menghambur ke pelukan Andra, betapa ceria wajah Wulan Andira--ibu kandung Andra--tersebut. Sedangkan pria yang ikut bersamanya hanya tersenyum semringah melihat istri dan anaknya melepas kerinduan.
"Akhirnya mama bisa datang berkunjung," ucap Wulan, masih dengan senyum lebar di bibirnya.
"Iya, Ma. Ya udah, ayo masuk dulu, papa nggak sabar mau ketemu menantu, papa." Arsad ikut berujar, lelaki yang garis wajahnya mirip sekali dengan Andra itu melangkah lebih dulu memasuki rumah sang putra. Tak sabaran.
"Ayo, ayo!" seru Wulan segera menyusul sang suami.
Sedangkan di teras rumah, Andra masih terpaku di tempatnya berdiri. Pria itu mengusap wajahnya, bingung. Kedua orang tuanya sangat yakin sekali bahwa Andine ada di dalam, padahal wanita itu sudah beberapa waktu pergi, dan sayangnya sang suami tidak tahu ke mana kepergian sang istri.
Andra mendesah, ia pun berbalik dan berniat menyusul kedua orang tuanya di dalam. Namun, baru beberapa langkah ia hendak memasuki rumah, telinganya tiba-tiba mendengar deru mesin mobil yang berhenti di halaman rumah.
Andra menoleh, dan benar saja tepat di depan sana berhenti sebuah mobil, sejurus kemudian sosok Andine keluar dari kendaraan tersebut. Hal ini tentu saja membuat Andra terkejut hingga kedua matanya membulat tak percaya.
Momen yang pas sekali.
Andine berlari kecil, ia menghampiri sang suami dengan wajah panik. Gadis itu melirik takut-takut ke arah rumah.
"Papa sama mama kamu di dalem ya? Aduh, aku harus bilang apa nih kalau mereka tanya dari mana?" Andine kebingungan sendiri, sedangkan sang suami hanya menatapnya dengan pandangan entah.
Andra menelan ludah, "Bilang aja kalau kamu habis dari rumah tetangga," jawab pria itu sekenanya.
Andine lantas menoleh, "Hah?"
"Udah ayo, cepetan! Mama sama papa udah nunggu!" Andra memaksa sang istri untuk segera masuk ke dalam, ia menggandeng tangan wanita itu untuk pertama kalinya setelah beberapa waktu mereka bagaikan orang asing yang tinggal dalam satu atap.
"Lho, dari mana, An? Kok kamu sama Andra dari luar? Perasaan tadi yang nyambut mama cuma Andra doang." Wanita paruh baya berkulit cerah itu tersenyum hangat melihat kedatangan menantunya.
Andine tersenyum kikuk, ia hendak menjawab tapi Andra segera memotongnya. "Tadi Andine habis dari rumah tetangga, Ma. Kebetulan tadi tetangga bikin kue, jadi Andine ikut bantuin."
Andine melotot, dengan penampilan rapi seperti orang yang baru saja pergi hangout, apakah kedua mertuanya itu akan percaya? Andine lebih panik saat mendengar sang suami beralasan.
Arsad tertawa kecil, pria yang sedang duduk di sofa itu mengamati wajah menantunya yang memerah.
"Bagus itu, ternyata Andine pandai beradaptasi dengan para tetangga," ujarnya.
"Lumayan dong bisa dapet ilmu bikin gue gratis, kalau boleh tahu bikin kue apa, Sayang? Udah jadi belum kuenya?" tanya Wulan antusias.
"Eng--"
"Bolu kukus, Ma!" Andra kembali memotong kalimat sang istri, "Kuenya belum jadi, karena Andine udah aku suruh pulang," sambungnya, ia bahkan tersenyum lebar sambil merapatkan posisi tubuhnya dengan Andine.
Sikap suaminya yang penuh drama itu justru membuat Andine merasa jengah.
Wulan tersenyum, "Oh begitu."
"Sini duduk, nggak perlu nunggu kue tetangga mateng, papa sama mama udah beli kue dan makanan lain di jalan tadi." Arsad, pria dengan kulit setengah keriput itu mengajak anak dan menantunya untuk duduk bersama dan menikmati oleh-oleh yang mereka bawa.
"Terima kasih, Ma, Pa." Andra dengan senyuman lebar penuh kebanggan menuntun istrinya untuk duduk bersama dengan orang tuanya.
Keempat orang itu tampak begitu menikmati kebersamaan, meskipun Andine lebih banyak tersenyum dan mengangguk ketimbang ikut mengobrol. Ia justru merasa kurang nyaman dengan sikap suaminya yang terlihat sangat berbeda, Andra duduk merapatkan diri dengannya, ia bahkan tak sedikit pun melihat senyum di bibir pria itu luntur saat berbincang dengan orang tuanya.
Pria ini, sungguh pandai berakting!
"Pekerjaan kamu bagaimana, Andine? Masih dilanjut?" Wulan tiba-tiba mengajukan tanya pada menantu satu-satunya itu, sontak saja semua mata akhirnya tertuju hanya pada Andine saja.
Meskipun sedikit terkejut, Andine tetap berusaha bersikap senormal mungkin.
"M-masih, Ma. Masih dilanjut kok," jawabnya kemudian.
Arsad Cakra, pria paruh baya yang memiliki sifat penyayang itu tersenyum melihat menantunya. "Papa senang melihat wanita pekerja keras seperti Andine ini, punya pekerjaan dan bisa menghasilkan uang sendiri. Bahkan, setelah menikah pun, dia masih meneruskan pekerjaannya."
Andine tersenyum canggung dipuji tersebut.
"Iya, itu benar, Pa. Tapi … kalau bisa mama sih berharap Andine resign saja." Wulan tiba-tiba berujar demikian sambil tersenyum tipis ke arah anak dan menantunya.
Pernyataan tersebut sontak membuat semuanya terkejut, apalagi Andine. Pertanyaannya, kenapa dia harus resign?
"Memangnya kenapa, Ma?" tanya Arsad, ia mengernyitkan dahi sambil menoleh ke arah sang istri yang ada di sebelahnya.
Wulan tersenyum, tapi senyumnya tidak sampai ke mata. Ada sesuatu yang disembunyikan olehnya.
"Ya, sebagai seorang perempuan yang baru saja mendapat gelar seorang istri. Mama sih berharap Andine berhenti dari pekerjaannya, agar dia bisa lebih fokus menjadi seorang istri. Karena kelak, dia juga akan menjadi seorang ibu. Mama cuma nggak mau kalau Andine merasa kesulitan membagi waktu, antara mengurus suami dan anak, juga mengurus pekerjaannya," jelas Wulan.
Mendadak suasana di rumah itu menjadi berbeda, hening dan senyap. Andine justru tidak tahu harus bereaksi apa saat mertuanya bicara demikian. Di dalam kepalanya tengah berputar sebuah pendapat berbeda.
Jika dia bisa menguasai semuanya, kenapa harus mengorbankan pekerjaan yang selama ini dijalaninya? Lagipula ibu mertuanya mana tahu menahu apa yang sebenarnya terjadi dengan rumah tangga anaknya sendiri.
"Emm … mereka baru saja menikah, Ma. Dan papa lihat, mereka masih mampu membagi waktu antara menuntaskan kewajiban dan juga mengurus pekerjaan. Andine 'kan multitalenta, dia bisa mengatasi semua. Ya 'kan, An?" Arsad mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba membeku, ia menatap menantunya satu-satunya dengan perasaan was-was, takut jika Andine merasa tersinggung dengan kalimat istrinya barusan.
Andine tersenyum, "Aku masih bisa jaga waktu kok, Pa, Ma. Antara menjadi istri dan menjadi pekerja, untuk saat ini aku masih mampu melakukannya secara bersamaan."
Andine tak mungkin secepat ini keluar dari pekerjaannya, ia belum siap menjadi istri Andra yang seutuhnya. Sebab sikap lelaki itu sungguh sangat memuakkan apabila mereka hanya berdua saja.
"Ya, Andine benar, Ma. Aku yakin dia bisa atur waktu, aku juga bakal bantuin dia kalau sewaktu-waktu dia butuh bantuan." Andra akhirnya ikut menyahut sambil merangkul pundak gadis di sebelahnya dengan erat. Membuat Andine membeku seketika di tempat duduknya.
Wajah Wulan yang tadinya tampak resah berubah cerah seketika, ia bisa bernapas lega meskipun masih menginginkan agar sang menantu berhenti bekerja saja.
Sebab Wulan menginginkan satu permintaan yang kalau bisa terkabul secepatnya.
Memiliki cucu.
Wulan tidak mau jika terjadi sesuatu yang buruk pada menantunya jika wanita itu nekat terus-terusan bekerja, ia tak mau jika Andine merasa terlalu lelah.
"Ya sudah, yang penting kalau nanti sudah isi, kamu harus fokus sama kehamilan kamu ya." Wulan berujar enteng dengan seulas senyum mengembang.
Dan benar saja, lagi-lagi semua orang terdiam mendengar wanita itu bicara.
Bersambung.