Download App
56% Traumatik / Chapter 14: Aku Bersalah

Chapter 14: Aku Bersalah

***

"Devan"

"ya?" tanya Devan menyembul dari balik pintu besar itu. sedikit menengadah ke atas, untuk bisa menatap seseorang yang ada di depannya dengan wajah polos dan bingung khasnya.

"orang tuamu meninggal, maaf sekali lagi. tapi...mereka tidak akan pulang" serunya dengan wajah datar. tidak ada raut kasihan sama sekali.

***

Deg!

***

"A..ayah..ibu??!" teriak Devan. kabar buruk menimpa Devan saat harusnya malam hari menjadi waktu kepulangan kedua orang tuanya. Devan kecil yang malang baru berusia 10 tahun harus menghadapi sebuah fakta kalau tetangganya datang memberi kabar kalau kedua orangtuanya mengalami kecelakaan dan meninggal seketika di tempat. Devan merasa nafasnya sesak, ia merasa jantungnya sakit.

Pe.. penyakitnya...gawat. berhenti. berhentilah. jangan seperti ini.

"hah.. hah...t..t...hah". bahkan kata kata menjadi begitu sulit di ucapkan. berhentilah... semuanya terasa semakin dan semakin buram, kedua tangannya gemetaran bergerak menghadap ke atas dengan perlahan. pucat pasi. getaran itu semakin kuat. pikiran buruk merambat meracuni pikiran Devan.

***

Deg!

***

"hah..hah.." sesak. siapapun..., Devan melihat ke arah depan. tetangga itu hanya diam dan berlalu pergi tanpa mempedulikan Devan yang sesak nafas. Devan mengulurkan tangannya ke depan berharap ada yang meraih. tapi sekali lagi kenyataan menampar Devan. dia menutup pintu rumah. Devan ambruk. meringkuk seraya memegang kedua dadanya yang menyiksa.

"hiks..hiks...t..". tetesan hangat terasa turun dari pelupuk mata Devan. ia menangis. diingatnya kedua orang tuanya yang kini tidak akan ada lagi. tidak akan ada lagi yang menyayangi Devan. tidak ada yang akan pulang dirumah kecil yang selalu sepi ini. Devan merasa sangat sakit. dan asma nya memperparah hal itu. Devan sedikit menoleh ke arah pintu yang tertutup dengan sedikit harapan tersisa dengan kedua mata sayu yang lelah.

satu tangannya menyeret paksa tubuh nya untuk membuka pintu yang memiliki celah sedikit itu. sangat susah. Devan berhasil menyeret posisi pintu itu sedikit bergeser. tangan nya menyembul ke luar. sedikit lagi...Devan berusaha keluar dari sana. tapi ...dadanya seperti terasa tersengat listrik dan Devan pingsan.

***

seorang wanita paruh baya hari itu dengan segala keberuntungannya melewati rumah devan. ia terkejut saat melihat tangan kecil yang terasa begitu lemah dan pucat di sana. wanita berumur sekitar 50 tahun itu bergerak ke arah sana. dan terkejut saat melihat Devan, sedang meringkuk dan tidak sadarkan diri disana [sendirian].

"Devan!"

***

Devan membuka kedua matanya yang terasa berat. rasanya seperti ada sesuatu yang menyedot habis semua tenaga di seluruh badannya. Devan mengalihkan kedua matanya yang berwarna hitam itu ke arah kanan dengan perlahan. membiarkan rambut coklat berantakan itu sedikit digeser dari tempatnya. Devan melihat infus yang menancap di tangannya yang begitu mungil dan rentan.

"kau sudah bangun?" tanya suara lembut seorang wanita. Devan melihat ke arahnya dengan tatapan kosong. dia duduk di kursi disana. hanya dia satu satunya di tengah ruangan Devan yang sangat kosong itu. menunggu Devan hingga Devan membuka matanya.

"...", Devan diam saja.

wanita paruh baya yang masih sangat cantik. Devan diam seribu bahasa. ia tidak pernah berkomunikasi dengan siapapun selain ayah dan ibunya. Dia sepertinya tau dan hanya tersenyum. wanita itu mengelus lembut rambut halus milik devan dan mengangkat nya sedikit membantu nya untuk minum. Devan merasa segar saat aliran air putih itu membasahi tenggorokan-nya.

"m..maaf telah merepotkan mu" seru Devan setelah sedikit pulih. wanita yang duduk di sebelahnya hanya tersenyum. ia mengarahkan tangannya dan Devan menutup kedua matanya takut. Devan kecil hanya tau kalau semua orang akan selalu membencinya.

***

Srek

***

Devan tertegun saat merasakan tangan itu hanya mengelus rambut Devan dengan lembut guna menenangkan nya. Devan terdiam. kedua matanya perlahan terbuka melihat ke arah wanita itu. dan wanita itu hanya tetap tersenyum.

"tenang saja Devan, sekarang kau adalah anakku ya?" seru wanita itu. dan Devan hanya diam, tidak bereaksi.

***

Bruk!

***

Devan , umur 12 tahun melihat ke arah depan. wajahnya tidak begitu tirus dan sudah sedikit terawat. ia melihat ke arah anak anak lain di desa yang kini melihat nya dengan tatapan mengejek. mereka mulai mengelilingi nya. dibandingkan dengan dirinya yang tampak mungil dan kecil, mereka tampak besar.

"apa?" tanya Devan datar.

"apa apa!. dasar kau punya ibu yang sudah tua ya!" ejek anak yang paling besar itu. dia mulai menunjukkan ekspresi tua dan mengejek Devan.

"dia.. tidak tua!. dia cantik!" seru Devan mulai tersulut emosi. tidak mau kalau ibu yang sudah merawatnya itu di ejek seperti itu. mau ibunya berbeda dari yang lain, hanya dia seorang yang mau menerima Devan apa adanya. bahkan dari kedua orang tuanya sendiri yang lebih menganggap pekerjaan nya lebih penting dan meninggalkan Devan, selalu sendirian dirumahnya itu.

"cih dia jelek!. udah nenek nenek!" ejek dia lagi. kali ini ia malah dengan sengaja mengambil sepotong kayu dan berpura pura menjadi pe-numpu tubuhnya itu. anak anak lain juga mengikuti. Devan gemetar dan mengambil batu kecil di dekat kakinya dan melemparnya ke arah anak kurang ajar itu.

***

Srek

***

hanya suara lemparan kecil yang menerpa tubuh besar anak itu. mereka semua berhenti. Devan diam di sana. menatap dengan gemetaran. ia takut, tapi ia tidak mau kalau ibunya sampai di ejek seperti ini. Devan merasa kedua tangannya gemetaran karena takut. ia masih berusaha menatap dengan tatapan garang untuk menyembunyikan rasa ketakutan itu.

"hei..apa yang kau lakukan?" tanyanya dengan nada yang penuh penekanan. ia memandang ke arah Devan yang berdiri di depannya itu dengan tidak percaya.

"jangan ejek ibuku!" seru Devan. suara nya terasa gemetaran. ia takut kalau penyakit nya akan muncul lagi disaat saat seperti ini. anak itu tertawa, lalu menatap dengan tatapan mengerikan membuat Devan menahan nafas.

"hahaha!. dasar anak lemah bodoh!" ejeknya lalu ia menunjuk ke arah anak lain dengan lagak bos. "lempari dia". setelah perkataan itu. anak anak lain mengikuti perkataannya. mereka mengambil batu batu di sekitar mereka dan mulai melempari Devan dengan tertawaan mengiringinya.

"be.. berhe--" ringis Devan tapi terhenti karena batu batu itu terus terlempar seolah tidak mengizinkan Devan untuk berbicara dan membela diri.

***

Buk..Buk..Buk..

***

"ugh". Devan meringis saat merasakan batu batu yang tak terhitung banyak itu mulai menyentuh kasar tubuh nya. Devan menutupi wajahnya. batu batu itu terlempar dari berbagai arah dan Devan hanya bisa menahannya di tempat. Devan meringis kesakitan saat merasakan lemparan itu tidak kunjung berhenti dan batu batu itu mulai melukai kulit nya hingga mengeluarkan darah.

***

Deg!

***

kesadaran Devan mulai menghilang. gawat. sepertinya anemianya muncul. Devan merasa pusing. tapi kedua tangannya masih tetap bertahan agar batu itu tidak mengenai wajah nya. lemparan itu tidak berhenti dan Devan merasa lemas. anak anak mulai tertawa atas penderitaannya. kakinya terasa gemetaran tidak mampu menahan berat tubuh Devan yang terasa sangat berat. inilah efek samping dari penyakit anemia yang tidak disukainya.

"be.. berhenti.." pinta Devan lemas. tapi mereka malah tertawa.

"hahaha!. rasakan itu dasar anak pembawa musibah!. katanya orang tua kandungmu mati karena mu!". jantung Devan terasa berhenti.

"b..bukan....bukan... karena" bisik Devan pelan. nafasnya terasa sesak. kata kata yang terlontar seolah begitu tersekat di tenggorokannya. tubuhnya lemas.

"pembawa musibah!. anak haram!" teriak anak anak itu. seolah terbayang bayang di sekitar ingatannya. kedua mata Devan menatap tidak percaya ke arah bawah. pembawa musibah?. matanya mulai remang remang. kata kata anak anak desa lainnya mulai memasuki pikiran Devan yang mulai merasa terganggu karena darah dan mentalnya terganggu.

"A..aku bersalah" bisik Devan pelan. mengigit bibir bawahnya kasar. kedua matanya menatap ke arah bawah. dan dirasakan kedua matanya terasa panas. dan perlahan kedua bening air mata mengalir mulus di kedua pipinya.

***


next chapter
Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C14
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login