Dialah Aditya, penduduk lembah Baliem yang jiwanya mirip kesatria pemberontak bangsa Belanda zaman dulu. Di tengah dua orang satu timnya, ia berdiri tegak dengan gaya yang santai, otot perut kulit hitamnya sekuat tumpukan batu balok; sama seperti kebanyakan pemain yang mengikuti pertandingan ini yang tidak memiliki badan seperti Nopo. Tangan kanannya memutar-mutar senjata dari kayu yang bentuknya seperti kail ikan besar, cukup untuk mengail leher lawan. Kedua alis hitamnya tinggi seolah membuat ekspresi wajahnya selalu bertanya-tanya dan bibirnya mengulum senyum manis yang menawan.
Tombak tumpul Anewa teracung tepat ke arah kelompok tim suku Dani, kaki kirinya memasang kuda-kuda depan, badannya membungkuk seperti pohon cemara yang tertiup angin kencang, walau tidak melihatnya dari depan, aku yakin tatapan Anewa memancarkan nilai konsentrasi yang tinggi. Dia sudah siap menyambut segala kemungkinan. Dialah lancer suku Lani, tombak bagai lengan ke tiga baginya.
"Bima! Nak!" alisku terangkat, itu suara kakek tua; Minerva Zach, aku mendongak ke belakang. Burung hantu nokturnal yang aneh itu keluyuran di hari yang terang, dia melenguh berentetan seperti suara mesin mobil tua.
Melihat burung itu bertengger di pundakku, para penonton semua suku meriah, bertepuk tangan, salah satu penonton suku Lani berseru seolah aku adalah pangeran mereka. Aku melihat burung Elang di pundak Aditya yang menatap Zach dengan mata tajamnya. Beberapa saat, terbersit, aku dan Aditya seolah seperti perwira seorang Raja yang memperebutkan sebuah hadiah kehormatan.
"Tunggu dulu, tunggu dulu, apa burung-burung itu jinak?" tanya komentator buru-buru
Aditya menoleh ke tempat duduk yang tinggi di pinggir timur lapangan milik komentator pertandingan, dia mengangguk. Burung itu jinak.
"Elang itu Neprim, Nak. Sifatnya hampir mendekati manusia," kata Zach dengan bahasa perutnya.
Aku bertanya lirih, "Apa Aditya bisa berbicara dengan Elang itu, sama sepertiku?"
"Untuk berkomunikasi mungkin bisa, karena setiap Neprim memahami bahasa manusia dan bisa menggunakan bahasa tubuh dan suara hewannya untuk berisyarat. Tapi orang yang bisa mendengar Neprim berkata-kata secara jelas mirip manusia hanya kamu, Bima." jelas Zach, "Kamu masih ingat obat biru menyala yang aku bawa dari dasar sungai Baliem kemarin? obat itu mengarahkan sinyal telingamu supaya bisa mendengarkan tingkatan suara unik yang Neprim keluarkan ketika mengobrol."
"Bima, burung hantu ko jinak, kah?"
Aku menoleh, mengangguk pada komentator.
"Tidak boleh burung-burung itu menyerang peserta lain; perarturan baru, itu dianggap kecurangan dan beresiko didiskualifikasi," suaranya mendengung melalui speaker berbentuk terompet, "Korang mengerti, kah?"
Aditya mengagguk lagi. Ia mengelus kepala Elang, mulutnya bergerak membisik. Lalu burung Elang merunduk mengambil ancang-ancang dan kemudian menghentakkan sayapnya kuat-kuat, bulu topi tinggi Aditya seolah rumput diterpa baling-baling helikopter, burung itu meluncur lurus ke atas angkasa biru. Ia melenguh nyaring memekakkan telinga.
Zach melenguh patah-patah mirip orang tertawa. "Dia menantangku bertarung, rupanya kita sama-sama berjuang di arena ini, Bima." Zach menggeliat di atas pundakku seolah merenggangkan otot-ototnya yang jarang olahraga. "Semoga beruntung, Nak, aku akan mengurus perkerjaanku di atas awan sana—dan jangan coba-coba mengelus kepalaku seperti yang dilakukan Aditya—aku punya harga diri, aku bukan burung peliharaan." Zach menatapku dengan mata bulatnya.
"Yoi." lirihku setelah menelan ludah.
Zach mengangkasa dengan cara yang berbeda, ia tidak meluncur lurus seperti Elang bernama Sute itu, Zach terbang seperti pesawat; perlahan semakin tinggi dan tinggi, sangat anggun. Penuh kesabaran seperti orang tua.
Perhatianku tersedot kembali ke sosok Aditya; masih dengan gaya santai dan ulasan senyum. Ia melompat-lompat melakukan pemanasan, saat berhenti melompat, dia bersiul kencang dengan nada tinggi—yang turun cepat kemudian naik lagi. Sute menjerit di langit menjawab isyarat siulan Aditya. Aku mendongak, burung itu meluncur ke arah Zach dengan kecepatan motor balap.
Aku melihat Aditya lagi, orang ini sangat menarik perhatian. Dia menjentikkan jarinya di depan wajah, lalu dua orang di kiri dan kanannya yang berbadan seukuran diriku dan lebih berisi berlari mendekati Anewa. Jarak antara Anewa dan petarung suku Dani cukup jauh yaitu tujuh puluh lima meter, tapi tetap saja jarak tempuh itu tidak menguras waktu yang lama. Kira-kira lima belas detik dengan menggunakan badan gempal mereka berdua.
Aku menarik panah, mengincar kaki lawan. Tiba-tiba suara sorakan yang kian nyaring terdengar dari arah penonton suku Dani sembari tangan mereka menepuk sesuai nada—semakin tinggi suara sorak, semakin cepat tepukan. Ternyata itu untuk Aditya. Kaki kanannya menekuk di depan, tubuhnya condong mendekati kaki kanan. Tanpa mengambil ancang-ancang, setelah suara sorakan meriah suku Dani berhenti dan tepukan serentak berakhir seperti pukulan gong—Aditya berlari sprin seperti macan kumbang yang lapar ingin menerkam seekor jerapah di depannya. Tepuk tangan gembira suku Dani mengiringi laju larinya.
Aku menjauhi Anewa, berlari ke pojok pinggir gelanggang mencari posisi aman untuk meluncurkan panah. Penonton suku Lani berbisik menyemangatiku. Fokus. Aku hanya butuh fokus. Dan menyerang pada momen yang tepat. Belajar dari dogma para petani, tahu kapan harus menanam dan kapan harus menuai hasil. Di gelanggang sama saja, harus tahu kapan menyerang, bertahan, dan menjeda sejenak untuk kemudian menyerang kembali. Harus tahu serengan-serangan paling efisien dan yang paling efektif untuk membunuh musuh.
Aditya dengan cepat menyalip dua rekannya, dengan cepat juga jarak antara Anewa dengannya tersisa sepuluh meter. Wajahnya tersenyum tenang, ia mengambil senjata kail yang menempel di pinggang belakang. Anewa meluncurkan tombak setelah memutar-mutar ujungnya, diarahkan menuju target kematian. Menuju dada Aditya.
Serangan tombak Anewa dihindari dengan mudah, macan kumbang itu meluncur mengikuti jalur tombak dari samping. Aditya memukulkan bagian cembung kailnya menyabet kaki Anewa namun gagal, penombak suku Lani itu segera meloncat menghindar. Seolah tidak kehabisan akal, Aditya memutar kailnya tiga puluh derajat, kemudian bagian cekung kail mengait kaki Anewa dan penombak itu jatuh berdebam di atas rumput kering dengan kepala lebih dulu mendarat.
Aku termangu. Aditya menyongsong diriku sementara rekannya di belakang menendang Anewa yang sedang jatuh. Temanku seperti maling diamuk masa.
Aku merasakan dadaku mengembang kesal. Dengan gesit jemariku menarik dan meluncurkan tiga anak panah, kemudian tiga lagi, rahangku mengeras, aku luncurkan tiga lagi. Tidak ada jeda untuk musuh. Aku tidak boleh kalah. Aku tidak ingin melihat Anewa mati-matian bangkit hanya untuk dijatuhkan lagi dan ditendangi, Anewa tahu jika dia tergeletak di tanah selama lima detik maka dia dianggap mati.
Aditya mematahkan jalurnya, ia meloncat ke samping sejauh dua meter, namun sebenarnya panah itu memang tidak tertuju untuknya, melainkan untuk rekannya yang menyerang kawanku. Aku menjauhi Aditya menuju sisi timur gelanggang, ke arah penonton suku Yani. Lariku tidak kalah kencang.
Saat berlari aku menoleh melihat serangan panahku, satu orang dengan senjata pemukul mati, panahku mengenai dada, lengan kiri dan kaki kirinya. Satu orang dengan senjata perisai menangkis panahku. Anewa berhasil bangkit kembali sembari kakinya menjegal musuh yang tersisa, musuh itu jatuh seperti kura-kura berlindung di balik tempurung. Dengan langkah terhuyung-huyung Anewa mengincar sisi samping perut lawan berperisai, dengan cepat Anewa menusuk tiga kali supaya musuh itu dianggap mati. Anewa menyelesaikan pekerjaannya dengan luar biasa, hatiku bersorak untuknya.
Di sekitar awan bercambur embun pagi, Sute memekik keras, suaranya menimpa penghuni lembah seperti hujan deras saat cuaca mendung gelap. Aku melihat Zach mencengkam leher Sute dengan cakar kakinya.
Aku tersenyum ke arah Aditya yang terdiam menyaksikan rekannya mati. Burung Elangnya jatuh dengan leher terbelenggu kaki Zach, jatuh seperti helikopter terkena misil bazoka. Keadaan telah berbalik seratus delapan puluh derajat. Suku Lani unggul. Dua lawan satu.
Aku menghentikan laju lari. Mengambil tiga panah dari saku quiver, mengeker dahi dan jantung Aditya sambil tertawa pelan. "Kemana arah mata ko melihat, pangeran?" lirihku. Walau begitu aku terkesan dengan wajah tenangnya yang seperti genangan air di danau Rombebai.