Download App
0.5% The Darkest Side Human / Chapter 2: Sosok Bayangan Gelap

Chapter 2: Sosok Bayangan Gelap

(Noah Chandra)

Namaku Noah Chandra. Saat ini umurku telah menginjak delapan belas tahun, saat dimana aku yang seorang remaja, kini beranjak dalam fase dewasa. Disaat semua orang yang akan menginjak kedewasaan akan memiliki banyak pengalaman menyenangkan, aku sendiri tidak banyak memiliki pengalaman menyenangkan.

Malah pengalaman yang cukup buruk sekali.

Aku berasal dari Keluarga Bangsawan Tertua. Di dunia Non Magis, keluargaku sangat terkenal sebagai pengusaha terkaya. Tapi tidak sebanding dengan kehidupanku yang terbilang sangat memprihatikan.

Sejak orang tuaku meninggal dalam kecelakaan. Aku diasuh oleh Paman Adrian l adalah adik dari ibuku dan Tante Monica, istri Paman Adrian. Mereka tidak memperlakukan aku dengan baik, aku hanya dijadikan pembantu oleh mereka.

"NOAH! CEPAT BANGUN!!"

Aku merasakan ada seseorang yang menggedor-gedor pintu kamarku, gedoran itu semakin keras, sebanding dengan suara teriakan wanita di balik pintu itu.

Mau tidak mau, aku paksakan bangun dari tidur nyenyak ku. Melirik jam beker di atas meja sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Suara gedoran pintu tak terdengar.

Aku membuka tirai yang menutupi jendela kecil, sinar matahari masuk melewati jendela kecil di dalam sebuah kamar sempit, hanya berukuran 2 meter.

Hanya ada satu ranjang kecil, meja belajar dan lemari yang terbuat dari plastik, menyimpan pakaian ku. Di ujung kamar, setumpuk kardus berisi barang-barang tak terpakai, mempersempit ruangan ini.

Inilah kamarku. Paman dan Tante memberiku sebuah gudang yang tidak terpakai, dengan aku menyulapnya menjadi kamarku.

Aku keluar dari kamar, berjalan ke dapur. Tante Monica menatapku tajam.

"Baru bangun jam segini? Bawa makanan itu ke meja makan, jangan sampai tumpah."

Aku mematuhi perintah Tante Monica, membawakan makanan ke meja makan. Paman Adrian tidak peduli denganku dan sibuk dengan iPad di tangannya, mungkin urusan pekerjaan.

Setelah semua makanan terhidang di atas meja. Aku yang sempat ingin duduk di meja makan, Tante Monica berseru ketus padaku.

"Ngapain kamu ikut makan bersama kami? Makan di dapur sana."

Aku mengurungkan niatku untuk makan di meja makan. Tante Monica mengambil satu centong nasi yang begitu sedikit sekali, dan tempe, sayur dan telur dadar untukku. Padahal di meja makan terhidang ayam dan ikan bakar. Aku sebenarnya ingin, tetapi karena aku tidak mungkin membangkang Tante Monica. Akhirnya aku sarapan di dapur, dengan lauk pauk seadanya. Selesai mencuci piring dan mandi. Aku melihat pantulan diriku di cermin besar. Rambut hitam legam ku tidak pernah bisa rapih, tepatnya aku sendiri yang tidak mau merapihkan. Memakai kemeja yang belum disetrika, terlihat kusut. Tidak apa-apa. Aku sendiri sudah begitu telat ke akademik. Hari ini ada jadwal latihan, sedangkan sahabatku, sedang ada tugas lainnya. Terpampang pesan di layar handphone.

Aku keluar dari rumah, menuju garasi untuk mengambil motorku. Motor pemberian Kakek Julian, Kakek yang paling aku sayangi.

***

(Sebastian Xu)

Namaku Sebastian Xu. Orang-orang memanggilku Bash, sebagai seorang pengacar, tetapi jauh dari profesiku sebagai pengacara, aku seorang Mage. Seseorang yang memiliki kekuatan unik yang tidak di miliki orang biasa. Hanya segelintir orang dan tidak semua orang memiliki kekuatan.

Kakiku melangkah ke daerah pemukiman penduduk. Beberapa warga ramai di sepanjang jalan, aku bisa mendengar kasak-kusuk warga di sini yang saling bergosip dengan apa yang terjadi di kampung mereka.

Ya. Aku berdiri di sebuah rumah yang tidak begitu besar, dinding rumah bercat kuning cerah. Mata hitamku melihat garis polisi yang terpasang mengelilingi rumah sederhana itu. Seorang pria berseragam polisi, keluar dari rumah dan menyapaku dengan berjabat tangan.

"Pak Bash, tidak disangka bisa bertemu anda di sini."

"Terima kasih Pak Harris," sapaku melirik name tag pria itu.

"Boleh saya masuk ke dalam?"

"Oh, silahkan Pak."

Aku diperbolehkan masuk ke dalam rumah. Langkah kakiku menyusuri setiap sudut rumah, berawal di ruang tamu.

Aku melihat figura yang terpampang di dinding. Lima orang di dalam foto itu, dua orang dewasa dan tiga anak kecil yang tersenyum ceria. Aku ambil bingkai foto itu dan saat aku menyentuhnya. Aku seperti terlempar masuk ke dalam pusaran. Cahaya menyilaukan kian meredup, menggantikan suasana yang tidak asing. Dua orang dewasa dan tiga anak kecil. Mereka berlima saling mengobrol di ruang tamu. Aku bisa mendengarkan apa yang mereka bicarakan.

"Adel di sini dengan Papa, lalu adik di samping Mama. Biarkan Mama yang menggendong adik kecil kalian."

"Tapi aku ingin bersama Papa."

"Aku yang ingin bersama Papa."

Dua anak kecil berusia antara 5 dan 7 tahun itu saling berebutan ingin duduk di samping pria yang kemungkinan adalah ayah dari ketiga anak itu, dan sosok wanita berparas cantik, berkulit sawo matang, menggendong balita.

"Sudah, kaliang jangan bertengkar. Kita kan ingin buat foto keluarga. Adel, kamu sebagai kakak tertua mengalah, biarkan adikmu bersama Papa," ujar wanita itu membujuk putrinya yang murung.

Perdebatan dua anak itu berhenti, berganti dengan keceriaan saat seorang fotografer memotret keluarga bahagia itu.

Aku kembali ditarik ke dalam pusaran, kembali ke dunia nyata. Mereka dulunya adalah keluarga bahagia. Aku bisa merasakan sisa-sisa kenangan bahagia keluarga ini masih tersisa, selebihnya ada kegelapan yang menyelimuti rumah ini. Mengikis kebahagian yang telah membentengi rumah ini. Bila digambarkan secara nyata, rumah ini seperti tertutup cahaya kubah, sayangnya cahaya itu kian mengikis, berganti dengan kabut kegelapan.

"Kasihan sekali anak-anak malang ini. Mereka dibunuh ibu kandungnya sendiri dengan cara menggorok leher mereka, dari ketiganya, bungsu yang masih balita tewas di tempat. Sedangkan kedua kakak-kakaknya keritis, yang paling parah anak-anak laki-lakinya. Mungkinkah ibunya mengalami gangguan kejiwaan?"

Mendengarkan penuturan dari Pak Harris.

Tragedi berdarah, seorang ibu yang membunuh ketiga anak-anaknya. Ibu muda itu bernama Anaya dan suaminya bernama Juan, yang saat ini bekerja di pulau seberang.

"Ibu Anaya sekarang ditahan di kepolisian."

Setelah aku mendapatkan informasi yang cukup. Aku pergi menuju kantor polisi, tempat wanita bernama Anaya itu saat ini di tahan.

***

(Ryandra Lim)

Persentasi tugas yang telah aku buat hampir satu bulan, mempersentasikan di depan Profesor Theo dan teman-teman. Mereka menatapku terpukau dan bertepuk tangan. Aku kembali merapihkan kertas dan memasukkan laptop ke dalam tas. Eriska berlari ke arahku, seperti anak kecil. Dia berceloteh betapa aku mempersentasikan dengan sempurna dan tanpa ada salah.

Kami berbincang-bincang sebentar di dalam kelas. Satu persatu teman-temanku meninggalkan kelas, tinggal hanya ada aku dan Eriska di kelas. Benda pipih berbunyi dibalik saku jaket. Melihat dilayar handphone, siapa yang menelponku.

"Siapa?" tanya Eriska

"Mama telpon aku," kataku mengangkat telpon.

Terdengar suara lembut dari seberang sana, aku menyahut panggilan mama ditelpon.

"Ia, aku pulang ke rumah hari ini. Aku akan mengajak Eriska juga. Ya sudah, bye Ma."

Setelah memutus sambungan, aku mengajak Eriska mampir ke rumahku. Bersama Eriska menyusuri lapangan akademik menuju tempat parkiran. Aku membukakan pintu untuk Eriska, gadis itu masuk ke dalam mobil, begitu juga aku masuk ke dalam mobil, menyalakan mobil dan meninggalkan halaman Akademik.

Beberapa menit kemudian. Mobil yang aku kendarai, masuk ke halaman rumah luas. Rumah yang menjadi tempat tinggalku. Rumah mewah bercat putih dan bergaya khas Eropa, dinding-dinding ornamen terhias lukisan khas budaya. Kakiku melangkah masuk ke dalam rumah.

Kedatanganku selalu disambut oleh seorang wanita cantik berusia sekitar 40 tahunan, seseorang yang telah melahirkan aku ke dunia dan merawatku hingga tumbuh besar. Mama yang selalu terlihat cantik, meski usia sudah tak lagi muda, tetap saja mama yang paling tercantik. Catherine Johanna, berkulit sawo matang, khas orang Asia, tepatnya Indonesia. Papaku bernama Hao Chen Lim, dengan mata kecil dan kulit putih khas orang Asia. Namaku Ryandra Lim, anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakak-kakakku perempuan. Kakak sulungku bernama Kristal Lim, dia telah menikah dan memiliki satu putri tunggal, dan kakak keduaku. Annabelle Lim saat ini menempuh kuliah di luar negeri. Kak Annabelle tidak menyukai jika dia ingin belajar di Akademik Magis, entah apa masalahnya, dia memilih kehidupan normal seperti Non Magis. Keluargaku termasuk salah satu Keluarga Bangsawan Magis tertua dan berdarah murni, hanya saja, kakak-kakak Perempuanku lebih memilih hidup normal seperti para Non Magis, meski mereka memiliki kekuatan magis. Hanya aku yang masuk ke sebuah Akademik Magis, mempelajari apa yang sudah menjadi keunikanku.

Mama membawaku dan Eriska ke ruang makan. Kebetulan sekali keluargaku berkumpul semua di meja makan, kedua kakakku kebetulan ada di rumah dan Paman Jay, adiknya papa juga ada di sini.

Menunggu malam tiba, kami makan malam bersama dengan aku ditemani Eriska. Disela makan dan berbincang-bincang. Aku melihat papa begitu akrab dengan Paman Jay, adik kandungnya. Tapi, tidak juga. Aku juga tidak tahu kenapa. Papa dan Paman Jay terkadang sering berselisih. Kedua pria dewasa itu membahas sebuah koleksi barang-barang langka kesukaan mereka. Ya, papa dan Paman Jay penyuka koleksi budaya, bahkan budaya yang berbau hal mistis yang begitu kental dengan unsur sakral. Papa memamerkan salah satu koleksi topeng wayang dihadapan kami semua. Aku terkesan takjub dan terpanah dengan topeng wayang yang terlukiskan itu. Seperti mirip wajah manusia. Bibir merah tipis melengkung membentuk senyuman, kulit wajah putih halus dan mata kecil membentuk bulir padi. Melihat topeng wajah itu, mengingatkanku dengan sosok wanita bergaun merah itu lagi.

Telingaku kembali berdengung tidak jelas, seperti suara peluit nyaring. Bising dan tentunya membuat kepalaku sakit kembali. Merasakan hawa yang tidak nyaman di sekeliling meja makan. Mata kecilku menatap kakak keduaku. Annabelle sejak makan dan sampai selesai makan, dia lebih banyak diam. Yang paling anehnya, aku melihat seperti bayangan gelap membentuk sosok manusia, berdiri di samping Annabelle.

Aku menatap orang-orang di sekelilingku. Mereka tidak sadar ada bayangan gelap menempel di dekat Annabelle. Terutama Annabelle seperti tidak sadar, ada sosok gelap di dekatnya. Siapa sosok gelap itu? Dan kenapa hanya aku yang bisa melihatnya?


next chapter
Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C2
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login