Download App
57.89% Sudut Pandang / Chapter 11: Melepas Merpati part 1

Chapter 11: Melepas Merpati part 1

Samar-samar Nina mengintip di balik tirai jendela rumah itu menatap Arumi tengah berdua sambil memandang langit bersama Elang yang tampak mempesona meski dilihat dari arah belakang. Sesaat ia tersenyum-senyum sendiri, membayangkan jika gadis yang berada di samping Elang adalah dirinya adanya.

Nina segera bersembunyi ke balik tembok demi menghindari Elang yang ternyata berjalan masuk persis melangkah ke arahnya tanpa Nina sadar.

Gadis itu masih celingukan, ia kembali mengintip di balik kaca, namun ternyata sosok yang dilihatnya itu sudah tidak ada.

Hah, ke mana dia?

Kedua sorot mata terlindung cermin itu tampak tak berbinar lagi, Nina murung.

"Sedang apa?"

"Hah?!"

Suara itu mengagetkannya. Nina terlonjak pada saat mendapati jika Elang sudah berdiri di sampingnya sambil bersender di tembok dengan gaya yang cool sekali. Nina tersenyum kaku, ia menggaruk tengkuknya.

"Emh, itu tadi ...." Telunjuknya yang lentik mengarah ke tempat tak beraturan. "Lagi ini ... emh, Nepukin nyamuk."

"Nyamuk?" Kedua alis Elang yang tebal itu saling bertautan.

"Iya, ada nyamuk jadi gatal ini ...." Menggaruk lehernya dengan asal.

"Ini ya?"

Elang menarik tubuh itu untuk memastikan jika memang ada nyamuk di leher Nina. Seluruh aliran darahnya itu berdesir, detak jantungnya tak lagi stabil. Terlebih kehangatan dari sentuhan Elang membuatnya kian merasa tidak nyaman dengan posisi yang mengharuskan Nina menengadah memperlihatkan jenjang leher itu terpampang dengan jelas.

"Sudah tidak ada," ujar Elang melepaskan tubuh Nina dan berlalu pergi.

Gadis itu terdiam, ia hanya menatap punggung itu semakin menjauh dari pandangannya. Disentuh laki-laki? Ini kali pertama baginya bersentuhan secara langsung dengan jangka waktu yang lama.

Elang, pemuda itu begitu dingin, tapi juga teramat menggoda.

Seketika lamunan itu terbangun disaat Arumi menjentikkan jarinya menyadarkan Nina yang tengah bengong tanpa kata.

"Ada apa?" Sebelah tangan Arumi sudah bertengger di pinggangnya yang ramping. "Apa yang kamu pikirkan? Hem?" Turut menoleh ke arah pandangan Nina. Di sana tak ada satupun objek yang menarik untuk ditatap.

"Ada apa?" Sekali lagi Arumi bertanya sambil mencubit gemas pinggang gadis itu.

"Aw! Sakit, Nona." Nina meringis menggosok pinggangnya dan berlalu begitu saja.

Arumi melotot, dengan mulut menganga tak percaya.

Ada apa sebenarnya dengan gadis itu? Ini begitu aneh. Apa dia ...?

Senyumnya terukir, menyadari jika asistennya itu mungkin sedang mengalami kasmaran. Tapi pada siapa? Elang?

...

Manusia bersayap. Sosok gambaran yang tepat untuk diri Elang saat ini. Entah sejak kapan ia bertengger di atas genteng itu sambil wajah menengadah ke arah langit dengan satu tangan sebagai bantal serta satunya lagi bersarang di perut.

Wajah gadis itu, gadis polos yang tadi menampilkan ekspresi menggemaskan dengan membiarkan Elang menatap lehernya begitu saja. Dia seperti merpati, bahkan dapat dibilang memiliki wajah yang sama persis garisnya.

Merpati adalah cinta menyakitkan bagi Elang. Gadis keturunan langit itu harus meninggalkannya karena sebuah perjodohan yang diatur langsung oleh Kaisar Langit pada waktu itu.

Ialah putri dari Selir Namia. Satu-satunya selir Kaisar Langit yang pada saat ini menjadi selir kesayangan Raja Petir karena memiliki kecantikan yang tiada tara. Bahkan di usianya yang sudah menginjak ribuan tahun lamanya, Selir Namia masih tampak cantik bahkan kecantikan itu mengalahkan wajah putrinya sendiri.

Sayang, mulut Namia terlalu berbisa untuk ukuran wajah secantik itu. Bahkan jalan pemikirannya tidak pernah terlepas dari duri-duri beracun yang sudah siap membunuh siapa saja penghalang jalan menuju ambisinya. Bahkan, Kaisar Langit dan Permaisurinya sendiri!

Selir Namia tidak rela jika putrinya harus memiliki pasangan seorang pengawal rendahan seperti Elang. Sehingga ia merayu raja untuk menjodohkan Putri Merpati dengan Aslan, putra dari Mentri pengatur kestabilan hewan di seluruh dunia.

Wajah Elang menegang mengingat semua itu. Dia merubah posisi menjadi duduk dengan sebelah kakinya ditekuk. Elang mengepakkan sayap lebih tinggi, melayang dalam gelapnya malam kian larut. Hingga ia sampai di tepian hutan pinus, berdiri menghadap jejeran pohon menjulang tinggi.

Ia menarik kembali sayapnya, menyilangkan kedua tangan di perut. Kedua matanya yang tajam mengawasi setiap gerak-gerik rimbunan rumput dan semak belukar.

Bunyi kresek-kresek itu tak sedikit membuatnya gentar. Satu tujuannya, ia ingin menemui kekasih lama yang kini seakan sulit untuk dijumpai.

Beberapa ekor ular berusaha mematuk dan melilit, tapi tak satupun dari kesekian ular itu yang mampu melumpuhkannya atau bahkan menyentuhnya. Satu ular mengembangkan kepalanya, mendesis dan berdiri setinggi Elang dan siap menyerang. Satu hantaman saja ular itu terpental dan memekik berubah wujud.

"Katakan pada tuanmu, aku datang dengan cara baik-baik."

"Akh, baik-baik macam apa yang kau bilang? Menghajarku sampai seperti ini? Hem! Kasar sekali."

Sorot mata Elang semakin tajam. Ia memicingkan kedua mata itu, mengeluarkan sinar kemerahan. Sinar itu terpancar jauh menembus kabut malam kian menebal.

"Apa di luar ada tamu?"

Gema suara seluruh hutan pinus membuat seluruh kawanan burung gereja yang semula bertengger pada dahan pinus itu beterbangan.

"Siapa di luar?"

"Pengawal Elang dari Alam Langit. Dia bertamu dengan cara mendorongku hingga terpental menembus tebal dan kuatnya pohon pinus berukuran paling besar di hutan ini. Jika saja ini adalah alam manusia, sudah pasti akan ada gugatan baginya atas perbuatannya merusak pohon paling tua di hutan ini.

"Suruh dia masuk!"

Pria ular tadi menggeleng kepala. Dia tidak rela jika tuannya membiarkan Elang masuk dengan cara terbuka.

Kaki itu melangkah menimbulkan suara kerikil terinjak sepatu yang lembap karena embun malam. Si Pria Ular, dia hanya mengikuti dari belakang tetap mengawasi takut-takut jika nanti makhluk di hadapannya ini mencelakakan tuannya.

Elang tak sedikitpun merasa risi, tekadnya lebih besar dari pada rasa takut yang ia hadapi.

Sebuah goa berukuran besar yang terletak tepat di bawah bebatuan tinggi itu sudah menganga di depan mata. Sebuah batu besar kokoh menutupi. Si Pria Ular menyibak semak dan menekan kuat serta memutar sebuah batu sandi hingga pintu menghalangi mulut goa terbuka dengan sendirinya.

Menakjubkan memang, ternyata itu sebuah gerbang menuju perkampungan kecil yang terkesan asri dan tenang.

"Tuan Aslan berada di istananya."

"Istana?" Elang mengernyitkan dahinya.

"Iya, kenapa memangnya? Ini lingkup istana kami, tidak besar memang, tapi dari sinilah kami mampu mengendalikan seluruh binatang hanya dari satu sudut pandang."

Ragu Elang melangkah, ia melihat sendiri jika para penduduk di sana menatapnya dengan aneh. Terlebih dengan penampilan Elang yang tidak sama dengan kawanan.

"Kalian tenang saja, dia bukan manusia. Hanya saja sekedar tengah mendapat tugas khusus dari alam langit."

Nampaknya ada trauma tersendiri dengan manusia. Tepat beberapa tahun yang lalu beberapa spesies hewan di tempat ini mengalami kepunahan karena ulah manusia yang sangat gemar memburu. Hingga Aslan berinisiatif mengumpulkan sisa dari spesies itu pada satu tempat di dalam gue itu.

Bagi mereka, manusia adalah sumber masalah dari kerusakan hutan. Perlu waktu ratusan tahun lamanya membalikkan keadaan setelah penebangan besar-besaran di hutan oleh manusia. Aslan sendiri yang mengusir mereka dengan mengumpulkan semua jenis binatang buas untuk menghadap dengan menggunakan perisai khusus pemberian Kaisar Langit sehingga tak satupun peluru mampu menembus kulit mereka.

Tak terasa. Langkahnya sudah sampai pada bangunan termegah terdapat beberapa patung tanda kedamaian dari berbagai spesies binatang menyambut kedatangan Elang dan si Pria Ular itu.

Kedua pengawal yang semula menutup jalan itu membuka tombaknya, mereka rengkuh pada saat mendengar suara pemimpin mereka menggema.

Sesosok wajah yang teramat dia rindukan itu tengah bergumul dengan beberapa bocah menghiburnya, menciptakan senyum tulus khas keibuan. Apa itu anak-anaknya?

Merpati. Dengan pakaian keagungan yang serba putih itu menandakan kesucian hatinya. Dia berbinar ketika melihat pemuda yang selama ini berada dalam kepalanya itu akhirnya datang menemui.

"Elang ...." Tercekat tenggorokan, selain hanya mulut yang berucap tanpa suara. Air matanya luruh, seiring dengan senyum terpancar penuh kerinduan.

Elang turut tersenyum, langkahnya gontai, lemas melihat kecantikan Merpati. Terlebih merasa lemas karena ada seorang lelaki tengah berdiri di sampingnya.

"Sudah lama kami menunggu, kenapa baru muncul sekarang?" ujar laki-laki yang memiliki paras secantik wanita di samping Merpati.

Seorang putra dari Mentri kehewanan di langit memiliki putra yang berparas cantik dalam sosok tubuh yang indah. Orang mungkin akan menyangkan jika Aslan adalah laki-laki kemayu dan tidak memiliki kekuatan sama sekali.

Namun, perkiraan itu ternyata salah. Aslan sendiri memiliki ketegasan dari cara ia melangkah pun sudah jelas terlihat.

Aslan berdiri kokoh sambil menunjukan wibawanya merangkul istrinya yang ternyata masih memiliki perasaan terhadap Elang.

"Hamba tidak memiliki kewenangan apapun atas penantian yang mulia." Elang rengkuh,

Mereka sudah duduk saling berhadapan di ruang pribadi milik Aslan. Membahas sesuatu yang nampaknya memang sangat penting untuk dibahas.

"Aku menunggu kedatanganmu sejak lama."

"Nampaknya ada yang membuat yang mulia gusar sehingga menunggu kedatangan hamba ke mari."

Elang meneguk arak pada cawan kecil yang berada di hadapannya. Terasa pengar, tapi menyegarkan.

"Itu arak bunga lotus ribuan tahun hadiah langsung dari Kaisar Langit pada saat kami menikah. Baru kali ini aku mengeluarkannya."

"Hamba sangat tersanjung."

"Jika kau memerlukan bantuanku, katakan saja. Pasukan kami siap membantu."

"Sebelumnya hamba ucapkan terima kasih banyak. Jika memang ada yang harus hamba lakukan, katakan saja. Anda jangan sungkan."

Sesaat Aslan berdeham, meraih cawan dengan gerakan sangat indah dipandang mata. Gerakan yang cantik, yang hanya dapat dilakukan oleh orang dengan seni ilmu bela diri tingkat tinggi.

"Anak-anak itu, mereka bukan anakku. Kami mengadopsinya beberapa tahun yang lalu."

"Hamba kira, itu putra-putri yang mulia."

"Istriku tidak pernah mau tidur denganku."

***

Next ....


next chapter
Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C11
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login