Para preman itu akhirnya menyetujui tawaran Erza, dan mereka bersedia membebaskan Wika dan Wina. Wika berkata pada Erza dan Farina, "Terima kasih." Dia sedikit takut dengan Farina.
"Aku akan membiarkan kalian pergi untuk saat ini," kata Farina pada kelompok preman itu. Setelah itu, dia menatap Erza, "Apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu tidak membawa teman-temanmu pergi?" Entah kenapa, saat melihat ekspresi Erza saat ini, Farina merasa sangat bangga.
"Tidak ada mobil, bagaimana aku bisa pergi?" tanya Erza. Farina sedikit jengkel mendengarnya. Erza berkata lagi, "Bagaimana kalau kamu mengantar kami ke mobilku? Aku rasa mobilku masih ada di tempat tadi."
Erza memiliki ekspresi waspada di wajahnya. Pada saat ini, Erza juga sedikit takut. Jika Farina tidak bisa emosinya, gadis itu akan meledak ketika saatnya tiba. Farin menjawab dengan senyum terpaksa, "Baiklah." Dia segera menelepon kantor polisi. Setelah menjelaskan semuanya, petugas di sana bergegas datang.
Sebenarnya Erza masih merasa terkejut karena tampaknya Farina dan pemimpin preman itu benar-benar mengenal satu sama lain. Dia bahkan menyuruh pemimpin preman itu pergi.
Usai mobil polisi tiba, Wika dan Wina pergi langsung masuk ke dalam mobil, sementara Erza mengendarai sepeda motor bersama Farina. Farina berkata dengan dingin, "Jika bukan karena Wina, aku tidak akan mengantarmu ke mobilmu."
Meski kesan Erza di benak Farina hari ini lebih baik, itu tidak membuatnya memaafkan Erza yang telah memarahinya kemarin. Di hati Farina, dia masih membenci Erza.
"Terima kasih atas kebaikanmu," kata Erza pada Farina.
"Tidak perlu basa-basi. Itu memang tugasku." Suasana hati Farina tiba-tiba meningkat pesat.
"Kamu sangat berani. Jika kamu seorang laki-laki, kamu mungkin bisa bergabung dengan tim anti-teroris." Erza tampak tenang sekarang, seperti tidak terjadi apa-apa.
"Bajingan!" Setelah itu, Farina hendak meledak lagi.
Saat ini mereka sudah tiba di tempat Erza meninggalkan mobilnya. Sebenarnya Erza agak malu karena mobilnya akan ditarik oleh mobil derek karena berhenti di sembarang tempat. Pada saat ini, Erza tidak tahu bagaimana cara membayar denda tilang dan biaya penarikan mobilnya.
Beberapa polisi lalu lintas memperhatikan Farina berjalan dengan ekspresi hormat di wajah mereka. Untuk itu Erza bisa mengerti karena Farina tidak tampak seperti polisi lalu lintas, melainkan polisi kriminal yang menakutkan.
"Aku akan menyelesaikan kasus ini. Kalian tidak perlu ikut campur lagi," kata Farina tegas.
"Tapi, Farina, kamu bukan polisi kriminal lagi," jawab salah satu polisi lalu lintas di sana. Namun, setelah melihat mata Farina, polisi lalu lintas itu diam seribu bahasa secara tiba-tiba.
"Apa kamu tidak mendengar apa yang aku katakan?" tanya Farina dengan tatapan tajam.
"Aku mendengarnya, aku mendengarnya," jawab sang polisi dengan tubuh gemetar. Saat ini, polisi lalu lintas itu sangat takut dengan Farina. Dia langsung mengangguk dengan cepat, dan kemudian mengarahkan agar mobil derek itu segera pergi.
"Terima kasih." Erza tidak bisa berhenti berterima kasih pada Farina. Dia ternyata benar-benar baik.
"Itu hanya hal kecil," jawab Farina.
"Jangan terlalu galak. Kamu tidak akan bisa menikah nanti. Pria mana yang berani menikahi wanita galak sepertimu?" kata Erza mengingatkan. Setelah itu, Erza langsung pergi.
"Bajingan! Tunggu pembalasanku!" teriak Farina. Melihat Erza pergi, paru-paru Farina akan meledak.
Kini Erza sudah ada di dalam mobil bersama Wika dan Wina. Wika berkata, "Erza, terima kasih banyak." Wika yang duduk di kursi belakang merasa lega saat ini.
"Tidak apa-apa. Jika kamu datang kepadaku besok, aku akan memberimu 20.000. Kamu bisa memberikan uang itu pada debt collector untuk melunasi bunga dari utangmu sekaligus," kata Erza. Dia memutuskan untuk membantu Wika untuk melunasi utang dan bunganya karena dia tahu bahwa Wika masih harus membeli beberapa kebutuhan untuk Wina.
"Erza, terima kasih sekali lagi," ucap Wika. Setelah mendengar ini, hati Wika menjadi lebih bersemangat.
"Kak Erza adalah orang yang baik." Pada saat ini Wina juga memandang Erza dengan rasa terima kasih.
"Wina, kamu tetap di dalam mobil. Ada sesuatu yang ingin kukatakan pada kakakmu." Tiba-tiba Erza menghentikan mobil di pinggir jalan dengan ekspresi serius di wajahnya.
Setelah mengunci pintu mobil, Erza membawa Wika ke tempat yang tenang dan menatap langsung ke arah Wika. Wika berkata dengan tiba-tiba, "Aku akan menjadi pengikutmu dan menuruti semua perintahmu."
Kemudian, Erza berkata, "Aku tidak sedang membicarakan ini. Menurutmu apa yang akan terjadi jika aku tidak muncul tadi?" Wika menjawab, "Karena itulah aku akan menjadi pengikutmu mulai sekarang sebagai rasa terima kasihku."
"Apa yang kamu bilang itu salah. Apakah kamu tidak pernah berpikir untuk melatih kekuatanmu sendiri?" tanya Erza dengan nada serius.
"Mengembangkann kekuatanku sendiri?" tanya Wika kebingungan.
"Ya. Menurutmu jika hal ini terjadi lagi, bisakah aku berada di sisi kalian tepat waktu setiap saat? Menurutmu apakah setiap kali ini terjadi, aku akan selalu berada di dekat kalian?" Erza menghujani Wika dengan pertanyaan bertubi-tubi. Saat melihat mata Erza, Wika langsung menundukkan kepalanya. Dia merasa Erza benar.
Erza memandang Wika. Dalam hati Erza, dia merasa bahwa Wika terlalu lemah dan pengecut, tetapi Erza percaya bahwa Wika masih bisa melatih kekuatannya sendiri, setidaknya demi Wina. Awalnya Erza memang tidak berniat untuk mengurusi urusan Wika, namun ketika melihat Wika sebenarnya punya kemampuan, maka Erza harus turun tangan sekarang.
"Tapi aku…" kata Wika ragu-ragu. Meskipun hati Wika agak panas saat ini, Wika benar-benar tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Jika Erza ingin dia melakukan sesuatu untuknya, dia masih bisa melakukannya. Tetapi jika Erza memintanya untuk mengasah kekuatannya, dia sangat tidak yakin.
"Kamu ingin hidup seperti ini selama sisa hidupmu? Tidak masalah jika kamu sendiri menderita? Apakah kamu berniat membiarkan Wina menderita bersamamu, bahkan mengatakan bahwa kamu siap diganggu preman itu lagi kapan saja?" tanya Erza dengan nada tinggi. Kata-kata Erza tidak berhenti. Dapat dikatakan bahwa setiap kata yang diucapkan Erza seperti jarum beracun, menusuk dada Wika dengan keras. Erza melihat tangan Wika mengepalkan tinjunya dengan erat
Wika berkata, "Tidak, aku tidak bisa membiarkan adikku diganggu, tidak ada yang bisa menggertaknya."
"Itu benar. Kali ini Farina banyak membantumu. Tapi lain kali, tentu saja tidak akan semudah itu untuk mengatasi para preman itu. Oleh karena itu, kamu bisa memanfaatkan Farina untuk belajar darinya cara melindungi dirimu dan Wina," kata Erza. Dia mengangguk dengan ekspresi puas di wajahnya.
Jika Farina berdiri di sini, dia pasti akan marah pada Erza. Aku banyak membantu Erza hari ini, tapi pada akhirnya dia dimanfaatkan oleh orang ini.
"Baiklah, Erza. Terima kasih. Aku bersumpah tidak akan pernah mengecewakanmu." Wika mengangguk.
"Aku percaya padamu, tapi masa depan tergantung padamu. Aku hanya bisa membantumu selama aku bisa," kata Erza.
Kini Wika sudah memahami perkataan Erza. Saat ini yang dia pikirkan adalah tentang saat saudara perempuannya yang mungkin akan diintimidasi di lain hari. Ketika adiknya itu dirawat di rumah sakit, sorot mata orang-orang di sana sangat merendahkan mereka hingga membuat Wika tertekan. Wika tidak ingin kembali ke saat itu. Dia akan melatih kekuatan dan percaya dirinya agar bisa menjadi orang yang disegani.
"Erza, tetapi ada sesuatu. Aku butuh bantuanmu lagi." Pada saat ini, Wika juga memandang Erza dan berkata dengan memohon seolah-olah dia takut Erza tidak akan setuju.
"Maksudmu ini tentang Wina?" tanya Erza yang langsung mengerti arah pembicaraan Wika.
"Ya, Wina adalah satu-satunya saudara perempuanku. Dapat dikatakan bahwa dia adalah segalanya bagiku. Aku tidak ingin dia menderita bersamaku, jadi aku ingin kamu membawa Wina," pinta Wika pada Erza. Setelah ragu-ragu, Wika tetap mengatakannya karena Wika merasa hanya Erza yang bisa melindungi saudara perempuannya. Sebenarnya, ide Wika benar, karena begitu berita tentang tubuh yang murni milik Wina bocor, hanya Erza yang dapat melindungi Wina di dunia ini.
"Baiklah," ucap Erza menyetujui. Meskipun ragu-ragu, Erza akhirnya setuju dengan Wika. Alasan mengapa Erza ragu-ragu bukanlah karena hal lain, tapi karena dia harus membawa Wina tinggal bersamanya di rumah Lana. Erza tidak tahu bagaimana menjelaskan kepada Lana.