Langit sudah gelap, hari sudah malam. Jovanca dan Rivaldi baru saja sampai tepat di kediaman Jovanca. Rivaldi memang mengantarkan mantan kekasihnya itu dengan berjalan kaki. Sebab saat tadi Rivaldi membawa Jovanca ke taman, dia tidak menggunakan kendaraan apapun. Selama perjalanan senyuman bahagia tidak luntur dari wajah cantik Jovanca, dia bahagia.
Suasana di kediaman Jovanca tampak sepi, gelap, lampu penerangan yang biasa menyala masih belum dinyalakan. Jovanca mengembuskan napasnya secara kasar berulang kali. Malam-malam seperti ini dia harus sendiri berada di dalam rumah mewah nan megah, apa lagi Jovanca memiliki phobia gelap. Setiap melihat bayangan di tempat yang gelap, pikirannya langsung tertuju kepada hal mistis.
Perubahan raut wajah Jovanca dapat Rivaldi lihat, tanpa sadar jemari Rivaldi mulai menggenggam jemari Jovanca, menimbulkan kehangatan untuk gadis itu. Kepala Jovanca menunduk, senyuman semakin mengembang di wajah cantiknya saat melihat jemarinya yang digenggam oleh Rivaldi. Jika boleh, Jovanca ingin waktu berhenti sebentar saja untuk merasakan kehangatan ini.
"Ekhm, itu tangan gak mau dilepas?" goda Jovanca.
Rivaldi menatap ke arah bawah, tepatnya pada jemarinya yang masih menggenggam erat jemari Jovanca. "Lah? Bukannya lo duluan yang genggam tangan gue?" tanyanya dengan wajah sok polos.
Kekehan pelan keluar begitu saja dari mulut Jovanca, secara perlahan dia melepaskan genggamannya dari jemari Rivaldi. Lalu melangkahkan kedua kakinya menuju daun pintu utama rumahnya. Tapi, sialnya dia lupa bahwa Arya dan Sarah saat ini sedang tidak berada di rumah.
Jovanca menepuk keningnya pelan, memutar tubuhnya lalu berucap, "Aku mau masuk nih, tapi kuncinya di mana?"
"Di bawah pot," jawab Rivaldi singkat.
Pot yang ada di halaman rumah Jovanca itu banyak, yang benar saja. Bagaimana cara Jovanca mencari kunci rumahnya? Tidak mungkin jika dia harus melihat satu-persatu pot yang ada di halaman rumahnya, bisa-bisa selesai hingga esok hari.
Jovanca menggelengkan kepalanya, lalu kedua tangannya dia lipat di depan dada. Tingkah Rivaldi benar-benar membuatnya pusing, padahal seharusnya Rivaldi menanyakan kepada Sarah di mana pot yang ada kunci rumah, bukan seperti ini.
"Yang bener aja? Masa iya aku harus cek pot itu satu-satu? Gila!" omel Jovanca.
"Ya udah, nih lo telepon bunda lo." Kemudian, Rivaldi merogoh saku celananya. Setelah itu memberikan ponsel berwarna gold kesayangannya kepada Jovanca.
Dengan tidak sabar, Jovanca menerima ponsel Rivaldi. Hampir saja ponsel berlogo buah apel itu jatuh kalau Rivaldi tidak dengan cepat menahannya. Selama beberapa menit kedua remaja yang memiliki usia berbeda itu saling berpandangan, sampai akhirnya Jovanca memutuskan kontak matanya terlebih dahulu, karena merasa jantungnya mulai berdetak tidak karuan.
"Mana hpnya? Sini!" Jovanca mengambil paksa HP yang berada dalam genggaman Rivaldi.
Hal yang pertama kali Jovanca lihat saat membuka layar kunci ponsel Rivaldi adalah foto seorang anak kecil lelaki berusia sekitar empat tahun, itu adalah foto Rivaldi saat kecil. Jovanca memandang foto tersebut selama kurang lebih empat belas detik.
Setelah merasa puas menatap foto Rivaldi kecil, Jovanca mulai masuk ke aplikasi chat berlogo telepon berwarna hijau yang banyak digunakan masyarakat dunia saat ini. Dia mencari kontak bernama Sarah, setelah dapat Jovanca langsung menghubungi Sarah.
"Bundaa"
"Halo sayang, kamu kenapa? Oh iya bunda malam ini kayaknya gak pulang dulu sama ayah, karena mau nginap di rumah Valdi, katanya kak Vero gak enak badan. Gak papa 'kan?"
"Halo bunda, iya gak papa kok. Aku cuma mau tanya, di mana kunci rumah? Ini kan pot banyak banget, masa iya aku harus cek satu-satu."
"Aduh, iya bunda lupa. Itu kuncinya ada di pot kecil di atas meja yang deket pintu, pot yang di tengah."
"Makasih bunda"
Sambungan telepon dimatikan secara sepihak oleh Jovanca, kemudian dia memberikan ponsel yang ada di tangannya kepada Si Pemiliknya lagi. Setelah mendapat ponselnya kembali, Rivaldi segera meninggalkan kediaman Jovanca tanpa permisi.
Jovanca menatap kepergian Rivaldi dengan perasaan kesal. "Ih aneh banget! Gak sopan lama-lama!" omelnya.
***
Tepat pukul tiga subuh, Arya terbangun dari tidur nyenyaknya karena mendengar suara seseorang sedang mengacak-acak rumah mewah milik Arina. Dia terbangun dengan perasaan tidak enak, karena Arya curiga bahwa ada maling yang memasuki rumah mewah tersebut. Arya berjalan secara perlahan keluar kamar, dengan tangan kosong.
Benar dugaannya, ada dua orang berpakaian serba hitam sedang mencari-cari barang mewah yang ada di rumah bak istana tersebut. Kedua bola mata Arya membulat ketika melihat dua orang maling itu, dia kebingungan mencari cara agar bisa melapor pada polisi, tanpa harus ketahuan dua orang maling.
Dengan gerakan mengendap-endap seperti maling, Arya memutar tubuhnya dan hendak memasuki kamar lagi. Tetapi, pergerakannya terhenti saat tiba-tiba salah satu dari dua orang maling itu memukul bagian kepala belakangnya menggunakan besi berukuran panjang yang dibawanya.
Arya terjatuh, dengan darah mengalir dari belakang kepalanya cukup banyak. Setelah melakukan hal mengerikan itu, kedua maling tersebut segera keluar dari rumah mewah milik Arina, tanpa menyadari bahwa di rumah tersebut memiliki beberapa CCTV.
"Ya ampun! Mas Arya!" pekik Sarah histeris.
Tadi, Sarah sempat mendengar suara tubuh Arya ambruk ke dinginnya lantai. Dia awalnya mengira itu hanya suara barang jatuh, tapi ternyata bukan. Sarah panik saat melihat kondisi Arya yang mengenaskan seperti ini. Setelah Sarah keluar dari kamar, tidak lama kemudian Rivaldi, Veronika dan Arina turut keluar dari kamar.
"Astaga, ayah Arya kenapa bun?" tanya Rivaldi panik.
Sarah menggelengkan kepalanya pelan. "Bunda gak tahu, tapi sepertinya ada maling. Coba tolong kamu cek CCTV rumah ini, supaya kita bisa cepat lapor sama polisi," jawabnya disertai dengan isakan tangisnya.
Rivaldi menganggukkan kepalanya patuh, pikiran mereka semua sedang kalut saat ini. Sarah menangis semakin kencang saat merasakan tubuh Arya dingin, sementara Veronika sedang berusaha untuk menghubungi ambulans.
Arina berjongkok tepat di samping Sarah, kemudian berucap, "Sabar ya Sar, sebentar lagi sepertinya ambulans akan datang."
Tiga belas menit berlalu, akhirnya ambulans yang dipesan oleh Veronika telah sampai, bersamaan dengan itu Rivaldi keluar dari ruangan tempat di mana laptop ditaruh. Benar, ada dua orang berpakaian serba hitam memasuki rumahnya. Mereka membawa segala macam barang mewah milik Arina.
Dua orang petugas ambulans datang dengan membawa tandu, tubuh Arya dibaringkan di atas tandu tersebut. Lalu kedua petugas ambulans itu membawanya memasuki ambulans, diikuti oleh Sarah yang setia menemani.
"Ya ampun, semoga Arya baik-baik aja," harap Arina.
"Amin," jawab Rivaldi. "Oh iya mah, barang-barang mewah mamah gimana? Udah dibawa maling lho itu," lanjutnya.
Arina menatap Rivaldi. "Jangan pikirin itu, sekarang kita siap-siap habis itu ke rumah sakit. Masalah harta bisa belakangan, sekarang kita pikirin masalah nyawa orang dulu," jelasnya.
Kemudian, Rivaldi, Veronika dan Arina kembali masuk ke dalam rumah. Mereka hendak bersiap-siap untuk segera menyusul Sarah pergi ke rumah sakit. Sebelumnya, Rivaldi sudah melapor kasus ini kepada polisi, rencananya siang nanti dia akan pergi ke kantor polisi dengan membawa bukti rekaman CCTV.