"Heelah ... Begini Raden. Aku ceritakan tentang alam sekilas saja. Agar Den Guntur mengerti saja."
"Baik, Ki Lurah."
"Dunia manusia itu masuknya di Madya-pada, atau manusia biasa menyebutnya alam manusia atau dunia nyata. Sedang Maya-pada adalah dunia para dewa, sebagian manusia mengatakan sebagai dunia maya atau ada juga yang menyebut alam ghaib. Lalu ada alam Nirwana, dunia diatas kita semua. Mungkin bisa diartikan sebagai akhirat. Karena semua penghuni alam Madya-pada dan Maya-pada juga akan menuju Nirwana saat mereka meninggal."
"Wah ternyata begitu ya, Ki Lurah? Saya baru tahu."
"Nah alam Maya-pada ini, karena merupakan alam ghaib. Maka banyak penghuninya adalah bangsa ghaib juga, dari golongan jin. Dan ada beberapa manusia sepertimu juga. Mereka orang-orang beruntung yang bisa menembus ke alam ini."
"Beberapa kali para Wali dari Nusantara juga datang kemari. Karena itu, kami bisa kenal. Kanjeng Sunan Kalijaga juga berdakwah di alam ini dan sebagian penduduk sini juga sudah ada yang beragama Islam."
"Oh begitu ya, Ki. Pantas saja tadi aku mengucap salam, ada yang tidak tahu. Jadi memang sebagian mereka belum tahu ya?"
"Betul. Kalau Den Guntur mau sambil berdakwah juga silakan."
Ki Bawor dan Guntur mengobrol membahas tentang alam dunia ini. Berteman secangkir teh hangat dan singkong goreng di ruang tamu rumah Ki Bawor yang berlantai kayu itu.
Mulai dari perbedaan dunia, juga asal usul dunia ini.
Diceritakan bahwa dahulu kala, Sang Hyang Wenang mempunyai anak berbentuk sebutir telur aja. Lama kelamaan telur itu menetas menjadi 3 orang anak. Kulit terluar menjadi anak pertama diberi nama Antaga. Lalu putihnya menjadi anak kedua, diberi nama Ismaya. Dan yang paling bungsu dari kuning telurnya, diberi nama Manik Maya.
Mereka semua menjadi anak-anak sakti. Siap menjadi penerus ayahnya. Saat mulai dewasa, mereka mengadakan taruhan tanpa sepengetahuan ayahnya.
"Hei Ismaya dan Manik Maya. Diantara kita bertiga, akulah yang paling tua. Jadi tahta kahyangan jelas akan menjadi milikku." Antaga mulai sombong.
"Tidak bisa!" protes Ismaya, "diantara kita akulah yang paling sakti."
"Tidak bisa juga! Pokoknya aku yang tertua. Bagaimana kalau kita taruhan saja. Biar adil, siapa yang pantas menjadi penerus ayah, kita tentukan dengan taruhan. Hei Manik Maya, kenapa kau diam saja?"
"Aku nggak ikut-ikutan, Mas. Aku kan anak bungsu," jawab Manik Maya.
"Memangnya kamu tidak mau jadi penerus tahta kahyangan ini juga?" tanya Antaga pada Manik Maya.
"Mau sih, Mas. Tapi aku cuma anak bungsu," jawab Manik Maya.
"Memangnya mau taruhan apa? Kalau adu kesaktian, jelas aku yang menang!" sombong Ismaya.
"Bagaimana kalau taruhannya. Siapa yang bisa menelan gunung itu, lalu mengeluarkannya kembali, hingga menjadi seperti semula. Yang bisa melakukan dia yang menang. Dan adik Manik harus ikut juga. Bagaimana?" Antaga menantang kedua adiknya untuk menelan gunung besar yang ditunjuk itu dan mengeluarkannya kembali.
"Oke, siapa takut. Walaupun kamu sakti, kamu itu bodoh. Aku terima saja tantanganmu!" jawab sombong Ismaya lagi.
Setelah beberapa saat dan mereka menyiapkan gunungnya. Lalu mereka memulai taruhan. Yang pertama maju adalah kakak pertama.
Antaga memasang kuda-kuda, lalu mengangkat gunung itu dengan kekuatan telekinesis dan menelan gunung itu secara utuh. Walau sudah membuka mulut begitu lebar, tapi gunung tidak bisa masuk. Justru mulutnya sobek dan menjadi dower.
"Wahahaha … memang kamu kakak bodoh! Mulut saja lebar, menelan gunung segitu saja tidak bisa! Mana sobek mulutnya pula! Wahahaha!" Ismaya semakin sombong melihat kakaknya gagal.
"Tidak usah banyak bicara, ayo buktikan kamu memang sakti!"
"Sudah jelas, akulah penerus ayah!"
Lalu kemudian Ismaya maju memasang kuda-kuda, mengangkat gunung itu dan memecah menjadi beberapa bagian. Lalu memulai menelan gunung itu.
Karena kepintarannya, gunung yang besar itu dia potong kecil-kecil hingga muat di mulutnya. Sehingga masuklah seluruh gunung itu kedalam perut Ismaya.
"Wahaha, gunungnya sudah masuk perutku semua. Kalian kalah!"
"Kamu curang, kenapa kau potong gunungnya jadi kecil?!"
"Bukannya peraturannya hanya menyebutkan menelan, tidak ada larangan memotong?!"
"Iya juga sih. Tapi jangan terlalu sombong, Dik! Taruhannya adalah menelan dan mengeluarkan kembali. Ayo coba keluarkan gunung itu hingga kembali seperti semula!"
Namun Ismaya kesulitan mengeluarkan gunung itu. Dan perutnya sudah terlanjur membesar seperti wanita hamil. Karena barang taruhan sudah tidak ada, maka taruhan tidak bisa dilanjutkan. Dan taruhan dihentikan oleh ayah mereka yang tiba-tiba datang dan marah.
"Memalukan kalian semua!" Hyang Wenang datang dengan kemarahan menakutkan.
Mereka kemudian mengakui kesalahannya dan siap untuk dihukum. Tapi karena mereka sudah mengaku salah, Hyang Wenang hanya memberi mereka tugas yang bisa dikerjakan dalam waktu lama. Antaga dan Ismaya diturunkan ke Madya-Pada untuk menjadi pamong para raja keturunan Manik Maya. Dan tahta kahyangan diberikan kepada Manik Maya sebagai anak termuda.
Selanjutnya, banyak keturunan Manik-maya yang menjadi dewa juga di Maya-Pada dan ada juga yang menjadi golongan bangsawan di Madya-Pada. Sedang keturunan Ismaya ada yang menjadi dewa juga, namun dia sendiri turun ke Madya Pada dalam wujud cucunya yang bernama Semar. Yang menjadi pamong keluarga kerajaan yang baik. Sedang Antaga menjadi pengikut pemimpin yang memberi banyak keuntungan baginya.
Ki Lurah Bawor yang merupakan anak angkat Semar, kini tinggal di Madya-pada di bagian terendah, karena hanya sebagai half-immortal. Kalau di alam manusia, mungkin ibarat tempatnya rakyat jelata. Termasuk Sri Intan juga, walaupun keturunan bangsawan di Madya-pada, tapi di sini dia hanya half-immortal.
Setelah bercerita cukup panjang, Ki Bawor kemudian mempersilakan Guntur untuk menginap di rumahnya untuk beberapa waktu, dengan catatan ikut membantu pekerjaan rumah atau ladang.
Setelah meletakkan beberapa barang di kamar yang diberikan oleh Ki Bawor, Guntur kemudian menjalankan Sholat Ashar bersama Ki Bawor. Lalu membantu memberi makan ternak di kandang.
"Maaf Ki, ngomong-ngomong. Apakah dunia ini terkait dengan dunia asalku?"
"Ya sebenarnya, alam ghaib ini berdampingan dengan alam nyata. Hanya beberapa tempat ada perbedaan. Tapi kehidupan rakyat jelata tetap sama seperti manusia di Madya-Pada. Mereka bertani, berkebun juga berternak."
"Begitu ya, Ki. Tapi bagaimana mereka berternak, apa mereka tega menyembelih hewan yang bisa berbicara seperti manusia?"
"Heelah … ternyata Den Guntur bisa mendengar bahasa binatang? Wah mantap!"
"Loh?!" heran Guntur.
"Heeelah ... jangan bingung begitu. Memang benar, kalau bisa mendengar bahasa mereka, ya tidak bakal tega membunuh atau menyembelih hewan lah. Tapi kan warga sini tidak ada yang bisa mendengar bahasa hewan. Baru kamu yang bisa. Heeelah …"
"Waduh, ternyata hanya aku yang bisa mendengar mereka. Aku kira memang semua hewan bisa bicara di alam ini."
"Selamat, kamu memang manusia terpilih."
"Terima kasih, Ki. Semoga kemampuan ini bisa bermanfaat untuk banyak orang."
"Ya sudah seharusnya begitu, Den. Heeelah … Nanti malam, aku akan ceritakan tentang pembagian kekuasaan di Maya-Pada ini. Agar kamu tidak salah masuk area terlarang saat menjelajahi dan mencari apa yang kau butuhkan."
"Baik terima kasih, Ki."
Bukan tentang yang tertua,
Bukan tentang yang terkuat
Bukan tentang kesombongan
Bukan pula tentang keangkuhan
Tapi, Ketaatan dan tanggung jawab itu lebih baik