Download App
50% Ada Cerita Cinta Di Asrama / Chapter 8: Episode 7

Chapter 8: Episode 7

"Kamu sudah ketemu sama Fikri?" ucap Dion terkejut

"Yap" jawabku tersenyum.

"Gimana ceritanya?" tanya Dion penasaran. Wajahnya benar-benar aneh begitu hahaha. Pasti Idris dan Reno akan bereaksi sama kalau tau aku sudah ketemu Fikri.

Aku ceritakan sama Dion peristiwa tak terduga sore kemaren, ya, kejadian ketemu si Fikri sehabis pulang dari kolam renang. Sebenarnya aku mau memberitahu ketiga sahabatku itu saat makan malam, tapi ada Kevin yang nimbrung di meja kami, jadi kuurungkan niat buat cerita sama mereka, ntar Kevin malah tau lagi.

Sampai saat ini Idris dan Reno masih belum tau, aku belum ketemu sama kedua anak itu, saat sarapan tadi pagi juga kami sendiri-sendiri, hanya Dion saja yang baru tau. Aku maunya cerita kalau semua sudah kumpul, tapi rasanya sulit banget menahan buat nggak cerita ke Dion, kami kan duduk sebangku sekarang, karena Candra sudah pindah tempat duduk, kabarnya sih nggak pede duduk di sampingku, alasan yang nggak masuk akal menurutku.

"Jadi Fikri itu sepupunya Andre? Kalau tau begitu kita nggak perlu repot-repot ke kolam renang. Belum lagi rencana kemaren benar-benar menyita waktu, selain itu, jujur saja itu ide terkonyol yang pernah aku ikuti" ungkap Dion sambil memainkan pulpen di tangannya.

Aku hanya senyum-senyum saja mendengarnya, aku setuju ide itu konyol dan nyeleneh. Gimana nggak nyeleneh, PDKT sama cowok di kolam renang, meskipun aku tidak terlalu menyesal datang ke tempat itu kemarin, lumayan juga cuci mata, apalagi aku ketemu sama Kevin yang lagi pakai celana renang seksi, What? Kok aku ngebayangin Kevin lagi sih, Shit!

Hemmmmmm, meski jujur saja, kemaren benar-benar menyenangkan, ya hari yang sangat menyenangkan, sudah lama aku tidak menikmati suasana begitu. Bukan karena ada Kevin tentunya, tapi senang-senangnya maksudku.

"Mungkin Reza sudah tau Fikri itu sepupu Andre, makanya dia ngasih info kalau Fikri biasanya suka berenang" celetuk Dion.

"Aku nggak yakin, soalnya Andre bukan tipe anak yang banyak bicara, apalagi aku jarang banget liat Reza ngobrol sama Andre" timpalku.

Terus terang aku sedikit ragu dengan dugaan Dion. Karena selain jarang ngobrol, nggak mungkin juga rasanya Reza nanya-nanya begitu ke Andre, yang ada Andre bisa curiga sama Reza, bisa saja Reza punya motif tersembunyi, secara Fikri itu anak populer.

"Ya juga sih, tapi Reza kan orangnya lumayan luas pergaulannya, buktinya dia sudah tau banyak tentang Fikri, bisa saja info kolam renang itu dia dapat dari orang lain. Tapi tetap saja menurutku Reza mungkin sudah tau kalau Andre dan Fikri itu sepupuan, kan dia punya banyak relasi" ucap Dion yakin.

"Mungkin saja." responku ragu.

Menurutku, pertanyaan-pertanyaan yang ada di benak Dion tidak harus terjawab. yang penting sekarang aku sudah ketemu sama Fikri, ternyata dia masih ingat denganku, dan dia juga mencari informasi tentang aku, so, sepertinya aku tidak perlu mengejar-ngejarnya lagi, malah sedikit jual mahal mungkin lebih asik.

"Kamu mikirin apa?" tanya Dion melihat aku senyum-senyum sendiri.

"Sepertinya aku nggak perlu lagi PDKT sama Fikri. Andre bilang Fikri juga cari informasi tentang aku, jadi saatnya aku jaga image, ya sedikit jual mahal gitu, jadi kelihatannya lebih cool kan?" ucap ku ke Dion.

Dion diam, matanya sedikit mendelik ke arahku, kelihatannya sedang mempertimbangkan ideku, meski aku juga masih ragu itu akan berpengaruh baik.

"Kamu yakin mau begitu? Fikri itu anak yang populer loh, nggak takut diambil sama yang lain?" celetuk Dion.

Benar juga kata sahabatku ini. Huft! Sepertinya aku harus tetap mendekatkan jarak, setidaknya sampe kami benar-benar akrab, tidak terlalu over sih. Kalau diingat-ingat, Fikri memang cute banget, meski kemaren aku gugup dan salah tingkah tapi tetap saja masih bisa memandang wajah tampannya itu hahaha. Nggak kebayang seandainya Fikri yang menyapa ku di kolam renang kemaren, apalagi sampe merangkul tubuhku, dengan celana renang yang ketat, bibir merah yang lembut serta tetesan air yang jatuh dari tubuhnya, hemmmmmm.

"Wush! Jangan mikirin yang mesum!" Dion mengejutkanku. Anak ini kelihatannya bisa membaca pikiranku, punya bakat jadi dukun kayaknya.

"Jadi selanjutnya kamu mau ngapain sama Fikri?" tanya Dion.

Ouch, mau ngapain? Aku baru sadar sekarang, selanjutnya apa lagi yang akan aku lakukan, aku sudah ketemu sama Fikri, tapi kami hanya ngobrol sedikit, ya percakapan singkat yang hancur itu. Kelihatannya nggak bisa dijadikan dasar kalau aku sudah dekat dengannya, bahkan dibilang kenal beneran juga belum. Terus selanjutnya apa dan bagaimana? Pertanyaan Dion barusan seperti letusan senapan yang membangunkanku dari tidur.

Aku terlalu senang dengan pertemuan kami kemarin sore, padahal itu sama sekali tidak menghasilkan apa-apa, perlahan senyumku mulai hilang lalu diganti rasa cemas dan keinginan yang lebih besar, keinginan untuk bertemu dan lebih dekat dengan Fikri, dan rasa cemas kalau teman-temanku akan bikin rencana nyeleneh lagi, serta kedekatanku yang mungkin bisa berakhir kapan saja, ya, karena kami tidak punya ikatan apapun. Aku dan Fikri tidak ada hubungan apa-apa dan aku bukan siapa-siapa baginya.

Dion membuka buku catatan yang ada di atas meja, kelihatnnya dia tidak membutuhkan jawaban dari pertanyaannya tadi. Ya, dia sudah tau aku tak punya jawaban ataupun rencana selanjutnya, bahkan aku tidak tau apa yang harus aku lakukan sekarang. Sebenarnya jujur saja, aku tidak terlalu yakin akan punya hubungan spesial dengan Fikri, emosiku yang tidak stabil serta ketidakmampuanku bersikap biasa, apalagi cool di depan nya menjadi alasan kenapa keyakinanku luntur. Tapi aku tetap punya keinginan itu, ya sebuah harapan yang mungkin dapat aku capai bila aku sedikit lebih berani.

Umumnya bagi seorang cowok mendekati cowok pula adalah hal yang beresiko, apalagi sampai menyatakan rasa suka bahkan cinta. Ya jelas saja orang akan berpandangan itu tidak "normal", karena seharusnya cowok mendekati cewek, menyatakan cinta dan pacaran sama cewek bukan sebaliknya. Itu merupakan hal yang paling sulit bagi seorang cowok yang menyukai cowok, karena beban pertamanya harus yakin kalau cowok yang disukainya juga sama seperti dia.

Bayangkan saja ketika kamu suka sama cowok cakep, kapten basket di sekolahmu misalnya, dengan penampilan yang seksi (versimu sendiri tentunya), apa yang akan kamu lakukan? Memberi perhatian saja sudah dianggap salah, pasti teman-temannya akan mengejekmu, dan dia juga akan merasa risih dan terganggu kan? Apalagi sampai nembak dia, bisa-bisa kamu nggak punya muka lagi di sekolah.

Tapi di sini hal seperti itu tidak berlaku, karena kedekatan sesama cowok bahkan sampe pacaran adalah hal yang biasa. Seperti kata teman-temanku, nembak cowok di sini nggak ada bedanya sama nembak cewek di dunia luar, jadi hal yang "normal" saja. Yang aku butuhkan hanya keberanian untuk mendekati Fikri lebih dalam lagi, dan bila saatnya sudah tiba, mungkin aku bisa mengungkapkan perasaanku padanya, dan apapun hasilnya setidaknya aku tetap berharap.

Aku membuka tas ku dan mengeluarkan buku pelajaran begitu Pak Luthfi masuk, Dion juga sudah merapikan duduknya. Terus terang saja, aku tidak terlalu serius menghadapi pelajaran hari ini, pikiranku masih tertuju sama Fikri, wajahnya yang cute, senyumnya yang manis, aromanya yang membangkitkan hasratku dan tentu saja keramahannya, meski aku hanya dapat membayangkannya saja, tapi saat ini, itu sudah cukup.

"Tugasnya silahkan dikumpulkan!" perintah Pak Luthfi. Dion bangkit dan maju ke meja guru untuk mengumpulkan tugas, begitu juga dengan teman-temanku sekelas, kecuali aku. Oh my god!!!! Aku lupa ada tugas yang harus dikumpulkan hari ini, jangankan mengerjakannya, ingat saja tidak. Dion juga tidak mengingatkanku.

"Kamu nggak ngumpul tugas? Ketinggalan?" tanya Dion saat dia kembali duduk di kursinya. Wajahnya kelihatan lumayan shock, ya karena aku tidak pernah lupa begini.

"Bukan ketinggalan, aku tidak ingat ada tugas, jadi belum aku kerjakan" jawabku cemas.

"Apa? Kok kamu bisa lupa? kan baru empat hari yang lalu dikasih, dan tugasnya juga nggak sulit kan?"

"Bukan masalah sulitnya, tiga hari ini kan kita fokus sama rencana kolam renang." jawabku polos.

"Jadi sekarang gimana?" Dion juga bingung.

Aku hanya menggeleng saja tak tau harus berbuat apa, coba tadi Dion mengingatkanku, setidaknya aku bisa nyontek punya dia. Sekarang sudah pasti tidak sempat lagi.

"Ricko, tugasmu mana?" tiba-tiba Pak Luthfi, guru Fisika kami sudah berdiri di depan mejaku. Aku terdiam sesaat, bingung mau gimana. Akhirnya,

"Lupa pak." jawabku jujur. Mau gimana lagi, aku memang lupa. Kalau aku bilang ketinggalan, malah nanti disuruh ambil ke asrama, dan ketahuan kalau aku bohong, justru bisa tambah berat hukumannya.

"Kemarin kan hari libur, seharusnya kamu punya banyak waktu untuk menyelesaikannya!" Ucap Pak Luthfi masam. Aku hanya tertunduk saja.

"Sebenarnya bukan masalah waktunya pak, aku lupa" ucapku dalam hati, kalau aku ingat ada tugas, setengah jam juga bisa aku selesaikan, hemmm, pikiranku memang sedang nggak pada tempatnya, mungkin sedang dicuri sama Fikri, hahaha.

"Kok malah tersenyum? ayo kerjakan di luar, sebelum tugas mu selesai kamu tidak boleh masuk kelas!" bentak Pak Luthfi.

"Baik pak," jawabku lesu, sesaat ku lirik Dion, mukanya nampak jadi serba salah bercampur jengkel.

Aku berjalan ke luar kelas sambil menenteng buku Fisika dan tentu saja buku tulis. Teman-teman sekelasku tersenyum ketika aku lewat di dekat mereka, malah sepertinya Ade dan Heru yang duduk di dekat pintu sedang ngomongin aku, buktinya sebentar-sebentar mereka berbisik sambil melihat ke arahku. Shit! Malu juga rasanya. Gimana nggak malu, ini pertama kalinya aku dihukum karena nggak bikin tugas.

Di luar kelas tidak ada satu kursi atau meja pun, bahkan di sepanjang teras gedung ini juga nggak ada, jadi ribet juga kalau nulis sambil berdiri tanpa meja dan kursi gini. Kalau lesehan di lantai juga nggak nyaman, bukannya sok sih, tapi lantainya berdebu. Ku putuskan mencari kursi dan meja di lokasi lain, dan ketemu. Tidak terlalu jauh dari kelas ku, tepatnya depan toilet dekat gudang, hahahaha benar-benar tempat cocok buat main jalangkung wkwkwkwk.

Meja dan kursinya lumayan kotor, tapi nggak apa-apalah ketimbang lesehan di lantai. Aku mulai mengerjakan tugas setelah ku bersihkan kursi dan meja itu dengan kertas yang baru saja aku sobek dari buku tulis. Ternyata nggak terlalu sulit. Soalnya hanya pertanyaan-pertanyaan teoritis saja.

Sekitar lima belas menit akhirnya tugas ini selesai. Suasana di sini lumayan adem bikin aku malas balik ke kelas. Aku mau ngebayangin Fikri aja hehehe. Ku letakkan kepala ku diatas meja, sejenak kepejamkan mata, semenit, lima menit, sepuluh menit, sambil membayangkan seakan-akan dia sedang berjalan ke arahku menggunakan pakaian SMP, dan terasa begitu nyata, dari jarak cukup jauh semakin lama semakin dekat dan terdengan suara langkah kaki, ya semakin lama semakin keras, ku angkat kepalaku, ternyata...

Tiba-tiba aku sadar, ini bukan hayalanku, cowok yang berjarak beberapa meter di depan, yang berjalan ke arahku adalah Fikri, benar-benar Fikri.

"Halo, lagi ngapain duduk di situ?" tanya Fikri ramah.

Aku tidak menjawab, ini beneran atau mimpi? atau jin penghuni toilet ini menggangguku dengan penampakan? Tapi kok penampakannya cowok cute sih, seharusnya nenek serem atau kuntilanak gitu, kan lebih menakutkan.

"Haloooo? Kok malah bengong," sekarang suara Fikri lebih keras, membuatku yakin kalau dia benar-benar Fikri, bukan jelmaan jin hehehe,

"Hemmmmmmm, aku-nyelesain-tugas." jawabku canggung. Ternyata aku masih kikuk juga berhadapan sama dia. Entah berapa menit aku tertidur tadi.

"Kamu mau kemana?" tanyaku basa-basi. Dia tidak menjawab, malah tersenyum.

Mungkin anak ini mau ke toilet. Tapi bukannya ada toilet yang lebih dekat dari kelasnya, ngapain juga pergi ke sini. Lalu kalau bukan mau ke toilet, dia mau kemana? Bukannya jawab, Fikri malah senyum, anak ini memang benar-benar cool, pantas banyak fansnya.

"Dihukum ya?" tanya Fikri sambil mengambil posisi duduk di kursi sebelah kiri ku.

"Kursinya kotor" aku refleks mebersihkan kursi itu dan Fikri malah tertawa.

"Hahaha, nggak apa-apa," timpalnya dan langsung duduk saja. Ya enak aja dia bilang nggak apa-apa, kursinya kan sudah aku bersihkan barusan.

"Kamu kena hukuman?" Fikri kembali mengulang pertanyaanya.

"Ya, aku lupa ada tugas Fisika, jadi disuruh buat di luar kelas" jawabku malu. Ya ampun sudah dua kali Fikri memergoki ku kena hukum, malu banget.

"Yang ngajar siapa?" tanya Fikri,

"Pak Luthfi" jawabku. Sebenarnya saat ini aku nggak peduli sama pak Luthfi, rasanya senang banget kami duduk berdua di sini, tapi ini beneran nggak sih? Jangan-jangan cuma mimpi. Yakin ajalah, ini nyata.

"Guru Fisika kami Pak Gunawan, aku juga pernah nggak bikin tugas, tapi cuma dikasih teguran lisan dan disuruh nyusul saja." ucap Fikri sambil memandangku.

Kupalingkan pandanganku pura-pura memeriksa tugas Fisika, supaya nggak terlalu mencurigakan, soalnya kalau saling pandang sama anak ini aku bisa-bisa nggak nyadar, nanti dia malah canggung lagi.

"Coba Pak Gunawan juga yang mengajar di kelas kami" gumamku asal saja, walaupun aku juga nggak tau Pak Gunawan itu yang mana

"Kalau Pak Gunawan ngajar di kelas mu, nanti Pak Luthfi malah ngajar di kelasku, jadinya aku dong yang dihukum" timpal Fikri sambil nyengir.

Aku tertawa mendengarnya, begitu juga Fikri, meski sebenarnya humornya sama sekali tidak lucu. Ya begitulah, kalau sudah suka sama seseorang, tidak lucupun jadi lucu, cinta memang bikin orang buta.

"By the way, kamu mau kemana?" tanyaku penasaran.

"Ke sini, ngobrol saja sama kamu" jawabnya sambil tersenyum jahil.

What? Dia sengaja kesini mau ngobrol sama aku? Pasti anak ini becanda, aku nggak percaya. Memang mimpi apa aku semalam.

"Tadi aku keluar kelas sebentar mau buang kertas ke tong sampah, kebetulan ngelihat kamu lagi jalan kesini sambil bawa buku, jadi aku kesini juga" jawab Fikri santai.

Rasanya aku sedikit curiga dengan alasannya itu, kok klise banget. Masa kebetulan sih, sangat jarang kebetulan yang menguntungkan itu terjadi, kecuali sudah direncanakan duluan.

"Emang kelas kamu dimana kok bisa ngelihat aku? bukannya kelasmu di Gedung Pancasila?" tanyaku sambil melihat raut wajahnya yang mulai grogi.

"Diantara gedung itu dan kelasku kan ada Gedung A5. Kok bisa kamu melihatku dari gedung Pancasila?" tanyaku semakin curiga.

Muka Fikri sepertinya nggak pede lagi, hahaha, dia mulai salah tingkah. Hemmmm, pasti dia bohong. Sudah pasti, nggak mungkin dia bisa melihatku dari kelasnya, ada gedung empat lantai yang menghalanginya, pasti ada modus nih.

"Kok kamu tau kelasku di gedung Pancasila?" gantian pertanyaan Fikri yang bikin aku salah tingkah. Shit! Anak ini sepertinya hebat banget membalikkan situasi.

"Andre yang memberitahuku" jawabku asal saja, padahal bukan informasi dari Andre, melainkan aku dan Dion sudah beberapa hari melakukan investigasi hahahaha, seperti detektif saja.

"Oh gitu. Jadi kamu dan Andre ngobrol tentang aku, apa saja yang kalian omongin?" ucapan Fikri barusan bikin aku tambah kikuk, ngapain juga aku tadi jawab begitu. Padahal aku sudah bisa bikin dia gugup, malah sekarang posisiku yang kikuk.

"Lucu liat mukamu begitu. Yaudah aku jujur saja. Kelasku tadi sedang melaksanakan ulangan harian, jadi siswa yang sudah selesai boleh keluar duluan. Karena aku sudah menjawab semua pertanyaan, jadi aku ikut keluar juga." cerita Fikri panjang lebar. Sebenarnya nggak perlu panjang begini cerita latar belakangnya, tapi karena ini Fikri, apapun tetap enak kok, hehehe.

"Aku sengaja nongkrong di taman gedung ini, siapa tau kamu muncul ke toilet, kan bisa aku samperin" sambungnya tanpa memandangku.

Perasaanku jadi aneh mendengar ucapannya barusan, aku masih tidak percaya, masa dia sengaja ke sini cuma mau ketemu aku. Buat apa? Nggak mungkin kan pertemuan yang hancur dan singkat sore kemaren berkesan baginya sampe rela nyamperin ke sini.

"Emang ngapain mau nyamperin aku?' tanyaku berlagak lugu.

Muka Fikri berubah jadi aneh, sepertinya dia keceplosan bicara, gelagatnya juga nggak setenang tadi, mungkin dia tidak mengira aku bakal balik bertanya.

"Nggak apa-apa sih, cuma mau ngajak kamu berenang" jawab Fikri, kali ini mukanya benar-benar kikuk, malah lebih salah tingkah lagi. Buktinya yang keluar dari mulutnya ucapan konyol, aku yakin dia sendiri nggak merencanakan itu.

Aku benar-benar menikmati moment ini. Dia sudah nggak cool lagi, tapi tetap cute, malah tambah cute menurutku dan bikin gemes saja.

"Hah? Berenang?' tanyaku sambil menahan tawa.

"Iya. Kemaren kamu habis berenang kan? aku juga hobi renang, jadi nggak ada salahnya kan aku ngajak kamu renang,"

Fikri ini sudah terlanjur malu, makanya omongannya dari tadi nggak jelas arahnya, bilang aja dia mau ngajak aku kencan, tapi masa sih pilihan kencannya di kolam renang? Kalau dia bukan Fikri tentu saja sudah aku tinggalin. Kencan di kolam renangkan kesannya mesum, soalnya di kolam renang cuma pake celana pendek tanpa baju, tiga perempat bugil lah, hahahahahaha.

Tapi aku maklum sih, aku juga pernah merasa kikuk begitu, dia juga nggak terlalu tua dariku, paling juga 16 tahun, postur kami saja hampir sama tinggi.

"Gimana kalau kita makan-makan di kantin saja," usulku, sengaja aku tidak mau membahas masalah kolam renang tadi, agar Fikri nggak tambah kikuk.

"Boleh juga, biar aku yang traktir" jawabnya sesantai mungkin, meski masih kelihatan malunya.

"Dalam rangka apa mau nraktir? Baru dapat kiriman ya?" celetukku agar susananya rada santai.

"Hemmm, Iya, kemarin di kota aku ngambil uang, sekalian juga punya Andre. Kita sempat ketemu kan, jadi karena kamu tau aku dapat kiriman, sudah sewajarnya aku neraktir kamu makan" ucap Fikri mutar-mutar, padahal menurutku cuma alasannya saja.

"Terus yang kolam renang tadi apa urusannya sama uang kiriman?" tanyaku sengaja bikin dia kikuk lagi.

"Nggak usah bahas itu lagi, anggap saja aku keceplosan bicara" jawabnya datar, hahaha kelihatannya dia mulai nyerah.

Akhirnya kami bedua tertawa, senyumnya sudah mulai normal. Tampaknya kami berdua juga sudah mulai rileks. Kadang tidak sengaja kami saling tatap, dengan cepat aku memalingkan wajahku pura-pura membaca tugas yang ada di atas meja dan Fikri mengalihkan tatapannya lurus ke arah toilet, siapa juga nyuruh dia duduk menghadap toilet hahaha. Ya dia juga masih rada malu kalau kami saling pandang.

Sebenarnya hatiku dapat merasakan ketertarikan di antara kami berdua, aku jelas menyukai Fikri, dan aku dapat menebak dia juga memendam rasa terhadapku. Ya, informasi Andre bahwa Fikri mencari tau tentangku sudah cukup menjadi alasan untuk menebak demikian. Hanya saja, untuk mengikat suatu hubungan bukanlah hal yang mudah, aku sendiri tidak pengalaman, karena ini adalah rasa suka pertamaku, ya rasa cinta pertama yang tumbuh dalam diriku.

Aku tidak tau dengan Fikri, apakah dia pernah pacaran? Sama cowok atau cewek? Sekarang bukan saat yang tepat untuk bertanya tentang itu. Yang jelas, kami berdua duduk bersama di sini, hanya berdua, melawan rasa canggung di antara kami, aku akui Fikri lebih berani dariku, mungkin dia merasa karena dia kelas 3, jadi dia yang harus mendatangiku. Meskipun aku juga berusaha mendekatinya hanya saja belum berhasil, atau aku memang kurang serius untuk itu.

Tapi ada yang aneh, kalau seandainya Fikri ingin menemuiku, kanapa tidak saat makan saja? Atau main saja ke kamarku, kan Andre adalah sepupunya, jadi dia tidak perlu sungkan begitu.

"Vick, kalau kamu mau nyamperin aku kenapa mesti di tempat ini? Kan bisa datang ke asramaku?' tanyaku memecah kebisuan kami.

Dia tersenyum, nampaknya masih berfikir mau mulai dari mana, apa pertanyaanku tadi terlalu sensitif baginya?

"Hemm, kamu nggak pernah sendirian, di luar asrama biasanya kamu sama teman-temanmu, salah satunya Delon itu kan, yang satu asrama denganku" ucap Fikri,

"Namanya Dion, temanku sekamar tahun lalu, dia sahabatku" timpalku, hahahaha masa Fikri nyebut si Dion dengan "Delon", kalau aku cerita sama Dion pasti dia jadi jutek dan marah-marah.

Fikri malah tertawa sambil pegang-pegang bagian belakang kepalanya, sepertinya dia juga rada malu salah sebut nama, apalagi Dion itu kan satu asrama sama dia.

"Kalau ke asramamu malah ada sepupuku, jadi malu saja, nanti dia banyak tanya lagi. Terus terang saja kami tidak terlalu akrab " sambung Fikri.

Ya aku tau itu, Andre juga cerita kalau dia dan Fikri tidak akrab. Aku tersenyum dan Fikri juga tersenyum, kali ini kami tidak memalingkan pandangan kami, padahal aku memandangnya dengan jarak sedekat ini, begitu juga Fikri, dia memandangku seolah-olah menyampaikan sesuatu, entahlah aku enggan memaknai pandangannya.

Kami diam sesaat, tiba-tiba suara Dion muncul dari ujung koridor,

"Rick, disuruh masuk tuh sama Pak Luthfi," ucap Dion sambil melirik kepadaku. Tampak rasa terkejut di mukanya masih belum sirna.

"Ya, sebentar" jawabku sambil membereskan bukuku.

Fikri juga berdiri lalu pamit kembali ke kelas, dia tersenyum padaku dan sempat menyapa Dion sebelum berlari-lari kecil ke gedung Pancasila. Aku berdiri dan berjalan di samping Dion yang tentu saja sedang mempersiapkan ratusan mungkin ribuan pertanyaan tentang peristiwa barusan. Untungnya dia cukup bijaksana untuk tidak menanyakannya sekarang, karena pikiranku sedang terbang jauh memahami kejadian yang baru aku alami,

Kejadian dimana kami berdua duduk bersama, membicarakan hal-hal personal, menghilangkan kecanggungan di antara kami berdua, aku merasa percakapan kami tadi seolah-olah kami sudah jadian saja, hahahaha. Kadang terasa aneh untuk diingat, aku juga tidak dapat menjelaskan bagaimana aku bisa bersikap normal dan apa adanya. Entahlah, mungkin ini yang dimaksud mengalir saja.

Ternyata Fikri bisa kikuk juga begitu, akhirnya kami bisa benar-benar ngobrol berdua saja, sama-sama salah tingkah, sama-sama canggung dan sama-sama bahagia, ya setidaknya aku yang bahagia. Sedangkan Fikri? Tanyakan sendiri padanya.

********

Hari-hariku selanjutnya semakin menyenangkan, setidaknya secara keseluruhan begitu. Dion sudah tau tentang pertemuanku sama Fikri di dekat toilet, Idris dan Reno juga sudah, reaksi mereka berdua lebih heboh daripada reaksi Dion waktu itu, terkejut, kagum dan terkesima. Ya, karena bukan hanya pertemuan di kamar sore itu yang aku ceritakan, peristiwa saat aku dihukum dan berakhir berdua dengannya di depan toilet menjadikan kedua anak itu tidak henti-hentinya bertanya.

Idris malah minta versi lengkap dan detail, ya tentu saja dia bertanya tentang hal-hal mesum, bukan Idris namanya kalau nggak begitu, sampe-sampe Dion kesal dengan pertanyaan-pertanyaan Idris. Reno juga nggak kalah hebohnya, dia ingin kronologis kejadiannya aku ceritakan, aku sebenarnya rada ragu cerita sama Reno, sepertinya dia ingin menceritakan ke orang lain tentang kedekatanku sama Fikri. Jadi aku ceritakan yang penting-penting saja.

Sebenarnya bukan karena keberatan hubunganku diketahui anak-anak sekolah, masalahnya aku dan Fikri tidak punya hubungan spesial, ya baru sebatas dekat, jadi masih terlalu dini untuk menyimpulkan.

Hari-hari selanjutnya kami berempat mebahas banyak hal, tentu saja topik yang paling banyak diomongin tentang aku dan Fikri, meski kami belum jadian. Setelah pertemuan waktu itu, aku dan Fikri lumayan sering ketemu, beberapa kali Fikri datang ke kamarku, alasannya tentu saja mau ngobrol sama Andre dan ujung-ujungnya justru Fikri lebih banyak menghabiskan waktu buat ngobrol bersamaku. Kadang aku merasa Andre tau kalau aku dan Fikri sedang dekat, tapi itu bukan masalah buruk, mereka kan sepupuan, dan rasanya Andre juga tidak keberatan.

Oh ya, berkaitan rencana Fikri neraktir aku di kantin juga sudah terlaksana, cukup lucu menurutku. Aku berharap itu jadi moment romantis, karena kami berdua sudah merencanakannya, hanya saja kantin terlalu rame waktu itu, terpaksa kami berbagi meja dengan pengunjung lain, jadinya hanya makan-makan dan obrolan biasa saja. Kencan pertama yang gagal, hahahaha.

Kalau dipikir-pikir hubunganku sama Fikri seperti tanpa status, kami berdua sadar kalau kami sama-sama suka, tapi tidak tau cara mengungkapkannya. Aku dan Fikri sudah sering makan ke kantin berdua, duduk di taman berdua, bahkan saat makan sekarang aku lebih banyak berdua saja sama Fikri. Sepertinya Dion, Idris dan Reno sengaja memberikan waktu buat kami berdua, atau justru ini semua bagian dari rencana mereka, terserahlah, yang penting aku happy.

Seperti malam ini, Dion, Reno dan Idris sengaja tidak menghubungiku, karena aku sudah ada janji sama Fikri, ya cuma ketemuan saja di bangku taman. Tidak ada acara spesial, tapi begitulah kebanyakan cowok-cowok yang sedang dekat di sekolah ini, maklum saja kami kan masih dalam kampus, tentu saja tidak ada restoran, kafe, atau tempat-tempat hiburan romantis dan fun lainnya, tapi tetap saja duduk sebangku di taman saat malam hari cukup romantis buat ku.

Seperti kataku tadi, sudah banyak kesempatan kami menghabiskan waktu berdua saja, kecuali berenang bersama, jadi aku belum pernah ngelihat Fikri dengan celana renang seperti yang dipake Kevin. Ouch,Jadi ingat Kevin, hemmm sedikit flasback ke belakang, Kevin akhirnya tau kalau aku sedang dekat sama Fikri, belum jelas statusnya tapi intinya dekat. Dion, Reno dan Idris sepakat memberitahu Kevin karena dia juga teman dekat kami.

Kelihatannya Kevin oke-oke saja dengan hubunganku sama Fikri, malah jadi bahan candaan baginya. Kadang saat jam makan, kalau aku sendiri dia malah nyamperin dan ngeledek gitu,

"Kasian amat makan sendiri, emang si Fikri kemana? Jangan-jangan lagi sama yang lain tuh, mendingan sama gue, setia dan selalu tersedia"

Celetukkan yang sering dipake Kevin saat jam makan kalau aku sedang sendiri. Kadang aku cuek aja, kalau lagi bad mood, tetap saja akhirnya aku tersenyum, susah mau marah sama Kevin, karena dia tipikal anak yang fun. Kevin memang teman yang pengertian, kadang juga nyebelin. Loh, kok malah ngebahas Kevin. Huft.

Malam ini untuk kesekian kalinya aku duduk berdua sama Fikri di sini, beberapa siswa juga sudah tau kedekatan kami, ternyata nggak ada gosip yang berlebihan, setidaknya belum sampe ke telingaku, ya terus terang saja, aku dan Fikri hanya dekat saja, dan kami tidak pacaran, belum maksudku.

"Dion dan teman-temanmu mana?" tanya Fikri sesaat setelah kami duduk di bangku taman. Hemmm, sepertinya anak ini masih juga basa basi begitu, padahal kami sudah sering duduk dan ngobrol berdua di sini, bisa dibilang kami sudah sering berkencan.

"Emang kamu suka kita nongkrong rame-rame? Kalau mau ntar aku panggil deh mereka sekalian juga aku ajak Kevin" jawabku cengengesan.

"Hahahaha, sebenarnya seru juga kalau rame-rame, tapi lebih asik berdua sih" ucap Fikri sambil tersenyum, giginya putih banget, suer.

Ya, sekarang aku baru dapat memandangnya dan memperhatikannya secara detail tanpa harus gugup. Kami sudah akrab sekarang, susah juga menceritakan kapan kami bisa akrab begini, sepertinya pertemuan kami beberapa kali sudah mengikis rasa canggung dan gugup yang seringkali muncul.

Aku dan Fikri di bangku taman ini, dua siswa SMP yang masih lugu, hemmmmm, Ya lumyan lugu menurutku. Satu setengah tahun lalu aku tak pernah bermimpi untuk bisa seperti ini, tapi sekarang ini bukan mimpi, meski dia bukan pacarku, aku tetap bahagia, karena aku menyukainya, ya aku mencintainya.

"Rick, kamu nggak canggung kita duduk berdua begini?" sambil menatap lurus ke depan Fikri bicara padaku. Dari nadanya sepertinya ini pembicaraan serius, mungkin juga dia bakal nembak dan kami bisa jadian hahahaha, (ngarep banget wkwkwkw).

"Lumayan juga sih, kita kan belum terlalu kenal, bisa saja kamu ngapa-ngapain aku" jawabku polos. Fikri malah memandangku dengan rasa tertarik begitu. Jangan-jangan beneran dia mau ngapa-ngapain aku, ah pikiranku terlalu lebay.

"Hahahaha, kamu lucu kalau ngomong begitu, Cute." ucap Fikri dengan senyum khasnya. Apa? Fikri bilang aku cute, makasih. Kepalaku rasanya sudah nggak tahan lagi mau terbang hehehe.

"Bukan itu maksudku, kamu taulah-gimana ya ngomongnya. Hemmmm, kamu kan "populer", pasti yang lagi deket sama kamu bisa jadi bahan gosip" lanjut Fikri sungkan, rautnya juga nggak nyaman nyebut kata "populer" tadi.

"Hemmmmm, bukannya kamu yang populer, bisa-bisa besok banyak penggemarmu yang sinis sama aku" celetukku sambil bercanda.

"Kenapa mereka harus sinis, kitakan nggak ngapa-ngapain, maksudku kita cuma akrab saja," ucap Fikri sambil menatapku. Ya juga sih, kami hanya akrab, status kami juga bukan pacar, sepertinya tadi aku terlalu pede.

Aku rada malu juga setelah mendengar ucapan Fikri barusan, kelihatannya aku juga harus jaga emosi dan sikapku, bisa saja tebakanku meleset. Bagaimana kalau dia cuma mau berteman? Aku harus siap menerima apapun yang terjadi, aku harus jaga image dan juga harga diriku. Ya, meskipun instingku tetap yakin dia ada rasa padaku.

"Benar juga sih, kita kan nggak ngapa-ngapain, kenapa juga harus canggung, lagian gosip nggak perlu ditanggapi, kalau capek mereka juga berhenti sendiri. Selain itu aku juga masih punya teman-teman yang pengertian." ucapku serileks mungkin. Aku harus mampu bersikap biasa.

"Tapi jujur loh, kamu memang benar populer kok, teman-teman sekelasku banyak yang membicarakan kamu, makanya aku nanya begitu. Bahkan ada istilah baru buat kamu di kalangan anak kelas 3, "calon bintang masa depan" celoteh Fikri dengan senyum nakal, perasaanku nggak nyaman mendengar dia ngomong begitu, Huft!

Aku mau saja membalasnya dengan mengatakan kalau di antara siswa kelas 2 bahkan siswa senior dia sangat pouler, tapi sepertinya nggak perlu, mungkin dia cuma cari bahan obrolan saja. Aku harus menjaga suasana ini tetap nyaman dan mengasikkan.

"Kok diam? Aku salah ngomong ya?" tanya Fikri sedikit lesu. Kelihatannya dia sadar omongannya barusan nggak enak, jadi kelihatan dia menyesal, padahal aku cuek aja.

"Nggak kok, cuma lagi ingat teman-temanku, pasti mereka sekarang sedang ngomongin kita" jawabku asal saja, ya meskipun benar, pasti Dion, Reno dan Idris sedang ngebahas "malam ku" ini, atau mungkin saja mereka sedang ngintip entah dari sebelah mana, Idriskan suka banget membayangkan cowok sama cowok lagi bermesaraan. Tapi aku sama Fikri nggak begitu kok, kami hanya duduk sebangku berdua, dan bangkunya lumayan panjang.

"Teman-temanmu asik ya, terutama Dion itu, sorry kemarin aku salah sebut." buru-buru Fikri menambahkan ucapannya, karena kemarin dia sempat nyebut Dion dengan nama Delon, hahahaha.

"Ya, aku sekamar sama Dion, Idris dan Reno, tahun lalu. Mereka anak yang asik, bisa dikatakan mereka keluargaku di sini. Kami juga punya teman lain, namanya Kevin, dia anak yang cool juga, enak diajak ngobrol, suka bercanda, ramah, pokoknya asik lah" ucapku sambil membayangkan Kevin yang juga nyebelin itu.

"Kevin yang kelas 1 SMA itu kan, anak dari Jakarta?" tanya Fikri masam. Aku agak terkejut lihat raut mukanya, kok rada kurang suka gitu.

"Kamu kenal sama Kevin?" tanyaku hati-hati, jangan-jangan Fikri dan Kevin punya hubungan yang nggak baik, bisa saja mereka musuhan, Huh, kayak anak kecil aja kalau pake musuhan.

"Ya, aku sering ketemu dia di kolam renang, anaknya suka ceplas ceplos kan?" jawab Fikri datar.

"Ya, bener banget. Karena sifatnya itulah kami jadi cepat akrab, selain itu juga dia seniorku di marching band" jawabku sambil tersenyum.

"Sepertinya kamu deket banget sama Kevin. Ya, beberapa kali aku lihat kamu sering sama dia" celetuk Fikri pelan.

"Kamu suka mata-matain aku ya?" candaku.

"Idih geer banget, nggak lah, beberapa kali aku lihat kamu di ruang makan berdua" kilah Fikri.

Perasaan ku ada yang aneh, apa aku terlalu banyak ngomongin Kevin? Aku kan mengatakan apa adanya, memang Kevin anak yang menyenangkan. Apa dia cemburu? What? Masa Fikri cemburu sama Kevin, nggak masuk akal banget, atau aku yang over PD hahahahaha.

"Kenapa kamu senyum-senyum begitu?" tanya Fikri, dan sekarang dia merapatkan duduknya tepat di sampingku, sampe-sampe nggak ada jarak lagi. Hemmmmmm, aromanya wangi juga, aku tau parfum yang Fikri gunakan, aromanya enak banget, botolnya seperti telur dengan garis-garis timbul horizontal, berwarna merah dari bawah dan semakin ke atas semakin bening, tapi aku lupa namanya, benar-benar wangi.

"Nih anak malah diam aja. kok senyum-senyum gitu?" Fikri mengulangi pertanyaanya, sepertinya enak banget liat dia penasaran, bikin tambah gemes aja, hehehe.

"Kamu cemburu ya sama Kevin?" What? Aku ngomong apa barusan? Kok itu sih kalimat yang keluar dari mulutku. Aduh kacau nih! Gara-gara aroma parfum ini aku jadi salah ngomong.

Wajah Fikri juga rada nggak nyaman jadinya, tapi kok dia malah senyum-senyum begitu? Apa dia menganggap ucapanku tadi cuma becanda? Sukurlah kalau dia nganggap nggak serius. Thanks God.

"Kita kan nggak sedang pacaran, mana mungkin aku cemburu sama Kevin" jawab Fikri santai.

"Kalau kita sedang pacaran kamu cemburu?" tanyaku tanpa berpikir lagi. Aku juga heran dengan diriku sekarang, nggak tau pikiranku seakan-akan tidak mampu mengontrol ucapanku. Mungkin keberanian ku sudah muncul, entahlah aku tidak tau pasti.

Fikri tidak langsung menjawab pertanyaan konyol ku tadi, dia tersenyum dan semakin dekat saja, tiba-tiba dia menatapku dan jarak mukanya hanya beberapa centi saja dari mukaku, aku dapat merasakan nafasnya, wajahnya begitu dekat, aku diam tak bergerak, tak mampu berkata, pokoknya semua syarafku seakan-akan berhenti berfungsi.

"Kalau kita sedang pacaran aku pasti sudah mencium bibirmu" bisik Fikri di telingaku. Aku terkejut, ku kira dia mau memelukku atau menciumku, tapi ternyata dia hanya berbisik saja, dasar Fikri bikin jantungku dag dig dug saja, dan otakku juga rada mesum, jadi berharap yang nggak-nggak, huft!

"Tapi sayang kita tidak sedang pacaran kan, jadi ucapanku tadi tidak perlu dipraktekkan" aku tidak tau mau merespon bagaimana ucapan Fikri barusan, apakah itu bentuk signal kalau dia ingin kami jadian, atau godaan agar aku jatuh dalam perangkap cintanya, entahlah hanya dia yang tau. Yang jelas saat ini aku masih tak mampu bicara.

"Malam ini menyenangkan, aku akan selalu ingat malam ini" gumam Fikri, tatapannya lurus ke pepohonan yang remang di samping gedung kesenian. Aku tak tau apa yang ada di pikirannya saat ini, aku juga masih kacau dengan perasaanku sendiri. Lama kami berdua terdiam, sampai bel dari kantor Pengasuhan berbunyi tanda siswa harus kembali ke asramanya.

"Pulang yuk, sudah hampir jam sepuluh, sebentar lagi absen di asrama kan?" ucapku lelah.

Fikri mengangguk dan dia tersenyum seperti senyumnya satu setengah tahun lalu. Kami berdiri dan berjalanan berlawanan arah, karena asrama kami berbeda.

"Vick," tiba-tiba saja aku memanggilnya, dia langsung berbalik dan mendatangiku, lagi-lagi dia tersenyum seperti itu.

"Aku juga senang malam ini, makasih ya" ucapku lembut.

Aku tak sadar dan tidak menduga, yang aku ingat bibir Fikri sudah menempel di keningku, terasa basah dan hangat, hembusan nafas dan aroma tubuhnya membuatku tak berdaya, aku tak tau mau berkata apa, tapi aku tidak akan menepisnya karena aku menyukainya dan berharap kecupan itu lebih lama, hemmmmmm harapan yang mustahil,

"Karena kamu bukan pacarku, aku cuma berani mengecup keningmu" ucap Fikri, dan dia berlalu menuju asramanya.

BERSAMBUNG


next chapter
Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C8
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login