Download App
20.73% Solo vs. Squad (Sang Dewa Game) / Chapter 34: Kekalahan Borox

Chapter 34: Kekalahan Borox

"Flame!" ucap Borox sambil mengarahkan tongkat sihirnya ke bawah.

"Burst!" kata Satria seraya menggerakan tongkatnya mengarah kepada Borox.

Saat itu juga udara di sekitar Borox terasa sangat panas, di atasnya langsung tercipta kobaran api yang membara dan melesat menuju Satria bagaikan ombak di lautan yang bergulung-gulung memancarkan cahaya gradasi merah membara.

Sementara itu udara di sekitar Satria terasa sedingin es, titik-titik es muncul di udara di sekitar tempat mereka berdua berdiri. Saat itulah Borox terkejut dan baru sadar kalau sihir yang akan digunakan oleh Satria adalah sihir tingkat ketujuh. Dia benar-benar bingung bagaimana seorang swordman bisa menggunakan sihir setinggi itu.

'Bbbhhhooommrrr'

Suara dentuman dahsyat terdengar saat sihir tingkat tujuh Satria menghantam sihir tingkat enam yang digunakan oleh Borox. Kini tanah langsung berguncang hebat, bongkahan-bongkahan tanah di sekitar tempat mereka berdiri langsung berhamburan ke udara dan hancur lebur menjadi abu.

Gemuruh angin langsung terdengar riuh menderu di sekitar tempat tersebut membawa debu-debu beterbangan hingga membumbung tinggi mengelilingi tempat Satria dan Borokx. Api yang bergulung-gulung menuju Satria tadi seketika lenyap saat dihantam ledakan-ledakan bongkahan es.

"Tidak mungkin, dia sudah memiliki level 70?" batin Borox dengan wajah pucat saat melihat es yang terus meledak semakin dekat kepadanya.

"Curang, dia benar-benar curang! Bagaimana bisa dia menggunakan skill archer, swordman dan kini sorcerer. Curang kau! Arrrrgggghhh.." teriak Borox.

'Dhhoommrrr'

Suara ledakan kembali terdengar di tempat Borox berada, Satria hanya menundukan kepalanya. Sebiadab apapun Borox namun dia tetaplah manusia sama seperti dirinya. Keadilan dan kebenaran memang harus ditegakan agar tidak ada orang lain yang bernasib seperti dirinya, namun sebagai manusia dia juga tetap merasa sedih melihatnya.

Satria masih berdiri di tempatnya, sementara itu di sekitarnya tanah masih berhamburan ke udara dan hancur bersama dengan bongkahan-bongkahan es yang terus meledak. Kini di sekitar Satria sudah tercipta cekungan tanah yang besar, hanya tanah yang Satria pijak yang masih utuh rata seperti sebelumnya.

Semua petualang dan penumpang yang melihat kejadian itu tidak mampu berkata-kata. Petualang dengan job class wizard dan sorcerer langsung pucat pasi, mereka tahu kalau sihir yang saling berbenturan itu adalah sihir tingkat enam dan tujuh yang sangat jarang dikuasai oleh manusia.

"Priest," ucap Satria. Tongkat sihirnya langsung berubah bentuk lagi meski masih sama-sama berupa tongkat sihir.

Kelihatannya saat seorang player mati di dunia ini jasadnya tetap masih ada, barang-barang di slot tas miliknya juga mungkin tidak akan bisa diambil oleh orang lain. Tanah yang berguncang langsung mereda, riuh angin juga kembali normal seiring dengan debu-debu yang memudar. Kini sosok Satria yang masih berdiri dikelilingi oleh cekungan-cekungan tanah bisa terlihat jelas oleh orang lain yang ada di sana.

"Tuan," ujar Nekora dengan raut wajah senang.

"Bukankah itu tadi sihir tingkat tujuh?" ujar seorang petualang.

"Ya, tidak salah lagi," timpal temannya yang memiliki job class wizard. Tatapan mereka semua tertuju kepada Satria yang berjalan mendekat seolah keluar dari balik debu-debu yang berjatuhan.

"Aku harap kalian baik-baik saja," kata Satria sembari melihat semua orang yang ada di tempat itu, tapi mereka terlihat baik-baik saja tanpa terluka sedikitpun.

Semua orang yang ada di sana langsung berterima kasih banyak kepada Satria sebab berkat dirinya tidak ada satupun dari mereka yang terluka, barang-barang mereka juga tampak utuh karena para bandit yang menghadang keburu tewas. Sikap para petualang yang ada di sana juga mendadak berubah menjadi lebih formal dan sangat menghormati Satria.

Tapi Satria meminta mereka untuk bersikap biasa saja, dia juga meminta mereka agar tidak perlu menyebarkan rumor tentang kejadian yang mereka alami barusan. Meski begitu Satria tidak terlalu yakin jika mereka bisa menutup mulut dan tidak menceritakan kejadian yang terjadi. Satria juga meminta mereka agar langsung melanjutkan perjalanan sebab berhenti di tempat itu terlalu lama akan sangat berbahaya.

Atas saran Satria itulah mereka kembali melanjutkan perjalanan, toh mereka tidak bertarung sedikitpun jadi alasan lelah tidak mungkin bisa mereka pakai. Satria sendiri sengaja meminta mereka untuk cepat-cepat pergi dari sana karena khawatir akan ada rombongan lain yang lewat ke sana, jika itu terjadi sudah pasti keadaan akan semakin gaduh. Mereka akhirnya baru berhenti di sebuah kota terdekat dan memutuskan untuk menginap di sana.

***

Dua hari kemudian mereka akhirnya sampai ke Kota Lunar. Satria langsung turun dari kereta kuda bersama dengan Nekora. Tujuan mereka saat ini adalah langsung menuju ke kediaman Miria dan Lixia. Tampak toko mereka belum ada perubahan sedikitpun, itu artinya para rentenir yang meminjamkan uang kepada Miria masih belum menyita toko mereka.

"Selamat datang tu-an," sambut Lixia dengan wajah terkejut dia tidak menyangka jika Satria akan pulang secepat itu. Padahal dulu dia bilang mungkin akan berada di Ibukota lebih lama. Lebih terkejut lagi saat dia melihat Nekora yang berjalan di samping Satria.

"Lama tidak bertemu Lixia," kata Satria.

"Maaf tuan saya terkejut karena tidak menyangka kalau tuan akan datang secepat ini," tutur Lixia. Tak lama kemudian Miria juga datang.

"Tuan Satria," ucap Miria dengan raut wajah senang.

"Kalian tidak perlu seformal itu. Bagaimana kabar kalian?" tanya Satria.

"Kami baik-baik saja tuan, berkat bantuan tuan kehidupan kami jadi lebih ringan saat ini," jawab Miria sambil menyeka airmatanya.

"Syukurlah. Itu artinya penagih hutang yang datang kemari masih memberikan waktu bagi kalian?" tanya Satria lagi.

"Ya. Kami bilang akan mengantarkan sisanya jika tuan sudah datang," jawab Lixia.

"Bagus kalau begitu. Oh iya dia Kuroina Nekora, dia juga akan membantu kalian di sini," tukas Satria sambil memperkenalkan Nekora. Mereka akhirnya bersalaman dan saling berkenalan.

"Maaf tuan jika lancang, tapi pekerjaan di sini sejauh ini masih bisa kami tangani," kata Lixia.

"Ini baru permulaan. Nanti kalian akan semakin sibuk saja, karena itu pasti kalian akan membutuhkan tenaga bantuan," jawab Satria.

Dia sangat yakin dengan semua rencananya, jika berjalan dengan lancar maka masalah perbekalan untuk hidup di dunia ini tidak akan ada yang perlu dikhawatirkan. Di dunia nyata dia pernah berpikir bahwa uang memang bukanlah segalanya, tapi setelah menginjak SMA dan memiliki teman sekelas kalangan orang elit dia baru sadar bahwa uang sangat penting dalam setiap aspek kehidupan, karena itulah kini di dunia yang dia tempati uang menjadi salah satu prioritasnya.

Jika dia memiliki banyak uang maka akan lebih mudah melacak keberadaan semua target balas dendamnya dengan menyewa para petualang untuk melacak mereka. Jika kebutuhan materialnya sudah terpenuhi maka sisanya dia hanya perlu meningkatkan level secepatnya, lalu jika waktunya tiba pembalasan dendamnya pasti akan segera dimulai.

"Aku tidak ingin membuang waktu, hari ini juga kalian antarkan sisa uang rentenir itu. kita juga harus mengosongkan tempat ini, kita akan merenovasinya beserta kediaman kalian," ucap Satria tiba-tiba. Sontak saja Lixia dan Miria sangat terkejut mendengarnya.

Bersambung…


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C34
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login