Download App
67.5% The Gladiol / Chapter 108: Perpisahan

Chapter 108: Perpisahan

"Kau buta? Aku memang cantik setiap hari." Amy membanggakan diri. "Bayanganku di cermin bahkan memujiku."

"Astaga. Aku menyesal telah memujimu."

"Aku tahu kau pasti akan menuruti gadis gadis yang dengan genit mendekatimu. Kau tahu Dio? Di dunia ini ada yang namanya fangirl. Kau tidak tahu itu apa kan?"

Dio mengedikkan bahunya.

"Aku yakin mereka itu sebenarnya fangirl," Amy melihat ketiga gadis itu, begitu juga Dio. "Mereka adalah para gadis yang hampir 24 jam membicarakan pria pria tampan di seluruh dunia."

"Wah tampan sekali, coba lihat akunnya."

"Bukankah dia V?"

"Lihat foto sehun yang baru, Dia terlihat tampan dengan jas itu."

"Ahh tampannya. Aku tak bisa menahan ini semua."

Percakapan mereka sedikit terdengar.

"Kau dengar, kan?" tanya Amy pada Dio.

Dio mengangguk.

"Berarti gadis gadis itu mendekatiku karena visualku?"

Tak!

Amy menjentikkan jarinya. "Betul sekali."

"Apa mereka berbahaya?"

"Yah tidak sih. Tapi…" Amy agak ragu. "Aku tidak suka kau berfoto dengan mereka, puas! Makanya kalau keluar jangan terlihat tampan tampan amat. Bagaimana kalau ada gadis gadis yang menculikmu?!"

Dio tersenyum "Baiklah baiklah. Lagipula tidak akan ada yang seperti itu. Kau ini ada ada saja."

"Oh ya, kau sudah memesan makanan?"

"Iya, sebentar lagi pasti datang."

Pelayan datang membawa pesanan Dio.

"Wahh dessert cokelat!" Amy bersemangat.

"Kau suka?"

"Tentu saja!" Amy mengeluarkan ponsel, lalu memfotonya.

"Ah foto lagi. Aku masih tidak paham kenapa memfoto makanan begitu populer akhir akhir ini."

"Kau itu tidak tahu apa apa tentang dunia maya, dasar cupu."

Dio tertawa.

"Kau ini kenapa tertawa terus sih? Membuatku jengkel saja." Amy masih sibuk memfoto makanan itu.

"Coba lihat ke sini," kata Amy sembari mengambil selfi bersama makanan dan juga Dio.

Dio menurut saja dan membuat tanda V dengan jarinya. Mereka berdua berfoto dengan manis. Amy tersenyum melihat hasilnya. Lalu menunjukkannya pada Dio.

"Lihat. Bagus kan?"

Dio mengangguk.

Ia menatap adiknya yang tersenyum bahagia hanya dengan melihat hasil jepretannya sembari menikmati minuman cokelat dan dessert. Dio mendadak sedih akan pergi jauh darinya. Karena mereka berdua tidak pernah jauh sebelumnya meskipun sering bertengkar.

"Waaahh enak sekali!" Amy bersemangat saat memakan cream cokelat hingga ada sisa cokelat di dekat bibirnya.

Dio tersenyum kecil, lalu mengambil tisu dan mengelap bibirnya.

"Cobalah makan ini. Sumpah enak sekali!" kata Amy sembari mengambil satu sendok cream untuk disuapkannya pada kakaknya.

Dio menurut, membuka mulutnya dan menerima suapan itu.

"Bagaimana?" tanya Amy dengan mata berbinar.

"Manis sekali."

"Sudah kubilang ini enak sekali."

Merek berdua saling melempar senyum satu sama lain dengan bahagia. Tanpa Amy sadari, mata Dio berkaca kaca.

"Aku harap waktu ini tidak berlalu dengan cepat," batinnya sendu.

***

"Jangan sampai tertangkap." kata Genio

"Jarang sekali mendengar kau mengkawatirkanku." Okta menertawakannya.

Okta mengambil mayat Valen.

Sementara Holan di rumah menghubungi Dr. Jeno tentang persiapan pengobatan Dio hingga lupa kembali ke rumah sakit untuk memeriksa mayat Valen.

Asya memutuskan memberhentikan pencarian dan mengira pelaku Okta sudah kabur sangat jauh.

Saat itulah ia bertindak.

Okta yang telah mengganti baju dan gaya rambutnya sengaja masuk dari pintu depan. Ia tak akan dicurigai karena pelaku memakai masker dan topi. Tak ada yang mengetahuinya.

"Kenapa aku harus melakukan ini? Kalau Valen mati, siapa yang harus mengerjakan pekerjaan lapangan lagi? Aishh sial," umpat Okta karena tidak percaya dirinya yang seorang pilar kedua yang harus turun ke lapangan menyelamatkan seorang pengkhianat.

***

Amy dan Dio di kafe.

"Kenapa kau tidak mampir akhir akhir ini?" tanya Amy pada Dio.

"Tidak ada apa apa."

Dio mengingat lagi percakapannya dengan Dr. Jeno tentang dirinya yang belum bisa menjadi dokter utama karena penyakitnya. Tanpa sadar ia melamun.

"Kau kenapa melamun begitu? Apa ada masalah di rumah sakit?" Amy masih menikmati dessertnya. "Kau baik baik saja?"

"Em. Tentu saja."

"Jangan bohong. Kulihat kau tersenyum dari tadi. Kau pikir aku bodoh? Aku tahu kau akan mengatakan sesuatu yang buruk."

"Kau menyadarinya?"

"Aku…" Dio ragu. Namun akhirnya ia tetap harus mengatakannya. "Akan pindah ke rumah sakit cabang luar kota."

Amy terdiam, berusaha mencernanya.

Dio merasa bersalah.

"Kapan kau akan pindah?" Amy berusaha tenang dan menerima, namun matanya tak bisa berbohong. Ia berkaca kaca.

"Hari ini." Dio menunduk. "Maaf."

"Kenapa kau baru memberitahuku?"

Dio tidak bisa menjawabnya.

"Kenapa kau baru memberitahuku?! Kenapa kau selalu seperti ini? Memutuskan semuanya sendirian?!" Amy meneriakinya dengan marah.

"Aku minta maaf."

"Jangan minta maaf!" Amy menangis.

"Kau membuatku senang karena makanan ini," Amy melihat dessert imut itu dengan sedih. "Kau membuatku berdandan cantik ke sini, kau terus tersenyum meski aku mengumpatimu, kau masih tersenyum saat aku mengatakan omong kosong. Kenapa kau melakukan ini padaku? Apa kau lelah menjadi kakakku?"

"Ada alfa, jangan terlalu sering membuatnya repot dan jangan menghamburkan uang. Kak Arvy juga sering mampir. Aku bisa pergi dengan sati dan tidak sakit kepala karena memikirkanmu," Dio berusaha tersenyum lalu mengusap puncak kepala Amy.

Amy menunduk dan menangis.

"Apa Ayah dan Alfa sudah tahu?"

Dio mengangguk.

"Jadi aku yang terakhir? Pantas saja aku merasa "

"Aku akan pulang setiap akhir bulan," kata Dio menenangkannya. Padahal belum tentu ia akan pulang sebulan sekali.

Di luar kafe sudah terparkir mobil dan barang barang Dio di dalamnya dan juga seorang supir.mereka berdua keluar.

Amy melihat dasi Dio agak miring dan membantunya membenarkannya.

"Kenapa kau suka sekali pakai jas? Kadang kadang kau terlihat seperti seumuran dengan Arvy."

"Terima kasih."

Mereka berdua saling menatap satu sama lain. Amy menahan air matanya.

"Kau benar benar akan berangkat sendirian?"

Dio mengangguk, ia juga tak bisa menahan air matanya.

"Sudah berpamitan dengan ayah?"

Dio mengangguk lagi.

"Dengan ibu?"

Dio terdiam sejenak lalu mengangguk mengiyakan.

"Hati hati di jalan."

"Berhenti menangis." Dio berusaha tersenyum agar Amy ikut tersenyum. Ia lalu memeluk adiknya sembari menepuk nepuk punggungnya pelan.

"Aku janji akan membelikan makanan enak tiap pulang."

Amy mengangguk.

Setelah itu Dio masuk ke mobil dan melambai. Amy menatap mobil yang mulai berjalan pelan dan perlahan lahan menjauh. Bahunya turun dan menunduk sedih. Ia menatap sepatu cantik yang ia kenakan hari ini.

"Sepatu cantik, untuk situasi yang tidak cantik," ujarnya.

Dari jauh Alfa melihatnya dari dalam taksi. Setelah mobil Dio pergi, ia mendekat ke tempat di mana Amy berdiri. Alfa keluar dan menghampirinya.

"Amy…"

Amy mendongak dan mendapati Dio di sana.

"Ayo pulang."

Sesampainya di apartemen, Amy langsung menjatuhkan dirinya di kasur lalu memandangi lama foto keluarga di atas meja. Itu adalah foto kelulusan Dio, sama seperti yang ada di wallpaper ponsel Dio. Ia juga melihat lihat foto galeri di ponselnya. Ia menatap foto saat di kafe tadi. Ia memandanginya dengan murung.

Amy menelepon ayahnya dan bertanya mengenai Dio.

"Mengapa Dio dipindahkan?" tanyanya tanpa basa basi."Tidak ada yang ayah sembunyikan dariku kan?"

Namun ayahnya hanya diam saja.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C108
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login