Download App
5.9% Wasted Wife / Chapter 14: Semakin Tertantang

Chapter 14: Semakin Tertantang

Andin tersenyum kikuk, "A-aku … aku baik-baik aja kok. Kenapa emangnya, Ma?" Andine sedikit cemas kala menunggu jawaban sang ibu.

Utami menggelengkan kepala, "Hubungan kamu dengan Andra bagaimana? Nggak ada masalah 'kan?" tanyanya.

Andine terdiam untuk beberapa saat, wanita itu tak langsung menjawab pertanyaan sang ibu. Jauh di dalam hati, ingin sekali ia mengungkapkan semuanya, seperti saat lajang dulu di mana ia suka bercerita mengenai apa pun yang mengusik hatinya. Namun, keadaan kini berbeda. Andine sudah menikah, seburuk apa pun pernikahannya yang sebenarnya, wanita itu tetap harus menutupinya.

"Baik, Ma. Hubungan aku sama Mas Andra baik-baik aja kok, Mama bisa lihat sendiri 'kan gimana kami?" Andine menyunggingkan senyum berusaha terlihat baik-baik saja.

Utami menyunggingkan seulas senyum tipis, ia percaya sepenuhnya kepada sang putri, tak ada keraguan dari sorot matanya yang teduh.

"Baguslah kalau begitu, mama pun ikut seneng dengernya," sahut Utami.

Andine akhirnya bisa bernapas lega.

"Mama ngapain ke sini? Mama perlu sesuatu?" tanya Andine kemudian.

"Mama cuma mau ambil pisau untuk potong buah," jawab Utami sambil berbalik dan melangkah menuju ke tempat bumbu-bumbu dapur berada.

Andine ikut berjalan mendekati ibunya.

Samar-samar, telinga mereka mendengar suara tawa dari dua orang pria yang ada di ruang tamu. Obrolan para lelaki itu sepertinya sangat seru, berhasil menciptakan kehangatan suasana rumah.

"Sepertinya papamu sangat senang berbincang dengan Andra, mereka berdua sangat cocok, Iya 'kan, An?" Sambil mengupas kulit apel, Utami mengajak putrinya berbincang.

Gadis berkulit putih itu mengangguk kecil, "Iya, Ma, mereka punya selera humor yang sama. Sama-sama garing." Andine menjawab dengan suara lirih.

Utami tertawa kecil, "Memangnya, Andra itu garing, An? Ngebosenin gitu?" Utami semakin memancing Andine untuk bercerita banyak mengenai sang menantu.

Andine tampak sedikit berpikir, "Emm, nggak juga sih, Ma," jawab Andine sambil tersenyum kikuk.

"Terus, dia orangnya kayak gimana?" Sambil memotong buah apel, Utami terus mengajak Andine mengobrol.

Andine menggigit bibir bawah, ia bingung hendak menjawab apa. Rasa bersalah semakin membesar saja jika Andine berbohong pada wanita yang sudah melahirkannya tersebut.

"Mas Andra itu … baik, Ma. Orangnya juga suka bercanda, terus–"

"Terlalu klise," potong Utami kemudian, ia menyunggingkan senyum samar sambil melirik sang putri.

Andine menggaruk kepala yang sedikit gatal, "A-aku … nggak bisa mendeskripsikan terlalu banyak," elaknya sambil tersenyum lebar menunjukkan barisan gigi putihnya yang rapi.

Utami memaklumi, "Tapi, kalian keliatan udah akrab aja, ya? Padahal dulunya nggak saling kenal," celetuk wanita itu sambil tertawa pelan, "Karena udah jodoh kali ya, mama merasa bangga karena sudah memberikan pasangan sebaik Andra sama kamu," imbuhnya lagi.

Andine terpaku di tempatnya berdiri.

"Ayo, An, kita makan buah bareng. Seger nih." Tanpa menoleh ke arah putrinya, Utami melangkah menuju ruang tengah dengan piring berisi potongan buah di tangannya.

Andine menelan ludah getir, ia tersenyum miris sambil menatap kepergian mamanya tersebut.

Andra adalah pasangan yang baik untuk Andine katanya. Benarkah itu? Andine sendiri tidak yakin, sayang sekali dunia tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya dengan kehidupan rumah tangga mereka.

Mata Andine berkaca-kaca, ia hendak menumpahkan sesak yang menumpuk di dadanya. Namun, wanita itu berusaha keras menahan semuanya.

"Yang penting mama dan papa bahagia," gumamnya lirih.

Sore harinya, kedua orang tua Andine akhirnya pamit. Pasangan muda itu mengantarkan sampai ke depan pagar rumah mereka.

"Papa dan Mama pulang dulu ya? Sehat-sehat kalian!" Danu berseru dari balik mobil, pria paruh baya itu tersenyum dengan sumringah di depan anak dan menantunya. Sedangkan di sebelahnya, Utami hanya tersenyum menatap Andine dan Andra dari tempat duduknya.

"Hati-hati ya, Pa, Ma. Kabari kalau sudah sampai rumah." Andra menjawab sambil menyunggingkan senyum, ia semakin memperkuat rengkuhan tangannya di pundak sang istri, keduanya kini sangat dekat sekali.

Andine sebenarnya risih, beberapa kali ia mencoba menjauh dan membuat jarak, tapi Andra bersikeras semakin mendekatkan.

Sejurus kemudian, mobil yang ditumpangi Danu dan Utami akhirnya meluncur meninggalkan kediaman Andra serta istrinya. Saat mereka sudah semakin jauh sampai tak terlihat lagi, Andine segera melepaskan tangan suaminya.

Andra tersentak, lalu menoleh. Wajah Andine rupanya sudah memerah seperti kepiting rebus.

Andra tersenyum sinis ke arah Andine, "Kenapa sih? Kamu malu dilihat mama papa kamu? Aku 'kan suamimu, An."

Andine melotot tak terima, wajahnya semakin memerah saja. Gadis itu kemudian berdecih menahan kesal.

"Nggak usah terlalu percaya diri, Mas. Aku cuma kesal dan enek sama kelakuan kamu, bikin ilfeel. Bisa-bisanya kamu punya karakter yang berbeda-beda. Di depan orang tua kita kamu kelihatan manis, sedangkan di depan aku?" Andine tersenyum miris.

Andra menaikkan sebelah alisnya, sambil melipat tangan pria itu menggelengkan kepala.

"Maksudnya, kalau lagi di depan kamu aku kayak iblis gitu? Ya, emang iya sih." Andra mengakui, bahkan ia tersenyum jahat menatap istrinya yang sedang menahan geram.

"Sudah aku bilang berkali-kali, Andine. Jangan berekspektasi terlalu tinggi dengan pernikahan ini, kalau kamu nggak mau terus-terusan akting dan drama di depan dunia, ya tinggal cerai aja. Susah? Enggak!" Tanpa perasaan Andra berujar demikian.

Hati Andine semakin memanas saja, dengan entengnya pria itu bicara demikian. Tatapan tajam miliknya tertuju ke wajah Andra, sikapnya seolah menunjukkan betapa marahnya ia.

"Jangan ngeliatin aku kayak gitu, nanti kamu jatuh hati dan sakit hati sendiri. Soalnya aku nggak akan bisa bales perasaan kamu ke aku." Andra mengingatkan, detik berikutnya ia berlalu meninggalkan sang istri di sana. Sendirian.

Bukannya semakin marah dan mengejar Andra dengan menyumpahinya kata-kata serapah, Andine justru semakin tertantang. Jangan melihatnya terlalu lama, nanti jatuh cinta dan terluka, karena ia tidak akan membalas perasaannya, itu kata Andra.

Bisakah Andra memegang kata-katanya? Sedangkan di sini, Andine mulai berjanji untuk tak akan mudah menyerah. Melihat sang suami dengan angkuhnya, ia justru semakin bersemangat.

"Mas!" Andine memanggil suaminya yang sudah beberapa langkah di depan sana.

Andra menghentikan ayunan kakinya, pria itu kemudian menoleh dengan tatapan sengit tak bersahabat.

Andine melangkah mendekati pria itu, keduanya kini saling bersitegang.

"Aku akan menunggu, Mas. Sampai kapan kamu bisa bertahan memegang teguh kata-kata kamu," ucap Andine tepat di depan wajah suaminya, wanita itu terlihat bersungguh-sungguh.

Andra mengerutkan dahi, tatapannya menyipit mengamati wajah sang istri.

"Kita lihat aja nanti siapa pemenangnya, aku yang ingin bertahan atau kamu yang ingin melepaskan. Karena bagi aku, pernikahan bukan permainan." Secara tegas dan lugas Andine berucap, tepat di depan wajah sang suami ia mengatakan semua yang ada di hati.

Andra terpaku untuk beberapa waktu, sejurus kemudian sosok Andine sudah berlalu lebih dulu dari hadapan pria itu.

Mendengar ucapan istrinya, entah kenapa membuat Andra merasa tak yakin dengan pendiriannya.

Benarkah ia akan kalah?

Bersambung.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C14
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login