Seharian itu, Sulastri pergi entah kemana. Sejak subuh ia sudah keluar rumah, karena khawatir Kartika pun akhirnya memutuskan untuk tidak pergi ke sekolah dulu. Ia membuatkan adiknya sarapan. Lalu membersihkan rumah dan mencuci serta menggosok pakaian. Tak lupa ia juga membereskan rumah yang berantakan karena ulah para preman penagih hutang kemarin.
Sampai menjelang isya, Sulastri akhirnya pulang. Wajahnya tampak begitu lelah. Dan, saat ia menatap Kartika ia hanya mendelik dan langsung masuk ke kamarnya.
"Gung, kau ajak Ibu makan, kalau teteh yang ajak makan nanti Ibu marah," kata Kartika pada Agung adiknya. Namun, belum sempat Agung mengetuk pintu kamar, Sulastri sudah keluar dari kamarnya.
"Ganti pakaian dan bereskan baju-bajumu, lalu ikut Ibu!" perintah Sulastri pada Kartika.
"Kita mau kemana, bu?" tanya Kartika takut- takut.
"Nggak usah banyak tanya, cepat!" bentak Sulastri.
Melihat gerakan Kartika yang lambat, Sulastri langsung menyeret putri sulungnya itu. Dengan gerakan cepat, Sulastri menyambar tas jinjing dan mengisinya dengan pakaian- pakaian Kartika, kemudian ia menyeret Kartika untuk ikut bersamanya.
"Kau jaga rumah, kalau ada apa-apa lari ke rumah Ibu Aminah, dengar?!" kata Sulastri pada Agung. Agung hanya mengangguk dan menatap kepergian Sulastri dan Kartika.
Sementara itu, dengan kasar Sulastri menarik tangan Kartika dengan kasar, hingga gadis itu menjerit kesakitan. Sulastri menyetop taksi yang kebetulan lewat dan langsung mendorong Kartika untuk cepat masuk. Mereka tiba di sebuah kompleks perumahan elite dan taksi itu berhenti di sebuah rumah yang besar.
"Tunggu sebentar, saya tidak lama," kata Sulastri. Ia pun langsung menarik tangan Kartika dan menyeretnya untuk mengikuti langkahnya memasuki rumah besar itu.
Tampaknya kedatangan mereka memang sudah dinanti, tak lama setelah memencet bel, seorang wanita cantik dengan make up yang sedikit tebal membukakan pintu.
"Oh, ini anaknya? Tinggalkan dia di sini, ambillah ini," wanita itu menyerahkan amplop berwarna coklat yang cukup tebal kepada Sulastri. Sulastri langsung meraihnya dan berpaling pada Kartika. "Kau tinggal di sini dan menurut kepada tante Sania," kata Sulastri datar. Belum lagi sempat Kartika berkata-kata tangannya sudah di tarik untuk masuk ke dalam. Kartika hanya sempat melihat Sulastri berjalan dengan cepat dan menaiki taksi kemudian menghilang di balik kegelapan malam.
Kartika berdiri takut-takut sambil memeluk tas yang berisi pakaiannya. Ia tampak sedikit ketakutan, bagaimana tidak jika tatapan mata Sania seolah sedang menelanjanginya.
"Kamu cantik sekali, berapa usiamu?" tanya Sania sambil mengelus pipi mulus Kartika.
"Sa-saya...u-umur saya 16 tahun, tante," jawab Kartika takut-takut.
"Masih sangat muda. Baiklah, sekarang harus di persiapkan terlebih dahulu. Ingat, kau harus menurut kepadaku. Asal kau tau saja, aku baru saja membelimu sebesar 50 juta rupiah dari Ibumu. Jadi, aku berhak atas dirimu sekarang ini. Apa kau mengerti, anak cantik?" ujar Sania.
"Apa aku akan menjadi pembantu di rumah ini, Tante?" tanya Kartika dengan polos.
. Sania tertawa terbahak-bahak, "Kau polos sekali ya, hahaha...Tapi, bagus itu artinya Sulastri tidak berdusta. Jadi, aku bisa mendapatkan cuan yang lebih banyak. Tetii...! Sini cepet kamu, Teti...!"
Seorang pria dengan gaya kemayu tergopoh- gopoh menghampiri mereka, "Ada apa sih, Mamiih? Teriak- teriak aja deh, eike kan lagi sibuk di belakang."
"Sini, bikin gadis polos ini jadi cantik, malam ini kita akan bawa dia ke mess. Aku baru membayarnya 50 juta, jadi kau buat dia cantik," kata Sania. Pria kemayu yang bernama Teti itu langsung berbinar- binar menatap Kartika.
"Euleeuh, ini sih bakalan jadi ladang duit, cucok. Cantik, tinggal di poles dikit udah pasti langsung bersinar kaya bintang, eike dandanin dia dulu, Mami. Cuz, sini ikut eike..."
Teti langsung menarik tangan Kartika dan membawanya ke ruangan belakang. Di ruangan itu terdapat sebuah kaca yang cukup besar dan juga pakaian - pakaian yang sangat cantik, namun bagi Kartika pakaian- pakaian itu begitu terbuka dan terlalu seksi. Dengan cepat, Teti mendudukkan Kartika di kursi,lalu ia mengambil alat- alat make up dan mulai memoles wajah Kartika. Kemudian, ia juga menata rambut Kartika menjadi lebih indah. Dan, terakhir Teti meraih beberapa gaun yang cantik- cantik.
Tapi, setelah memilih, Teti mengambil sebuah dress dengan bahan satin berwarna hitam dengan kerah Cheongsam. Dress itu sebenarnya panjang, tapi memiliki belahan yang tinggi di kedua sisi nya.
"Pakai ini, cepat," katanya. Kartika dengan gugup menerima gaun itu.
"Ini...gaunnya bagus sekali. Ini buat saya pakai?"
"Ya iyaa teteh geulis, masa akikah yang pake? Buruan, ganti sekarang."
"Kamar gantinya di mana?" tanya Kartika.
Teti mengembuskan napasnya dengan kasar, dengan sekali tarik ia merobek pakaian yang Kartika pakai membuat gadis itu memekik kecil.
"Pake sekarang," katanya. Kartika pun buru-buru mengenakan pakaian yang diberikan oleh Teti. Melihat penampilan Kartika, Teti langsung bertepuk tangan. Tak lupa Teti mengambil sepasang sepatu yang cocok dengan pakaian yang di kenakan oleh Kartika.
Teti pun langsung membawa Kartika ke hadapan Sania. Melihat penampilan baru Kartika, Sania yang sedang bicara dengan seseorang melalui telepon langsung memutuskan sambungan teleponnya.
"Gimana, cucok kan kerjaan eike," kata Teti.
"Kamu nanti antar dia ke Savoy Homann sama Donny dan Wahyu. Antar sampai depan pintu kamar, ini nomor kamarnya. Inget di tunggu di lobby. Sekalian, ambil bayarannya. Inget hanya tiga jam. Nggak lebih, abis itu bawa pulang ke sini. Besok pagi baru bawa dia ke mess."
Kartika merasa bahwa apa yang di katakan oleh Sania bukanlah sesuatu yang baik. Perlahan, Kartika pun memberanikan diri untuk bertanya.
"Tante, maaf sebelumnya. Kenapa saya harus mengenakan pakaian seperti ini? Lalu, kenapa saya harus berdandan begini?" tanya Kartika lirih. Sania tertawa terbahak-bahak. "Kamu ini polos, benar-benar polos ya. Apa Ibumu tidak memberitahu sebelum ia membawamu kepadaku?!" tanya Sania. Kartika menggelengkan kepalanya.
"Nggak, Tante. Ibu tidak mengatakan apapun. Tadi, saat Ibu pulang beliau hanya menyuruh saya untuk mengemasi pakaian dan kemudian langsung membawa saya kemari."
Sania mendekati Kartika, lalu memegang pipi gadis itu. "Dengar baik- baik anak cantik, Ibumu sudah menjualmu kepadaku. Untuk apa? Untuk aku jadikan sebagai wanita penghibur, untuk aku jadikan kupu-kupu malam. KUPU-KUPU MALAM!"
Kartika tersentak kaget, dadanya sesak seketika. Hatinya terasa tersayat- sayat sembilu. Ibu yang sangat ia cintai dan ia hormati dengan tega menjualnya. Air mata Kartika menetes seketika. Ia merasa lemas seperti tidak bertulang. Sania menyeringai, "Tidak perlu menangis, yang perlu kau lakukan sekarang adalah melayani tamu pertamamu sebaik-baiknya. Bawa dia sekarang, dan suruh dia untuk menghapus air matanya," kata Sania kepada Teti.