Pagi, 02.15 WIB
Suasana yang sepi membuat suara ketukkan pintu terdengar sangat kencang sehingga membangunkan tidur malamku. Saat aku membalikkan tubuh, hanya guling yang ku raba.
"Di mana suamiku?"
Dengan mata mengantuk, aku berjalan ke luar sambil memakai baju hangat.
(Tok.. Tok.. Tok..)
"Siapa yang datang malam-malam begini?" tanyaku dalam hati
Aku sangat terkejut saat membuka pintu kamar dan melihat mas Riadi sangat panik. Kedua tangan meremas keras rambut di atas kepala, tubuhnya gemetar dan wajahnya terlihat pucat. Aku menghampiri Mas Riadi. Dia menatapku dengan rasa cemas.
"Mas, kamu kenapa? Siapa yang datang malam-malam begini?"
Riadi hanya menggeleng-gelengkan kepala seolah dia memberi isyarat padaku untuk tidak membuka pintu.
"Mas jawab aku Mas! Siapa di luar? Biar aku lihat!"
Dengan nada sedikit tinggi aku melontarkan pertanyaan untuk yang ke dua kalinya. Namun suamiku masih enggan menjawab dan hanya bisa menangis ketakutan.
"Jangan Arini, jangan! Arini, tolong Mas." Riadi menarik tanganku hingga aku terjatuh.
Aku benar-benar bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Suara ketukkan pintu teruslah terdengar.
"Pak Riadi!! Tolong buka pintunya Pak! saya tahu Anda ada di dalam. Saya hitung sampai tiga. Saya akan dobrak pintu rumah bapak jika tetap tidak mau membiarkan kami masuk!"
Teriakan laki-laki itu membuatku sangat penasaran dan ketakutan. Lalu Aku melepaskan tanganku dari genggaman mas Riadi. Aku berlari meninggalkan mas Riadi untuk membuka pintu.
"Satu .... dua .... tiga ...." teriak polisi
Polisi mendobrak pintu rumah kami.
"Argh~~~"
Aku terjatuh karena berbenturan dengan pintu rumah yang polisi dobrak. Masuklah tiga orang laki-laki mengenakan jaket kulit berwarna hitam dan mengenakan topi. Dua dari tiga orang itu masuk dengan menodongkan senjata dan menggeledah seisi rumah.
"Bangun Bu, anda istri Pak Riadi?" tanya salah satu polisi yang memegang map berwarna cokelat.
Polisi itu membantuku untuk berdiri dan langsung menanyakan di mana keberadaan Mas Riadi.
"Bapak, siapa?" tanyaku dengan suara tersedak karena isak tangis
"Saya dari kepolisian. Saya akan membawa suami ibu ke kantor polisi mengenai beliau yang terlibat dalam kasus penyalahgunaan narkoba."
Polisi itu menunjukkan bukti surat penangkapannya.
"Apa, Pak? tidak mungkin, suami saya melakukan hal seperti itu."
Aku sangat terkejut dengan apa yang dibicarakan oleh polisi tersebut. Aku tidak percaya dengan semua ucapan dari pihak kepolisian meski terbukti dengan adanya penangkapan ini.
(Duarrrrrr.....)
Suara tembakan dari arah belakang rumah pun terdengar sangat kencang sehingga satu persatu tetangga mulai berdatangan.
Aku dan polisi yang hendak berbicara, langsung berlari menuju pintu rumah belakang .sana terlihat mas Riadi yang terjatuh memegang kaki kanannya. Dua polisi itu terpaksa menembak Mas Riadi karena ia sedang berusaha melarikan diri. Aku berlari kencang menghampiri suamiku.
"Mas, Ya ampun. Kaki kamu terluka."
Polisi berhasil menangkap Riadi dan membawanya ke Rumah Sakit pelita untuk mengobati luka tembak. Setelah itu mereka membawa Riadi ke Kantor Polisi untuk dimintai keterangan.
Aku panik dan menelepon ibuku. Aku ceritakan semua kejadian yang baru saja menimpa Mas Riadi.
"Halo Bu, Aku titip anak-anak dulu ya. Besok tidak usah di antar ke rumah dulu."
"Ada apa Arini? Kamu kenapa?"
Sontak, suaraku membuat ibu langsung terbangun dan lari keluar kamar karena di sampingnya ada Radit dan Arinda. Anak-anakku.
"Mas Riadi bu... Mas Riadi ditangkap polisi."
Tangisanku pecah saat menceritakan kejadian dini hari ini.
"Arini apa betul yang kamu bicarakan ini? Kamu tidak sedang bercanda kan?"
"Betul bu, makanya besok anak-anak tidak usah pulang dulu ke rumah ya bu. Aku mau menemui mas Riadi di kantor polisi."
"Iya Arini, kamu yang sabar dan kuat. Besok setelah dari Kantor Polisi, kamu ke rumah ibu."
Aku berjalan menutup semua pintu rumah dan tidak pedulikan pada warga yang datang dan bertanya. Pandangan kosong mengiringi ku masuk ke dalam kamar.
"Mas Riadiiiiiiiiiii .... " Aku teriak sekencang-kencangnya
***
Bagai pecut yang mencambuk hatiku. Bagai panah yang menusuk jantungku.
Siksaan ini aku rasakan begitu pedih karena lebih menyakitkan menanggung akibat dari masalah yang sama sekali bukan ulahku."
***
(Kantor Polisi)
"Mas Riadi. Kamu kenapa melakukan semua ini? Apakah kamu tidak memikirkan aku dan anak-anak saat kamu masuk ke dalam masalah ini? aku sangat terpukul Mas"
Itulah pertanyaan pertama yang aku lontarkan kepada Mas Riadi. Aku sangat terpukul melihat suamiku memakai baju tahanan berwarna oranye dengan borgol ditangannya. Duduk berhadapan dengan Mas Riadi di kantor polisi adalah hal yang sama sekali tak pernah ku bayangkan sebelumnya.
Mas Riadi terbukti memakai narkoba. Bukan hanya memakai ia juga terlibat dalam peredaran barang haram tersebut. Mas Riadi telah diincar Polisi selama tiga bulan terakhir.
Ya, begitulah Mas Riadi. Seorang laki-laki yang terjerumus dalam jurang karena desakan dari hidup yang ia jalani. Hidup yang bisa dibilang dalam keadaan di mana ia dituntut untuk tetap mencari nafkah bagi istri dan anak-anaknya.
Mas Riadi mengalami tekanan batin akibat pemecatan dirinya disalah satu perusahaan tempatnya bekerja kala itu. Dia tidak berani bercerita padaku bahwa ia telah kehilangan pekerjaan sejak satu tahun terakhir.
"Sayang, aku benar-benar minta maaf atas semua yang telah terjadi dalam keluarga kita. Aku harap setelah semua pertanyaanmu ku jawab, kamu tidak pergi begitu saja. Maksud ku tunggu aku untuk pulang."
Lalu suamiku menjawab semua pertanyaan. Secara detail ia menyampaikannya dengan penuh rasa penyesalan. Aku tahu maksud Riadi. Dia berharap aku akan percaya dan mengerti keadaannya dulu, sekarang dan nanti.
"Entahlah Mas, aku sangat mencintai kamu. Aku harus bagaimana sekarang? tujuh tahun kamu di penjara bukan waktu yang sebentar. Dan lagi, aku tidak tahu apa yang akan ibu katakan nanti tentang pernikahan kita. Kamu membuka luka lama yang hampir ibu lebur Mas."
Aku melepaskan tangan suamiku. Ku rapikan rambut Mas Riadi yang tampak berantakan. Aku menghela nafas panjang dan pasrah dengan semua ini.
Aku sungguh tidak tahan melihat suamiku. Tidak tega rasanya menatap wajah Mas Riadi yang penuh dengan air mata kesedihan. Sebaiknya aku pergi dulu.
"Aku pamit pulang Mas, jaga kesehatan kamu. Jika kamu mau aku perjuangkan pernikahan ini, setidaknya di dalam kamu berbenah diri. Semoga kamu mendapat pencerahan di dalam sana."
~~~
Ini semua adalah mimpi buruk. Bagaimana bisa laki-laki yang selama ini tinggal satu atap denganku melakukan hal yang mengecewakan.
Saat pulang dari kantor polisi, aku memandangi diriku di depan cermin. Hampa rasanya. Kini aku harus berjuang sendiri menghidupi anak-anakku. Tuhan, apa aku sanggup?
***