Download App
29.62% MENGEJAR CINTA MAS-MAS / Chapter 32: MCMM 31

Chapter 32: MCMM 31

"Aaah.. siapa kamu? Mau apa kamu?" jerit Gladys sambil mendorong pria tersebut. Jeritan yang membuat semua orang kaget dan langsung merangsek masuk ke kamar.

⭐⭐⭐⭐

Happy Reading❤🥰

"Mau ngapain kamu?" ulang Gladys. "Jangan macam-macam ya."

"Nggak ada yang mau macam-macam sama kamu," sahut Banyu bingung.

"Terus kenapa kamu bawa aku ke kamar?" Banyu bingung mau menjawab apa.

"Ada apa nak Gladys?" Aminah langsung maju menengahi karena dilihatnya Banyu bingung. "Tadi kamu ketiduran di depan TV, kayaknya capek banget sampai-sampai dibangunin sama Banyu nggak bangun juga. Makanya ibu yang suruh dia bawa kamu ke kamar. Biar kamu bisa lebih enak istirahatnya."

"Eh, ibu sudah pulang." Gladys buru-buru bangkit dari tempat tidur dan menghampiri Aminah lalu mencium tangannya. "Maaf Gladys ketiduran."

"Iya nggak papa. Karena kamu sudah bangun, yuk kita makan malam dulu. Ibu yakin kamu pasti belum makan malam. Nggak diet kan?"

"Nggak bu. Saya mau cuci muka dulu."

"Dek, tolong antar kak Gladys ke kamar mandi," Banyu menyuruh Nabila menemani Gladys.

Tak lama mereka sudah berkumpul di meja makan.

"Wah, kalian masak ini semua?" tanya Aminah. "Kok itu gorengannya belang bentong gitu warnanya? Ada yang pas, ada yang agak gosong, ada yang pucat. Ini potongan wortelnya juga berantakan."

Aidan dan Nabila tergelak mendengar komentar Aminah. Sementara itu Gladys hanya bisa menunduk sambil tersenyum malu.

"Kamu yang masak?" tanya Banyu tak percaya kepada Gladys. "Beneran?"

"Hmm.. Maaf, tampilannya jelek ya. Tapi kalau rasa dijamin enak kok. Itu Aidan dan Nabila yang masak. Aku cuma bantuin sedikit." Aidan dan Nabila mengacungkan jempolnya sambil tersenyum.

"Kamu masuk dapur?"

"Mas Banyu kok nggak percaya sih? Ini beneran lho. Tadi kak Gladys bantuin kita masak. Tuh jarinya sampai terluka pas tadi potong-potong wortel." tegas Nabila. Banyu langsung melirik jari Gladys yang terbungkus plester.

"Ibu mau cobain masakan calon mantu, nggak?" tanya Aidan.

"Eh, itu bukan masakan Gladys kok. Itu dek Aidan dan dek Bila yang masak. Aduh, jadi malu."

"Kenapa musti malu? Anak gadis itu sebisa mungkin harus mencoba belajar masak. Karena dengan siapapun dia menikah, nantinya dia akan memasak untuk suami dan anak-anaknya. Mereka akan sangat senang kalau ibu memasak walau hanya menu sederhana." Aminah menenangkan Gladys yang terlihat malu.

"Cobain deh mas, ini tadi kak Gladys yang ulek sambal dan goreng tahu tempenya." Banyu mengangkat piringnya dan memberikannya kepada Gladys yang memandangnya heran.

"Mas Banyu mau kak Gladys yang mengambilkan makanan," bisik Nabila yang duduk di samping Gladsy.

"Kenapa? Memangnya dia nggak bisa ambil sendiri?" tanya Gladys bingung. "Dia kan punya tangan."

"Katanya mau jadi istri," sindir Banyu.

"Memangnya harus ya?"

"Memangnya di rumah, mami kamu nggak melayani papi kamu kalau mau makan?" Banyu balik bertanya. Gladys terdiam. Dia baru ingat kalau mami selalu melakukan hal itu pada papinya.

"Memangnya kamu mau jadi suami aku? Kok minta dilayani." balas Gladys keras kepala. Yang lain hanya bisa geleng kepala melihat mereka berdebat

"Sebelum aku memutuskan menerima kamu, aku harus lihat dulu kamu cocok nggak menjadi seorang istri. Kalau hal sepele kayak gini aja kamu nggak mau kerjakan buat apa aku nikah sama kamu," ucap Banyu tak mau kalah.

"Sudah.. sudah.. Nyu, kamu jangan meledek nak Gladys. Dia kan belum terbiasa melayani orang lain. Lagipula kamu memang bukan suami dia kan, masa sudah minta dilayani begitu." Aminah menengahi perdebatan itu.

Nabila membisikkan sesuatu di telinga Gladys yang mendengarkan sambil manggut-manggut. Lalu diambilnya piring yang Banyu sodorkan diisinya dengan nasi dan lauk pauknya, lalu diserahkan kembali pada Banyu yang menerimanya sambil tersenyum.

"Terima kasih CALON ISTRIKU," jawab Banyu sambil mengedipkan sebelah matanya. Wajah Gladys langsung blushing diledek seperti itu sehingga membuat yang lain tertawa.

Setelah makan malam, Gladys ikut membantu membereskan meja dan mencuci piring. Lebih tepatnya menaruh piring dan gelas yang dicuci Banyu di tempatnya. Karena dipercobaan pertama mencuci piring, Gladys memecahkan gelas.

"Kamu nggak usah ikut cuci piring, nanti piring dan gelas di rumah ini habis gara-gara kamu," Banyu langsung mengambil alih. "Kamu di depan saja sama ibu."

"Nggak, aku mau bantuin kamu," Gladys menolak saran Banyu.

"Ya sudah, kamu bantuin taruh yang sudah bersih di rak piring itu ya. Hati-hati, jangan sampai jatuh lagi."

"Nak Gladys sampai malam begini maaih di luar rumah, memangnya nggak dicariin orang tuanya?" tanya Aminah saat mereka sudah selesai mencuci piring.

"Tadi sudah bilang kalau mau ke rumah teman, bu.

"Nyu, antar nak Gladys pulang ya. Nggak baik anak gadis nyetir sendirian malam-malam."

"Nggak papa kok bu, sudah biasa," tolak Gladys. "Kasihan mas Banyu baru pulang."

"Jangan menolak, ibu khawatir kamu kenapa-napa di jalan."

"Biar aja dia pulang sendiri bu. Dia kan nggak lagi galau." celetuk Banyu. "Lagian Banyu capek."

"Mas, kasihan dong kak Gladys pulang sendirian," ucap Aidan. "Kalau Aidan bisa nyetir, mau deh Aidan yang antar kak Gladys."

"Iya nih mas Banyu nggak gentle. Masa tega ngebiarin 'CALON ISTRI' pulang sendiri." Nabila ikut mendukung Aidan.

"Kan dia sendiri yang mau datang kesini. Bukan mas Banyu yang undang dia."

"Mas Banyu jahat ih."

"Nggak papa kok dek. Benar apa kata mas Banyu. Ini keinginan kak Gladys main kesini. Jadi mas Banyu nggak punya kewajiban mengantar kakak pulang."

"Tetap aja kak, sebagai pria dewasa yang gentleman mas Banyu nggak boleh bersikap seperti itu." kritik Aidan.

"Lho, kalian kok kompak menyerang mas Banyu dan membela kak Gladys sih?"

"Bu, Gladys pamit. Kapan-kapan Gladys masih boleh main kesini kan?"

"Beneran kamu nggak papa pulang sendiri?" tanya Aminah khawatir. Gladys tersenyum untuk menenangkan Aminah.

"Gladys minta ijin bicara berdua sama mas Banyu boleh, bu?" Aminah mengangguk.

"Kamu mau ngomong apa?" tanya Banyu setelah mereka berdua di samping mobil Gladys. Bukannya menjawab, Gladys membuka mobilnya dan mengeluarkan sesuatu.

"Ini buat acara nikahan bang Ghiffari. Kamu jadi pasanganku ya?"

"Acaranya dua hari lagi kan?" Gladys mengangguk.

"Please kamu mau ya jadi pendampingku di acara itu. Aku nggak mau berpasangan dengan orang yang aku nggak kenal."

"Hanya untuk acara itu kan?"

"Aku sih berharapnya di luar acara itu mas Banyu mau jadi pendampingku. Sudah mulai bosan nge-jomblo nih." jawab Gladys santai sambil beranjak meninggalkan Banyu, namun tangannya ditahan oleh Banyu.

"Apa lagi mas? Aku mau pulang."

"Aku antar kamu."

"Nggak usah."

"Aku nggak mau dicap sebagai cowok yang nggak gentle oleh keluargaku."

"Itu urusaan kamu. Aku kesini cuma mau main sama adik-adik mas Banyu. Bosan di rumah sendirian. Sekalian mau kasih ini. Seperti kata mas Banyu, nggak ada yang mengundang aku untuk datang. Aku pulang ya mas."

"Kamu marah?"

"Nggak. Aku capek saja pengen pulang ke rumah. Mas Banyu masuk saja." Gladys melepaskan cekalan tangan Banyu. "Sampaikan terima kasihku kepada adik-adik dan ibu karena sudah welcome menyambutku."

"Aku antar kamu. Mana kuncinya?" Banyu merebut kunci mobil Gladys. "Kamu tunggu disini. Aku taruh pakaian ini dulu. Kamu masuk saja dulu ke dalam mobil."

⭐⭐⭐⭐

Tak lama kemudian mereka sudah dalam perjalanan menuju rumah Gladys. Tak satupun bicara. Gladys menyalakan radio untuk memecah keheningan.

"Terima kasih," ucap Banyu singkat.

"Untuk apa?"

"Kamu mau bergaul dengan keluargaku dan yang lebih utama mau mencoba memasak sampai tangan kamu luka begitu."

"Ooh..."

"Masakannya enak, walaupun tampilannya nggak karuan." puji Banyu sambil terkekeh.

"Hmm.. itu adik-adikmu yang masak. Bukan aku." sahut Gladys singkat.

"Princess, kamu marah?" Gladys hanya diam tak menjawab pertanyaan Banyu. Namun di sudut hatinya ada yang bergetar setiap kali Banyu memanggilnya princess. "Maaf aku nggak bisa memenuhi keinginanmu menjadi calon suamimu. Aku benar-benar nggak layak buat kamu. Aku juga nggak tega kamu harus mengalami banyak hal yang tidak nyaman kalau kamu memilihku sebagai pendamping."

Gladys membuang pandangnya. Sekuat tenaga ditahannya rasa sakit dan air mata yang mau turun akibat penolakan Banyu.

"Princess, jangan diam saja."

"Kamu mau aku bilang apa mas? Bahwa aku baik-baik saja kamu tolak? Atau aku harus tertawa bahagia? Atau aku harus menangis meraung-raung?" Gladys balik bertanya.

"Princess, kamu sudah melihat sendiri bagaimana kerasnya kehidupanku. Aku justru nggak mau kamu ikut susah bila menjadi istriku."

"Apa ini karena mbak-mbak centil yang tadi pagi? Yang bilang kamu calon suaminya?"

"Kamu cemburu?"

"Entahlah. Yang pasti aku sakit hati karena kamu sama sekali nggak mau melihatku tadi pagi."

"Astaga princess, kamu tau kan kenapa aku nggak mau melihat ke arahmu?"

"Tapi itu kan pakaian yang wajar dipakai saat berolahraga. Masa aku harus pakai gamis saat olahraga."

"Masih banyak pakaian olahraga yang tidak mempertontonkan aurat kamu. Buktinya hari ini kamu bisa datang ke rumah dengan pakaian yang lebih tertutup."

"Lalu apa benar mbak centil yang tadi pagi itu calon istrimu? Apa benar kamu sudah punya calon istri seperti yang kamu bilang ke mbak centil itu?

"Siapa? Mbak As?" Banyu terkekeh. "Bukan princess. Dia bukan calon istriku. Memang selama ini dia selalu memberi kode kalau dia tertarik sama aku, tapi aku nggak melayani hal tersebut."

"Kenapa? Dia cukup dewasa, wajahnya juga nggak mengecewakan, sepertinya juga cukup mapan. Kenapa kamu bilang ke dia kalau kamu punya calon istri? Siapa?"

"Kamu sudah tahu apa alasanku, princess." Jawab Banyu setelah terdiam beberapa saat. "Aku ngomong kayak gitu ke mbak As, supaya dia berhenti mendekatiku."

"Mas jangan panggil aku seperti itu kalau kamu nggak berniat membalas perhatianku. Panggilan seperti itu membuatku tersanjung dan istimewa. Tapi sayangnya panggilan kamu ucapkan bukan karena aku istimewa di matamu."

"Princess, maafkan aku."

"Apa yang akan terjadi kalau seandainya aku tetap bertahan dengan pilihanku?"

"Apakah kamu siap untuk kecewa? Aku tak ingin hubungan kita menjadi canggung seandainya aku tak bisa menerimamu atau menyakitimu. Kamu adalah adik sahabatku. Kamu sudah seperti adik untukku."

"Aku nggak mau jadi adikmu. Jangan pernah anggap aku seperti Nabila."

Banyu menghela nafas. Ia tak tau lagi harus bagaimana menolak Gladys.

"Mas Banyu, boleh aku bertanya sesuatu?"

"Hmm.."

"Kalau seandainya, situasi kita berbeda apakah kamu bisa menerimaku sebagai calon istrimu? Atau apakah aku sedemikian tak pantasnya mendampingimu?" Banyu menghentikan mobil.

"Princess, bukan kamu yang tak pantas. Tapi aku. Kamu wanita cantik yang mampu memikat hati pria manapun. Tuh, si Andre aja sepertinya suka sama kamu. Kalau saja situasinya berbeda, akupun mungkin akan terpikat. Tapi hidup dan hatiku saat ini terlalu complicated untuk memikirkan masalah pernikahan."

"Mas, aku punya satu permintaan."

"Apa?"

"Jangan suruh aku berhenti." Banyu tak menjawab. Ia jalankan lagi mobil menuju rumah Gladys.

"Bagaimana kalau seandainya tidak ada yang berubah di antara kita?" Banyi balik bertanya. "Kamu berhak memperoleh kebahagiaanmu. Dan sepertinya kebahagiaanmu bukan bersama aku."

"Tidak ada yang tau apa yang akan terjadi di masa depan, mas. Dulu saat pertama bertemu, mana pernah aku berpikir aku akan meminta mas Banyu menjadi suamiku. Yang ada di dalam pikiranku saat itu kamu adalah tukang kritik yang sangat menyebalkan." Banyu tertawa mendengar ucapan Gladys.

"Sekarang masih menyebalkan?"

"Masih. Tapi aku mencoba menerima sikapmu yang menyebalkan itu. Dan mungkin aku juga sudah mulai suka sama kamu, mas." Kalimat terakhir Gladys ucapkan dengan suara pelan.

"Apa?! Aku nggak salah dengar kan?" Banyu langsung mematikan radio. "Coba diulang lagi."

"Apanya?"

"Ucapanmu yang terakhir tadi."

"Percuma diulang, nggak akan mengubah apapun." jawab Gladys pelan sambil membuang pandangannya. Banyu tidak mendesak lebih lanjut. Mereka saling berdiam diri hingga akhirnya mobil memasuki halaman rumah Gladys.

"Princess, sudah sampai nih. Besok-besok kalau kamu mau ke rumah, ajak pak Dudung. Biar kamu nggak pulang sendirian."

"Kamu keberatan antar aku pulang?"

"Bukan begitu, tapi.."

"Kalau memang kamu keberatan aku datang ke rumah dan kamu juga keberatan antar aku pulang, aku minta maaf. Tapi aku nggak akan menyerah hingga diriku sendiri yang merasa lelah melakukan ini."

"Princess, aku nggak keberatan kamu datang ke rumah. Tapi kalau kamu nggak mau bawa pak Dudung, kamu atur waktunya. Jangan terlalu sore. Biar pulangnya nggak kemalaman. Bukannya aku keberatan antar kamu, tapi kurang enak dilihat orang anak gadis pulang terlalu malam."

"Oh iya, mengenai acara bang Ghif, kamu mau kan menjadi pendampingku?" tanya Gladys berharap.

"Tapi kamu jangan terlalu berharap suatu saat aku akan menjadi pendamping hidupmu." jawab Banyu pelan. "Aku tak ingin kamu menaruh harapan kepadaku. Aku takut mengecewakanmu."

"Aku baru kali ini ditolak oleh seorang lelaki. Dan rasanya sakit banget, mas. Apalagi ditolak saat rasa ini mulai berkembang." suara Gladys agak tersendat menahan tangis. Terlalu sakit rasanya penolakan ini, batin Gladys. "Seharusnya kamu jangan pernah menciumku, mas. Terima kasih kamu sudah mau antar aku pulang."

"Princess, maafin aku." bisik Banyu. "Aku nggak bisa menjanjikan apapun."

"Bukan salahmu, mas. Ini salahku sendiri yang terlalu berharap atas dirimu. Salahku membiarkan rasa itu tumbuh. Aku masuk dulu. Kunci mobil kamu titip ke pak Gito saja." Gladys keluar mobil dan berlari menuju pintu rumah. Ia tak ingin Banyu melihatnya menangis.

⭐⭐⭐⭐


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C32
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login