"Besok kita berjumpa lagi." Kalimat itu yang terus saja terngiang-ngiang di dalam kepala Sandra. Gadis itu selalu saja mengingat janji sang mantan kekasih kala itu. Sebelum mereka resmi memutuskan hubungannya, Bima berjanji akan kembali pada Sandra lagi. Dirinya hanya mencintai gadis itu dan tak akan pernah mau pergi mengkhianati kepercayaan Sandra Iloana.
Bullshit! Kalimat itu ternyata hanya sekadar obat penenang yang membuatnya candu hingga sekarang ini. Rasa tak rela masih saja bersarang di dalam dirinya. Sandra belum benar-benar bisa melupakan sosok Bima dalam hidupnya. Pria tampan keturunan khas tanah Jawa itu benar-benar memikat hatinya dan mencuri separuh kewarasan yang ada di dalam diri Sandra. Kehangatan yang diberikan oleh Bima, tak pernah didapat oleh gadis itu dari ayahnya. Si pria tua menyebalkan itu terus saja sibuk dengan urusannya. Ia melupakan bahwa Sandra Iloana tak hanya butuh uang, melainkan juga cinta dan kasih sayang penuh kehangatan darinya.
"Melamun lagi?" Seseorang menyela dirinya. Sandra menoleh, sedikit mendongakkan kepalanya untuk menatap gadis berambut pendek yang jatuh menggantung tepat di atas bahunya itu. Wajahnya kecil, senyumnya manis dengan pandangan mata yang polos. Namun, penampilannya itu sungguh unik. Ia bak bintang rok dengan dandanannya yang nyentrik. Teman Sandra satu ini benar-benar gadis yang berani mengekspresikan dirinya.
"Lo udah selesai kuliahnya?" tanya Sandra sembari memberikan senyum hangat untuk gadis yang baru saja datang dan duduk tepat di sisinya.
Gadis itu menggeleng dengan ringan. Ia tersenyum kecut lalu menghela napasnya kasar. "Gue udah bilang kalau gua gak pengen kuliah," katanya dengan nada meremehkan.
Inilah Indira Bandiani. Seorang putri dari pria terhormat yang sedikit berpengaruh di Indonesia. Ayahnya adalah pemilik perusahaan penyedia layanan properti untuk orang-orang yang membutuhkannya. Jika hanya pasal uang, Indira tak perlu mengkhawatirkannya. Ia bisa mendapatkan apa yang dirinya mau hanya dalam sekali ucap saja. Sandra pun hampir sama, bedanya ia masih mencintai kehidupan sang ibu. Ia ingin memperjuangkan apa yang seharusnya ia perjuangkan. Ibunya harus kembali berdiri dan tersenyum dengan keadaan sehat. Ia ingin membuat ibunya bangkit dari ranjang rumah sakit dan memakai pakaian yang lebih layak lagi. Sungguh, pakaian rumah sakit tak cocok untuknya.
"Kembalilah ke kelas lo. Gak semua anak bisa berkuliah," sahut Sandra terkekeh-kekeh.
"Lo benar, gue adalah salah satu orang yang beruntung. Namun, jika ayah gue bukan pria tua itu, maka gue akan benar-benar beruntung." Kali ini tawa lepas keluar dari celah bibirnya. Sandra hanya bisa tersenyum kecut lalu menundukkan pandangannya. Ia menatap rerumputan yang ada di bawah kakinya saat ini.
"Indira." Sandra memanggil. Menarik pandangan gadis itu untuk kembali menatap wajahnya.
Keduanya sama-sama diam. Menatap satu sama lain sebelum akhirnya senyum tipis mengembang di atas wajah cantik milik Indira Bandiani. Gadis itu memang terlihat 'acak adul' dengan tata busana yang sedikit lain dari gadis pada umumnya. Penampilannya yang unik, acap kali menjadi bahan pembicaraan mahasiswa dan mahasiswi lainnya. Katanya, Indira tak pantas menjadi anak orang kaya yang berwibawa. Ia mirip preman elit dengan penampilan aneh seperti itu.
"Soal Bima ... lo masih berhubungan dengan dia?"
Indira mengerjapkan matanya. Bibirnya masih diam, bungkam rapat-rapat. Ia tak bersuara apalagi memberi respon untuk gadis cantik berhidung mancung yang ada di sisinya itu. Sandra menatapnya dengan benar, berharap Indira akan memberikan sebuah jawaban yang memuaskan. Bima adalah mantan teman dekat Sandra kala dirinya dan pria brengsek itu sedang menjalin hubungan dengan Sandra. Bukan selingkuhannya, Indira adalah sahabat dekatnya sejak kecil. Baik buruk Bima yang diketahui olehnya sebagian besar berasal dari gadis ini.
"Dia sibuk mengurus calon istrinya. Mereka baru saja punya seorang bayi beberapa bulan yang lalu."
Sandra mengangguk. Ia paham, sangat paham. Bodohnya, Sandra selalu saja bertanya untuk memastikan bahwa semuanya masih sama. Ada sebuah harapan kecil di dalam hatinya, ia ingin bertemu dengan Bima Dan berbicara sedikit banyak untuk menanyakan beberapa hal pasal apa yang terjadi satu tahun lalu. Sandra masih belum bisa mencerna semua itu dengan baik. Semuanya masih terasa semu dan rancu. Hanya Sandra yang menganggap bahwa ini belum benar-benar selesai.
"Lupakan Bima, lo harus punya sesuatu yang lebih baik sekarang. Berharap padanya hanya akan membuat hidup lo sia-sia." Indira menegaskan. Ia menepuk pundak gadis cantik yang ada di sisinya.
"Terimakasih, Ra."
"Ngomong-ngomong, lo masih kerja di bar?" tanyanya mengubah arah pembicaraan.
Sandra mengangguk. Ia tersenyum kecut mengiringi responnya untuk Indira. "Gue bekerja di dua tempat. Dengan begitu, biaya rumah sakit ibu gue akan terbantu."
"Ayah lo tahu?" tanyanya lagi.
Kembali gadis itu memberi respon. Gelengan menjadi jawaban utama untuk untuk pertanyaan yang keluar dari celah bibirnya.
"Ayah lo harus tahu, kalau terjadi sesuatu maka ayah lo bisa membantu."
Sandra tertawa ringan. "Lo mau gue diusir dari dalam rumah nenek? Lo mau gue dipukulin sampai mati?" kekehnya berkata-kata. Alif bukan orang yang mudah. Ia pasti tak akan bisa menerima apapun yang dilakukan oleh putrinya sekarang ini. Alif hanya ini Sandra menuntut ilmu. Berstatus sebagai mahasiswi di sebuah kampus swasta yang elit adalah sandang statusnya sekarang ini. Ia tak boleh bekerja, apalagi kalau sampai masuk ke bangunan seperti itu. Ayahnya bisa-bisa benar membunuh dirinya nanti. Apalagi kalau sampai tahu, Sandra melakukan itu hanya untuk membiayai rumah sakit ibu kandungnya. Kemarahan pria tua itu pasti akan semakin menjadi-jadi.
"Bantu gue untuk menyembunyikan ini, lagian gue juga akan mengundurkan diri secara resmi dari les balet," tuturnya pada Indira. Ia memohon pada gadis itu dengan penuh keseriusan. Sandra tak ingin ayahnya tahu dalam waktu dekat ini. Dirinya benar-benar ingin menyelesaikan semua masalahnya sendiri.
"Karena mimpi buruk itu?"
Gadis cantik berambut panjang itu kini mengangguk bersama dengan helaan napas ringan yang muncul dari balik bibir merah buah delima miliknya itu.
"Setelah gue berhenti dari balet, mimpi itu tak pernah datang lagi. Jadi gue berpikir untuk membuat hidup gue menjadi lebih tenang lagi. Mengundurkan diri dari balet adalah salah satu kuncinya."
Sandra menatapnya dengan iba. Sejak pertama kali bertemu dengan Sandra Iloana, ia sudah merasa bahwa gadis ini punya sebuah keunikan. Wajahnya bukan berasal dari Indonesia. Cantik ini berasal dari negara luar sana. Namun, jika ditanya, Sandra bahkan berani menunjukkan akta kelahiran dan riwayat hidup kedua orang tua kandungnya. Gadis itu menyakinkan semua orang untuk bisa mempercayai dengan benar.
"Gue harap lo bisa lebih bahagia, Sandra."
Sandra tersenyum manis. Menganggukkan kepalanya untuk memberi respon pada Indira. "Gue harus masuk kelas lima belas menit lagi. Terimakasih untuk obrolannya, Indira."
... To be Continued ...