Violet Charlotte, gadis itu tengah duduk di halaman taman kerajaan yang terletak dibagian belakang.
Sambil menikmati semilir angin yang saling bersahutan, ia ayunkan kakinya perlahan secara bergantian, kepalanya ia tengadahkan menghadap langit malam yang berwarna hitam pekat.
Tak ada yang dapat dilihat selain purnama yang terus memancarkan sinar rembulan nya, pernah suatu saat dirinya membayangkan dapat melihat bintang yang bertaburan di atas angkasa, bintang yang kononnya dapat membawa keberuntungan bila kita memohon saat melihatnya jatuh, namun, semua hanyalah keinginan yang mungkin selamanya hanya menjadi angan.
Karna nyatanya, sejak ia menangis dengan lantangnya, saat pertama kali sang ibunda menyambutnya dengan pelukan hangat, sebagai pertanda kehadirannya di dunia. tak ada bintang yang biasa menghiasi langit malam.
Terkadang ia merasa iri dengan seseorang yang terlebih dulu lahir ke dunia, ia juga ingin merasakan sensasi bahagia saat menatap bintang yang terlukis indah di langit sana, ia ingin harapnya menjadi nyata dengan memohon khidmat saat melihat benda bercahaya itu jatuh.
Ia ingin, sangat ingin.
Tapi semua hal itu hanya angan yang selamanya akan tetap menjadi angan-angan belaka.
Masih dengan mengayunkan kaki perlahan, di tatapnya rembulan diatasnya dengan lekat, seperti sedang mengamati setiap sisinya.
Ia merasa heran, mengapa orang-orang begitu memuja benda bulat yang sedang ia tatap itu, tidakkah mereka menyadari, yang mereka kagumi itu hanyalah sebuah perantara yang bahkan sinarnya saja berasal dari matahari.
Tanpa matahari, bulan hanyalah sebuah bongkahan batu yang bahkan setiap sisinya berbentuk tak beraturan, sangat jauh dari kata sempurna, dan lagi ia kembali tersadar bahwa, tak ada satu pun hal yang sempurna di dunia ini, entah itu memang benar-benar tidak ada, atau masih belum ada.
Memangnya siapa orang itu? Adakah sosok yang lebih sempurna dari apapun yang ada di dunia ini?
Violet tersenyum kecut, ketika teringat ucapan dan celotehan orang sekitar kala melihat dirinya.
Kebiasaan seseorang hanya melihat dari luarnya saja, bisa dibilang dirinya sudah cukup muak saat seseorang mengatakan bahwa dirinya sangat amat sempurna, bahkan kata sempurna saja katanya masih belum cukup untuk mendeskripsikan seorang Violet Charlotte.
Apa? Benar-benar berlebihan.
Tidakkah mereka melihat? Atau sekiranya membuka mata saat tau kisah hidup Tuan Putri yang selama ini mereka puja? Siapa yang tidak tau nasib menyedihkan Violet Charlotte, gadis malang yang ditakdirkan menjadi anak sulung seorang Raja besar seperti Markz Middleton.
Senyum kecut yang terlukis di bibir ranum itu berubah menjadi senyum penuh kepedihan
Ia kembali teringat, dari semua masalah yang ia hadapi, ada seseorang yang sekiranya lebih terpuruk dan menderita daripada dirinya
Rasanya menyedihkan ketika menyadari seseorang itu mulai bersikap acuh padanya, ia sangat berharap hubungannya dengan orang itu bisa kembali hangat seperti sebelumnya.
"Sedang apa kau malam-malam begini disini?"
Violet terkejut bukan main, apakah karna dirinya sedang meratapi hubungannya dengan Carlo, ia sampai berhalusinasi mendengar suaranya?
"Kembalilah ke kamarmu, Violet."
Lagi, apakah ia begitu merindukan sosok hangat adiknya itu, sampai-sampai bisa mendengar seolah Carlo sedang berbicara kepadanya.
"Terserah kau." Suara yang semula hangat kini terdengar datar, segera Violet mengarahkan pandangan ke sumber asal suara itu.
Violet yang masih tampak terkejut segera berdiri dan mengejar setiap langkah Carlo.
"Carloo! Tunggu!" seru Violet yang kini mulai bisa mensejajarkan langkahnya.
"Sedang apa malam-malam begini?" Tanya Violet dengan senyum penuh mengembang.
Suasana hati Violet berubah menjadi sangat bahagia detik ini, hal itu terjadi ketika Violet menyadari bahwa adiknya masih menaruh rasa peduli kepadanya. entahlah, yang penting ia merasa senang sekarang.
"Apa kau juga tidak bisa tidur? Kalau begitu kita sama, Carlo," kata Violet yang masih memandang wajah tampan adiknya itu dari samping.
"Aku sedikit bosan berada di kamar, itulah mengapa aku memilih duduk di taman, walaupun udaranya agak dingin, sih." Violet memperhatikan ekspresi datar Carlo
"Kau sedang apa?" Tanya Violet, yang tak kunjung mendapat jawaban.
"Kau tau tidak, tadi ayah kedatangan tamu dari kerajaan Barat, seharusnya kau juga ikut menyambut"
"Ooh ya, Carlo, apa kau tidak berminat untuk ikut kelas khusus bangsawan? Kalau kau mau, kita bisa berangkat bersama.. terdengar menyenangkan bukan?"
"Dan lagi, kau kan juga calon Raja besar di negeri kita, pastinya kau wajib me--"
"Sstt! Diamlah!!" Sergah Carlo yang memperingati Violet dengan suara sedikit berbisik.
"Ke-kenapa?"
"Diam!" Ucap Carlo mengisyaratkan Violet untuk diam, hal itupun membuat Violet menjadi bingung.
"Apa??" Tanya Violet dengan suara berbisik.
Carlo menunjuk ke arah depan, ke arah hutan lebih tepatnya.
Violet yang memperhatikan menjadi terkejut saat tanpa sadar menyadari dirinya dan Carlo sudah berada di depan hutan liar yang biasa digunakan untuk berburu.
"Kau mau apa Carlo?"
"Diam atau kau pergi saja," jawab Carlo acuh.
Diam, itulah yang kini dilakukan Violet, daripada pergi lebih baik ia menemani adiknya walau harus berdiam diri.
Tapi rasanya hal itu cukup sulit, terbukti saat dirinya kini sedang berusaha mengajak bicara Carlo, namun, sebelum sempat kata-kata itu keluar, ia mematung dan memperingati dirinya sendiri untuk tetap diam.
Ada banyak hal yang ingin ia bicara dan sampaikan ke Carlo, ia ingin bisa menikmati kembali kebersamaan dengan Carlo seperti dulu, sebelum gelar Putri mahkota terpatri padanya.
"Tetap disini sampai aku kembali," ujar Carlo yang tengah melangkah maju menuju hutan liar itu.
"A-aku juga ikut," sahut Violet yang ikut melangkah maju.
"Tetap disini, aku hanya akan maju beberapa langkah."
Violet mengamati Carlo yang tengah memegang busur dan anak panah yang sedari tadi ia genggam, pikirnya mungkin itu untuk berburu.
Dan benar saja, setelah Carlo membidik sesuatu yang berada di dalam hutan tersebut, terdengar suara lolongan yang terdengar sangat keras, seperti suara Rusa.
Terlihat Carlo yang berseru senang ketika mengetahui bidikannya berhasil mengenai sasaran.
Violet yang melihat hal tersebut jadi terkagum-kagum. pasalnya, Carlo hanya membidikkan satu anak panah, dan hasilnya sungguh luar biasa.
Violet ikut senang ketika adiknya itu berlari kearah hutan dengan terus menyorak bahagia, ia ingin ikut, tapi ia teringat bahwa ia harus menunggu disini
Rasanya sudah lama sekali Violet tidak melihat ekspresi bahagia itu di wajah tampan Carlo, mungkin berburu adalah salah satu hobi yang paling disukainya, Violet berpikir, mungkinkah ia harus ikut adiknya berburu terus agar bisa melihat ekspresi itu?
Tunggu dulu, apa Carlo melakukan hal ini tiap malam? Tapi akan di kemanakan hasil buruannya itu, perasaannya ia tidak pernah melihat hewan buruan Carlo sebelumnya.
Memikirkan adiknya yang sangat misterius itu memang membutuhkan pemikiran yang besar, selain memang sulit di tebak, Carlo adalah tipikal orang yang menutup diri dengan sifat dinginnya.
Dan tak perlu menunggu begitu lama, Carlo kembali dengan hasil buruannya yang terlihat lumayan besar, seekor Rusa yang terlihat sekarat, mungkin belum mati.
"Belum mati? Apa dia tidak melawan?" Tanya Violet saat Carlo sudah berada di hadapannya.
"Tidak, Rusa yang satu ini ternyata begitu pasrah atas yang terjadi pada dirinya," jawab Carlo disertai kekehan kecil.
Violet kembali terpana.
"Emm.. mau kau kemanakan Rusa ini?"
Carlo menatap Violet lekat, ekspresi wajahnya seperti tengah memikirkan sesuatu.
"Kau kembalilah, aku yang akan mengurusnya." Carlo hendak pergi, namun segera ditahan oleh Violet.
"Tidak, aku akan tetap ikut!"
Kembali Carlo menatap Violet, meski terlihat ragu, namun akhirnya ia mengangguk sebagai pertanda setuju.
Tanpa bisa dibendung, Violet memekik senang, kemudian mensejajarkan langkah nya dengan Carlo.
"Kita akan kemana?" Tanya Violet menggebu-gebu.
"Diam, dan ikuti saja aku," balas Carlo, yang kini tengah menatap hangat Violet.
***