Dewan selesai mandi, dia keluar dengan pakaian yang lebih santai, celana pendek juga kaos polos berwarna hitam.
"Mandi wajib?" Tanya Zalfa iseng, melihat Dewan yang keramas.
"Gue gak mulai ya Zal," ujar Dewan. Memperingatkan Zalfa, perempuan itu sedang sakit juga, tidak ada kalem-kalemnya.
"Hehe, bercanda. Luka Lo gak diobatin Dewan?" Tanya Zalfa. Dia meringis melihat luka di pipi Dewan yang mulus dan putih itu jadi ada lebamnya.
"Pengennya diobatin sama kamu," ujar Dewan iseng. Dia sengaja bernada manja di depan Zalfa. Melihat perempuan itu geli membuat Dewan terbahak.
"Sini duduk," ujar Zalfa di luar dugaan. Perempuan itu meminta Dewan duduk di brankarnya.
Dewan yang sedang duduk di sofa merasa tidak enak hati. Dia hanya bercanda.
"Masa orang sakit, ngobatin yang sakit? Kamu baik-baik aja kan?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Dewan. Tapi, anehnya. Lelaki itu tetap berjalan dan menarik kursi, dia duduk di sebelah kanan. Bukan duduk di brankar seperti yang diinginkan Zalfa.
"Dewan. Tolong deh. Bisa gak sih, gak usah pakai Kamu nyebutnya. Geli banget dengernya."
Zalfa bukan tidak bersyukur dilembuti seperti itu, tapi rasanya aneh sekali. Dewan itu sering banget ngeledekin Zalfa, kadang kata-katanya bisa buat Zalfa nangis. Belum lagi, mereka hampir tidak pernah akur. Masa iya, karena sakit dia langsung berubah dan bilang kamu-aku begitu.
"Rese banget sih bocah, iya Zalfa. Puas?" Tanya Dewan, sbari mengacak-acak poni kebanggaan Zalfa.
"Banget," jawab Zalfa senang. Zalfa tidak menutup hati dan nalurinya. Dia merasakan ketulusan Dewan saat lelaki itu menjemputnya di halte. Walaupun dia tidak tau, apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana bisa takdir begitu mudah memberikan Zalfa seorang Dewan dengan tampang songongnya menjemput Zalfa seakan lelaki itu tidak sengaja menjemputnya.
Sejak saat itu, Zalfa merasa ada yang aneh dari Dewan apalagi, sesaat sebelum dirinya pingsan. Dewan terlihat sedih, melihat Zalfa yang murung.
"Tawaran Gue buat nganter Lo pulang masih berlaku. Mau?"
Sesaat sebelum dia pingsan, Zalfa sempat bilang, bahwa dirinya ingin mengantar Zalfa pulang ke rumah orangtuanya.
"Enggak jadi, gue masih punya deadline. Kebanyang dong, abis sakit begini. Kalau harus pulang, yang ada gak akan kelar dong kerjaan."
"Nanti Gue bantuin."
"Baik banget sih, udah gak usah."
Zalfa bukan tidak ingin pulang, tapi dia merasa tidak ada yang menunggunya untuk pulang, jadi kenapa juga dia harus pulang.
"Lo kenapa sih jarang pulang? Setahu gue, anak perempuan itu paling sulit jauh dari keluarga. Lo malah sebaliknya. Jangan terlalu mandiri lah,"
"Gue juga suka pulang kok, cuma Lo aja yang gak tau." Zalfa menyanggah ucapan Dewan. Zalfa memang suka pulang, tapi orang rumah yang gak suka kalau Zalfa pulang.
"Banyak juga ya, yang ternyata gak gue tau, tentang Lo."
"Lo gak usah tau, nanti biar gue yang cerita seiring berjalannya waktu."
"Gue ngerasa kita deket banget sekarang." Dewan menyadari cara bicara Zalfa yang santai, tidak seperti biasanya. Selalu ngegas jika bicara dengannya.
"Karena Lo udah gak rese."
"Gue pengen banget jagain Lo, gak tau kenapa. Gak punya alasan buat itu, setiap kali Lo berusaha deketin Figo. Gue ngerasa Lo itu orang jahat, karena Figo jelas-jelas udah punya Ervina. Tapi, ngeliat Lo terus berharap dan diperlakukan gak adil, gue marah. Gue gak terima, kenapa juga Lo harus mau?" Dewan mengeluarkan unek-uneknya. Lelaki itu sudah tidak bisa menahan sakit hatinya, melihat Zalfa yang begitu sabar dan bodoh secara bersamaan.
"Kisah gue terlalu panjang, buat dibikin jadi satu buku. Yang jelas, saat ini, mungkin Lo lagi ngerasa kasihan aja sama Gue, makanya Lo sebegitu baiknya."
Perkataan Zalfa mengingatkannya pada ucapan Delvis tadi siang. Dewan sudah memikirkannya, dia merasa bukan kasihan pada Zalfa. Dia memang menyayangi Zalfa dengan tulus.
"Emang salah ya, gue kasihan sama orang yang gue Sayang?" Pertanyaan itu, mampu membuat Zalfa bungkam sesaat. Dia kembali ingat, bahwa lelaki dewasa akan mudah sayang terhadap wanita, jadi Zalfa tidak perlu baper dengan ucapan Dewan.
"Salah. Lo akan ngebuang waktu Lo yang berharga untuk sesuatu yang ujungnya hanya sia-sia." Dewan baik, tapi bukan lelaki itu yang dia inginkan.
"Terus kenapa Lo masih melakukan itu? Lo sayang sama Figo, yang jelas-jelas dia gak perduli sama sekali, bener-bener naif."
"Jawabannya hanya ada di dalam hati gue." Zalfa belum pernah memberitahukan alasan dibalik semua aksinya. Dia tau, suatu saat pasti akan ketahuan. Jelas bukan saat ini, semua terlalu cepat, baginya ini hanya permulaan.
"Cinta? Atau itu hanya bercandaan saja. Sebenarnya Lo sama sekali gak ada rasa untuk Figo? Apa yang sedang Lo mainkan saat ini, semoga gak akan membuat Lo menyesal di kemudian hari." Dewan tau, ada yang disembunyikan Zalfa darinya dan juga Delvis.
"Mereka baru tunangan, belum nikah. Gak ada yang salah, sebelum jalur kuning melengkung, lagian yang harus Lo kasihani itu Ervina, dia akan nangis kalau tau, gue dan Figo jadian nanti," ujar Zalfa santai Namun, perempuan itu tidak berani melihat ke arah Dewan yang sedang menatapnya dengan serius.
"Gue udah sering banget bilang ini sama Lo, dan gue gak pernah bosen untuk itu. Berhenti ngejar Figo. Dia gak layak untuk Lo perjuangkan. Gue harap hati Lo gak mati rasa."
"Siapa yang layak untuk Gue perjuangkan? Lo?"
"Lo ngerti maksud gue."
"Enggak. Gue gak ngerti, seperti kalian bilang, Gue itu keras kepala, apa yang gue mau harus gue dapat, begitu juga dengan Figo."
"Gue harap Lo gak nyesel."
"Gue akan nyesel, Gue tau itu."
Dewan menghela nafasnya, Zalfa sulit sekali untuk diberi pengertian. Padahal, jika dia seperti ini. Dia juga yang rugi.
"Yaudah, terusin aja. Lo tau kan, Gue dan Bang Delvis akan selalu ada buat Lo. Dalam kondisi apapun." Akhirnya Dewan menyerah, dia hanya bisa menunggu Zalfa lelah dan pasrah menerima kenyataan. Perempuan jika dikerasi malah akan semakin berontak.
"Makasih ya," ucap Zalfa dengan tulus.
"Pesenin makanan dong, Gue laper nih, abis debat sama Lo."
Zalfa membulatkan matanya dengan sempurna. Rese sekali emang Dewan.
"Lo gak liat, Gue diinfus begini, megang handphone juga gak bisa, masa iya, harus pesenin makanan buat orang sehat."
"Nah kan, kalau Lo udah bisa marah begini, artinya Lo udah sehat. Mana ada orang sakit, banyak omong banget kayak Lo."
Zalfa sudah memasang wajah malas, kesal dan sangat tidak bersahabat.
"Canda Zalfaaa." Dewan mengacak poni Zalfa lagi.
"Dewannnn!" Teriak Zalfa kesal. Lelaki itu segera menjauh darinya dan menutup kuping.
Zalfa bersyukur, memiliki teman satu kantor seperti Dewan dan Delvis, mereka sangat menjaga Zalfa. Padahal, dulu dia tidak pernah berpikir akan mendapatkan hal baik lagi, setelah dunianya berubah menjadi gelap hanya karena cinta