[Luna]
Aku merasakan kecanggungan dan kekakuan yang luar biasa diruangan ini. Di hadapanku atau mungkin di tempat lain, pria yang akan dinikahkan padaku berada di ruang yang sama denganku saat ini juga. Dia tidak terlalu banyak bicara, hanya menjawab jika ibu sekedar bertanya basa basi. Oh ya pada akhirnya aku memutuskan untuk menerima tawaran bu Dina. Setelah melewati proses berpikir yang panjang, akhirnya aku mulai menerima takdirku, toh bagiku menikah ataupun tidak sama saja, sudah tidak ada tujuan lagi dalam hidupku selain melihat adik-adiku tumbuh dengan baik tentunya. Aku tidak masalah jika suamiku memiliki kelainan tapi sepertinya dia yang mempermasalahkannya. Tidak ada kesan ramah dari suara yang keluar melewati bilah bibirnya, meskipun diucapkan dengan lembut, intonasi keketusan masih bisa terdengar jelas. Aku paham mungkin dia masih tidak menyangka bahwa yang akan dinikahkan untuknya bukan gadis sempurna yang mungkin bisa merubah kelainan seksual yang dialaminya namun seorang gadis buta yang tak berdaya.
"Luna hari ini cantik sekali. Iyakan Dion?" Bu Dina kembali membuka percakapan yang melibatkan aku dengan puteranya yang bernama Dion itu.
"Iya bu, matanya—
"Tidak bisa melihat?" Entah kenapa aku suka sekali memotong pembicaraan seseorang jika sudah membawa-bawa mataku. Aku merasa lebih baik aku mengatakannya sendiri dibandingkan harus mendengar orang lain yang mengatakannya. Kudengar helaan nafas dari bu Dina juga merasakan rematan tangan ibu.
"Bukan tapi matanya abu-abu kebiruan?"
Oh aku tersentak mendengarnya, dia lebih memperhatikan warna mataku? Aku merasa tidak enak dan bodoh ternyata aku sendiri yang membuat kecanggungan ruangan ini.
"Iya sayang, Luna ini blasteran eropa utara, sebagian dirinya berasal dari Denmark."
"Denmark?" Aku tersenyum ikut menjawab. "Ya! Ibuku berasal dari Denmark."
"Oh, pantas saja."
Setelahnya tidak ada perbincangan lainnya yang berarti selain pengenalan biasa. Itupun tidak berlangsung panjang, sebab Dion segera mengakhiri perbincangan yang super canggung ini dengan alasan pekerjaan. Tapi jauh dari itu aku tahu, sebenarnya dia tidak nyaman berada disini. Suaranya terdengar sangat datar seperti menahan amarah. Mungkin ekspetasinya terlalu tinggi untuk sebagai calon istrinya atau calon suaminya? Entahlah kurasa aku benar-benar harus mempersiapkan mentalku.
Ibu meraih tanganku dan memberikan segelas teh hangat. Aku menghirupnya sebelum menyesapnya pelan. "Dia sangat tampan Luna." Ucap ibu di sampingku.
"Benarkah?"
"Hmm, kalau kita tidak tahu kelainan yang dialaminya, ibu rasa tidak akan ada yang menyadarinya. Dia sangat maskulin, dengan wajah yang tegas, tubuhnya tegap setinggi 180 atau lebih? Kulitnya berwarna perunggu jauh dari kesan feminim." Meskipun aneh tapi Aku seperti bisa membayangkan bagaimana perawakan Dion. "Sayang sekali dong bu, harus menikah denganku."
"Bukan denganmu, tapi dengan kekasihnya yang sejenis denganya. Kamu nih jangan sering merendahkan dirimu sendiri Luna. Ibu suka kesal kalau kamu bicara seperti itu."
"Tapikan Luna—
"Ibu mengerti maksud kamu seperti itu untuk menegaskan kepada orang-orang kalau kamu menerima diri kamu sendirikan? Bukan seseorang yang perlu dikasihani. Ibu paham, tapi ada baiknya kamu lebih percaya diri sayang. Meski kamu tidak bisa melihat kamu cantik luar biasa!! Ibu berkata bukan karena ibu orang terdekat kamu. Tapi siapapun yang melihat kamu ibu yakinkan dia pasti jatuh cinta."
"Iya sebelum akhirnya mereka tahu, aku ini buta bu."
"Tuhkan seperti itu lagi. Ah susah sekali kamu nih dibilanginnya." Aku terkekeh mendengar ibu memberengut. "Mau buta atau enggak kamu masih bisa melakukan pekerjaan rumah, kadang ibu suka heran kamu tuh betulan tidak bisa lihat gak sih?" Lanjut ibu lagi.
"Kak Luna.. Uwi antuk." Zoe tiba-tiba datang naik kepangkuanku dan memelukku. Sebuah kebiasaan Zoe ketika akan tidur siang. "Uwi sudah ngantuk? Yasudah ayo kita tidur di kamar saja." Ajakku menggendong Zoe.
"Aduh manjanya. Terkadang tuh ibu suka heran, dibanding ibu, kamu lebih cocok jadi ibunya Zoe." Aku terkekeh membenarkan perkataan ibu, Zoe memang sangat manja padaku, dan itu juga yang masih memberatkanku, bagaimana nanti setelah menikah, aku tidak bisa bersama Zoe, akankah Zoe baik-baik saja? Atau aku diperbolehkan membawa serta Zoe kedalam rumahnya? Kuharap Dion mengerti.
[Dion]
Aku melajukan kendaraan mobil dengan sedang, meski sebenarnya aku ingin segera sampai dan berbicara empat mata degan ibu. Aku baru saja pulang dari panti, tempat dimana calon istriku tinggal. Aku tidak menyangka dia secantik dewi parasnya, namun yang lebih membuatku tidak percaya, matanya yang tidak dapat melihat. Sebenarnya apa yang dipikirkan ibu? Sebegitu putus asanyakah hingga memasrahkan puteranya menikahi gadis buta? Aku benar-benar harus bertanya alasan ibu.
Pintu gerbang rumah ibu yang menjulang tinggi katas terbuka saat mobilku tepat di hadapannya. Aku memasuki pekarangan rumah, dan menghentikannya tepat di depan pintu. Aku lebih dulu keluar, membukakan pintu mobil ibu, membiarkan beliau masuk lebih dulu. Tidak ada percakapan apapun yang keluar diantara kami. Setelah melewati taman mini sebelum masuk ke ruang tamu, kami duduk saling berhadapan. Ibu memandangku begitupun sebaliknya.
"Kenapa ibu tidak memberi tahuku perihal ketidak sempurnaan gadis itu?" Desisku menahan geram, mengingat pertemuan singkat tadi aku merasa telah ditipu.
"Ibu sudah ingin mengatakannya berulang kali, tapi kamu sendiri yang menolak kok." Jawaban ibu membuatku mengusap wajah kasar. "Itu sebelum aku tahu kalau ibu menikahkanku dengan gadis buta. Itukan hal penting bu, ibu tega membiarkanku hidup bersama gadis buta?"
"Jaga ucapan kamu Dion. Jangan merendahkannya."
"Aku tidak melakukannya bu, itu kenyataannya dia memang tidak bisa melihat. Jelaskan pada Dion, kenapa ibu memutuskan hal ini? Seputus asa itukah ibu sehingga ibu menjodohkanku pada gadis cacat?"
Ibu menggebrak meja, kulihat dadanya naik turun karena marah. "Ibu bilang jangan merendahkan Luna! Awalnya ibu memang putus asa karena kelakuanmu yang bikin malu. Tapi setelah melihat Luna, ibu merasa masih ada harapan untuk ibu menyelamatkanmu Dion. Dia memang tidak bisa melihat, tapi hatinya seluas samudra. Ibu yakin Luna pasti bisa meluluhkan hatimu yang sekeras karang! Dan tidak ada wanita lain yang lebih cocok bersanding denganmu selain Luna."
"Tapi dia tidak bisa lihat bu!" Aku masih menekankan kalimat bahwa dia buta, persetan dengan semua pujian ibu kepadanya. Mungkin bisa dikatakan aku ini kejam, tapi aku memiliki ego tinggi, bagaimana mungkin aku memperkenalkan istriku pada kolega kerjaku saat ada acara antar perusahaan? Aku ini CEO muda yang sedang disorot, lalu menikah dengan gadis buta dari panti? Meski kuakui seluruh yang ada di dirinya sempurna kecuali matanya yang abu-abu tanpa pancaran sinar.
"Itu seribu kali lipat dibandingkan aku melihatmu menikah dengan seorang pria. Keputusan ibu sudah bulat, kamu harus menikah dengan Luna. Ibu juga akan mempercepat pernikahan kamu." Aku tertohok mendengarnya, selesai mengatakannya ibu berlalu begitu saja, meninggalkanku yang terdiam di sofa. Sebenarnya letak kesalahannya dimana? Aku yang mencintai seorang pria? Atau ibu tega menikahkanku dengan gadis buta?