Saat ini sudah bulan Maret, yang berarti sudah memasuki musim semi. Meskipun musim dingin sudah berakhir, bukan berarti suhu serta-merta menjadi hangat. Masih ada hawa dingin yang agak menusuk kulit jika keluar tanpa menggunakan baju panjang. Tapi paling tidak, salju tak akan turun lagi sampai akhir tahun nanti.
Pada pukul tiga sore, Alexa melangkahkan kakinya ke luar hotel. Karyawan yang bertugas membukakan pintu untuk para tamu pun sempat menyapa dan tersenyum ke arahnya.
Keadaan saat ini sudah berubah cukup banyak. Selama satu bulan Alexa berada di sana, pandangan para karyawan hotel padanya pun perlahan berubah. Dulu, mereka mengira Alexa adalah perempuan simpanan pemilik hotel ini yang akan berangsur-angsur bertingkah tidak rasional karena ego yang terus diberi makan oleh harta.
Tapi seiring waktu berjalan, rupanya gadis itu lebih diam daripada yang mereka kira. Senyum manis yang diberikan sudah berhasil memikat salah satu karyawan lelaki di sana. Meski mereka tidak pernah saling bicara, tapi karyawan tersebut mulai mengagumi Alexa yang terlihat manis.
Sayangnya, mereka tidak tahu jika Alexa adalah gadis yang amat ceroboh.
Sore ini, Alexa pergi ke supermarket untuk belanja rutin. Biasanya dia akan belanja setiap tiga hari sekali, atau paling lama, satu minggu sekali. Tanpa mengajak Sophie, dia melangkah santai menyusuri trotoar yang sedikit sepi sambil menarik napas dalam-dalam. Udara musim semi terasa amat segar.
Senyumnya terpulas lebar ketika dia memikirkan menu-menu yang akan dibuatnya nanti. Bahan-bahan yang akan dibeli pun sudah melekat erat dalam kepalanya. Karena ingatannya tajam, Alexa tidak perlu membawa catatan kecil untuk memastikan semua kebutuhan terbeli. Sehingga, dia berjalan santai tanpa perlu khawatir ada yang terlupa.
Ketika melewati truk makanan milik Paman Bob dan Bibi Grace, Alexa sempat melambaikan tangan singkat untuk menyapa, kemudian meneruskan langkahnya menuju supermarket.
Hari ini adalah hari Rabu. Di sore hari seperti ini, keadaan supermarket tidak terlalu ramai seperti saat akhir pekan. Antrean di kasir pun tidak mengular panjang, sehingga Alexa tidak perlu khawatir bosan menunggu giliran membayar.
Troli pun ditarik, dan Alexa mulai berjalan menyusuri lorong-lorong. Semua barang yang diperlukan pun segera diambil dan dimasukkan ke dalam troli tanpa pikir panjang. Dia sudah tidak perlu menghitung total harga di dalam kepalanya karena Alexa sudah dibekali dengan kartu kredit.
…
Di hotel, Skylar yang tahu jika pelayannya sedang pergi belanja ke supermarket, berniat menghubunginya untuk membelikan sesuatu. Tahu karena pelayannya tidak terlalu sering memegang ponsel, dia pun memutuskan untuk menelepon. Jika mengirim pesan, Skylar nyaris yakin pesannya tidak akan terbaca.
Namun setelah sepuluh nada sambung terdengar, dia mengernyitkan alis. Tidak ada balasan dari seberang telepon. Dia pun memutuskan untuk turun dan memeriksa di bawah, barangkali gadis itu lupa membawa ponsel.
Dengan tetap mempertahankan nada sambung, Skylar menyusuri koridor di lantai 52. Benar saja, nada dering panggilan telepon terdengar nyaring dari kamar Alexa. Pemuda itu membuka pintu kamarnya untuk memastikan.
Seperti dugaan, ponsel yang berdering tergeletak manis di atas nakas di samping televisi. Skylar menghela napas panjang. Dia jadi merasa percuma memberikan ponsel pada gadis itu jika Alexa sering lupa membawanya. Ini sudah ketiga kalinya Skylar mencoba menghubungi, namun ternyata ponsel Alexa tertinggal di kamar atau di lantai 51.
Panggilan pun dimatikan, yang otomatis menghentikan nada dering di dalam kamar. Namun, ketika Skylar akan keluar dari kamar, sebuah benda lain menarik perhatiannya. Tepatnya berada di atas laci di samping kasur.
Di sana terdapat sebuah dompet berwarna hijau muda. Sebenarnya, Skylar baru pertama kali melihat benda itu, sementara selama ini, dia belum pernah melihat Alexa membawa dompet atau semacamnya.
'Apa dia membeli dompet baru setelah menerima gaji pertamanya?' batin Skylar.
Mulanya, dia tak ingin memikirkannya lebih jauh. Tapi tiga detik kemudian, langkahnya berhenti.
"Tunggu." Pandangannya ditujukan kembali pada dompet tersebut. Walaupun tahu jika membuka isi dompet orang lain adalah tindakan tidak sopan, Skylar tetap berjalan menghampiri dan membuka dompet tersebut. Toh, dia tahu benar seperti apa pelayannya. Di dalam dompet itu pun pasti nyaris tidak ada isinya selain kartu ATM, kartu kredit pemberiannya, dan kartu akses naik kemari.
"Tidak bisakah anak itu berhenti bersikap ceroboh?" komentarnya setelah melihat isi di dalam dompet itu.
Benar seperti dugaannya. Macam-macam alat pembayaran ada di sana, yang berarti, Alexa sekarang sedang tidak membawa apapun di supermarket. Skylar memijit jembatan hidungnya karena tingkah pelayannya yang satu itu.
"Bagaimana dia bisa meninggalkan ponsel dan dompetnya seperti ini?"
Menghela napas, pemuda itu berjalan ke kamar pribadinya untuk mengganti pakaian. Sebenarnya dia tidak perlu repot-repot menyusul ke supermarket untuk mengantarkan dompet milik Alexa. Membiarkan gadis itu kembali sendiri dan mengambil dompet adalah pelajaran berharga supaya Alexa tak terlalu sering ceroboh. Tapi Skylar juga butuh sesuatu. Jadi sekalian saja dia turun dan pergi ke supermarket.
…
Empat puluh lima menit Alexa mengitari lorong supermarket, akhirnya dia berjalan menuju kasir untuk membayar. Antrean di depannya kosong, sehingga Alexa segera dilayani oleh petugas di kasir. Barang belanjaannya di trolinya cukup banyak, sehingga butuh waktu untuk memindai barcode dan memasukkan harga di komputer.
Gadis itu sama sekali tidak memikirkan hal lain dan hanya melihat semua proses di depannya. Barulah setelah semua barang selesai dipindai dengan mesin, pelayan di kasir menyebutkan harga yang harus dibayar.
Dengan ekspresi senyum, Alexa melakukan gerakan merogoh saku depan mantelnya. Sayang sekali, sekarang sudah bukan musim dingin, jadi Alexa tidak mengenakan mantel. Otomatis, tangannya tidak menemukan saku mantel sama sekali.
Kedua mata coklatnya berkedip beberapa kali. Khas seseorang yang kehilangan sesuatu, dia meraba pinggangnya sendiri dengan ekspresi kebingungan.
"Dompetku!"
Dia lupa membawa dompet!
Jantungnya berdegup kencang. Keringat dingin mulai muncul di dahinya.
Bagaimana ini? Alexa terlalu bodoh dengan melupakan dompetnya. Dia pikir, dia sudah memasukkan dompet ke dalam saku mantel. Tapi dia lupa kalau saat ini sudah tidak memakai mantel lagi!
"A-Anu … Dompetku…" kata Alexa pelan dan dengan nada ragu pada kasir di depannya.
Ketika melihat ekspresi petugas kasir yang berubah kesal, Alexa sudah siap menangis, namun ditahannya. Dia tahu ini adalah kebodohannya sendiri, dan petugas kasir berhak marah padanya. Apalagi, entah sejak kapan, antrean di belakangnya jadi cukup banyak.
"Maafkan aku! Aku akan segera kembali!"
Gadis itu berseru dan langsung berlari menuju pintu keluar, tak memedulikan teriakan kasir yang memanggilnya agar kembali. Beruntung tidak ada penjaga keamanan di pintu keluar, atau Alexa akan diseret dan diinterogasi karena dikira mencuri, akibat kesalahpahaman seruan dari kasir.
Dia sama sekali tak memedulikan hal lain. Larinya dipacu cepat menuju ke hotel tanpa melihat ke belakang. Jujur, dia takut dikejar oleh petugas keamanan supermarket setelah mendapat laporan dari kasir. Dalam kepalanya, dia harus segera lari menuju tempat aman, di mana orang dari supermarket tak bisa menemukannya. Bisa gawat jika mereka mengikuti sampai hotel dan membuat keributan. Alexa belum ingin diusir dari sana!
Dua puluh meter dari supermarket, sebuah mobil sport mewah melaju pelan ke arahnya. Alexa mengenali mobil itu sebagai milik tuannya. Awalnya, dia tidak terlalu memedulikan, karena Alexa pikir, tuannya ada urusan di luar dan akan pergi. Sebagai pelayan, dia juga tidak punya hak untuk tahu kemana pemuda itu pergi.
Namun, laju mobil semakin melambat dan berhenti di sebelahnya. Begitu kaca mobil diturunkan, Alexa bisa melihat sang pemuda yang memandangnya sambil memiringkan kepala.
"Kenapa kau lari-lari?"
"Do-dompet saya … ketinggalan," balasnya dengan napas sedikit terengah. "Saya … saya harus segera kembali—"
"Naik," sela Skylar sebelum Alexa menyelesaikan kalimatnya.
"Eh? Tapi—"
"Kau mencari ini, kan?" Sebuah dompet berwarna hijau pun digoyangkan perlahan di tangan Skylar. Raut lega segera nampak di wajah Alexa begitu melihat dompetnya ternyata dibawakan oleh tuannya. Dia bersyukur dalam hati karena tak perlu kembali lagi ke hotel dan melakukan negosiasi untuk meminjam akses naik ke atas.
Dari luar, Alexa mengulurkan tangan, bermaksud mengambil dompet di tangan sang majikan. Sayangnya, Skylar sudah menarik kembali tangannya sebelum Alexa sempat menjangkau barang miliknya.
"Kau tidak dengar? Naik."
Tidak seperti sebelumnya, nada perintah itu tak terdengar dingin dan sinis. Ada sedikit nada yang mengandung kesabaran di sana, menunjukkan toleransi yang diberikan pada sang pelayan.
Tentu saja Alexa tidak punya pilihan selain membuka pintu dan naik. Walaupun dia amat bingung, kenapa harus dipaksa naik ke dalam mobil, padahal jarak dari sana ke hotel tidak sampai satu kilometer.
"Temani aku."
Hanya itu kalimat singkat yang dikatakan Skylar sebelum pedal gas diinjak, menggerakkan mobil menjauh dari sana, tanpa menghilangkan banyak tanda tanya di dalam kepala sang pelayan.